6 Rahasia Keberkahan Umur Panjang Ala Rasulullah Saw

Salah satu nikmat terbesar setelah nikmat iman dan Islam adalah nikmat waktu. Kesibukan dunia telah banyak melalaikan manusia sehingga tidak sadar bahwa waktu terus berjalan, usia semakin bertambah, dan jatah umur semakin berkurang.

Orang baru tersadar bahwa ia telah menghabiskan waktu dan umur yang panjang manakala kulit mulai mengendur, gigi mulai tanggal, warna putih mulai tampak di rambutnya, dan berbagai keluhan dan penyakit mulai rajin menghampirinya. Alhamdulillah, itu pun masih lebih baik karena masih banyak pula orang yang meskipun sudah ditimpa berbagai ujian dan cobaan, penyakit dan derita tidak membuatnya sadar juga. Na’udzubillahi min dzalik.

Allah SWT mengingatkan akan pentingnya waktu dalam surat pendek yang sejak kecil sudah kita hafal lafadznya, namun sering kali kita lupa untuk men-tadabbur-inya yaitu Surah Al ‘Ashr ayat 1-3. Allah ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr 1-3).

Surat ini ringkas, namun memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka. (Tafsir Ibnu Katsir 8/499).

Bolehkah Meminta Dipanjangkan Umur?

Berbicara mengenai waktu maka tak bisa lepas dari umur manusia. Umur atau usia merupakan rangkaian waktu dari sejak kita lahir sampai nanti kita dipanggil oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Umur merupakan bagian dari rahasia Allah. Setiap manusia memiliki jatah umur masing-masing. Abdullah bin Busr ra berkata:

أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ؟ قَالَ: مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ

Seorang arab badui berkata; Wahai Rasul siapakah manusia yang terbaik? Maka Rasul saw bersabda: Siapa yang panjang usianya dan baik amalnya. (HR. at-Turmudzi)

Jika manusia yang terbaik adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya, maka akan timbul pertanyaan, bolehkah kita meminta kepada Allah Subhanahu Wata’ala diberikan umur yang panjang? Maka jawabannya adalah tidak saja boleh, namun hal ini justru dicontohkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana dalam sebuah hadis:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: يَا رَسُوْلَ الله، أَنَسٌ، اُدْعُ اللهَ لَهُ، قَالَ: اَللَّهُمَّ أَطِلْ عُمْرَهُ، وَأَكْثِرْ مَالَهُ، وَاغْفِرْ لَهُ

“Dari Anas bin Malik, ia berkata: Ummu Sulaim (ibunda Anas bin Malik) berkata kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, doakanlah Anas. Rasululullah kemudian berdoa: Ya Allah, panjangkanlah umurnya, perbanyaklah hartanya, dan ampunilah ia.” (HR. ath-Thabrani)

Dalam sebuah hadis riwayat shahabat Amr bin Maimun ra, Rasul saw juga mengajarkan untuk selalu membaca doa:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut, dan aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang hina (pikun), dan berlindung dari fitnah dunia serta berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR. al-Bukhari).

Meraih Keberkahan Umur Panjang

Para shahabat radhiyallahu’anhum memiliki perhatian yang begitu besar terhadap bertambahnya usia, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud: “Aku tidak pernah menyesal atas sesuatu melebihi penyesalanku atas terbenamnya matahari dan kurangnya ajalku serta tidak bertambahnya amalku.”

Rasulullah saw juga mewanti-wanti kita akan potensi usia yang bisa melalaikan kita, sebagaimana sabdanya:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ

“Dua nikmat yang banyak dilupakan oleh kebanyakan manusia yaitu sehat dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari)

Rasul saw juga berpesan kepada kita semua untuk menjaga lima perkara sebelum datangnya lima perkara, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra, Rasul saw bersabda: Jagalah lima sebelum lima, masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu. (HR. al-Hakim).

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis nabi tersebut di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa umur yang terbaik adalah umur yang barokah, yaitu umur yang setiap kali bertambah senantiasa diiringi dengan bertambahnya amalan dan ketaatan kepada Allah swt. Ibarat ilmu padi, makin tua makin merunduk, makin tua makin berisi, berisi dengan ketebalan iman, keindahan akhlak, dan kekayaan amal shalih.

Dalam al-Qur’an dan hadis nabi, Allah swt dan Rasul-Nya mengajarkan kepada kita semua bagaimana cara meraih keberkahan dalam usia kita, yaitu:

Pertama, Meningkatkan Iman Dan Takwa

Keberkahan dalam umur dapat kita raih dengan senantiasa meningkatkan iman dan takwa kepada Allah swt, kemudian menjaganya agar tetap istiqamah.Allah swt berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.al-A’raf: 96).

Kedua, Memperbanyak Istighfar

Keberkahan umur akan kita raih dengan senantiasa memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah swt.Allah berfirman:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”. (QS.Hud: 3).

Ketiga, Banyak Berdoa

Keberkahan umur akan kita peroleh dengan banyak berdoa kepada Allah swt dan memperbanyak amal kebaikan, khususnya dengan banyak berbakti kepada orang tua kita. Dari Salman ra, Rasul saw bersabda:

لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمْرِ إِلَّا البِرُّ

Tidak ada yang menolak qadha kecuali do’a dan tidak ada yang menambah umur kecuali berbakti. (HR. at-Turmudzi).

Keempat, Silaturahmi

Cara untuk mendapatkan keberkahan dalam usia kita adalah dengan memperbanyak silaturrahim, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik ra, Rasul saw bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang hendak di luaskan rizkinya dan diberi keberkahan dalam usianya hendaknya dia menyambung tali silaturrahim.” (HR. Muslim).

Kelima, Menghidupkan Waktu Pagi

Di antara rahasia berikutnya untuk meraih keberkahan umur adalah dengan cara menghidupkan waktu pagi. Dalam yang diriwayatkan shahabat Sakhr al-Ghamidiy ra, bahwa Rasul saw melantunkan suatu doa bagi ummatnya: “Ya Allah, berikanlah keberkahan pada umatku di waktu paginya.” (HR.Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).

Keenam, Menjaga Hubungan Bertetangga

Rahasia terakhir untuk mendapatkan keberkahan umur adalah dengan menjaga hubungan bertetangga secara baik.Hal ini telah dijelaskan dalam hadits dari Aisyah ra, Rasul saw bersabda:

وَصِلَةُ الرَّحِمِ، وَحُسْنُ الْخُلُقِ، وَحُسْنُ الْجِوَارِ، يُعَمِّرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِيدَانِ فِي الْأَعْمَارِ

“Menyambung tali silaturrahim, berbudi pekerti yang baik, bertetangga dengan baik keduanya memakmurkan tempat tinggal dan menambah dalam umur.” (HR. Ahmad)

Demikianlah enam hal yang dapat kita lakukan untuk mendapatkan keberkahan dalam usia kita berdasarkan tuntunan dari Allah swt dan Rasul-Nya. Semoga kita semua dimasukkan oleh Allah swt dalam golongan orang-orang yang tetap istiqamah dalam kebaikan dan mendapatkan keberkahan di sepanjang hayat kita.

ISLAM KAFFAH

Ketika Bekerja Dilandasi Keimanan dan Ilmu Pengetahuan

Bekerja dengan dilandasi keimanan dan ilmu pengetahuan merupakan sebuah kombinasi ideal yang membawa banyak manfaat bagi individu dan masyarakat.

