Doa Terhindar dari Penyakit Mengerikan, Termasuk Corona

Umat Muslim wajib berdoa agar dilindungi Allah.

Selain menerapkan pola hidup sehat dan bersih, sebagai umat Muslim wajib berdoa agar senantiasa sehat dan dilindungi Allah dari berbagai penyakit. Apalagi, saat ini dunia sedang dilanda wabah virus corona.

Ada berbagai macam doa yang bisa dipanjatkan agar kita selalu dalam lindungan Allah, Salah satunya adalahh doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad SAW berikut ini.

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُوْلُ : (( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ )) . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.

Dari Anas rodhiyallohu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit lain yang mengerikan.”

(HR. Abu Daud)

KHAZANAH REPUBLIKA


4 Ayat Perlindungan Diri

Seorang guru dari Imam Madzhab Maliki dan Hanafi yang bernama Imam Ja’far As-Shodiq pernah berpesan mengenai ayat-ayat perlindungan beserta janji Allah dibalik ayat-ayat tersebut, beliau berkata,

“Aku heran kepada orang yang takut sementara ia tidak berlindung pada firman Allah swt,

حَسْبُنَا اللّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran 173)

Padahal aku mendengar setelah ayat ini Allah berfirman,

فَانقَلَبُواْ بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُواْ رِضْوَانَ اللّهِ وَاللّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mereka mengikuti keridaan Allah. Allah Mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran 174)

Aku heran kepada orang yang bersedih sementara ia tidak berlindung pada firman Allah swt,

لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya’ 87)

Padahal aku mendengar setelah ayat ini Allah berfirman,

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

“Maka Kami Kabulkan (doa)nya dan Kami Selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami Menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya’ 88)

Aku heran kepada orang yang ditipu (dipermainkan) sementara ia tidak berlindung pada firman Allah swt,

وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ghofir 44)

Padahal aku mendengar setelah ayat ini Allah berfirman,

فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا

“Maka Allah Memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka.” (Ghofir 45)

Aku heran kepada orang yang mencari dunia sementara ia tidak berlindung pada firman Allah swt,

مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah.” (Al-Kahfi 39)

Padahal aku mendengar setelah ayat ini Allah berfirman,

فَعَسَى رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْراً مِّن جَنَّتِكَ

“Maka mudah-mudahan Tuhan-ku, akan memberikan kepadaku (kebun) yang lebih baik dari kebunmu (ini).” (Al-Kahfi 40)

Marilah kita mulai membiasakan lisan untuk berdzikir dan menguatkan hati dengan ayat-ayat Allah swt. Karena dibalik ayat-ayat suci ini ada janji-janji indah yang menanti. Dan Allah sungguh Maha Menepati Janji.

KHAZANAH ALQURAN

Allah adalah Sebaik-baik Penjaga!

Allah swt berfirman,

فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Allah adalah penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS.Yusuf:64)

Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia-lah yang memberi kekuatan dan kemampuan pada seluruh ciptaan-Nya.

Allah mampu menghalau segala macam rencana dan kekuatan, karena Dia-lah pemilik kekuatan yang sebenarnya.

Allah mampu menjaga dan melindungi kita walau seluruh dunia berusaha membinasakan kita.

Karena itu, disaat kita bersama Allah, kita akan menjadi manusia yang paling kuat dan selalu berada dalam perlindungan-Nya.

Rasulullah saw bersabda,

اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظَك

“Jagalah (hukum dan aturan Allah) maka Allah akan menjagamu.”

Dalam kesempatan lainnya beliau bersabda,

تَعَرَّفْ إِلىَ اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفُكَ فِي الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah diwaktu senang maka Allah akan mengingatmu diwaktu susah.”

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Fiqih Ringkas Tentang Ucapan “Jazaakallahu Khairan” (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Fiqih Ringkas Tentang Ucapan “Jazaakallahu Khairan” (Bag. 1)

Kandungan makna dari beberapa dalil yang telah disebutkan di seri sebelumnya

Pertama, arti dari ucapan “Jazaakallahu khairan”.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا قال الرجلُ لأخيه:جزاك الله خيراً، فقد أبلغ في الثناء

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Jazaakallahu khairan”, berarti ia telah sampai pada derajat memujinya (telah berterima kasih kepadanya dengan memujinya).” (HR. Abdur Razaq dan Al-Humaidi, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Al-Mubarakfuri rahimahullah ketika menjelaskan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma di atas beliau berkata, 

«جزاك الله خيراً» أي خير الجزاء أو أعطاك خيراً من خيري الدنيا والآخرة.

“Makna “jazaakallahu khairan” adalah “sebaik-baik balasan” atau “semoga Allah membalasmu dengan balasan kebaikan di dunia maupun di akhirat”.

