Keutamaan dan Keistimewaan Hari Arafah

Sepuluh hari pertama bulan Zulhijah memiliki keutamaan yang sangat besar dalam Islam. Pada hari-hari ini, segala amal ibadah yang dilakukan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ” (يعني أَيَّامَ الْعَشْرِ). قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ”

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yakni, hari-hari sepuluh pertama Zulhijah).” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatu apa pun dari itu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa amal ibadah yang dilakukan pada hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah Ta’ala dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Al-Tibi menjelaskan bahwa amal saleh dalam sepuluh hari pertama Zulhijah ini adalah yang paling dicintai Allah karena waktu tersebut adalah waktu yang paling mulia, termasuk di dalamnya adalah hari Arafah, yang disebut sebagai hari terbaik sepanjang tahun[1].

Al-Sayyid menambahkan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat mengenai keutamaan sepuluh hari Zulhijah dibandingkan sepuluh hari terakhir Ramadan, yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa siang hari sepuluh Zulhijah lebih utama karena adanya hari Arafah. Sedangkan malam hari sepuluh terakhir Ramadan lebih utama karena adanya Lailatulqadar[2].

Sebagaimana disebutkan dalam hadis lain dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ما من أيام أفضل عند الله من أيام عشر ذي الحجة

Tidak ada hari-hari yang lebih utama di sisi Allah daripada hari-hari sepuluh pertama Zulhijah.” (Lihat Kitab Da’if Al-Targhib wa Al-Tarhib, hal. 735)

Para ulama sepakat bahwa memanfaatkan sepuluh hari pertama Zulhijah dengan memperbanyak amal saleh adalah kesempatan emas bagi setiap muslim untuk meraih pahala yang besar dan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, jihad di jalan Allah tidak lebih utama, kecuali bagi seseorang yang berkorban dengan jiwa dan hartanya tanpa kembali dengan apa pun. Hal ini menegaskan betapa agungnya nilai amal ibadah dalam sepuluh hari ini. Oleh karena itu, kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan, berpuasa, berdoa, dan melakukan berbagai bentuk ibadah lainnya selama hari-hari ini untuk mendapatkan keridaan Allah dan keberkahan yang melimpah. (Tuhfatul Ahwadzi, 3: 385)

Keutamaan dan kedudukan hari Arafah

Hari Arafah adalah hari kesembilan dari bulan Zulhijah. Pada hari ini, jemaah haji melaksanakan wukuf di padang Arafah, yang merupakan puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji. Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan haji, mereka dianjurkan untuk berpuasa pada hari ini. Sebagaimana hadis berikut,

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: “يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari Arafah. Maka, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.’” (HR. Muslim no. 1162)

Puasa ini memiliki keutamaan besar karena dapat menghapus dosa dua tahun, yakni tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang.

Untuk lebih lengkapnya, berikut beberapa keutamaan hari Arafah yang penting untuk kita ketahui dan amalkan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Wasilah untuk bebas dari api neraka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa pada hari ini, Allah Ta’ala membebaskan lebih banyak hamba dari api neraka dibandingkan hari-hari lainnya. Beliau bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka, selain hari Arafah.” (HR. Muslim no. 1348 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

ما مِن يَومٍ أَكْثَرَ مِن أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فيه عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِن يَومِ عَرَفَةَ، وإنَّه لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بهِمُ المَلَائِكَةَ، فيَقولُ: ما أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟

“Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka, selain hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat seraya berfirman, ‘Apa yang mereka inginkan?‘” (HR. Muslim no. 1348, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Momen doa-doa mustajab

Munajat seorang hamba yang dipanjatkan pada hari ini memiliki keutamaan khusus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi no. 3585, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Pada hari ini, doa-doa yang dipanjatkan lebih mudah dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memanfaatkan waktu di hari Arafah untuk berdoa dan memohon ampunan.

Dosa-dosa diampuni

Hari Arafah juga dikenal sebagai hari pengampunan dosa. Pada hari ini, Allah Ta’ala membebaskan banyak hamba-Nya dari api neraka. Ini adalah hari di mana Allah Ta’ala turun ke langit dunia dan membanggakan para hamba-Nya yang sedang berwukuf di hadapan para malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari api neraka, selain hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat seraya berfirman, ‘Apa yang mereka inginkan?’” (HR. Muslim no. 1348, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Hadis lain yang mendukung keutamaan ini adalah riwayat dari Ibnu Umar yang menyebutkan,

وأما وقوفك بعرفة، فإن الله تبارك وتعالى ينـزل إلى سماء الدنيا، فيباهي بهم الملائكة، فيقول: هؤلاء عبادي جاؤوا شعثًا غبرًا من كل فج عميق، يرجون رحمتي، ويخافون عذابي، ولم يروني، فكيف لو رأوني، فلو كان عليك مثل رمل عالج، أو مثل أيام الدنيا، أو مثل قطر السماء ذنوبًا، غسلها الله عنك

Adapun wukuf di Arafah yang engkau lakukan, sesungguhnya pada hari itu Allah turun ke langit bumi, dan Dia membanggakan orang-orang yang sedang wukuf di Arafah di hadapan para malaikat-Nya, dengan berkata, ‘Ini adalah hamba-hamba-Ku yang datang dengan rambut kusut dan berdebu dari setiap penjuru yang jauh, mengharapkan rahmat-Ku, dan takut akan azab-Ku, padahal mereka belum pernah melihat-Ku. Maka, bagaimana seandainya mereka melihat-Ku?’ Jika dosa-dosamu sebanyak butiran pasir atau sebanyak hari-hari di dunia, atau sebanyak tetesan hujan di langit, niscaya Allah akan menghapus semuanya darimu.[3]

Amalan-amalan di hari Arafah

Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa sunah yang dilakukan pada tanggal 9 Zulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Salah satu keutamaannya adalah diampuni dosa-dosa selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Hal ini berdasarkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده

Puasa Arafah itu menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبداً من النار من يوم عرفة

Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah” (HR. Muslim no. 1348)

Hadis ini menunjukkan betapa besar keutamaan puasa Arafah sebagai salah satu cara untuk meraih ampunan Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Zikir dan doa

Pada hari Arafah, sangat dianjurkan untuk memperbanyak zikir, termasuk takbir, tahlil, dan tahmid. Contoh zikir yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

Takbir: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lailahaillallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.”

Tahlil: “Lailahaillallah.”

Tahmid: “Alhamdulillah.”