Kita tahu Islam adalah agama ilmu di samping agama iman dan amal. Tiap-tiap ajarannya dapat diamalkan secara benar dan baik hanya bila didukung oleh ilmu. Itu sebabnya, menurut pandangan agama ini, sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan yang hakiki adalah Allah Swt.

Dia menurunkan dua macam sumber kebenaran. Pertama, adalah wahyu, bisa ditemukan pada ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, hukum keteraturan alam atau sunnatullah, yaitu takdir yang ketetapannya di alam ini mungkin dapat diketahui secara objektif.

Syahdan, untuk memahami wahyu (al-Qur’an) maka dibutuhkanlah metode penafsiran. Sedangkan untuk memahami keteraturan alam dengan hukum-hukumnya, maka metode penelitian empiris dan rasional yang dibutuhkan. Kebenaran hasil penafsiran terhadap wahyu dan hasil penelitian empiris-rasional terhadap hukum-hukum keteraturan alam inilah, yang dipandang sebagai penemuan-penemuan ilmiah.

Muhammad al-Ghazali mengatakan, bahwa perbedaan antara ilmu yang bersumber dari wahyu dan ilmu yang bersumber dari hukum-hukum keteraturan alam, pertama dasarnya ittiba’ (mengikuti), sedangkan yang kedua, berdasarkan penelitian, penemuan, dan kreasi. Jadi, lebih dinamis dan wajar kalau sering mengalami revisi dan inovasi.

Tak hanya itu, rupanya, aqidah dan sistem keimanan orang Islam bersumber dari wahyu yang berinteraksi dengan akal. Wahyu yang dimaksud di sini adalah al-Qur’an, dan sunnah Rasul serta ajaran-ajaran beliau yang dapat dipastikan berdasarkan wahyu.

Sekilas tentang akal

Akal dalam pengertian Islam, bukan sekedar otak. Ia adalah daya memahami yang terdapat dalam jiwa manusia. Sebab, dengan akal sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, manusia memperoleh pengetahuan dari pengamatan terhadap alam.

Sebenarnya, jika ditelisik, pengertian akal umumnya mencakup kerja otak dan kerja qalb dalam rangka memahami sesuatu. Jadi akal merupakan alat untuk memahami memahami Wahyu. Tanpa penggunaan akal, maka wahyu tidak akan dimengerti, diterima, dan diakui sesuai dengan keadaan sewajarnya sebagai wahyu Ilahi.

Tak heran, ketika penerimaan wahyu tidak disandarkan pada akal. Jadilah pemahaman dan penerimaan terhadapnya dilakukan secara sembarangan dan mendasarkan pada dugaan-dugaan subjektif. Saling melengkapinya wahyu dengan akal bagi orang Islam merupakan sesuatu yang badihiy dan mendasar, timbul dari prinsip tauhid menurut aqidah Islam.

Akal adalah ciptaan Allah Swt. yang dikaruniakan kepada manusia agar dia mengerti dunia di mana dia hidup, dapat menempuh serta memanfaatkan hukum-hukum alam. Sehingga, dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta dapat mengemban amanah, tugas dan tanggung jawab yang ia pikul.

Bahkan, akal diciptakan bagi manusia untuk mengantarkan pengertian-pengertian mereka yang parsial, sampai pada pengertian menyeluruh menjangkau hal-hal yang berada di balik kehidupan alam dunia. Maka, wahyu dan akal keduanya sama-sama urgen dan saling membantu, saling melengkapi dalam rangka mewujudkan kehidupan manusia yang benar di dunia ini.

Bekerja Dilandasi Keimanan dan Pengetahuan

Sudah mafhum, bahwa bekerja dilandasi keimanan yang benar pada hakikatnya memang amat penting, agar kerja terkendali oleh tujuan yang luhur. Tanpa iman kerja dapat menjadi hanya berorientasi pada pengejaran materi. Kemungkinan besar hal itu akan melahirkan keserakahan, sikap terlalu mementingkan diri sendiri, merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kerja tanpa iman dapat mendorong perilaku manusia tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan melahirkan alienated man. Dalam pada itu, tanpa ilmu, iman mudah menjadi salah arah dan tergelincir, karena dilandasi pemahaman yang tidak proporsional. Keadaan begitu akan mengakibatkan keyakinan dan sikap keliru pada orang yang bersangkutan.

Jadi, iman, ilmu dan kerja dalam rangka mewujudkan amal ibadah, ternyata masing-masing memainkan peranan urgen bagi yang lain. Salah satu realitas jalan (manhaj) islami adalah berdampingannya an-naql dengan al-aql. Wahyu dengan akal dalam proses memperoleh kesadaran, pemahaman, dan ilmu.

Perlu dicatat, kerjasama antara keduanya tidak bersifat statis dan dikotomis, melainkan dinamis, saling menunjang, saling melengkapi, dan terpadu. Begitulah, pemahaman akal dengan dinamika sifat-sifatnya terhadap wahyu merupakan sumber penyebab terbentuknya aqidah dan sistem keimanan, yang pada gilirannya dapat menjadi sumber motivasi terbentuknya etos kerja islami sekaligus menjadi sumber nilai.

Dibanding makhluk lain, keistimewaan sekaligus kelebihan manusia terutama bertolak dari akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Ajaran wahyu dapat diamalkan setelah lebih dahulu dipahami. Selain itu, karena mempunyai akallah manusia berhasil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mencapai kebudayaan dan peradaban tinggi.

Karenanya, manusia juga dapat mengatur dan memanfaatkan alam sekitar bagi kesejahteraannya, baik untuk masa kini maupun mendatang. Al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam jelas menempatkan akal manusia di samping wahyu pada posisi yang amat urgen. Dengan demikian, Islam mendukung secara pasti terhadap pendidikan yang bercorak aqliyyah seiring dengan pendidikan sikap ilmiah sesuai dengan objeknya.

Berbeda sementara dalam al-Qur’an, pengertian akal menjangkau daya yang dapat dipakai untuk memahami realitas konkrit dan ghaib. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran, dan realitas spiritual oleh qalbu. Keduanya adalah instrumen akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran. Bahkan keduanya berhubungan secara organis.

Tentu saja, pengertian begini penting untuk dipahami, sehingga orang tidak lagi mempertentangkan pemberdayaan iman terhadap objek yang memang harus di imani. Seirama dengan anjuran dan perintah al-Qur’an, sejumlah mereka menyelidiki alam. Dari penelitian serta penalaran mereka, bahwa alam ini diatur dengan hukum alam yang la ciptakan. Yaitu, ketentuan yang ditaati oleh alam dalam perkembangan serta dinamikanya.

Dalam bahasa agama (Islam), hukum alam ini disebut sunnatullah yang tidak berubah-ubah. Dengan memahami keteraturan hukum alam tersebut, manusia dapat memprakirakan apa yang akan terjadi di alam sekitarnya, dapat menyusun teori-teori ilmu pengetahuan, rencana masa depan, dan dapat memperhitungkannya.

Dari hasil-hasil penelitian terhadap sunnatullah, pada akhirnya manusia dapat membangun ilmu pengetahuan. Sesungguhnyalah dengan kodrat (kuasa) dan iradat-Nya, Tuhan dapat menjadikan sesuatu tanpa sistem apapun. Tetapi, sebagai Maha Pendidik, ternyata Dia menghendaki tiap-tiap sesuatu di alam ini berjalan sesuai dengan sunnatullah.