«فقد أبلغ في الثناء» أي بالغ في أداء شكره، وذلك أنه اعترف بالتقصير، وأنه ممن عجز عن جزائه وثنائه، ففوض جزاءه إلى الله ليجزيه الجزاء الأوفى

“sedangkan makna “berarti dia telah sampai pada derajat mensyukurinya” adalah dengan ucapan tersebut, berarti dia mengakui bahwa dirinya kurang mensyukurinya dan dirinya termasuk orang yang tidak mampu membalas kebaikannya dan tidak mampu memujinya (dengan semestinya atas kebaikannya). Sehingga dia serahkan pembalasan kebaikannya kepada Allah, agar Allah membalasnya dengan balasan kebaikan yang sempurna.”

قال بعضهم إذا قصرت يداك بالمكافأة، فليطل لسانك بالشكر والدعاء

“Sebagian ulama berkata, apabila Anda tidak mampu membalas kebaikan (orang lain), maka perbanyaklah lisanmu dengan berterima kasih dan mendoakannya.” (Tuhfatul Ahwadzi, 6: 156)

Kedua, adab yang berkaitan dengan hati ketika mengucapkan “jazaakallahu khairan”.

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ketika kita mengucapkan “jazaakallahu khairan” kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita, hendaknya kita menghayati dalam hati dan mengakui bahwa diri kita kurang bisa mensyukuri kebaikannya dan tidak mampu membalas kebaikannya dan tidak mampu memujinya dengan semestinya, serta tidak mampu memenuhi haknya sehingga kita serahkan pembalasan kebaikannya kepada Allah, agar Allah membalasnya dengan balasan kebaikan yang sempurna.

Ketiga, perhatian salafus shalih terhadap besarnya kebaikan pada ucapan «جزاك الله خيراً»: 

‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه: جزاك اللهُ خيراً، لأكثرَ منها بعضُكم لبعضٍ

“Seandainya salah seorang di antara kalian mengetahui kebaikan yang didapatkan pada ucapan yang ditujukan kepada saudaranya, “jazaakallahu khairan”, tentulah satu sama lain akan memperbanyak ucapan tersebut di antara kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Syaibah dalam Al-Mushannaf)

Keempat, dari hadits-hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam terdapat perintah membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Hendaklah seseorang meniatkan mengamalkan dalil-dalil tentangnya dalam membalas kebaikan orang lain dengan ikhlas karena mencari ridha Allah Ta’ala semata. Dan janganlah hal itu dilakukan sekedar karena adat kebiasaan atau rasa sungkan saja apabila tidak membalas kebaikannya.

Kelima, membalas kebaikan itu merupakan tuntutan syar’iat baik pelaku kebaikannya adalah seorang muslim atau non muslim.

Keenam, membalas kebaikan itu juga merupakan tuntutan syar’iat, baik kebaikan tersebut jenis perkara yang mustahab (sunnah) maupun perkara yang wajib. Oleh karena itu, ungkapan yang terlanjur tersebar berikut ini adalah ungkapan yang salah:

“لا شُكرَ على وَاجِب” 

 “Tidak ada terima kasih atas perbuatan yang memang menjadi kewajiban untuk ditunaikan.”

Kalimat ini menunjukkan barangsiapa yang telah melakukan kebaikan yang sifatnya merupakan tugas wajib baginya, maka dia tidak berhak mendapatkan ucapan terima kasih. Hal ini karena itu telah menjadi kewajibannya.

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata,

هــــذه الكلمة غلط! لأن الواجب يُشكر عليه، من أدى الواجب، الواجب الشرعي في حقوق الله، أو حقوق العباد، فإنه يُشكر على أدائه هذا الواجب، وكذلك المستحبات يشكرُ على أدائها

“Ini adalah kalimat yang salah. Karena mensyukurinya merupakan hal yang wajib dalam syariat. Orang yang telah melakukan kewajibannya dalam syariat, baik terkait hak Allah maupun hak hamba, maka layak disyukuri atasnya. Demikian pula amalan yang sunnah, layak juga untuk disyukuri.” (Syarh Fathul Majiid)

Ketujuh, menerima hadiah dan membalas dengan memberi hadiah pula adalah salah satu ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedelapan, bentuk balasan kebaikan terhadap orang yang melakukan kebaikan kepada kita itu bermacam-macam. Bisa berupa ucapan maupun perbuatan, misalnya: 

– Memberi harta sebagai hadiah yang sepadan harganya atau lebih mahal.

– Ucapan “Jazaakallahu khairan” untuk pria satu orang (tunggal) atau “Jazaakumullahu khairan” untuk pria banyak orang (jamak).

“Jazaakillaahu khairan” untuk wanita satu orang (tunggal), atau “Jazaakunnallahu khairan” untuk wanita banyak orang (jamak).

– Dengan memuji orang yang melakukan kebaikan kepada kita atas kebaikannya.

– Jika kebaikan yang kita dapatkan banyak, maka  kita disyari’atkan membalasnya dengan mendoakannya berulangkali sampai kita menduga kuat telah “melunasi” hutang kita atas jasanya yang banyak kepada kita.

– Dengan menyebut-nyebut kebaikannya dan jasanya.

