Amalan-amalan Sya’ban “Pemanasan” Menuju Ramadhan

DIRIWAYATKAN dari Anas bin Malik bahwasannya umat Islam di masa beliau jika memasuki bulan Sya’ban, maka mereka sibuk dengan mushaf-mushaf dan mereka membacanya, mereka juga mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka untuk memperkuat orang-orang yang lemah dan miskin dalam menghadapi puasa Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 258)

Dari apa yang disampaikan Al Hafidz Ibnu Rajab tersebut nampaklah bahwasannya amalan-amalan bulan Ramadhan sudah mulai dikerjakan di bulan Sya’aban. Hal itu diperkuat dengan amalan para ulama.

Memperbanyak Membaca Al Quran

Di bulan Rajab, para salaf shalih semakin memfokuskan diri untuk membaca Al Qur`an meski Ramadhan belum tiba. Sebagaimana dilakukan oleh Amru bin Qais Al Mula`i jika telah memasuki bulan Sya’ban, maka ia menutup kedainya dan menyibukkan diri dengan membaca Al Qur`an. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 258)

Puasa Sya’ban

Puasa di bulan Sya’ban merupakan perkara yang disunnahkan. Aisyah Radhiyallahu’anhu menyampaikan,”Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyempurnakan puasa kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak mengetahui dalam suatu bulan lebih banyak puasa dibanding Sya’ban.” (Riwayat Al Bukhari)

Mengqadha’ Puasa

Karena kedekatannya dengan Ramadhan, maka disunnahkan untuk mengqadha’ puasa sunnah di bulan Sya’ban. Namun bagi siapa yang masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan, maka dilarang untuk menangguhkan untuk menqadha’nya setelah Ramadhan ke dua tanpa udzur. Jika mengakhirkan qadha’ sampai Ramadhan ke dua tanpa udzur, maka wajib baginya disamping mengadha’ puasa memberi makan kepada orang miskin menurut madzhab Al Maliki, Asy Syafi’i dan Al Hanbali. Sedangkan untuk madzhab Al hanafi, cukup mengqadha’ saja. (lihat, Latha’if Al Ma’arif, hal. 258)

Persiapkan Fisik Hadapi Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallahu Alihi Wasallam bersabda,”Janganlah kalian mendahului Ramadhan (dengan berpuasa) sehari atau dua hari. Kecuali bagi siapa yang berpuasa, maka ia hendaklah berpuasa.” (Riwayat Al Bukhari)

Al Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan beberapa pandangan mengenai sebab dimakruhkannya melaksanakan puasa sunnah mutlak sehari atau dua hari menjelang Ramadhan, salah satunya adalah agar dikuatkan dalam menghadapi puasa Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 273-276)

Tidak Mengumbar Nafsu Makan-Minum Sebelum Ramadhan

Meski ada dorongan untuk memperkuat fisik dalam menghadapi bulan Ramadhan, namun bukan berarti seseorang didorong untuk melampiaskan makan dan minumnya sepuas-puasnya sebelum memasuki Ramadhan, karena ketika mereka berada di bulan Ramadhan tidak bisa melakukannya. Tradisi buruk ini disebut dengan tanhis, yakni hari-hari untuk melakukan perpisahan dengan makan dan minum sebelum bulan Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 273-276).*

HIDAYATULLAH

2 Ketentuan Puasa Sya’ban

SAHABAT mulia Islampos, sekarang ini umat Islam telah berada di bulan Sya’ban, yakni bulan menjelang Ramadhan. Pada bulan inilah, dianjurkan memperbanyak puasa sunah. Namun, bagaimana sebenarnya ketentuan puasa Sya’ban?

Boleh dibilang ketentuan puasa di bulan Sya’ban cukup rumit dan sedikit membingungkan. Sebab, ada dua pendapat yang bertentangan di masyarakat. Satu mengatakan bahwa puasa di bulan Sya’ban dianjurkan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa puasa di paruh kedua bulan Sya’ban itu tidak boleh.

Kedua pendapat tersebut didasarkan hadis Rasulullah ﷺ.

Perbanyak puasa di bulan Sya’ban

Pendapat pertama datang dari hadist yang mengisahkan di mana apabila telah datang bulan Sya’ban, Rasulullah hampir setiap hari berpuasa.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا.