Menyesuaikan dengan hukum alam

Kenyataan demikian mestinya menjadi contoh dan mendidik manusia agar dalam mengupayakan apa saja di dunia ini, selalu menempuh cara yang sesuai dengan hukum alam ciptaan Allah itu. Sedangkan usaha menempuh proses sesuai dengan sunnatullah dan memanfaatkannya, mengharuskan orang agar menyesuaikan diri dengan sifat dan watak hukum tersebut. Seperti dimaklumi, ketetapan alam itu mempunyai sifat begitu aktif, objektif, adil dan tidak bisa ditawar-tawar.

Dalam pada itu, agama dan keteladanan Rasulullah Saw. jelas menghendaki agar manusia menempuh cara tersebut, bahkan dipersilahkan memanfaatkannya. Maka, keilmuan, sehubungan dengan pengakuan adanya sunnatullah ini secara langsung atau tidak menuntut serta mendidik orang Islam, agar dalam bekerja bersikap rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur disiplin, dan profesional, serta menghindari sikap-sikap yang merupakan lawan atau kebalikan dari sikap-sikap itu.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengatakan, bahwa analisis kajian terhadap alam kebendaan menghasilkan ilmu pengetahuan alam yang mempunyai nilai kepastian lebih tinggi. Sebab, kajian ini hanya berurusan dengan benda-benda mati. Sedangkan kajian terhadap manusia, karena melibatkan variabel begitu banyak dan masih ada bagian-bagian yang belum dikuasai, serta belum dapat dijadikan pertimbangan untuk membuat kesimpulan teoritisnya, maka hasil kajian ilmu ini mengesankan sebagai ilmu yang kurang pasti.

Namun, meski demikian, dalam pandangan Islam, upaya manusia memahami dua macam ilmu tersebut hakikatnya adalah sama, yaitu usaha mereka memahami hukum-hukum ketetapan Allah Swt. yang berlaku di alam ini.

Menurut Cak Nur, kesan bahwa ilmu pengetahuan alam lebih pasti daripada ilmu pengetahuan sosial tercermin dalam perbedaan istilah yang digunakan dalam al-Qur’an. Bagi hukum-hukum ketetapan yang berlaku pada alam kebendaan disebut taqdir, dan bagi hukum-hukum ketetapan yang berlaku pada alam manusia dan masyarakat digunakan sebutan sunnatullah.

Melakukan ikhtiar

Dalam rangka ikhtiar, orang dituntut agar yang berlaku pada alam benda maupun yang berlaku pada masyarakat manusia. Kenyataan demikian secara sengaja atau tidak, mendidik orang yang bersangkutan untuk beretos kerja tinggi dengan karakteristik bersikap aqliy, ilmiah proaktif dan seterusnya.

Apalagi, mengingat cara berpikir Islami tentang alam semesta tidak akan bisa eksis kecuali orang bersangkutan percaya pada konsep keesaan atau kesatuan. Yaitu konsep yang bertolak dan kesimpulan bahwa segala yang ada berasal dari satu sumber, adalah Allah Swt.

Kesatuan sumber dan kesatuan realitas yang lahir dari kesimpulan itu terjelma pada seluruh alam dan segala yang ada. Teori tersebut merupakan pandangan yang selamat, badihiy fitri dan masuk akal, berangkat dari keimanan mutlak serta pemahaman yang jelas tentang Allah sang Pencipta, sumber dari segala sumber yang memenuhi segala kebutuhan.

Dia yang Maha Esa. Orang bersangkutan pun mesti mengerti, bahkan menghayati bahwa dirinya merupakan bagian dari kesatuan alam. Ia mempunyai kodrat seperti jenis-jenis atau bagian dan alam lainnya. Masing-masing punya kodrat sendiri-sendiri sekaligus tidak mungkin berdiri sendiri. Logika badihiy menegaskan, adanya makhluk yang dicipta membuktikan secara pasti adanya al-Khaliq (penciptanya). Dialah Allah Swt. 

Demikian penjelasan terkaitbekerja dengan dilandasi keimanan dan ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Dua Sifat Pelit yang Tercela

Ketika kita berbicara tentang sifat pelit, maka yang terbetik dalam benak kita hanya identik dengan persoalan harta. Padahal, sifat pelit tidak hanya terkait harta saja. Dan perlu diketahui bahwa semua sifat pelit adalah tercela.

Allah Taala berfirman,

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda,

وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

Tidak akan berkumpul sifat kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.(HR. An-Nasa’i no. 3110)

Dalam riwayat yang lain,

لا يدخل الجنة خِبٌّ ولا بخيل ولا منان

Seorang penipu tidak akan masuk surga. Demikian pula, orang yang kikir dan orang yang mengungkit-ungkit pemberian.” (HR. Tirmidzi)

Secara garis besar, sifat pelit terbagi menjadi dua, yaitu pelit kepada diri sendiri dan pelit kepada orang lain (dalam hal harta, ilmu, dan kedudukan).

Pertama, pelit kepada diri sendiri

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah pernah berkata,

ﻭﺃﺷﺪ ﺩﺭﺟﺎﺕ ﺍﻟﺒﺨﻞ ﺃﻥ ﻳﺒﺨﻞ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ، ﻓﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﺨﻴﻞٍ ﻳﻤﺴﻚ ﺍﻟﻤﺎﻝ، ﻭﻳﻤﺮﺽ ﻓﻼ ﻳﺘﺪﺍﻭﻯ، ﻭﻳﺸﺘﻬﻲ ﺍﻟﺸﻬﻮﺓ ﻓﻴﻤﻨﻌﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﺒﺨﻞ

“Derajat pelit yang paling parah adalah pelit terhadap diri sendiri, padahal ia sedang membutuhkan. Betapa banyak manusia yang menahan hartanya (tidak dibelanjakan), semisal ketika sakit ia tidak berobat. Ia sedang berhajat (punya kebutuhan) terhadap sesuatu, tetapi ia tahan karena pelit.”(Lihat Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin, hal. 205)

Orang yang pelit menurut perkataan para ulama,

إِنَّ الْبَخِيْلَ يَعِيْشُ عَيْشَ الْفُقَرَاءِ وَيُحَاسَبُ حِسَابَ الْأَغْنِيَاءِ

“Sesungguhnya orang pelit itu hidup di dunia seperti orang miskin, tetapi hisabnya di akhirat seperti orang kaya.

Allah Ta’ala ketika memberikan nikmat dan rezeki pada hamba-Nya, maka Allah menyukai jika hamba-Nya tidak pelit dan menampakkan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya tersebut pada dirinya, baik dalam bentuk pakaian, tempat tinggal, maupun kendaraan. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (menampakannya).” (QS. Ad-Dhuha: 11)

Begitu pula, yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah kepada hamba-Nya. (HR. Tirmidzi no. 2819  dan An-Nasai no. 3605. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Maka, menampakkan nikmat-nikmat Allah itu dianjurkan asal jangan sombong dan tidak berlebihan.

Kedua, pelit kepada orang lain

Pelit kepada orang lain ada berbagai macam bentuknya dan yang paling parah adalah tatkala ia tidak menjalankan kewajiban harta, yaitu zakat dan nafkah. Sehingga, orang-orang yang pelit dan tidak menunaikan kewajiban harta, Allah beri ancaman dengan siksa,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُون

“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak (harta) dan tidak menginfakkannya (mengeluarkan zakatnya) di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.