– Dengan mengucapkan, “Terimakasih” atau “Syukron” atau ucapan baik lainnya yang menunjukkan bahwa kita telah menyebut kebaikannya dan telah memujinya, serta berbuat baik kepadanya.

– Sebaik-baik balasan kebaikan adalah menggabungkan antara balasan berupa ucapan dan perbuatan, yaitu membalas dengan memberi harta, mengucapkan “Jazakallahu khairan”, mendoakan, menyebut kebaikannya, serta memujinya dan berbuat baik kepadanya.

– Jika orang yang melakukan kebaikan kepada kita itu seorang non muslim, maka ucapkanlah ucapan yang sesuai dengan keadaannya, misalnya “Terimakasih” atau semisalnya atau balaslah dengan harta, disertai niat mendakwahinya agar ia cinta ajaran Islam dan mencintai kaum muslimin sehingga diharapkan ia tertarik masuk ke dalam agama Islam.

Seseorang berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullah,

المجوسي يوليني خيراً فأشكره، قال:نعم.

“Seorang yang beragama Majusi berbuat baik kepadaku, lalu aku pun berterima kasih kepadanya, (bagaimanakah menurutmu?)” Beliau pun menjawab, “Ya, (itu perbuatan yang baik).” (Al-Adaab Asy-Syar’iyyah, 1: 316)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

إذا أحسن إليك أحدٌ من غير المسلمين، فكافئه، فإن هذا من خلق الإسلام، وربما يكون في ذلك تأليفٌ لقلبه فيحب المسلمين فيسلم

“Jika salah seorang non-muslin berbuat baik kepada kalian, maka balaslah (kebaikannya), karena sikap ini merupakan akhlak Islam. Barangkali dengan sikap tersebut hatinya bisa lunak sehingga mencintai kaum muslimin lalu masuk Islam.”

Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.

(Selesai)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55183-fiqih-ringkas-tentang-ucapan-jazaakallahu-khairan-bag-2.html

Fiqih Ringkas Tentang Ucapan “Jazaakallahu Khairan” (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Bersyukur kepada Allah Ta’ala adalah sebuah kewajiban

Bersyukur atas nikmat dari Allah adalah sebuah kewajiban seorang hamba. Barangsiapa yang mensyukuri kenikmatan yang didapatkannya, niscaya Allah Ta’ala akan tambahkan anugerah-Nya kepadanya. Namun, barangsiapa yang mengkufuri nikmat-Nya, maka Allah Ta’ala ancam dengan adzab-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian memberitahukan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7)

Berterimakasih kepada orang yang berbuat baik termasuk bentuk syukur kepada Allah Ta’ala

Berterimakasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita termasuk akhlak mulia yang diajarkan dalam agama Islam dan bagian dari bersyukur kepada Allah. Hal ini karena nikmat Allah itu kita dapatkan melalui orang yang berbuat baik kepada kita tersebut.

Termasuk bentuk syukur yang terbaik adalah mengucapkan rasa terimakasih dengan mengatakan kepada orang yang berbuat baik kepada kita:

”جزاك الله خيراً “

(Jazaakallahu khairan)

(Semoga Allah membalasmu dengan balasan kebaikan.)

Hadits-hadits tentang ucapan “Jazaakallahu khairan” dan tuntunan untuk berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صُنع إليه معروفٌ فقال لفاعله: جزاك الله خيراً، فقد بالغ في الثناء

“Barangsiapa yang telah mendapatkan kebaikan dari seseorang, lalu ia berkata kepada pelaku kebaikan tersebut, “Jazaakallahu khairan”, berarti ia telah sampai pada derajat memujinya (telah berterima kasih kepadanya dengan memujinya).” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dari ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أُتي إليه معروفٌ فليكافئ به، فإن لم يستطع فليذكره، فمن ذكره فقد شكره

“Barangsiapa yang telah mendapatkan kebaikan dari seseorang, maka balaslah. Jika ia tidak mampu membalas kebaikannya, maka sebutlah (pelaku kebaikan karena kebaikannya). Siapa saja yang menyebutnya, berarti dia telah berterima kasih kepadanya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أُولي معروفاً، فليذكره، فمن ذكره فقد شكره، ومن كتمه فقد كفره

“Barangsiapa yang telah mendapatkan kenikmatan dari seseorang, maka sebutlah (pelaku kebaikan karena kebaikannya). Siapa saja yang menyebutnya, berarti dia telah berterima kasih padanya. Dan barangsiapa yang menyembunyikan kebaikannya, maka berarti dia telah mengkufurinya (tidak berterima kasih kepadanya).” (HR. Ath-Thabrani dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أُعطي عطاءً فوجد فليجز به، فإن لم يجد فليثنِ، فإن من أثنى فقد شكر، ومن كتم فقد كفر، ومن تحلى بما لم يُعط كان كلابس ثوبي زور

“Barangsiapa yang diberi pemberian (oleh seseorang), lalu dia mendapatkan (sesuatu untuk membalasnya), maka balaslah dengannya. Namun jika dia tidak mendapatkannya, maka pujilah dia, karena orang yang memujinya berarti telah berterima kasih (kepadanya). Dan barangsiapa yang menyembunyikan kebaikannya, maka berarti dia telah mengkufurinya (tidak berteima kasih kepadanya). 