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

خيرُ الدعاءِ دعاءُ يومِ عرفةَ وخيرُ ما قلتُ أنا والنبيونَ من قبلي لا إله إلا اللهُ وحدهُ لا شريكَ لهُ له الملكُ وله الحمدُ وهو على كلِّ شيء قديرٍ

Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang aku dan para nabi sebelumku katakan adalah ‘Lailahaillallah, wahdahu laa syarikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai’in qadir‘.”[4]

Meskipun hadis ini memiliki kelemahan dalam sanadnya, banyak ulama yang tetap menganjurkan untuk memperbanyak zikir dan doa pada hari Arafah karena keutamaannya yang besar. Doa yang bisa diamalkan termasuk memohon ampunan, rahmat, dan perlindungan dari segala keburukan. Tidak ada doa khusus yang wajib diucapkan, tetapi memperbanyak doa dan memohon dengan sungguh-sungguh sangat dianjurkan.

Ibadah haji di Arafah

Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama, dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah. Pada hari ini, jemaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan ibadah wukuf, yang berarti berdiam diri dengan penuh khidmat sambil memperbanyak doa, zikir, dan permohonan ampun kepada Allah  Ta’ala.

Ibadah mulia ini adalah puncak dari ibadah haji karena pada hari ini Allah Ta’ala banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة، وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول: ما أراد هؤلاء؟

“Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan seseorang dari neraka, selain hari Arafah. Dia akan mendekati mereka, lalu menampakkan keutamaan mereka kepada para malaikat seraya berkata, ‘Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

Wukuf di Arafah juga menjadi momentum penting bagi jemaah haji untuk ber-taqarrub dengan Allah Ta’ala. Jemaah haji yang sedang melaksanakan ibadah ini berada dalam suasana yang penuh khidmat dan kekhusyukan, merendahkan diri di hadapan Allah Ta’ala, mengakui segala dosa dan kesalahan, serta memohon ampunan dan rahmat-Nya.

Keutamaan hari Arafah ini juga tercermin dalam anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi umat Islam yang tidak berhaji untuk berpuasa pada hari tersebut, yang mana puasa Arafah diampuni dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Hal ini menunjukkan betapa besar rahmat dan ampunan Allah Ta’ala yang diberikan pada hari yang mulia ini, menjadikan wukuf di Arafah sebagai bagian dari momen puncak peribadatan seorang muslim.

Semoga Allah Ta’ala memberikan limpahan rezeki kepada kita dan memudahkan kita untuk mampu melaksanakan ibadah haji. Allahumma Amin. Wallahua’lam

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/95589-keutamaan-dan-keistimewaan-hari-arafah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi

Di antara syariat yang turun terakhir kali menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah perintah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada tahun kesembilan hijriyah, Allah menurunkan perintah tersebut. Dan pada tahun kesepuluh, beliau mengumumkan diri untuk berangkat haji. Mendengar kabar tersebut, berkumpullah manusia dari segala penjuru di kota Madinah. Di mana jumlah mereka tidak kurang dari 100 ribu orang. Mereka berangkat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melaksanakan haji pertama dan haji terakhir beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Makkah.

Hadis yang paling masyhur yang menggambarkan dan menceritakan dengan detail kisah perjalanan haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hadis riwayat sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Hadis yang sarat akan ilmu, pelajaran, dan ibrah bagi seluruh kaum muslimin.

Pada artikel kali ini, setidaknya akan kita sebutkan tiga pelajaran penting yang bisa kita petik dan kita amalkan, sehingga diri kita termasuk mukmin yang pandai mengambil ibrah dan pelajaran.

Pertama, Semangat sahabat dalam bertanya dan menuntut ilmu

Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan dan panutan kita dalam hal belajar dan menuntut ilmu. Bukan hanya laki-laki saja, para sahabat perempuan pun tidak kalah semangatnya untuk terus belajar dan mendalami ilmu agama Islam. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَثَ تِسْعَ سِنِينَ لَمْ يَحُجَّ ثُمَّ أَذَّنَ فِي النَّاسِ فِي الْعَاشِرَةِ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجٌّ ، فَقَدِمَ الْمَدِينَةَ بَشَرٌ كَثِيرٌ ، كُلُّهُمْ يَلْتَمِسُ أَنْ يَأْتَمَّ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَيَعْمَلَ مِثْلَ عَمَلِهِ ، فَخَرَجْنَا مَعَهُ ، حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : ( اغْتَسِلِي ، وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي )

“Sembilan tahun lamanya beliau menetap di Madinah, namun beliau belum haji. Kemudian beliau memberitahukan bahwa pada tahun kesepuluh, beliau akan naik haji. Karena itu, berbondong-bondonglah orang datang ke Madinah, hendak ikut bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk beramal seperti amalan beliau. Lalu, kami berangkat bersama-sama dengan beliau. Ketika sampai di Dzulhulaifah, Asma` binti Humais melahirkan puteranya, Muhammad bin Abu Bakar. Dia menyuruh untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apa yang harus dilakukannya (karena melahirkan itu). Maka, beliau pun bersabda, ‘Mandi dan pakai kain pembalutmu. Kemudian pakai pakaian ihrammu kembali.’” (HR. Muslim no. 1218)

Lihatlah bagaimana semangat para sahabat untuk belajar dan mencontoh amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka rela menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer menuju kota Madinah demi membersamai haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempelajari tuntunan-tuntunan haji yang sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepadanya.

Lihat juga bagaimana semangat sahabiyah Asma’ binti Humais tatkala dirinya mendapati satu permasalahan fikih yang belum diketahui hukumnya, maka beliau langsung bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga menjadi jelaslah bagi dirinya permasalahan tersebut. Dan beliau pun dapat melanjutkan rangkaian amal ibadah hajinya dengan perasaan tenang dan tanpa ada keraguan.

Kedua, Ibadah haji adalah bukti ketauhidan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah Ta’ala

Mereka yang sedang berangkat haji atau siapa pun yang hendak melaksanakan haji, hendaknya meluruskan niat di dalam hatinya. Tujuan perginya adalah semata-mata untuk menjawab panggilan dan seruan Allah kepada diri-Nya. Tidaklah ia berangkat haji hanya untuk gengsi, ingin dipanggil dengan gelar haji, ataupun niat-niat tidak ikhlas lainnya, karena Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)

Beberapa ahli tafsir mengatakan,

“Ketika Nabi Ibrahim telah selesai membangun Baitullah, malaikat Jibril mendatanginya, kemudian ia memerintahkan Ibrahim untuk menyeru manusia untuk melaksanakan ibadah haji. Maka, Ibrahim menaiki maqam dan berseru, ‘Wahai manusia sekalian, diwajibkan atas kalian ibadah haji di Baitullah, maka penuhilah panggilan Tuhan kalian, ‘Laabbaik Allahumma Labbaik.’” (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar)

Panggilan tersebut kita sambut dengan kalimat talbiyah, kalimat yang penuh ketauhidan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. ‘Abdullah bin ‘Umar menuturkan kepada kita bahwa talbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).” (HR. Bukhari no. 1549 dan Muslim no. 1184)

Sungguh, sebuah ucapan yang sangat mulia, ucapan yang sarat akan makna ketauhidan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Di dalamnya, seorang hamba mengakui bahwa tidak ada sekutu dan sesembahan selain Allah Ta’ala dan sesungguhnya segala kenikmatan datangnya dari Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, seorang jemaah haji hendaknya mengamalkan ikrar tersebut. Baik di dalam ibadah hajinya, maupun tatkala telah selesai dan pulang ke negerinya. Tidaklah ia beribadah, kecuali kepada Allah Ta’ala. Dan tidaklah ia meminta apa pun, kecuali kepada-Nya.