“Dari Abu Salamah ia berkata, saya pernah bertanya kepada Aisyah Ra. tentang puasa Rasulullah SAW, maka ia pun berkata, ‘Rasulullah SAW sering berpuasa hingga kami mengira bahwa beliau akan puasa seterusnya. Dan beliau sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengira beliau tidak puasa terus-menerus. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa terus sebulan penuh kecuali Ramadan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga sisa harinya tinggal sedikit.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hendaknya kita tidak boleh melewatkan satu bulan pun tanpa berpuasa sama sekali.

Hadis tadi juga menunjukkan Rasulullah sering berpuasa di bulan Sya’ban, hanya sedikit hari yang dilalui oleh Nabi SAW di bulan Sya’ban tanpa berpuasa. Hikmah di balik puasa Rasul di bulan Sya’ban karena amalan hamba selama setahun penuh diangkat di bulan ini. (An-Nawawi, al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj, juz 8 hlm. 37)

Tidak boleh puasa di akhir bulan Sya’ban

Namun, di sisi lain terdapat hadist Nabi ﷺ yang menyatakan tidak boleh berpuasa ketika memasuki paruh kedua bulan Sya’ban yakni dari tanggal 16 sampai akhir.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا

“Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila telah memasuki paruh kedua bulan Sya’ban, maka kalian tidak boleh berpuasa!” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad)

Kebanyakan ulama madzhab Syafi’i menghukumi haram puasa di separuh akhir bulan Sya’ban yakni dari tanggal 16 sampai akhir. Namun, keharaman tersebut tidak berlaku di beberapa kondisi. Kondisi apakah itu?

Setidaknya ada tiga situasi di mana puasa di paruh kedua bulan Sya’ban hukumnya boleh. Berikut ketiga kondisi tersebut:

Puasa di separuh akhir bulan Sya’ban dibarengi dengan puasa di hari sebelumnya. Jadi, bila seseorang berpuasa sejak tanggal 15 kemudian lanjut ke tanggal 16, 17 sampai akhir bulan Sya’ban, maka itu tidak haram.

Apabila puasa di paruh kedua bulan Sya’ban sesuai dengan jadwal puasa seseorang yang memang sudah terbiasa berpuasa di hari itu. Misalnya orang yang terbiasa puasa hari Senin dan Kamis tetap boleh melaksanakannya walau hari Senin dan Kamis itu memasuki separuh akhir bulan Sya’ban.

Apabila puasa yang dilaksanakan adalah puasa nadzar, qadla, atau kafarat. Jadi, terutama untuk perempuan, boleh hukumnya berpuasa di paruh kedua bulan Sya’ban bila puasa tersebut adalah ganti atau qadla dari puasa Ramadan. (Abu Bakar Syatha ad-Dimiyati, I’anatut Thalibin, juz 2, hlm. 309) []

SUMBER: MUI

Ini Bacaan Istighfar Selama Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban termasuk salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Nabi Saw memuliakan bulan Sya’ban dengan menambah amalan ibadah melebihi hari-hari pada umumnya. Sehingga meningkatkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban sangat dianjurkan sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya. Di antaranya adalah memperbanyak bacaan istighfar selama bulan Sya’ban.

Hal ini karena selain disebut dengan syahrush shalawat atau bulan shalawat, bulan Sya’ban juga disebut sebagai syahrul bara-ah atau bulan tebusan dosa. Karena itu, selain dianjurkan memperbanyak membaca shalawat, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak membaca istighfar di bulan Sya’ban, terutama di malam Nisfu Sya’ban.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Thabrani dan Ibnu Hibban dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Saw, beliau bersabda;

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.

Adapun bacaan istighfar yang dianjurkan untuk dibaca selama bulan Sya’ban, sebagaimana disebutkan dalam kitab Iqbalul A’mal, adalah sebagai berikut;

اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ وَاتُوْبُ إِلَيْهِ/ اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاتُوْبُ إِلَيْهِ

Astaghfirullaahal ‘adziimal ladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyumu al-rohmaanur rohiimu wa atuubu ilaihi/Astaghfirullaahal ‘adziimal ladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyumu wa atuubu ilaihi.

Artinya:

Saya memohon ampun kepada Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, yang Maha Berdiri Sendiri, yang Pengasih lagi Maha Penyayang, dan saya bertaubat kepada-Nya/Saya memohon ampun kepada Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, yang Maha Berdiri Sendiri, dan saya bertaubat kepada-Nya.

BINCANG SYARIAH