Barangsiapa menghiasi diri dengan sesuatu yang dia tidak dianugerahi dengannya, maka dia seperti memakai baju dengan dua lengan baju (yang bertumpuk) untuk menipu (seolah-olah dia memakai dua baju).” (HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا قال الرجلُ لأخيه:جزاك الله خيراً، فقد أبلغ في الثناء

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Jazaakallahu khairan”, berarti ia telah sampai pada derajat memujinya (telah berterima kasih kepadanya dengan memujinya).” (HR. Abdur Razaq dan Al-Humaidi, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Barangsiapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah dia (karena kebaikannya). Lalu jika kalian tidak mendapatkan sesuatu yang bisa kalian gunakan untuk membalasnya, maka doakanlah dia, sampai kalian memandang bahwa diri kalian telah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Al-Albani) 

Berdasarkan hadits di atas, siapa saja yang telah berbuat baik kepada kalian, baik berupa kebaikan ucapan maupun perbuatan, maka balaslah kebaikannya dengan kebaikan yang sepadan atau lebih baik. Diantaranya dengan memberi harta kepadanya.

Lalu jika kalian tidak mendapatkan harta yang bisa kalian gunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah dia berulang kali, sampai kalian menyangka dengan sangkaan kuat bahwa diri kalian telah membalas kebaikannya, yaitu kalian telah menunaikan haknya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لا يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak bersyukur kepada Allah (dengan baik) orang yang tidak berterimakasih kepada orang (lain).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dari Asy-‘ats bin Qais radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن أشكرَ الناس لله عز وجل أشكرُهم للناس

“Sesungguhnya orang yang paling bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang yang paling pandai berterimakasih kepada manusia di antara mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Syaibah, dan selain keduanya. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Di antara bentuk membalas kebaikan adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan memberi hadiah kepada orang yang telah terlebih dahulu memberi hadiah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalasnya dengan memberi hadiah pula.” (HR. Bukhari)

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55152-fiqih-ringkas-tentang-ucapan-jazakallahu-khairan-bag-1.html

Hukum Shalat dengan Memakai Masker

Shalat merupakan ibadah yang memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Sejak sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan dan setelahnya, ada saja problematika yang menarik dipelajari hukum fiqihnya. Termasuk di antaranya adalah persoalan memakai masker. Karena pertimbangan kesehatan dan lainnya, seseorang tidak melepas maskernya saat shalat. Bagaimana hukumnya shalat memakai masker?

Agama tidak melarang penggunaan berbagai atribut yang dikenakan ketika shalat, seperti sorban, selendang, peci, sajadah dan lain sebagainya. Termasuk dalam titik ini adalah masker. Asalkan benda-benda tersebut suci, maka diperbolehkan untuk dikenakan saat shalat. Bila masker yang dipakai terkena najis, maka haram dan tidak sah shalatnya.

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani mengatakan:

ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة) أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك 

Artinya, “Syarat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas,” (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, halaman 102).

Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebaiknya penggunaan masker dihindari saat shalat, bila penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna saat melakukan sujud. Para ahli fiqih bermazhab Syafi’i menegaskan bahwa salah satu yang disunahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna.

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan:

ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه) أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه  (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا) قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف

Artinya, “Disunahkan di dalam sujud, meletakan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti Nabi. Nash hadits yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut suatu keterangan. Kemudian meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya secara bersamaan. Dan disunahkan hidung terbuka, karena dianalogikan dengan membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan, demikian pula makruh tidak meletakan hidung,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, juz III, halaman 36).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjelaskan sebagai berikut:

قوله ويسن كونه اي الانف قوله مكشوفا قياسا على كشف اليدين لم يذكر هذا القياس في التحفة، وعبارة شيخ الاسلام ثم يضع جبهته وانفه مكشوفا للاتباع رواه ابو داود وغيره الخ ومقتضى هذا رجوع الاتباع للكشف ايضا فليتأمل وليراجع

Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar dan sunah terbukanya hidung karena dianalogikan dengan membuka tangan, Syekh Ibnu Hajar tidak menyebutkan analogi ini dalam kitab al-Tuhfah. Adapun redaksinya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari adalah, kemudian sunah meletakan dahi dan hidungnya dalam keadaan terbuka karena mengikuti Nabi. Hadits riwayat Imam Abu Daud dan lainnya.

Tuntutan dari redaksi ini adalah kembalinya alasan mengikuti Nabi kepada persoalan membuka hidung juga. Berpikirlah dan periksalah kembali,” (Lihat Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, juz III, halaman 36).