Ketiga, Khotbah perpisahan beliau yang sarat akan ilmu nasihat

Haji merupakan salah satu momen kebersamaan terakhir Nabi dengan para sahabatnya dan kaum muslimin, tidak berselang lama darinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat meninggalkan kita.

Pada hari Arafah, hari puncak pelaksanaan ibadah haji dan hari ketika seluruh kaum muslimin berkumpul, beliau berkhotbah dengan khotbah yang ringkas, namun cukup untuk menjelaskan pokok-pokok ajaran Islam yang telah beliau dakwahkan selama ini.

Di antara yang beliau sampaikan adalah:

Pertama: Kehormatan darah dan harta seorang muslim.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini.”

Kedua: Penekanan akan keharaman riba, baik di masa jahiliah maupun dalam syariat Islam.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah. Yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya, riba itu kuhapuskan semuanya.”

Ketiga: Perintah untuk saling menyayangi dan menghormati antara suami dan istri. Serta memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Kemudian jagalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu/kasurmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya, mereka pun punya hak atasmu. Yaitu, nafkah dan pakaian yang pantas.”

Keempat: Wasiat untuk senantiasa berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ ، كِتَابُ اللهِ

“Kuwariskan kepadamu sekalian suatu pedoman hidup, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, maka kalian tidak akan tersesat setelahnya, yaitu Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 1218)

Itulah tiga pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kisah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita semua dapat mengambil ibrah dan pelajaran darinya dan semoga Allah pertemukan kita semua dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di surga-Nya kelak. Amin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc. 

Sumber: https://muslim.or.id/95626-tiga-pelajaran-penting-dari-haji-nabi.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Bolehkah Perempuan Haid Wukuf di Arafah?

Bolehkah perempuan yang sedang haid melakukan wukuf di Arafah? Salah satu rukun haji yang harus dilakukan adalah wukuf di Arafah, wukuf di Arafah merupakan rukun yang sentral dalam ibadah haji. Sebagaimana hadits Riwayat Tirnidzi, Rasulullah SAW menyerukan:

الْحَجُّ عَرَفَةُ، مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ، 

Artinya: “Haji itu adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang telah datang untuk wukuf di Arafah pada malam sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah mendapati haji.” (HR.Tirmidzi 889)

Dalam penjelasannya, diterangkan bahwa inti dari haji dan sebagian besar rukun-rukunnya adalah wukuf di Arafah, karena haji tidak sah jika wukuf di Arafah terlewatkan. Hal ini juga sependapat dengan yang dikatakan oleh Syekh Izzuddin Abdul Salam yang mengatakan bahwa sahnya haji tergantung pada wukuf di Arafah. (Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfauri, Tuhfah al-Ahwadzi, juz 3, hal 540)

Namun kemudian terdapat pertanyaan, apakah boleh perempuan yang sedang haid melaksanakan wukuf di Arafah?

Untuk menjawab itu, perlu kiranya kita ketahui bahwa terdapat dua kewajiban utama dalam pelaksanaan wukuf di Arafah. Pertama, wukuf harus dilakukan pada waktu yang ditentukan, yaitu mulai dari tergelincirnya matahari pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga terbitnya fajar shadiq pada hari Nahar (10 Dzulhijjah). Kedua, wukuf harus dilakukan oleh orang yang dianggap ibadahnya (ahlan lil ‘ibadah). (Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, Kifayatul Akhyar, hal 214)

Sehingga seseorang tetap dikatakan telah melakukan wukuf meski ia hanya berada di wilayah Arafah sebentar saja, atau bahkan ketika ia hanya tidur di Arafah. Dengan begitu, maka perempuan yang sedang haid tidak terlarang untuk melakukan wukuf di Arafah. Ini karena dua kewajiban wukuf hanya mencakup batas waktu wukuf dan seseorang yang dianggap mampu untuk beribadah (ahlan lil ‘ibadah).

Kendati demikian, terdapat keterangan mengenai beberapa adab yang dianjurkan untuk dipenuhi oleh seseorang yang melakukan wukuf di Arafah, yaitu sebagaimana keterangan dalam kitab al-Idlah:

السابعة: الأَفضلُ أن يكونَ مُسْتَقْبلاً لِلْقِبْلَةِ مُتَطهِراً سَاتِراً عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدثاً أو جُنُباً أو حَائِضاً أوْ عَلَيْهِ نَجَاسَة أوْ مكشُوفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وقُوفُهُ وفَاتَتْهُ الفَضيلةُ

Artinya: “Kesunahan dan adab wukuf yang ketujuh: yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga jika seseorang wukuf dalam keadaan berhadast, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan” (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, hal 283)

Berdasarkan keterangan kitab tersebut, maka haid tidak menghalangi seseorang untuk melakukan wukuf. Karena suci dari hadats hanya merupakan adab, bukan syarat, walaupun itu berarti ia telah kehilangan keutamaan. Jika ia tidak takut kehilangan waktu wukuf, hendaknya ia menunggu dirinya suci.

Namun jika ditakutkan waktu wukuf segera habis, makai a boleh melakukan wukuf di Arafah meski dalam keadaan haid. Hal ini juga dikuatkan dengan keumuman hadits Rasulullah SAW, sebagai jawaban atas sayyidah Aisyah RA yang berada di Makkah sedang beliau dalam keadaan haid:

افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Artinya: “lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang haji, kecuali kamu tidak melakukan thawaf di Baitullah hingga kamu suci” (Muttafaqun ‘alaih)

Dilihat dari hadits tersebut, dapat dipahami bahwa ketika seorang perempuan sedang melakukan ibadah haji, namun ia dalam keadaan haid, maka dia boleh melakukan apa saja yang menjadi ritual haji, kecuali thawaf. Termasuk menunjukkan kebolehan dan keabsahan dalam melakukan wukuf di Arafah. Perempuan tersebut bisa melakukan ibadah yang diperbolehkan ketika haid seperti berdzikir, dan sebagainya selama ia wukuf di Arafah.