(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya malaikat berkata) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (QS. At-Taubah: 34-35)

Dari ayat di atas, orang yang tidak mengeluarkan kewajiban zakatnya akan disiksa di neraka dengan siksaan fisik (disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka) dan siksaan batin (celaan para malaikat).

Demikian pula, dalam hal nafkah, ia berdosa bila tidak menunaikan kewajiban nafkah kepada keluarganya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

كفى بًالمرء إثما أن يضيع من يقوت

Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya. (HR. Abu Daud no. 1692 dan Ibnu Hibban no. 4240)

Selain dalam harta, pelit terkait dengan ilmu (agama) juga dilarang sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

Siapa saja yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka akan diberikan pada hari kiamat penutup mulut dari api neraka.(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, serta Ibnu Hibban dalam Shahih-nya).

Dan dalam riwayat Ibnu Majah,

ما من رجل يحفظ علماً فيكتمُهُ إلا أتى يوم القيامة ملجوما بلجام من نار

Tidak ada seorang pun yang hafal ilmu lalu ia menyembunyikannya, kecuali ia datang pada hari kiamat dalam keadaan mulutnya ditutup dengan penutup dari api neraka. (HR. Ibnu Majah)

Namun, terkadang menyembunyikan ilmu dibutuhkan dalam keadaan tertentu, seperti ingin menyampaikan di waktu yang tepat, masyarakat atau orang lain belum siap menerimanya, atau ilmu tersebut termasuk ilmu yang kompleks sehingga butuh waktu, pikiran, dan harta untuk memperolehnya.

Selanjutnya adalah pelit dengan kedudukan. Ada di antara kita yang mempunyai kedudukan di masyarakat, baik sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama, atau pejabat. Seseorang disebut pelit dengan kedudukan manakala ia mempersulit urusan orang lain, padahal ia mampu mengatasi dan menangani urusan-urusan tersebut. Ia juga pelit dalam membantu terselenggaranya kegiatan-kegiatan agama dan syiar islam.

Allah Taala berfirman,

وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ

Barangsiapa kikir, maka sesungguhnya dia kikir kepada dirinya sendiri. (QS. Muhammad: 38)

Maksud ayat di atas adalah orang yang pelit sejatinya akan menghalangi pahala bagi dirinya sendiri. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari sifat pelit dan kikir.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Sumber: https://muslim.or.id/91098-dua-sifat-pelit-yang-tercela.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Keutamaan Membaca Sholawat di Hari Jumat Luar Biasa, Amalkan di Bulan Rajab

Jumat merupakan rajanya hari, dijuluki sayyidul ayyam. Sebagai salah satu hari yang istimewa, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh di hari Jumat.

Salah satu amalan yang disarankan untuk diperbanyak di hari Jumat adalah membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dari Aus bin Aus, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Di hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam meninggal; di hari itu, tiupan sangkakala pertama dilaksanakan; di hari itu pula, tiupan kedua dilakukan. Karena itu, perbanyaklah membaca shalawat untukku di hari Jumat karena sholawat kalian ditunjukkan kepadaku.” 

Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana sholawat itu ditunjukkan kepada Anda padahal Anda telah menjadi tanah (meninggal)?”

Nabi bersabda, “Sesungguhnya, Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi shallallahu ‘alahim ajma’in.” (HR Ahmad, sanadnya dinilai shahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya mengajak umat Islam memperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad SAW di hari Jumat. Sebab, sholawat yang dibacakan akan disodorkan langsung kepada nabi.

“Ini sholawat dari Fulan, dan nabi berbangga kepada nabi-nabi lain, berbangga kepada umat. Maka jadilah orang yang dibanggakan nabi, memperbanyak bacaan sholawat (di hari Jumat),” kata Buya Yahya dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Kamis (1/2/2024).

Hadis tentang Keutamaan Membaca Sholawat di Hari Jumat

Selain sabda nabi dari Aus bin Aus, ada beberapa riwayat lain yang menjelaskan keutamaan membaca sholawat di hari Jumat. Misalnya, dari Abu Masud Al-Anshary RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Perbanyaklah sholawat kepadaku pada Jumat. Karena tidaklah seorang bershalawat kepadaku pada Jumat melainkan sholawat diperlihatkan kepadaku.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

Dalam hadis yang diriwayatkan Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Perbanyaklah sholawat kepadaku pada hari Jumat dan malamnya. Karena siapa bershalawat satu kali kepadaku, maka Allah bersholawat kepadanya (merahmatinya) sepuluh kali.” (HR al-Baihaqi)

Anjuran Memperbanyak Amalan di Bulan Rajab

Sebagaimana hadis-hadis sebelumnya, membaca sholawat di hari Jumat akan mendapat keutamaan yang luar biasa, di antaranya sholawat yang dibacakan seorang muslim akan diperlihatkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW.

Sebaiknya, membaca sholawat ini juga diamalkan pada hari Jumat bulan Rajab. Sebab, Rajab termasuk bulan yang dimuliakan Allah (asy-syahrul hurum). 

Sama dengan Jumat, Rajab juga merupakan bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh dan perbuatan taat. Perbuatan taat yang dilakukan di bulan Rajab akan diganjar pahala lebih besar dari biasanya.

 العَمَلُ الصَّالِحُ أَعْظَمُ أَجْرًا فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَالظُّلْمُ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهُنَّ

Artinya: “Amal salih lebih agung (besar) pahalanya di dalam bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab). Sedangkan zalim pada bulan tersebut (juga) lebih besar dari zalim di dalam bulan-bulan selainnya.” (Imam al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan keempat: 1417 H/1997 M], juz IV, halaman: 44, dikutip dari NU Online).

Beberapa Contoh Bacaan Sholawat Nabi

Redaksi sholawat yang populer cukup banyak. Mengutip NU Online Jatim, berikut ini beberapa contoh bacaan sholawat nabi dalam kitab Shahih Bukhari.

صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ كَمَا صَلَّيتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللّٰهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَابَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مَحَمَّدٍ عَبدِكَ وَرَسُولِكَ كَمَا صَلَّيتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ

اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ كَمَا صَلَّيتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ كَمَابَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Itulah tentang keutamaan membaca sholawat di hari Jumat beserta redaksi bacaan sholawatnya. Semoga kita bisa mengamalkan di bulan Rajab ini. Wallahu ‘alam.

LIPUTAN6

Hati-hati Beda Pilihan Presiden; Islam Larang Saling Hina dan Maki

Sejatinya, beda pilihan politik, termasuk dalam pemilihan presiden, merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Setiap orang memiliki hak dan kebebasannya untuk memilih pemimpin yang mereka anggap terbaik. Namun, perbedaan pilihan ini tidak boleh menjadi alasan untuk saling menghina dan menjatuhkan. Islam melarang keras tindakan tersebut

Memasuki bulan Februari, kita akan segera melangsungkan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih para calon wakil rakyat guna menjalankan pemerintahan Indonesia. Meski demikian, ada hal yang patut kita waspadai sebagai umat muslim. Karena sering kaali karena perbedaan pilihan, muncul tindakan negatif, antara lain seperti upaya saling menjatuhkan oleh masing-masing pihak. 