Demikian penjelasan mengenai hukum memakai masker saat shalat. Simpulannya, sebaiknya penggunaan masker dihindari bila sampai menghalangi terbukanya hidung secara sempurna ketika sujud.

Solusi agar tetap mendapat keutamaan adalah, penggunaan masker tidak sampai menutupi bagian hidung, atau saat prosesi sujud, bagian hidung dibuka. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. (Ustadz M Mubasysyarum Bih)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/101647/hukum-shalat-dengan-memakai-masker

Hukum Memakai Masker ketika Shalat Saat Terjadi Wabah Covid-19

Saat ini di sedang terjadi wabah virus corona atau Covid-10 , sebagai salah satu usaha pencegahannya adalah dengan memakai masker

Makruh Menutup Mulut Saat Shalat

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat.” [HR. Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh al-Albani]

at-Talatstsum (التلَثُّم) adalah kebiasaan orang Arab yang menggunakan ujung imamah untuk menutup hidung dan mulut mereka seperti yang dikatakan al-Khaththabi dalam Ma’aalim as-Sunan (1: 433). 

Mayoritas alim ulama menilai bahwa hukum at-talatstsum (menutup mulut dan hidung) dalam shalat adalah makruh. Ibnu al-Mundzir mengatakan,

كثير من أهل العلم يكره تغطية الفم في الصلاة، وممن روي عنه أنه كره ذلك: ابن عمر، وأبو هريرة، وبه قال عطاء، وابن المسيب والنخعي، وسالم بن عبد الله، والشعبي، وحماد بن أبي سليمان، والأوزاعي، ومالك، وأحمد، وإسحاق

“Banyak alim ulama yang menilai bahwa menutup mulut ketika shalat dimakruhkan. Di antara mereka yang menilai perbuatan itu makruh adalah: Ibnu Umar, Abu Hurairah, Atha’, Ibnu al-Musayyib, an-Nakha-i, Salim bin Abdillah, asy-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman, al-Auza’i, Malik, Ahmad, dan Ishaq.” [al-Ausath 3: 451]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, 

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة

“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat, dimakruhkan. Dimakruhkan juga, menutup mulut dengan tangan.” [al-Majmu’ 3: 179]

Makruh Menjadi Diperbolehkan Jika Ada Hajat (Kebutuhan)

Namun, larangan menutup mulut dalam shalat ini tidak lagi berlaku jika terdapat hajat yang menuntut perbuatan itu dilakukan, semisal seorang yang bersin ketika shalat maka dia dituntut untuk menutup mulut.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika kalian menguap, maka tutuplah mulut dengan tangan karena setan akan masuk.”

dalam redaksi lain tercantum,

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Jika kalian menguap dalam shalat, maka tahanlah sebisa mungkin.” [HR. Muslim]

Dengan demikian, dalam kondisi ada hajat yang menuntut, maka menutup mulut dalam shalat diperbolehkan, bahkan diperintahkan seperti terlihat dalam redaksi hadits di atas. 

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة إلا إذا تثاءب فإن السنة وضع اليد على فيه ففي صحيح مسلم عن أبي سعيد إن النبي صلى الله عليه وسلم … والمرأة والخنثى كالرجل في هذا وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة

“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat, dimakruhkan. Dimakruhkan juga, menutup mulut dengan tangan. Kecuali apabila seseorang bersin dalam shalat, maka diperbolehkan menutup mulut karena dalam kondisi ini yang sesuai sunnah adalah menggunakan tangan untuk menutup mulut sebagaimana pengajaran yang terdapat dalam hadits di Shahih Muslim (hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas) … Wanita dan banci memiliki ketentuan yang sama dalam hal ini. Perbuatan ini hukumnya makruh tanzih, sehingga tidak menghalangi keabsahan shalat.” [al-Majmu’ 3: 179]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,

يكره اللثام على فمه وأنفه بأن يضع «الغترة» أو «العمامة»، أو «الشماغ» على فمه، وكذلك على أنفه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يغطي الرجل فاه في الصلاة، ولأنه قد يؤدي إلى الغم وإلى عدم بيان الحروف عند القراءة والذكر. ويستثنى منه ما إذا تثاءب وغطى فمه ليكظم التثاؤب فهذا لا بأس به، أما بدون سبب فإنه يكره، فإن كان حوله رائحة كريهة تؤذيه في الصلاة، واحتاج إلى اللثام فهذا جائز؛ لأنه للحاجة، وكذلك لو كان به زكام، وصار معه حساسية إذا لم يتلثم، فهذه أيضاً حاجة تبيح أن يتلثم