Demikian penjelasan mengenai hukum keabsahan wukuf di Arafah bagi perempuan haid. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG SYARIAH

Peran Jama’ah Haji Era Belanda dalam Perubahan Sosial di Indonesia

Kepulangan jama’ah haji juga membawa dampak signifikan dalam bidang sosial dan politik, di antaranya membangkitkan perlawanan pada penjajah Belanda

DALAM sejarah Islam di Indonesia, jama’ah haji memiliki peran penting dalam pembaharuan dan penyebaran Islam. Terkait hal ini, Drs. H. Aqib Suminto di majalah Panji Masyarakat No. 373 mengulas bagaimana interaksi dan pengalaman jama’ah haji selama perjalanan ke

 Makkah berkontribusi pada perubahan sosial dan religius di tanah air.

Ulasan ia diterbitkan dengan judul “Pembaharuan Islam di Indonesia Peranan Haji Abad XIX”. Berikut ini adalah analisis lebih panjang dan mendalam berdasarkan data dari tulisan tersebut.

Ia mengawali artikelnya dengan kajian historis yang mengatakan bahwa para sarjana Barat berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia melalui India pada abad XIII.

Pendapat ini didukung oleh bukti arkeologis dan sejarah yang menunjukkan adanya hubungan antara kerajaan Pasai dengan dunia Islam internasional.

Marco Polo, seorang penjelajah dari Venesia, mencatat keberadaan kerajaan Islam Pasai pada tahun 1292. Namun, Islam yang datang melalui jalur ini masih sangat bercampur dengan adat dan budaya lokal, menghasilkan bentuk Islam sinkretis yang mencampurkan ajaran Islam dengan tradisi lokal.

Sinkretisme ini tampak jelas dalam praktik keagamaan yang ada di Nusantara pada masa itu. Meskipun masyarakat memeluk Islam, banyak dari mereka yang tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan lokal.

Hal ini menyebabkan Islam yang dipraktikkan di Indonesia pada masa itu berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah, terutama dalam hal tauhid dan pemahaman dasar keislaman.

Peranan Haji dalam Pembaharuan

Perjalanan haji menjadi momen penting bagi umat Islam di Indonesia untuk berinteraksi langsung dengan pusat-pusat keislaman di

 Makkah dan Madinah.

Jama’ah haji yang kembali ke Indonesia membawa pemahaman Islam yang lebih murni dan otentik. Mereka memperoleh pengetahuan dari para ulama dan sarjana Islam di Tanah Suci, yang kemudian mereka sebarkan di Indonesia.

Dalam tulisannya, Aqib Suminto mencatat bahwa jama’ah haji sering kali menjadi agen pembaharuan di komunitas mereka. Mereka memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang mereka pelajari di

 Makkah dan Madinah, yang lebih sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks. Hal ini termasuk pemahaman yang lebih dalam tentang tauhid, syariat, dan ajaran Islam lainnya.

Kepulangan jama’ah haji juga membawa dampak signifikan dalam bidang sosial dan politik. Banyak dari mereka yang menjadi pemimpin masyarakat dan tokoh berpengaruh di daerah mereka.

Mereka menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapatkan selama haji untuk memperbaiki sistem sosial dan politik yang ada.

Sikap kritis dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam membuat mereka mampu melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Mereka mengajarkan pentingnya keadilan, kejujuran, dan integritas dalam pemerintahan dan kehidupan sosial. Hal ini berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih Islami dan berkeadilan.

Meskipun membawa perubahan positif, jama’ah haji juga menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Pemerintah kolonial Belanda sering kali melihat kegiatan haji sebagai ancaman potensial terhadap kekuasaan mereka.

Mereka khawatir bahwa interaksi dengan dunia Islam internasional akan membangkitkan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan.

Pada tahun 1859, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi jumlah jama’ah haji dengan alasan untuk mengontrol dan mengawasi mereka yang pergi haji.

Namun, langkah ini justru meningkatkan semangat dan tekad umat Islam untuk menunaikan ibadah haji, meskipun harus melalui jalur yang lebih sulit dan berbahaya.

Terkait hal ini, Dr. Deliar Noer dalam buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia” (1980: 30) juga mencatat;

“Bahaya lain yang dilihat Belanda pada Islam itu ialah sifat internasionalnya. Sifat ini di Indonesia tercermin dalam dua saluran: pertama dalam ibadah haji yang menyuruh penganut-penganut Islam dari seluruh bagian dunia untuk berkumpul di Makkah sekurang-kurangnya sekali setahun. Gambaran lain dari sifat internasional Islam itu terdapat pada kedudukan khalifah.”

Jadi, haji dianggap hal membahayakan oleh kolonial Belanda.

Lebih lanjut, Deliar juga menandaskan sekitar tahun 1804, pergerakan Paderi di Minangkabau yang dipicu oleh kedatangan pemimpin-pemimpin yang baru pulang dari  Makkah membawa pemikiran-pemikiran baru, menjadi hal yang perlu diwaspadai oleh Belanda.

Gerakan Paderi tersebut memang dimulai dengan kembalinya beberapa tokoh yang telah menimba ilmu di

 Makkah. Keyakinan bahwa orang-orang haji ini bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan Belanda di Nusantara mungkin diperkuat oleh kenyataan bahwa banyak pemberontakan di Indonesia dipimpin oleh mereka yang telah melaksanakan rukun Islam kelima.

Perlawanan terakhir yang signifikan dari penduduk Indonesia terhadap Belanda datang dari Aceh, wilayah di mana pada zaman kapal layar, orang-orang sering berkumpul selama berbulan-bulan sebelum berangkat ke Tanah Suci. Aceh juga menjadi tujuan pertama bagi mereka yang baru pulang dari ibadah haji.

Dalam sudut pandang kolonial, mereka dinilai membahayakan; tapi pada saat bersamaan mereka telah membawa dampak positif bagi pembaharuan Islam, penyebaran Islam, bahkan usaha konkret dengan semangat jihadnya untuk melawan penjajahan.

