Bolehkah Menghina Covid-19 dengan Kata-Kata Kasar?

Bismillahirrahmanirrahim

Wabah Covid-19 telah melumpuhkan ekonomi dunia dan jutaan nyawa melayang melalui sebabnya. Sebagian ada merasa sangat geram dengan pandemi ini. Sehingga munculah ucapan-ucapan serapah atau hinaan kepada virus ini. Di dalam Islam, ternyata hal sedetail ini telah diatur. Menunjukkan kepada manusia bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi etika atau adab.

Dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhu, beliau bercerita,

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumah Ummu Saib atau Ummu Musayyib, kemudian beliau bertanya,

“Mengapa kamu menggigil ya Ummu Saib?”

الحمى لا بارك الله فيها

“Sakit panas, semoga Allah tak memberkahinya.” Jawab Ummu Saib.

Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,

لا تسبي الحمى فإنها تذهب خطايا بني آدم كما يذهب الكير خبث الحديد

“Janganlah kamu cela penyakit panas. Karena sesungguhnya ia dapat menghilangkan dosa-dosa anak cucu Adam sebagaimana tiupan api pandai besi dapat menghilangkan karat-karat besi” (HR. Muslim).

Hadis di atas menunjukkan larangan mencela penyakit, termasuk dalam hal ini adalah wabah Covid-19. Mengapa hal tersebut bisa dilarang?

Pertama, adanya keberkahan di balik penyakit.

Seperti yang dikabarkan pada hadis di atas, penyakit demam dapat menggugurkan dosa. Bukan hanya demam, bahkan semua penyakit dan musibah dapat menjadi sebab penggugur dosa. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها

“Semua kecemasan, kegalauan, rasa capek, sakit, kesedihan dan gangguan yang dialami oleh seorang muslim sampai-sampai duri yang menusuk kakinya adalah penyebab Allah akan menghapus dosa-dosanya” (HR. Bukhori, dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu’anhu).

Kedua, tujuan dari adanya musibah dan penyakit adalah, memberi peluang kepada orang-orang mukmin agar mengamalkan sabar, yang pahalanya tanpa batas (lihat Quran surat Az-Zumar ayat 10). Inilah perintah Allah dan Rasul-Nya. Mencela penyakit sangat bertentangan dengan tujuan ini.

Ketiga, wabah ini adalah bagian dari takdir Allah. Maka menghinanya, sama saja menghina takdir Allah. Dan itu dosa besar.

Tindakan seperti itu bisa berhadapan dengan hadis yang mulia ini,

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

“Sesungguhnya besarnya ganjaran itu sesuai besarnya ujian. Dan sungguh bila Allah Ta’ala mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Siapa yang rida akan ujian itu, maka baginya keridaan Allah, dan siapa yang marah atau benci terhadap ujian itu, maka baginya kebencian Allah” (HR. Turmudzi, beliau menilai hadis ini Hasan).

Syekh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya tentang hukum ucapan, “Semoga Allah melaknat penyakit ini. Ia telah membuatku tak bisa apa-apa.”

Beliau Rahimahullah menjawab,

وأما من يلعن المرض وما أصابه من فعل الله عز وجل فهذا من أعظم القبائح – والعياذ بالله – لأن لعنه للمرض الذي هو من تقدير الله تعالى بمنزلة سب الله عزوجل فعلى من قال مثل هذه الكلمة أن يتوب إلى الله، وأن يرجع إلى دينه، وأن يعلم أن المرض بتقدير الله، وأن ما أصابه من مصيبة فهو بما كسبت يده، وما ظلمه الله، ولكن كان هو الظالم لنفسه

“Mencela penyakit atau musibah yang mana itu terjadi atas perbuatan Allah Azza wa jalla, ini adalah dosa yang paling besar -semoga Allah melindungi dari dosa seperti ini-. Karena celaannya kepada penyakit yang mana itu terjadi karena perbuatan Allah, itu sama dengan mencela Allah Azza wa jalla. Oleh karena itu, siapa yang pernah mencela penyakit atau musibah, hendaklah bertaubat kepada Allah, kembalilah kepada ajaran agama, serta meyakini bahwa musibah yang menimpanya adalah karena sebab dosanya. Allah sama sekali tidak zalim, namun ia sendiri yang menzolimi dirinya” (Majmu’ Fatawa War Rosa-il As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin 3/126, fatwa nomor 492).

Keempat, celaan tak akan mengubah nasib.

Apakah dengan mengucapkan “Corona b*ngs*t.” “corona anj**g,” virus ini akan mati? Pandemi akan berakhir? Kan tidak!

Maka tak ada gunanya ucapan-ucapan serapah seperti itu. Malah akan mengisi jiwa dengan kemarahan, yang malah berdampak tidak baik bagi kesehatan.

Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah mengatakan,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Beliau juga bersabda,

مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ

“Diantara tanda baiknya kualitas Islam seseorang  adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi).

Maka daripada menghina, mending berdoa yang baik-baik, agar badai ini segera berlalu, semoga Pandemi berakhir, yang sakit disembuhkan Allah, yang tidak sakit dijaga Allah. Itu lebih bermanfaat, berkhasiat dan mendatangkan energi yang positif.