“Dimakruhkan melakukan al-litsaam pada mulut dan hidung, yaitu menutup mulut dan hidung menggunakan ghutrah, imaamah, atau syimaagh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang menutup mulut ketika melaksanakan shalat. Hal itu juga terkadang mengganggu dan mengaburkan lafadz ketika membaca ayat al-Quran dan dzikir shalat. Namun, terdapat pengecualian jika seorang bersin dalam shalat. Dalam hal ini tidak mengapa jika ia menutup mulutnya dengan tangan untuk meredakan bersin. Adapun jika hal itu dilakukan tanpa alasan, maka dimakruhkan. Apabila ada bau tidak enak di sekitar sehingga bisa mengganggu shalat yang akan dilaksanakan, maka boleh melakukan al-litsaam karena ada hajat yang menuntut. Demikian pula jika orang sedang menderita pilek dan apabila ia tidak menutup mulut dan hidung justru akan memperparah, maka kondisi ini adalah hajat yang menuntut diperbolehkannya menutup mulut dan hidung ketika shalat.” [asy-Syarh al-Mumti’ 3: 179]

Kesimpulan: Hukum Memakai Masker Ketika Shalat Saat Terjadi Wabah Covid-19

Berdasarkan uraian di atas, maka di tengah kekhawatiran akan merebaknya pandemik Covid-19 (virus Corona), diperbolehkan bahkan bisa menjadi hal yang diperintahkan untuk menggunakan masker ketika melaksanakan shalat, terutama bagi orang yang menunjukkan gejala-gejala seperti batuk, flu, pilek, selesma dan menghadiri pelaksanaan shalat berjama’ah di masjid. Hal ini untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran pandemik Covid-19 (virus Corona). Wallahu ta’ala a’lam.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55194-hukum-memakai-masker-ketika-shalat-saat-terjadi-wabah-covid-19.html

Larangan Menjalin Jari-Jemari (Tasybik) ketika Shalat

Tidak menjalin (menganyam) jari-jemari (tasybik) termasuk adab yang ditegaskan oleh para ulama ketika seseorang pergi menuju masjid

Dalil-dalil yang melarang tasybik

Tidak menjalin (menganyam) jari-jemari (tasybik) termasuk adab yang ditegaskan oleh para ulama ketika seseorang pergi menuju masjid. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا توضأ أحدكم في بيته ثم أتى المسجد كان في صلاة حتى يرجع فلا يفعل هكذا وشبك بين أصابعه

“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumah, kemudian berangkat ke masjid, maka dia dalam kondisi shalat sampai dia kembali (lagi ke rumah). Maka janganlah melakukan hal ini.” Dia pun menjalin jari-jemarinya (tasybik)(HR. Ad-Darimi, 1: 267; Al-Hakim, 1: 206; shahih)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ثُوِّبَ لِلصَّلَاةِ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ

“Jika iqamat shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kalian datang sambil berlari, namun datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapatkan dari (imam) shalat, maka ikutilah, dan apa yang tertinggal, maka sempurnakanlah. Sebab bila salah seorang di antara kalian pergi untuk mendirikan shalat, maka dia dinilai sedang shalat.” (HR. Muslim no. 602)

Hadits-hadits tersebut menunjukkan terlarangnya melakukan tasybik ketika berjalan menuju masjid dan juga ketika di masjid menunggu didirikannya shalat. Karena orang yang sedang berjalan menuju masjid dan menunggu didirikannya shalat, statusnya sama seperti orang yang sedang shalat. 

Larangan tasybik juga ditegaskan dalam beberapa hadits berikut ini.

حَدَّثَنِي أَبُو ثُمَامَةَ الْحَنَّاطُ، أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، أَدْرَكَهُ وَهُوَ يُرِيدُ الْمَسْجِدَ أَدْرَكَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، قَالَ: فَوَجَدَنِي وَأَنَا مُشَبِّكٌ بِيَدَيَّ، فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ

Dari Abu Tsumamah Al-Hannath, bahwasanya Ka’ab bin ‘Ujrah pernah menjumpainya hendak pergi ke masjid, salah satunya bertemu dengan temannya. Kata Abu Tsumamah, Ka’ab mendapatiku sedang tasybik, maka dia melarangku berbuat demikian. Dan dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu dia membaguskan wudhunya, kemudian pergi menuju masjid, maka janganlah dia melakukan tasybik. Karena dia dianggap sedang shalat.” (HR. Abu dawud no. 562, At-Tirmidzi no. 386, shahih)

سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنِ الرَّجُلِ يُصَلِّي، وَهُوَ مُشَبِّكٌ يَدَيْهِ، قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ: تِلْكَ صَلَاةُ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

Dari Isma’il bin Umayyah, “Aku bertanya kepada Nafi’ tentang orang yang shalat dengan melakukan tasybik.” Nafi’ menjawab, “Ibnu ‘Umar pernah berkata bahwa itu adalah shalatnya orang yang dimurkai (yaitu orang Yahudi, pent.).” (HR. Abu Dawud no. 993, shahih)

Al-Khaththabi rahimahullah berkata,

“Yang dimaksud dengan tasybik adalah memasukkan (menganyam) sebagian jari-jemari ke sebagian jari-jemari yang lain. Sebagian orang melakukannya secara sia-sia saja. Sebagian orang terkadang membunyikan (ruas) jari-jemarinya ketika Engkau menjumpai mereka sedang berbaring atau terlentang. Terkadang seseorang duduk, kemudian melakukan tasybik dan bersandar dengan kedua tangannya, karena ingin duduk santai. Dan terkadang hal itu menyebabkan datangnya rasa kantuk, sehingga menjadi sebab batalnya wudhunya.” (Ma’aalim As-Sunan, 1: 295)