Senada dengan fakta tersebut, C. Poensen, scorang tokoh missionaris Kristen di Jawa Tengah pernah berujar:

“Tanah Arab bukan saja merupakan pusat untuk menyatukan jemaah-jemaah haji yang taat, melainkan juga pusat untuk menyatukan politisi-politisi dan pemimpin-pemimpin berbagai bangsa-bangsa Islam yang berkumpul di sana dan yang juga membicarakan kepentingan-kepentingan dan rencana-rencana politik mereka; di sanalah mereka tukar-menukar pendapat, dan jemaah-jemaah yang pulang pun dibekali dengan kitab-kitab yang meningkatkan perasaan agama dan kesadaran beragama—hal-hal yang harus dianggap mencurigakan bagi kepentingan jaminan keamanan dan ketertiban di kalangan orang-orang Islam yang berada di bawah pemerintahan Kristen.”

Sebagai tambahan data, bila dilihat secara historis, pembaharuan Islam di Indonesia memang sangat kental dengan pengaruh jamaah haji yang menimbah ilmu di

 Makkah.

Bahkan di antara mereka menjadi penyalur dari gerakan pembaharuan yang kala itu mencuat di Mesir. Di antara contohnya adalah KH. Ahmad Pendiri Muhammadiyah.

Terkait ia, Syafiq Mughni dalam buku “Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal” (1980: 7) mencatat;

“Pergerakan yang menyerukan faham kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah itu timbul pula di kalangan masyarakat Jawa. Faham itu dikembangkan oleh Ahmad Dahlan setelah perjalanannya ke Mekah pada tahun 1902 dan mendapatkan pengaruh dari ajaran salaf, sebagaimana hasil karya Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyyah, juga dari majalah Al-'Urwatul Wutsqa dan Tafsir Al-Manar, maka sejak tahun 1905 ia mulai mengemukakan fikiran-fikirannya yaitu kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pada akhirnya ia mengorganisasi gerakan tersebut dengan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.”

Gerakan Al-Irsyad dengan tokoh Syeikh Ahmad Syurkati, demikian juga Tuan A. Hassan dengan gerakan Persisnya, juga terpengaruh dengan gerakan-gerakan dari Mesir itu yang informasinya di antaranya didapat melalui majalah yang dikirim melalui jamaah haji atau memang bersinggungan langsung dengan yang pernah menimba ilmu saat di

 Makkah.

Dari beberapa keterangan tersebut, jelaslah bahwa peran jama’ah haji dalam pembaharuan Islam di Indonesia. Mereka tidak hanya membawa pemahaman ajaran Islam, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam bidang sosial dan politik.

Pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh selama haji membantu memperkuat ortodoksi Islam dan mengurangi pengaruh sinkretisme di Indonesia.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah kolonial, jama’ah haji terus berjuang untuk menunaikan ibadah haji dan membawa perubahan positif bagi masyarakat Indonesia.

Peran mereka dalam pembaharuan Islam di Indonesia pada abad XIX menunjukkan betapa pentingnya perjalanan haji yang tak terbatas pada sisi ritual tapi juga memperkuat dan menyebarkan ajaran Islam yang lebih murni dan otentik.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

22 Jamaah Haji Indonesia yang Ditangkap Polisi Arab Dibebaskan

Jamaah haji harus memperhatikan kelengkapan dokumen.

Sebanyak 22 jamaah calon haji (Calhaj) Indonesia dari 24 orang yang ditangkap aparat kepolisian Kerajaan Arab Saudi beberapa waktu lalu dinyatakan tidak bersalah. Hal ini disampaikan Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Yusron B Ambany. 

Dia mengatakan, pihaknya mendampingi proses pemeriksaan 24 orang yang sebelumnya ditangkap di Masjid Bir Ali, Madinah, Selasa (28/5/2024). Namun, sopir dan pemilik busnya ditahan di Madinah, yaitu MH dan JJ. 

Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata dia, 22 orang  ini merupakan jamaah yang ingin melaksanakan ibadah haji dengan biaya sebesar Rp 25-150 juta kepada koordinatornya. 

“Mereka sudah diproses oleh Kejaksaan Saudi. Hasil dari pemeriksaan, 22 orang dibebaskan,” ujar Yusron saat dihubungi, Kamis (29/5/2024).

Dia mengatakan, 22 orang jamaah itu saat ini masih berada di Arab Saudi dan statusnya masih belum melaksanakan ibadah haji. Karena tidak menggunakan visa haji, mereka pun disarankan untuk pulang ke Tanah Air. 

“Skema yang banyak ditawarkan paket haji Furuda dan macam-macam, faktanya mereka bukan dapat visa haji tetapi visa ziarah,” ucap dia.  

Yusron menjelaskan, pemerintah Arab Saudi saat ini terus berusaha memperbaki penyelenggaraan ibadah haji dan menciptakan inovasi baru dalam pelayanan. 

“Artinya adalah, tasreh menjadi sangat penting untuk mempersiapkan berapa orang yang harus dilayani, sampai ulama Saudi menyatakan bahwa haji tanpa tasreh itu dosa, Menteri Haji sudah bilang barang siapa berhaji tanpa tasreh haji, hajinya tidak sah,” kata dia. 

Masuknya haji ilegal ke Makkah dampaknya sangat besar. Karena itu, saat ini pemerintah Arab Saudi juga sudah memperketat akses masuk dari Madinah ke

 Makkah. Aparat kepolisian Arab Saudi menggelar razia di beberapa titik. 

“Dampaknya sangat besar. Kalau misalnya ada 100 ribu atau 200 ribu haji gelap akan ganggu ibadah haji secara keseluruhan,” jelas Yusron.

Sebelumnya, 24 orang jamaah pemegang visa non haji asal Indonesia diamankan aparat kepolisian Kerajaan Arab Saudi, Selasa (28/5/2024) pukul 12.00 Waktu Arab Saudi (WAS). Mereka diamankan setelah kedapatan tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen perhajian ketika Miqat di Bir Ali, Madinah. 

Saat diamankan, petugas haji yang selesai melaksanakan Shalat Dzuhur melihat ada keganjilan. Pasalnya, pada jam-jam tersebut tidak ada jadwal kedatangan jamaah haji Indonesia ke Bir Ali untuk mengambil Miqat.

Petugas pun langsung mengecek ke dalam bus. Ketika ditanya, mereka mengaku jamaah haji furoda. 

Karena jamaah Furoda bukan bagian dari kuota jamaah Indonesia, maka petugas tidak langsung menanyakan kelengkapan dokumen. “Kami tanya, mereka jawab jamaah furoda sehingga kami tidak tanya, apa dibawa apa tidak (dokumen-dokumen). Tapi informasi dari Masyariq mereka pakai visa umroh,” ujar Kepala Sektor PPIH Bir Ali, Aziz Hegemur di Madinah, Rabu (29/6/2024). 