Bahkan tidak sedikit fenomena saling hujat dan saling hina kita temukan sekarang ini di tengah masyarakat hanya karena perbedaan calon misalnya kubu yang diusung. Tindakan saling menghina, saling hujat, dan saling merendahkan bukan akhlak yang diajarkan oleh Islam. 

Ada baiknya kita membuka kembali Surat Al-Hujurat ayat 11 berikut penjelasannya oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi berikut ini;

 “يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَر” الْآيَة نَزَلَتْ فِي وَفْد تَمِيم حِين سَخِرُوا مِنْ فُقَرَاء الْمُسْلِمِينَ كَعَمَّارٍ وَصُهَيْبٍ وَالسُّخْرِيَّة : الِازْدِرَاء وَالِاحْتِقَار “قَوْم” أَيْ رِجَال مِنْكُمْ “مِنْ قَوْم عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ” عِنْد اللَّه “وَلَا نِسَاء” مِنْكُمْ “مِنْ نِسَاء عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسكُمْ” لَا تَعِيبُوا فَتُعَابُوا أَيْ لَا يَعِبْ بَعْضكُمْ بَعْضًا “وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ” لَا يَدْعُو بَعْضكُمْ بَعْضًا بِلَقَبٍ يَكْرَههُ وَمِنْهُ يَا فَاسِق يَا كَافِر “بِئْسَ الِاسْم” أَيْ الْمَذْكُور مِنْ السُّخْرِيَّة وَاللَّمْز وَالتَّنَابُز “الْفُسُوق بَعْد الْإِيمَان” بَدَل مِنْ الِاسْم أَنَّهُ فِسْق لِتَكَرُّرِهِ عَادَة “وَمَنْ لَمْ يَتُبْ” مِنْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya, “(Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mengolok-olok) ayat ini turun perihal rombongan tamu Banu Tamim ketika mereka meremehkan orang Muslim yang fakir seperti sahabat Ammar RA dan Suhaib RA. “Olok-olok” bermakna mengejek dan merendahkan (oleh suatu kaum) di antara kalian (terhadap kelompok lainnya.

Boleh jadi mereka [yang diejek] lebih baik dari mereka [yang mengejek]) di sisi Allah SWT. (Jangan pula perempuan-perempuan) di antara kalian ([mengejek] terhadap kelompok perempuan lainnya. Boleh jadi mereka [yang diejek] lebih baik dari mereka [yang mengejek]. 

Jangan pula kalian saling mencela) jangan kalian mencela orang lain sehingga berujung saling mencela. Jangan sebagian kalian mencela sebagian lainnya. (Janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar buruk) Janganlah salah seorang kalian memanggil kawannya dengan sebutan-gelar yang ia tidak berkenan seperti panggilan “Hai fasiq” atau “Hai kafir”.

(Seburuk-buruk nama) tersebut yang mengandung olok-olok, ejekan, celaan, dan gelar yang buruk (adalah panggilan yang buruk setelah beriman) “al-fusuqu” merupakan badal dari “al-ismu” untuk menegaskan bahwa gelar-sebutan penghinaan itu merupakan perbuatan buruk karenanya kata-kata itu diulang sebagaimana lazimnya.

(Siapa saja yang belum bertobat) dari semua itu, (maka mereka itulah orang-orang yang aniaya),” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Quranil Azhim lil Imamainil Jalalain [Tafsirul Jalalain], Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, halaman 424).

Keterangan di atas merupakan peringatan bagi umat Islam dalam menjaga etika komunikasi. Islam mengajarkan kesetaraan. Suatu kelompok masyarakat baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh merendahkan kelompok masyarakat lainnya hanya karena perbedaan kelas sosial, atau perbedaan lain. 

Sementara kalau masyarakat memang sedang menggeluti hobi baru seperti suka menghujat dan senang mencemooh kelompok lain di luar diri mereka karena perbedaan calon kuwu atau bupati yang diusung, maka sebaiknya kita tidak perlu mencampuri pokok pembicaraan tersebut. 

Dalam kondisi masyarakat telah diselimuti oleh fanatik buta dan fanatik tuli, maka sebaiknya kita mengangkat masalah lain di luar masalah politik praktis. Hal ini kita pilih agar kita dapat terhindar dari pertikaian dan debat kusir yang tak perlu.

Sebagaimana anjuran Imam Al-Ghazali di bawah ini. 

الباب الثالث في الامامة النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ 

Artinya, “Bab Ketiga Perihal Kepemimpinan. Pandangan dalam kepemimpinan juga bukan bagian dari perkara penting (prinsip/ushul), juga bukan bagian dari kajian ilmu aqli, tetapi lebih pada masalah fiqhiyah (furu’).

Di samping itu masalah kepemimpinan mengobarkan kefanatikan. Karenanya orang yang menghindarkan diri dari (pembicaran) berlarut-larut di dalamnya lebih selamat dibanding mereka yang larut tenggelam di dalamnya meskipun ia benar. Terlebih lagi kalau keliru!” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I‘tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417 H, halaman 166-167). 

Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menganjurkan kita mengganti tema lain pembicaraan di luar politik sekalipun kita benar dalam pertimbangan kita. Kalau benar pun, kita sebaiknya diam atau mengambil tema lain. Apalagi kalau tidak mengetahui persis masalah politik, sebaiknya kita tidak perlu terlibat dalam perbincangan tersebut. Sebaiknya kita menjaga silaturahmi dan menjaga etika dalam berkomunikasi. 

Demikian penjelasan terkait hati-hati beda pilihan Presiden bahwa Islam larang saling hina dan maki. Sejatinya beda pilihan Presiden dan politik seyogianya tidak menjadi alat perpecahan pesaudaraan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tahun Politik, Musim Obral Janji: Waspada Ciri Pemimpin Munafik Menurut Nabi

Memasuki tahun politik dimana tinggal menghitung bulan untuk melangsungkan pemilihan umum atau pemilu serentak secara nasional pada Februari 2024 mendatang, para pasangan calon (paslon) baik tingkat eksekutif maupun legislatif sudah mulai mengkampanyekan visi dan misi yang akan mereka realisasikan saat terpilih nantinya.

Seringkali dalam mengkampanyekan visi dan misinya tersebut didefinisikan sebagai janji-janji politik belaka. Janji menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih pemimpin.

Namun janji-janji yang sudah dibuat tersebut pada akhirnya tidak sedikit yang diingkari atau tidak direalisasikan sebagaimana mestinya. Padahal menurut Islam sebuah janji adalah hutang, dimana jika sudah berjanji maka hukumnya wajib untuk ditepati.

Dalam konteks pemimpin yang tidak memenuhi janjinya, bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut dalam Islam? Apakah janji yang diumbar saat kampanye wajib ditepati?

Berikut Ini Pembagian Status Janji

Berdasarkan hasil Sidang Komis Bahtsul Masail Ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah pada Muktamar NU ke 33 yang digelar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mengatakan bahwa status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan atau pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dalam istilah fiqh ada dua kategori, yakni al-wa‘du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk kategori al-‘ahdu (komitmen).

Adapun hukumnya dapat diperinci sebagai berikut:

Pertama, apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana, sedangkan ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya jika ia menduga kuat tidak akan mampu untuk merealisasikannya maka hukumnya haram (tidak boleh).

Sementara itu, jika yang dijanjikan tersebut dari dana pribadi dan diberikan sebagai imbalan agar ia dipilih maka hukumnya adalah haram, karena masuk dalam kategori janji riswah (suap).