Kapan diperbolehkan melakukan tasybik

Terdapat hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah sahabat Dzul Yadain berkaitan tentang sujud sahwi (ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa ketika shalat isya’ karena setelah mendapatkan dua raka’at, beliau lansgung salam). Di dalam hadits tersebut terdapat lafadz,

فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Beliau shalat bersama kami dua rakaat kemudian salam. Kemudian beliau mendatangi tiang yang tertancap di masjid. Beliau lalu bersandar pada kayu tersebut seolah-olah sedang marah dengan meletakkan lengan kanannya di atas lengan kirinya, serta melakukan tasybik … “ (HR. Bukhari no. 482 dan Muslim no. 573)

Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadits ini di kitab Shahih-nya di bawah judul bab,

بَابُ تَشْبِيكِ الأَصَابِعِ فِي المَسْجِدِ وَغَيْرِهِ

“Bab men-tasybik jari-jemari di dalam masjid dan selain masjid.” 

Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata, “Mungkin maksudnya adalah boleh secara mutlak. Hal ini karena jika boleh dikerjakan di masjid, maka di selain masjid tentu saja lebih-lebih lagi bolehnya.” (Taraajim Al-Bukhari, hal. 129)

Dan bisa jadi maksud dari Imam Al-Bukhari adalah menyanggah orang yang berpendapat terlarangnya men-tasybik jari-jemari dan menjelaskan bahwa larangan dalam masalah itu tidak didukung oleh hadits yang valid. 

Sebagian ulama berkata bawa tidak ada pertentangan antara hadits-hadits yang melarang tasybik dengan hadits yang membolehkan tasybik. Hal ini karena tasybik tersebut terjadi setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap shalatnya telah selesai (karena ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa), maka statusnya sama dengan orang yang benar-benar telah selesai shalat. Adapun hadits khusus yang berisi larangan tasybik berkaitan dengan orang yang sedang mendirikan shalat, karena hal itu termasuk perbuatan sia-sia dan tidak mendukung kekhusyu’an dalam shalat. Atau larangan tasybik tersebut berkaitan dengan orang yang sedang pergi menuju masjid. Karena jika hati itu khusyu’ ketika shalat, maka akan tercermin dalam khusyu’-nya anggota badan secara keseluruhan. 

Bolehnya tasybik selesai shalat juga ditunjukkan oleh hadits yang lain. Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” Kemudian beliau melakukan tasybik.” (HR. Bukhari no. 481)

Yang perlu diperhatikan, sebagian orang shalat juga berbuat sia-sia dengan menekuk atau melipat ruas-ruas jarinya sehingga menimbulkan bunyi (suara). Ini juga perbuatan sia-sia yang seharusnya ditinggalkan, sebagaimana perkataan Al-Khaththabi di atas. Karena sekali lagi, jika hati itu khusyu’, maka akan tercermin dalam khusyu’-nya seluruh anggota badan yang lain.

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55118-larangan-menjalin-jari-jemari-tasybik-ketika-shalat.html

Keutamaan Mimpi Berjumpa Rasulullah SAW dan Manfaatnya

Rasulullah SAW menyatakan mimpi bertemu dengannya sebuah anugerah.

Memimpikan orang yang sudah wafat lumrah terjadi pada diri setiap orang. Namun agak sulit memaknai dan membedakan mana mimpi yang benar-benar bisa memberikan isyarat hidayah dan mana mimpi dalam arti kembang tidur. 

Dalam literatur tasawuf, bermimpi atau bahkan berkomunikasi interaktif dengan orang-orang yang sudah wafat sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para arifin. Mimpinya orang saleh, apalagi ulama yang taat dan bersih, dianggap bagian isyarat dari Tuhan.

Dalam Alquran, dapat dipahami bahwa mimpinya para nabi dapat disejajarkan dengan wahyu. Syariah qurban, menyembelih hewan qurban, yang kita lakukan sampai saat ini pada awalnya adalah mimpi Nabi Ibrahim yang diminta untuk menyembelih anak kesayangannya.

Banyak hadis sahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah SAW. Di antara hadis itu ialah: “Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak dapat menjelma sepertiku.” (HR Muslim dari Abi Hurairah).

Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang melihat aku dalam mimpi, maka dia benar-benar melihat sesuatu yang benar.” (HR Muslim dari Abu Qatadah). 

Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa yang sering bershalawat terhadapku, aku tahu dan aku tentu memberikan syafaat di hari kiamat.” Dalam redaksi lain dikatakan, “Barang siapa memimpikan aku, maka aku akan bersamanya nanti di surga.”