IHRAM

Jamaah Haji Dilarang Bentangkan Spanduk dan Bendera di Kawasan Masjid

Jamaah haji merupakan tamu Allah.

Oleh Muhyiddin dari Arab Saudi

Kementerian Agama (Kemenag) RI kembali mengingatkan kepada calon jamaah haji (calhaj) Indonesia untuk mengindahkan sejumlah larangan yang telah ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Di antaranya adalah tidak membentangkan spanduk dan bendera, khususnya di Kawasan Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram  Makkah

“Jamaah dilarang membentangkan spanduk atau bendera yang menunjukkan identitas personal atau kelompok tertentu di dalam maupun di luar kompleks masjid,” ujar anggota Tim Media Center Kemenag, Widi Dwinanda beberapa waktu lalu.

Pemerintah Arab Saudi melarang keras pengibaran spanduk, bendera, atau penanda penanda tersebut, termasuk membentangkan bendera merah putih sekalipun. Tidak hanya itu, dia juga mengingatkan agar calhaj Indonesia untuk tidak merokok di sembarang tempat. 

“Jamaah dilarang merokok di kawasan masjid dan tempat tertentu yang ditetapkan otoritas setempat, karena merokok di area terlarang bisa menjadi masalah serius bagi jamaah, di antaranya akan dikenakan denda yang cukup besar oleh pihak berwenang,” ucap Widi. 

Selanjutnya, Widi juga mengingatkan kepada calhaj Indonesia untuk tidak berkerumun lebih dari lima orang. Menurut dia, askar masjid tidak akan segan membubarkan kerumunan tersebut karena berpotensi mengganggu pergerakan jamaah lainnya.

“Saudi menerapkan aturan ketat bagi jamaah yang ketahuan berkerumun lima orang atau lebih dalam jangka waktu yang lama,” kata Widi. 

Sedangkan kepada ketua kloter, perangkat kloter, serta para kelompok bimbingan ibadah haji dan umroh (KBIHU), Kemenag mengimbau agar terus memberikan edukasi kepada jamaahnya perihal ketentuan-ketentuan yang dutetapkan oleh pemerintah Arab Saudi.

Calon jamaah Indonesia yang telah diberangkatkan pada gelombang pertama saat ini masih berada di Madinah. Setelah sembilang hari berada di Madinah, mereka akan menuju Makkah pada 23 Mei 2024 mendatang untuk melaksankan puncak Haji 2024. Widi pun mengimbau kepada calon jamaah Indonesia untuk tetap menjaga kesehatan. 

“Jamaah menjelang keberangkatan ke kota

 Makkah untuk umroh wajib, jamaah haji agar bersiap diri dengan menjaga kesehatan, memperhatikan asupan makanan dan gizi yang cukup. Dan prioritaskan ibadah wajib dan membatasi ibadah sunah yang akan menguras ketahanan fisik,” jelas Widi. 

Selain itu, Kemenag juga mengingatkan bahwa jamaah haji bila ingin beribadah di Masjid Nabawi untuk tetap memperhatikan hal-hal berikut, yaitu mencatat nama dan nomor hotel, memberitahu dan mencatat nomor kontak petugas PPIH di hotel, serta tetap mengenakan identitas pengenal, terutama gelang jamaah. 

“Jangan tukar menukar gelang dengan jamaah lainnya dan pergi serta pulang secara berkelompok. Jangan sungkan juga untuk meminta bantuan petuags selama di Asrama haji, dalam penerbangan hingga di Tanah suci. Petugas haji Indoensia akan siap siaga membantu dan melayani jamaah haji,” kata Widi.

IHRAM

Sejarah Perintah Haji (1)

Sudah mafhum bahwa, ibadah haji merupakan bentuk rukun Islam yang ke lima. Ibadah haji adalah perjalanan mendatangi Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan serangkaian ibadah pada bulan Dzulhijjah, dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Nah berikut tentang sejarah perintah haji. 

Kewajiban dalam melaksanakan ibadah haji, disandarkan kepada kaum muslimin yang mampu. Dalam hal ini, melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya bagi umat Islam yang mampu dan minimal seumur hidup sekali. Allah Swt. berfirman:

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

Artinya: “Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).

Yang jelas, kata mampu di sini mempunyai arti yang cukup luas, yaitu mampu secara jasmani maupun secara rohani. Selain itu, mampu di sini juga berarti mampu secara finansial yakni bermakna memiliki dana yang cukup untuk menjalankan ibadah haji.

Kesuksesan dalam ibadah haji bukan hanya didasarkan pada unsur ritualnya itu sendiri, melainkan melibatkan unsur-unsur di luar aspek ritual (agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik), sehingga pulang membawa predikat haji yang mabrur.

Oleh sebab itu, ibadah haji juga disebut sebagai ibadah yang unique (unik). Dalam hal ini, pelaksanaan ibadah haji tidak semata-mata didasarkan pada unsur ritualnya saja, melainkan pelaksanaan ibadah haji melibatkan unsur-unsur lain di luar aspek ritualnya.

Sejarah Perintah Haji

Secara bahasa, haji berasal dari kata “Al-Hajju” yang memiliki arti “menyengaja”, “menuju” atau “mengunjungi”, adapun secara istilah mempunyai arti “berkunjung ke Baitullah” dan “tempat-tempat tertentu” untuk melaksanakan serangkaian ibadah yang telah ditentukan waktunya, dilaksanakan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, untuk memenuhi perintah Allah Swt. dan mengharapkan ridha-Nya.

Berbeda dengan Haji dalam istilah fikih yang memiliki makna “perjalanan umat Islam menuju Ka’bah guna menjalankan ritus keagamaan dengan cara dan waktu yang telah ditetapkan”. Jadi bisa disimpulkan haji merupakan sebuah perjalanan ke Baitullah atau Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu: ihram, tawaf, sa’i, wukuf di Padang Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah, tahallul dan dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dengan syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.

Syahdan. Perintah untuk melaksanakan ibadah haji tidak hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad Saw. Jauh sebelum itu, ibadah haji telah diperintahkan kepada Nabi dan Rasul-Rasul terdahulu. Sebagian riwayat menyatakan bahwa orang yang pertama kali melaksanakan ibadah haji adalah Nabi Adam As.

Beberapa riwayat menyebutkan, Ka’bah pertama kali dibangun oleh Malaikat, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Adam As. Beberapa sumber menunjukkan bahwa, Nabi Adam As. Sudah melaksanakan ibadah haji dengan cara tawaf sebanyak 7 putaran setelah membangun Ka’bah.