Kedua, apabila janji-janjinya tersebut sesuai dengan tugasnya dan tidak menyalahi prosedur maka wajib ditepati. Ketiga, pemimpin yang tidak menepati janji harus diingatkan, meskipun selama menjadi pemimpin yang sah tetap harus ditaati.

Inilah Penjelasan Imam Ghazali

Adapun dasar dari keharaman mengingkari janji bagi pemimpin yang mampu melaksanakannya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, tentang pentingnya menepati janji. Menurut Imam Ghazali, seseorang yang berjanji harus memiliki niat untuk memenuhi janjinya. Jika seseorang berjanji dengan bertekad untuk mengingkari janjinya, maka ia termasuk orang munafik.

Sedangkan jika seseorang berjanji dengan bertekad untuk memenuhi janjinya, tetapi kemudian ada alasan yang menghalanginya untuk memenuhi janjinya, maka ia tidak termasuk orang munafik. Namun, ia tetap harus berhati-hati dari gambaran nifak, yaitu perbuatan yang menyerupai perbuatan orang munafik. Abil Faidh Muhammad bin Muhammad Al Husaini dalam kitab Ithafu as Sadah al Muttaqin bi Syarh Ihya Ulumiddin halaman 506, menjelaskan:

ثم إذا فهم مع ذلك الجزم في الوعد فلا بد من الوفاء إلا أن يتعذر ، فإن كان عند الوعد عازما على أن لا يفي فهذا هو النفاق ، قال النبي – صلى الله عليه وسلم – : ” ثلاث من كن فيه فهو منافق ، وإن صام وصلى وزعم أنه مسلم : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان ” وقال – صلى الله عليه وسلم – : ” أربع من كن فيه كان منافقا ، ومن كانت فيه خلة منهن كان فيه خلة من النفاق حتى يدعها : إذا حدث كذب ، وإذا وعد [ ص: 195 ] أخلف ، وإذا عاهد غدر ، وإذا خاصم فجر “

Artinya: “Kemudian, jika dalam janji tersebut terdapat keputusan, maka harus ditepati, kecuali jika ada uzur yang menyulitkan. Jika seseorang berjanji, kemudian sudah bertekad untuk tidak menepatinya, maka itulah bentuk kemunafikan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tiga sifat yang jika ada pada seseorang, maka ia adalah orang munafik, meskipun ia puasa dan shalat dan mengaku sebagai muslim: jika ia berbicara maka ia berdusta, jika ia berjanji maka ia mengingkari, dan jika ia dipercaya maka ia berkhianat.”

Perintah Allah soal Tepat Janji

Sementara itu, dalam Al-Qur’an Q.S An-Nahl [16] ayat 91, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk selalu menepati janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia. Janji kepada Allah adalah janji yang dibuat dengan Allah, seperti janji untuk beribadah, janji untuk berbuat baik, atau janji untuk menjauhi perbuatan maksiat. Janji kepada sesama manusia adalah janji yang dibuat dengan orang lain, seperti janji untuk membantu, janji untuk memenuhi kewajiban, atau janji untuk menjaga rahasia.

وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ

Artinya: “Tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. Janganlah kamu melanggar sumpah(-mu) setelah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

“Disebutkannya hal ini dalam konteks celaan menunjukkan bahwa melanggar janji itu dilarang. Dikisahkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Janji seorang mukmin itu wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim), yaitu janjinya wajib ditepati.”

Adapun dari penjelasan di atas dapat diperoleh sebuah kesimpulan bahwa hukum menepati janji bagi setiap calon pemimpin merupakan salah satu kewajiban.

Penulis : Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

LIPUTAN6

Ketika Orang Munafik Dipercaya sebagai Pemimpin di Akhir Zaman

ESTAFET kepemimpinan tidak akan pernah kosong selama dunia ini terbentang, karena keberadaan seorang pemimpin dalam mengurusi agama dan negara suatu keharusan. Kedua-duanya ibarat mata uang yang tidak bisa dipisah. Imam al-Mawardi (w 450 H) dalam al-Ahkām al-Sulthāniah menyatakan dengan tegas al-Imāmah (kepemimpinan) di dalam Islam (untuk mengurusi) agama dan dunia (negara) hukumnya wajib.

Karena begitu pentingnya eksistensi seorang pemimpin maka Agama menempatkan ketaatan atas perintahnya setelah mentaati perintah Allah swt dan Rasulullah ﷺ.

Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS: an-Nisa’: 59).

Al-Baghawi (w 516 H) dalam Ma’ālimut Tanzīl berkata: Ulul Amri yang dimaksud ialah para ahli fikih dan ulama. Sejatinya seorang pemimpin adalah para ulama karena mereka lah yang mengerti bagaimana menerapkan syari’at Allah swt di atas muka bumi ini.

Namun ironisnya, kelak menjelang dunia ini berkahir atau di akhir zaman nanti yang akan menduduki kursi kepemimpinan bukan dari kalangan para ulama, ahli fikih atau orang-orang yang memiliki bekal ilmu agama, akan tetapi yang akan mengisi posisi strategis tersebut adalah kalangan kaum munafik atau istilah lain kepemimpinan akan didominasi oleh para hipokrit.

Rasulullah ﷺ  bersabda:

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَنْ تَقُومَ السَّاعَةُ حَتَّى يَسُودَ كُلَّ قَبِيلَةٍ مُنَافِقُوهَا» فَلِذَلِكَ اشْتَهَيْتُ أَنْ نَمُوتَ قَبْلَ ذَلِكَ الزَّمَانِ.

Artinya:  “Dari Ibnu Mas’ud ra berkata: Rasulullah ﷺ  bersabda: Tidak akan terjadi hari kiamat hingga orang-orang munafik diangkat menjadi pemimpin pada setiap kabilah. Oleh karena itu, aku lebih menginginkan kematian sebelum waktu itu tiba.” (HR: Thabrānī dan Musnad al-Bazzār).

Dalam buku kaedah ilmu bahasa Arab seperti kitab al-Jurumiah disebutkan penggunaan fi’il Mudhari’ berfungsi untuk menerangkan kejadian yang akan berlaku pada masa mendatang. Sedangkan kata Lan dalam Mu’jam al-Wasīth bermakna tidak akan pernah yang juga menunjukkan waktu masa mendatang. Artinya kedua kata tersebut menjelaskan peristiwa yang akan berlaku masa mendatang.

Mengenai substansi hadits banyak sejumlah besar para ulama berkomentar. Ibnu Rajab al-Hanbali (w 795 H) dalam Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam berkata: Apabila para raja (presiden, perdana menteri dan lain-lain) dari golongan kaum munafik diangkat menjadi pemimpin maka keadaan dunia akan berubah drastis. Orang jujur didustai dan pendusta dipercayai; orang yang amanah dikhianati dan penghianat diberi amanah; orang-orang bodoh diberi ruang untuk berbicara sementara orang-orang alim dibungkam.

Ibnu Hajar al-Asqalānī (w 852 H) dalam al-Fath berkata: Hadits di atas bermakna “Orang-orang yang akan menjadi pemimpin adalah orang-orang yang hina dan yang mengurusi (masalah umat kala itu) orang-orang fasik. Maka ketika itu kiamat pun akan terjadi. Karena amanat di tangan yang bukan ahlinya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ  dalam haditsnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ» قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah ﷺ  bersabda: Jika Amanat telah disia-siakan tunggulah kiamat (kehancuran) terjadi. Ada seorang sahabat yang bertanya: Bagaimana maskud amanat disia-siakan?. Nabi menjawab,”Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kiamat itu.” (HR: Bukhari).