Penggambaran Rasulullah SAW dalam Alquran menarik untuk dikaji karena hampir semuanya menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (present and future), bukannya menggunakan bentuk fi’il madhi (past tense). Salah satu contohnya ialah: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan Al Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al Baqarah [2]: 151). 

Kata membacakan, menyucikan, dan mengajarkan digunakan bentuk fi’il mudhari’. Itu artinya Rasulullah masih bisa berkomunikasi aktif dengan umatnya secara khusus. 

KHAZANAH REPUBLIKA

10 Waktu Disunahkannya Azan

AZAN adalah bacaan-bacaan khusus yang disuarakan untuk tujuan tertentu. Hukum melakukan azan adalah sunah. Selama ini yang dikira sunnah melakukan azan adalah saat akan salat fardhu dan bayi yang baru lahir saja.

Padahal ada banyak sekali tempat atau waktu yang disunahkan untuk melakukan azan. Dalam Kitab Hasyiyah Al-Bajury hal. 161, Haramain, disebutkan ada 10 tempat/waktu yang disunahkan untuk melakukan azan.

1. Sebelum Salat Fardhu

Ini mungkin azan yang paling sering terdengar. Hampir di seluruh masjid akan terdengar suara azan setiap salat lima waktu akan dilaksanakan. Faedah Azan di waktu ini adalah untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa sudah masuk waktu salat.

2. Pada Telinga Orang yang Sedang Gundah

Manusia memang memiliki sifat gundah, galau, gelisah dan seterusnya. Hal ini wajar apalagi jika sedang mengalami masalah yang besar. Islam memberikan obat dengan cara diazankan ke telinga orang tersebut. Faedah dari azan di sini adalah untuk menghilangkan kegelisahan atau kegundahan orang yang bersangkutan.

3. Pada Telinga orang yang Sedang Marah

Rasul berpesan agar jangan marah. Namun dalam kondisi tertentu sebagai manusia biasa akan merasa sulit sekali menahan amarah tersebut. Apalagi jika alasan marah itu timbul cukup besar. Jika sedang melihat orang lain (teman, saudara, keluarga) yang sedang marah, kita bisa mengambil inisiatif untuk azan di telinganya. Faedahnya adalah untuk meredakan amarah orang tersebut. Disebutkan bahwa marah adalah api sementara azan adalah air.

4. Pada Telinga orang yang Mempunyai Sifat Tercela

Jika menemukan orang yang mempunyai sifat jelek, sunah melakukan azan ke telinganya. Baik itu karena permintaan orang yang bersangkutan atau tawaran dari kita sendiri. Hal ini bisa dilakukan untuk anak, saudara atau anggota keluarga yang lain. Bahkan sunah azan di sini juga berlaku untuk binatang yang memiliki perangai tidak baik. Mungkin bisa dicoba untuk kambing, sapi atau peliharaan yang lain. Faedahnya untuk memperbaiki sifat tercela pada orang atau binatang tersebut.

Saat terjadi kebakaran juga disunahkan melakukan azan. Faedahnya untuk meredakan api. Namun tetap ada ikhtiar untuk memadamkan api dengan memanggil petugas pemadam kebakaran atau kerja sama dengan masyarakat untuk memadamkan api.

6. Pada Telinga Orang yang Masru (Keserupan)

Orang yang sedang masru atau dimasuki oleh jin harus dilakukan penanganan khusus. Penanganan bisa dilakukan dengan bacaan ayat-ayat tertentu dari Alquran atau biasa disebut ruqyah. Namun tidak banyak orang yang paham mengenai ruqyah. Oleh karena itu, solusi yang bisa dilakukan adalah melakukan azan ke telinga orang yang masru. Hukum azan saat seperti ini sunah. Faedahnya adalah untuk mengusir apa yang ada dalam tubuh orang masru tersebut.

7. Pada Telinga Bayi Baru Lahir

Sunah melakukan azan pada telinga (sebelah kanan) bayi yang baru lahir. Faedahnya adalah agar suara yang pertama kali si bayi dengar saat hadir ke dunia adalah nama Allah SWT.

8. Saat Melakukan Perjalanan

Bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan) sunah malakukan azan. Faedah dari melakukan azan ini adalah agar perjalanannya memperoleh keberkahan dan keselamatan.

9. Saat Perang Sedang Berkecamuk

Waktu lain yang juga disunahkan untuk azan adalah saat perang sedang berkecamuk. Faedahnya adalah untuk meredakan perang dan mendapat pertolongan dari Allah SWT.

10. Saat Setan atau Jin Jahat Berubah Wujud

Jin memang memiliki kemampuan untuk merubah diri mereka menjadi bentuk atau menyerupai orang lain. Hal ini dilakukan untuk mengganggu manusia. Saat menemukan sosok aneh yang kemungkinan adalah hasil ubah wujud dari jin, maka sunnah melakukan azan. Tujuan atau faedahnya agar dengan menyebutkan nama-nama yang dikenal baik oleh jin dan setan tersebut (Nama Allah), akan meredakan keburukan mereka.[]

INILAH MOZAIK