Nabi Ibrahim As. diperintahkan Allah Swt. Untuk membangun kembali Ka’bah yang runtuh. Setelah pembangunan Ka’bah selesai, Ibrahim As. Diperintahkan oleh Allah Swt. Untuk menyeru umat manusia agar melaksanakan haji ke Baitullah. Ibrahim As. beserta puteranya terlebih dahulu melaksanakan haji.

Mereka berdua memulai ibadah haji dengan melakukan tawaf sebanyak 7 kali yang pada setiap putarannya mengusap rukn atau sudut Ka’bah. Sehabis tawaf, mereka melaksanakan shalat, kemudian dilanjutkan dengan melakukan sa’i atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah.

Orang Arab masa jahiliah, masa sebelum Nabi Muhammad juga memelihara tradisi Nabi Ibrahim melaksanakan ibadah haji, meski dengan cara yang berbeda. Pada masa Rasulullah Saw., ibadah haji baru disyariatkan atau diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriah, atau kurang lebih enam tahun sejak nabi Muhammad Saw. Hijrah dari Makkah ke Madinah.

Nabi Muhammad Saw. baru melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-9 Hijriah, atau sekitar 3 bulan sebelum wafatnya. Masa Rasulullah inilah, pelaksanaan ibadah haji dilakukan secara lengkap dengan syarat, rukun dan wajib haji, seperti tawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah, tahallul, dan ihram. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Jamaah Haji Lansia Kerap Alami Demensia, Apa Itu dan Bagaimana Gejalanya?

Demensia yang dialami jamaah lansia dipicu beragam penyebab.

Sejumlah calon jamaah haji Indonesia, utamanya mereka yang lanjut usia (di atas 65 tahun), disinyalir mengalami gejala demensia ketika berada di Tanah Suci  dengan gejala penurunan kemampuan berpikir dan ingatan seseorang.

Hingga hari ke-10 proses kedatangan jamaah gelombang pertama ke  Madinah, petugas haji kerap menemukan jamaah lansia yang lupa arah jalan pulang, bahkan lupa nama keluarga atau di mana dia berasal. Kondisi ini sangat dimungkinkan mengingat jamaah lansia pada musim haji tahun ini cukup banyak, mencapai sekitar 45 ribu orang.

Kepala Seksi Layanan Lansia, Disabilitas, dan PKP3JH (Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama pada Jamaah Haji) Dokter Leksmana Arry Chandra mengatakan ada peserta lansia yang mengalami demensia saat sedang menunaikan ibadah haji, baik lupa nama, keluarga, atau merasa dirinya masih berada di kampung halaman.

“Gangguan ini secara umum dipicu oleh dua hal, baik karena faktor sosial atau psikososial, maupun faktor pribadi atau psikologis. Selain itu juga dipicu oleh faktor biologis,” kata dokter yang sehari-hari bertugas di Daerah Kerja (Daerah Kerja)  Madinah, Selasa (21/5/2024).

Gangguan ini, kata Leksmana, biasanya dipicu faktor genetik. Mereka sudah memiliki potensi gangguan kejiwaan, kemudian kambuh lagi setibanya di Arab Saudi.

Demensia biasanya diikuti dengan gangguan cara berpikir, seperti disorientasi tempat, waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Gejala yang bisa terlihat di awal biasanya seperti mudah lupa, terutama untuk kejadian-kejadian yang baru saja dialami.

Kemudian, sulit mempelajari hal baru, sulit konsentrasi, termasuk sulit mengingat waktu dan tempat, terutama setelah mereka berpindah dari kampungnya.

Bahkan tim Media Center Haji (MCH) sering menemukan jamaah yang menunggu di pinggir jalan sendirian. Ketika dievakuasi mereka beranggapan masih berada di kampung halaman. Bahkan ada peserta lansia beranggapan tengah menanti angkutan kota (angkot) untuk pulang ke rumah ketika ditanya tim MCH.

“Jamaah yang mengalami demensia perlu diberikan stimulasi kognitif. Misalnya dengan mengajak pasien ngobrol dan bersosialisasi atau melakukan pendampingan terhadap pasien untuk mencegah terjadinya demensia,” katanya.

Setelah pasien pulih, tetap perlu pendampingan. Sebab, demensia sewaktu-waktu bisa muncul terutama disebabkan kelelahan dan dehidrasi. Bagi jamaah lansia sangat disarankan beristirahat yang cukup dan tidak memaksakan diri beraktivitas di luar kegiatan ibadah haji.

Senada dengan Leks, Kepala Seksi Kesehatan Haji Indonesia Daker  Madinah Karmijono mengatakan demensia yang dialami jamaah lansia dipicu beragam penyebab, antara lain kekurangsiapan jamaah lansia untuk perjalanan jauh, terutama yang berangkat tanpa pendamping, stres karena pertama kali naik pesawat, duduk dalam waktu lama bukan dengan keluarga, menahan haus, lapar, dan buang air kecil.

“Pemicunya banyak. Lansia mungkin mengalami ketakutan di pesawat, tapi mereka tidak mengungkapkan perasaannya sehingga membuat lansia stres dan memicu munculnya demensia,” katanya.

Kemampuan berpikir dan adaptasi lansia yang cenderung menurun, kata dia, berpengaruh terhadap daya adaptasi dan fleksibilitas terhadap lingkungan baru.

“Mereka sulit mengatasi masalah. Untuk penyebab pasti tergantung jenis demensia, karena ini sindroma otak progresif. Terlihat dengan gejala memori, perubahan perilaku, dan lain-lain. Tapi sebenarnya bergantung juga pada kepribadian masing-masing lansia,” tuturnya.

Lansia yang memiliki penyakit organik sebelumnya seperti gula atau hipertensi, juga berisiko untuk alami demensia, terutama bila tidak rutin minum obat.

Karmijono menekankan masyarakat yang memiliki keluarga lansia yang akan berangkat berhaji untuk mempersiapkan mental orang tua jauh-jauh hari. Mereka diajak bersosialisasi dengan rekan-rekan satu rombongannya agar sudah mengenal sejak di Tanah Air.

“Pada saat manasik dan bimbingan seharusnya lansia sudah disiapkan mentalnya. Diberitahu bahwa akan melakukan perjalanan jauh. Diakrabkan dengan rekan satu rombongannya. Jika sudah ada kenalan sebelum perjalanan, mereka kemungkinan tidak akan stres karena ada teman bicara,” kata Karmijono.

Dia juga mengingatkan jamaah lansia tidak langsung melaksanakan ibadah saat tibanya di Tanah Suci. Jamaah sebaiknya beristirahat terlebih dulu dan makan makanan yang bergizi.

Keluarga pendamping atau rekan sekamar juga diminta untuk sering-sering menyapa dan mengajak berbincang.