Sulthan Ali Qārī (w 1014 H) dalam Mirqātu al-Mafātīh Syarhu Misykātu al-Mashābīh berkata: Urusan (al-Amru) yaitu urusan pemerintahan akan dipegang oleh orang-orang bodoh, fasik, bakhil dan pencundang/pengecut.  Ibnu al-Amīr (w 1182 H) dalam at-Tanwīr mengomentari hadits di atas lalu berkata: Maksud kata munafik dalam hadits ini ialah munafik amal (perbuatan), yaitu kemunafikan seperti penolakan syari’at Allah swt dan ini akan terjadi di akhir zaman nanti.

Syeikh Ali al-Azīzī dalam as-Sirāju al-Munīr menguatkan pendapat di atas seraya berujar: Mereka (orang-orang munafik amal tersebut) akan menjadi pemimpin kalian yang terdepan kala itu. Dengan demikian pemahaman para ulama terkait hadits di atas ialah: sebelum hari kiamat tiba amanat pasti akan disia-siakan, amanat ini tidak akan disia-siakan kecuali oleh orang-orang munafik yang menjadi pemimpin setiap kabilah (suku) kala itu.

Maka kata Ibnu Mas’ud, seaandainya saya hidup ketika itu maka saya lebih menginginkan kematian.*/ Wandi Bustami,  Asatid Tafaqquh Study Club, Alumni Al-Azhar

HIDAYATULLAH

Jika Melihat Orang Terkena Musibah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ: الحَمْدُ للهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلَاءُ»

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melihat orang yang tertimpa musibah kemudian mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang diberikan kepadamu dan melebihkanku atas kebanyakan orang yang Dia ciptakan’, maka ia tidak tertimpa musibah tersebut.” (HR. at-Tirmidzi dengan sanad hasan)

Kandungan hadits secara global:

Hendaknya bagi seseorang yang melihat orang lain yang tertimpa musibah baik dari segi agamanya berupa kebid’ahan maupun yang lainnya atau dari segi dunianya berupa penyakit atau yang lainnya, dia mengucapkan,

الحَمْدُ للهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ، وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا

Barangsiapa yang mengucapkan doa tersebut, dirinya tidak akan tertimpa musibah yang ia lihat.

Faidah:

Sepatutnya doa ini diucapkan secara pelan, sehingga yang mendengar hanyalah dirinya, orang yang tertimpa musibah tersebut tidak mendengarnya, supaya tidak menyakiti hati orang yang tertimpa musibah, kecuali musibah tersebut berupa kemaksiatan, maka tidak mengapa mepperdengarkan doa tersebut, sebagai bentuk peringatan baginya jika hal tersebut sekiranya tidak menimbulkan kemudharatan (bahaya).

Hikmah yang dapat diambil dari hadits:

  1. Disunnahkanya berdoa dengan doa yang termaktub ketika melihat orang yang tertimpa musibah;
  2. Barangsiapa yang melihat orang tertimpa musibah lalu ia berdoa dengan doa tersebut Ia tidak tertimpa musibah yang sama;
  3. Agungnya keutamaan doa tersebut di dalam hadits;
  4. Semangat Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam memerhatikan keselamatan umatnya dari berbagai macam penyakit;
  5. Agungnya kecintaan para sahabat kepada baginda Nabi yang dibuktikan dengan nukilan mereka yang menyeluruh mengenai perkataan maupun perbuatan baginda Nabi  shallallahu alaihi wasallam.

Sumber: diterjemahkan dengan sedikit penyesuaian oleh Muhammad Refanza dari situs https://www.alukah.net/

PESANTREAN ALIRSYAD

Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita

Di mata Allah Ta’ala, seorang hamba hakikatnya adalah butuh dan tidak mampu. Sekaya-kayanya seseorang, sekuat-kuatnya dia, semampu-mampunya dia, maka ia tetaplah miskin dan lemah serta tidak berdaya di mata Allah Ta’ala. Sejatinya seorang hamba akan senantiasa butuh terhadap pertolongan dan bantuan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاء إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد

“Wahai manusia sekalian! Kamulah yang memerlukan Allah. Dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Berangkat dari sini, seorang hamba, baik itu yang kaya maupun yang miskin, baik itu yang kuat maupun yang lemah; kesemuanya butuh dan dituntut untuk berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap permasalahan yang dihadapi.

Mengapa berdoa menjadi sangat penting dalam kehidupan kita?

Dalam hal ibadah (yang mana merupakan tujuan diciptakannya manusia), berdoa merupakan identitas utama yang tak bisa lepas dari diri seseorang. Ia merupakan amal ibadah yang mudah dan praktis untuk dikerjakan, serta bersifat fleksibel karena tidak terikat oleh waktu dan tempat. Kapan pun waktunya dan di mana pun tempatnya, seorang hamba dituntut untuk senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala.

Perlu kita ketahui juga, doa merupakan musuh utama dari segala macam cobaan dan ujian. Karenanya, ia akan melindungi kita dari mara bahaya. Doa akan menghilangkan dan menyembuhkan penyakit. Doa akan mencegah turunnya malapetaka, mengangkatnya, atau minimal meringankan malapetaka yang sedang terjadi.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

إنِّي لا أحمل هَم الإجابة ولكن أحمل هَم الدُعاء فإذا أُلهِمت الدعاء فإن الإجابة معه .

“Aku tidak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan atau tidak, tetapi yang lebih aku khawatirkan adalah aku tidak diberi hidayah untuk terus berdoa. Oleh karenanya, jika kalian diilhami dan diberi hidayah untuk berdoa, sesungguhnya (ijabah) terkabulnya doa tersebut mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam, 8: 193)

Doa merupakan senjata utama bagi seorang muslim saat menghadapi ujian dan memiliki keinginan. Doa juga menjadi sebab terbesar tergapainya impian dan cita-cita. Betapa banyak kesedihan dan cobaan menjadi mudah karena berdoa. Betapa banyak impian-impian yang nampaknya mustahil, terwujud karena doa. Allah Ta’ala menegaskan kepada kita akan betapa dekat diri-Nya dengan hamba-hamba yang berdoa dan butuh kepada-Nya,

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Teruslah berdoa kepada Allah Ta’ala. Mintalah apa pun kebutuhanmu kepada-Nya. Serahkan seluruh hasil dan perkaramu kepada-Nya. Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Besarkan rasa harapmu kepada-Nya, karena sungguh ia tidak pernah menolak sebuah doa.

Ingat! Terkabulnya doa tidak melulu tentang terwujudnya impian dan tercapainya keinginan. Bukan pula terjadinya sesuatu sebagaimana yang kita harapkan. Bisa jadi Allah kabulkan doa kita dengan bentuk yang lain. Bisa jadi Allah kabulkan doa kita dengan menghindarkan sebuah mara bahaya yang seharusnya menimpa kita. Bisa jadi juga Allah Ta’ala jadikan doa-doa kita yang belum terwujud sebagai tabungan amal untuk diri kita di akhirat kelak.

Siapa saja yang berbaik sangka kepada Tuhannya, maka kebaikan-kebaikan akan mengalir kepadanya. Dan Allah Ta’ala pastilah sesuai dengan persangkaan hamba-Nya.

Berikut ini adalah beberapa kisah Nabi dengan doa-doa yang mereka panjatkan. Kisah-kisah yang insyaAllah memotivasi kita untuk senantiasa berdoa dan meminta kepada Allah dalam setiap keadaan. Bergantung kepada Allah Ta’ala sepenuhnya, meskipun diri kita percaya diri mampu melakukan apa yang kita inginkan.

Kisah para nabi dan doa-doa mereka

Di antara kisah paling fenomenal adalah apa yang dialami oleh Nabi Yunus ‘alaihis salam tatkala dilemparkan ke laut kemudian tertelan di dalam perut paus. Setelah ia melakukan perbuatan tercela karena meninggalkan kaumnya. Allah Ta’ala mengisahkan bagaimana tobat beliau dan gigihnya beliau dalam berdoa hingga Allah selamatkan dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ *

“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.’ Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 87-88)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala tegaskan, bahwa sebab selamatnya Nabi Yunus ‘alaihis salam adalah karena banyaknya doa dan tobat yang dilakukannya,

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka, sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (berdoa), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)

Allah Ta’ala tekankan kepada kita bahwa saat seorang hamba penuh dengan dosa, lalu ia membutuhkan pertolongan Allah Ta’ala untuk menghadapi kesulitan yang dihadapinya, dan bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka Allah pasti akan mendengarnya dan menolongnya.

Dengan doa pula Allah tenggelamkan seluruh penduduk bumi dan Allah selamatkan Nabi Nuh ‘alaihis salam beserta orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala mengisahkan,

قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ * فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ * فَاَنْجَيْنٰهُ وَمَنْ مَّعَهٗ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِ * ثُمَّ اَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبَاقِيْنَ

“Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah mendustakan aku, maka berilah keputusan antara aku dengan mereka, dan selamatkanlah aku dan mereka yang beriman bersamaku.’ Kemudian Kami menyelamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian setelah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal.” (QS. As-Syu’ara’: 117-120)

Karunia tidak terhitung yang Allah Ta’ala berikan untuk Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, kesemuanya itu Allah Ta’ala berikan berkat doa yang beliau panjatkan kepada-Nya,

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ* فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ * وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ * وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ

“Dia (Sulaiman) berkata, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.’ Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya. Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan (setan) yang lain yang terikat dalam belenggu.” (QS. Shad: 35-38)

Kisah-kisah di atas semuanya bermuara pada satu kesimpulan yang sama. Mintalah apa pun hanya kepada Allah Ta’ala. Jangan berpangku tangan apalagi angkuh merasa mampu lalu tidak pernah meminta pertolongan dan berdoa kepada-Nya. Seorang nabi sekali pun mereka juga tidak pernah lepas dari berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap hajat dan keinginan mereka.

Pembaca yang semoga senantiasa dalam limpahan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala.

Ketahuilah, sesungguhnya Allah Ta’ala akan senang apabila seorang hamba senantiasa berdoa dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam setiap hal yang sedang dihadapi dan dibutuhkannya. Sebaliknya, Allah Ta’ala akan murka apabila seorang hamba merasa tidak butuh kepada-Nya, tidak pernah berdoa kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 3373, Ibnu Majah no. 3827 dan Ahmad no. 9719)

Mengapa? Karena di dalam doa yang kita panjatkan, terdapat pengakuan akan ketidakberdayaan diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Di dalam lantunan doa yang kita baca, terselip keimanan akan agungnya keesaan Allah Ta’ala atas segala sesuatu. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala merupakan satu-satunya Zat yang berhak disembah. Satu-satunya Zat yang menciptakan dan mengabulkan permohonan. Sedangkan di dalam keteledoran kita ketika tidak berdoa, maka itu menunjukkan keangkuhan diri kita, menunjukkan pula rasa sombong seorang hamba kepada Tuhannya.

Semoga Allah Ta’ala jadikan diri kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala atas setiap hajat dan keinginan yang ingin dicapai serta memohon keselamatan dari mara bahaya yang akan menimpa kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

RADIO MUTIARA ALQURAN

Amalan-amalan Sya’ban “Pemanasan” Menuju Ramadhan

DIRIWAYATKAN dari Anas bin Malik bahwasannya umat Islam di masa beliau jika memasuki bulan Sya’ban, maka mereka sibuk dengan mushaf-mushaf dan mereka membacanya, mereka juga mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka untuk memperkuat orang-orang yang lemah dan miskin dalam menghadapi puasa Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 258)

Dari apa yang disampaikan Al Hafidz Ibnu Rajab tersebut nampaklah bahwasannya amalan-amalan bulan Ramadhan sudah mulai dikerjakan di bulan Sya’aban. Hal itu diperkuat dengan amalan para ulama.

Memperbanyak Membaca Al Quran

Di bulan Rajab, para salaf shalih semakin memfokuskan diri untuk membaca Al Qur`an meski Ramadhan belum tiba. Sebagaimana dilakukan oleh Amru bin Qais Al Mula`i jika telah memasuki bulan Sya’ban, maka ia menutup kedainya dan menyibukkan diri dengan membaca Al Qur`an. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 258)

Puasa Sya’ban

Puasa di bulan Sya’ban merupakan perkara yang disunnahkan. Aisyah Radhiyallahu’anhu menyampaikan,”Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyempurnakan puasa kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak mengetahui dalam suatu bulan lebih banyak puasa dibanding Sya’ban.” (Riwayat Al Bukhari)

Mengqadha’ Puasa

Karena kedekatannya dengan Ramadhan, maka disunnahkan untuk mengqadha’ puasa sunnah di bulan Sya’ban. Namun bagi siapa yang masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan, maka dilarang untuk menangguhkan untuk menqadha’nya setelah Ramadhan ke dua tanpa udzur. Jika mengakhirkan qadha’ sampai Ramadhan ke dua tanpa udzur, maka wajib baginya disamping mengadha’ puasa memberi makan kepada orang miskin menurut madzhab Al Maliki, Asy Syafi’i dan Al Hanbali. Sedangkan untuk madzhab Al hanafi, cukup mengqadha’ saja. (lihat, Latha’if Al Ma’arif, hal. 258)

Persiapkan Fisik Hadapi Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallahu Alihi Wasallam bersabda,”Janganlah kalian mendahului Ramadhan (dengan berpuasa) sehari atau dua hari. Kecuali bagi siapa yang berpuasa, maka ia hendaklah berpuasa.” (Riwayat Al Bukhari)

Al Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan beberapa pandangan mengenai sebab dimakruhkannya melaksanakan puasa sunnah mutlak sehari atau dua hari menjelang Ramadhan, salah satunya adalah agar dikuatkan dalam menghadapi puasa Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 273-276)

Tidak Mengumbar Nafsu Makan-Minum Sebelum Ramadhan

Meski ada dorongan untuk memperkuat fisik dalam menghadapi bulan Ramadhan, namun bukan berarti seseorang didorong untuk melampiaskan makan dan minumnya sepuas-puasnya sebelum memasuki Ramadhan, karena ketika mereka berada di bulan Ramadhan tidak bisa melakukannya. Tradisi buruk ini disebut dengan tanhis, yakni hari-hari untuk melakukan perpisahan dengan makan dan minum sebelum bulan Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 273-276).*

HIDAYATULLAH