“Mereka sensitif. Ketua rombongan sebaiknya menciptakan suasana kelompok yang saling mendukung sehingga lansia tidak merasa sendiri,” katanya.

IHRAM

Kementerian Haji Saudi Luncurkan Kartu Pintar ‘Nusuk’ untuk Jamaah

Jamaah yang tak membawa kartu Nusuk akan menghadapi hukuman.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi meluncurkan kartu pintar ‘Nusuk’ yang wajib dibawa oleh jamaah haji yang akan melakukan ibadah haji ke negara itu.

Menurut keterangan tertulis Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi yang diterima di Jakarta, Jumat (10/5/2024), Kementerian meluncurkan dua versi kartu pintar ‘Nusuk’, salah satunya adalah versi kertas untuk dibawa oleh jamaah. Sedangkan versi lainnya adalah versi digital yang dapat diakses dengan memindai kode pada kartu kertas dengan menggunakan kamera ponsel pintar.

Kementerian menegaskan, semua individu yang ingin masuk ke tempat-tempat suci, terutama jamaah haji 2024, wajib memiliki kartu pintar tersebut. Persyaratan itu berlaku bagi jamaah haji serta penyelenggara yang mengurus urusan jamaah dan pekerja tanpa terkecuali.

Pihak Kementerian juga mengatakan pelanggar akan menghadapi hukuman serupa dengan pelanggaran peraturan dan instruksi Haji.

Mereka juga menegaskan bahwa individu yang tidak memiliki kartu tersebut akan ditolak masuk ke tempat-tempat suci, sekaligus juga membedakan antara jamaah yang patuh dan tidak patuh.

Kementerian menyatakan bahwa kartu tersebut memfasilitasi pergerakan jamaah dan memberikan peringatan mengenai tanggal keberangkatan. Selain itu, jamaah dapat menggunakan kartu itu untuk mengevaluasi dan mengajukan keluhan tentang layanan haji.

Pihak Kementerian juga menyampaikan agar para calon jamaah tidak terpengaruh dengan kampanye haji yang diiklankan di platform media sosial di berbagai negara.

Kementerian menegaskan ibadah haji hanya diperbolehkan melalui perolehan visa haji yang dikeluarkan otoritas terkait di Kerajaan Arab Saudi yang berkoordinasi dengan kantor urusan haji di masing-masing negara. Bagi negara yang tidak memiliki kantor urusan haji atau misi haji, para calon jamaah bisa memperoleh visa haji melalui platform ‘Nusuk Haji’.

IHRAM

Peluncuran Senam Haji 2024 Dilakukan Secara Massal, Ikhtiar Bugarkan Jasmani Jamaah

Kemenag lakukan persiapan jelang pelaksanaan haji

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) melaunching senam haji Indonesia secara massal di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Ahad (28/4/2024). Senam haji ini diikuti ribuan calon jamaah haji (Calhaj) se-DKI Jakarta, serta dari berbagai provinsi lainnya. 

Berdasarkan pantauan Republika.co.id di lokasi, senam haji dimulai sekitar pukul 08.00 WIB. Meskipun matahari mulai meninggi, calon jamaah haji tampak semangat mengikuti senam haji ini, termasuk calon jamaah lanjut usia (lansia). 

Salah satu calon jamaah (Calhaj) dari kloter Jakarta Timur, Atis (47 tahun) tidak peduli dengan terik matahari. Ia terus mengikuti senam yang dipandu oleh instruktur-instruktur yang telah dipersiapkan Kemenag. 

“Gak apa-apa panas (panas-panas) di sini, agak seger. Karena, nanti di sana jauh lebih panas katanya. InsyaAllah kuat sampai Makkah,” ujar Atis. 

Atis sendiri mulai mendaftar haji sejak 2013 lalu. Ia akan mulai masuk Asrama Haji Pondok Gede pada 24 Mei 2024 mendatang. Keesokan harinya baru akan diberangkatkan ke Tanah Suci. 

“Sekarang ini lagi manasik massal juga. Dengan adanya semam ini agak segar. Pergelangan yang kaku juga bisa lemes dan bisa menjaga ketahanan fisik kita nanti, doain lancar ya,” ucap Atis. 

Kegiatan yang dipusatkan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta ini diikuti lebih dari 28 ribu jamaah haji Indonesia, baik secara luring dan daring. 

Sekretaris Jenderal Kemenag, M Ali Ramdhani, mengatakan launching senam haji ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk menjaga kebugaran jemaah haji, sehingga jamaah Indonesia bisa melaksanakan rangkaian ibadah haji dengan lancar, sehat dan bugar. 

“Harapannya melalui senam ini jamaah haji Indonesia ini dapat senantiasa terjaga kebugaran dan kesehatannya, sehingga ketika melaksanakan ibadah dapat lebih khusuk,” kata Ramdhani. 

Pria yang akrab dipanggil Kang Dhani ini menjelaskan, gerakan Senam Haji Indonesia pertama kalinya akan diterapkan jamaah Indonesia. Senam ini dikemas untuk menjaga kebugaran dan ketahanan fisik jamaah. 

“Gerakan senam ini disusun berdasarkan kajian dan penelitian para pakar kesehatan agar bisa diterapkan untuk semua jamaah,” jelas dia. 

Di tempat yang sama, Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief menambahkan, senam haji ini dirumuskan oleh tim Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia (Perdokhi) dan Perhimpunan Dokter Spesialias Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Perdosri) dengan gerakan low impact.

“Perdokhi sudah mengatur sedemikian rupa, bisa diterapkan di rumah hingga saat perjalanan di pesawat ke tanah suci. Jenis senamnya low impact, bukan aerobik, yang menguras tenaga,” kata Hilman.

Launching senam haji ini juga dihadiri langsung Ketua Umum Perdokhi sekaligus pencipta senam haji, dr Syarief Hasan Luthfie. 

Menurut dia, senam haji ini dirumuskan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bersama dua dokter spesialis ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi lainnya, yaitu dr Irma Ruslina Defi dan dr Rifky Mubarak. 

Menurut dr Syarief, senam haji ini bisa dilakukan sejak jamaah berada di tanah air, saat berada di dalam pesawat, sampai ke tanah suci. Sehingga, jamaah bisa menghindari komplikasi yang diakibatkan duduk terlalu lama, seperti kekakuan otot maupun penyumbatan pembuluh darah. 

“Jadi jangan lupa sebelum keberangkatan, sampai dengan keberangkatan maupun kepulangannya tetap dilakukan olahraga ini agar tetap menjadi optimal dalam kekuatan fisiknya,” pesan dr Syarief kepada calon jamaah. 

IHRAM