Wallahul muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/67320-bolehkah-menghina-covid19-dengan-kata-kata-kasar.html

Hukum Memakai Masker Saat Berpuasa

Di antara fungsi dari pemakaian masker adalah agar terlindungi dari pengaruh negatif dari partikel polusi, virus, kuman dan lainnya. Biasanya masker digunakan ketika hendak bepergian. Namun dalam kondisi tertentu, seperti ketika terjadi wabah virus corona, maka masker harus digunakan setiap saat, termasuk ketika sedang berpuasa. Bagaimana hukum memakai masker saat berpuasa?

Memakai masker saat kita sedang berpuasa, hukumnya adalah boleh, tidak masalah. Memakai masker tidak menyebabkan puasa batal atau mengurangi pahala puasa. Bahkan jika memakai masker bisa menghindarkan diri dari masuknya debu ke dalam mulut, atau benda-benda lainnya, maka menutup mulut dengan memakai masker atau lainnya hukumnya dianjurkan, meskipun tidak wajib.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لَوْ طَارَتْ ذُبَابَةٌ فَدَخَلَتْ جَوْفَهُ أَوْ وَصَلَ إلَيْهِ غُبَارُ الطَّرِيقِ أَوْ غَرْبَلَةُ الدَّقِيقِ بِغَيْرِ تَعَمُّدٍ لَمْ يُفْطِرْ قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا يُكَلَّفُ إطْبَاقَ فَمِهِ عِنْدَ الْغُبَارِ وَالْغَرْبَلَةِ لان فِيهِ حَرَجًا فَلَوْ فَتْحَ فَمَهُ عَمْدًا حَتَّى دخله الغبار ووصل وجهه فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمَا قَالَ الْبَغَوِيّ (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ لِأَنَّهُ مَعْفُوٌّ عَنْ جِنْسِهِ (وَالثَّانِي) يُفْطِرُ لِتَقْصِيرِهِ

Ulama Syafiiyah sepakat bahwa jika ada lalat terbang kemudian masuk ke lubang tubuh, atau yang masuk ke lubang tubuh adalah debu jalanan atau ayakan tepung, semuanya tanpa disengaja, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Ulama Syafiiyah berkata; Orang yang berpuasa tidak dituntut selalu menutup mulutnya ketika ada debu atau ayakan tepung karena hal itu menyulitkan. Jika dia membuka mulutnya dengan sengaja sehingga ada debu yang masuk sampai rongganya, maka ada dua pendapat dalam hal ini, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Baghawi dan Al-Mutawalli dan lainnya.

Imam Al-Mutawalli berkata; Yang paling shahih dari pendapat tersebut adalah tidak batal karena dimaafkan. Kedua, membatalkan karena terjadi kelalaian.

Dengan demikian, memakai masker saat sedang berpuasa hukumnya boleh. Ini apalagi bila memakai masker tersebut sangat dibutuhkan, itu malah dianjurkan. Misalnya, memakai masker dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari masuknya benda-benda ke dalam mulut, menghindarkan diri dari penyakit dan lainnya.

BINCANG SYARIAH

MUI: Vaksin Covid-19 Sivonac Suci dan Halal

 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan tentang hasil rapat tim auditor vaksin Covid-19 Sivonac untuk Virus Corona. Hasilnya menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 buatan Sinovac China adalah suci dan halal.

Keputusan tersebut adalah hasil dari sidang pleno Komisi Fatwa MUI pada Jumat (8/1). Sidang tersebut membahas tentang aspek syar’i vaksin Sinovac. Sidang diawali dengan pemaparan Tim Auditor MUI dan dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan kehalalan vaksin tersebut.

Komisi Fatwa MUI kemudian menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 yang diproduksi produsen asal China, Sinovac. Penyampaian disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa yakni Asrorun Niam Sholeh.

Ia menjelaskan, “komisi Fatwa sepakat vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac China hukumnya suci dan halal. Ini yang terkait aspek kehalalan.”

Untuk ketentuan penggunaan, Asrorun menyatakan bahwa MUI masih menunggu aspek keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka, laporan yang dipaparkan MUI tentang produk vaksin Sinovac belum final sebab menunggu hasil final BPOM.

Fatwa utuhnya akan disampaikan setelah BPOM menyampaikan mengenai aspek keamanan untuk digunakan, apakah itu aman atau tidak, maka fatwa akan melihat aspek yang telah diuji oleh BPOM.

MUI menyatakan bahwa aspek halal dan thoyib adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Keamanan produk vaksin pun menentukan hukum boleh tidaknya untuk menggunakan.

Setelah dilakukan diskusi panjang, rapat Komisi Fatwa pun menyepakati bahwa vaksin Covid-19 produksi Sinovac hukumnya suci dan halal. (Baca: Dalil Kebolehan Menggunakan Vaksin Covid-19 Menurut Dewan Fatwa Uni Emirat Arab)

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin (imunisasi) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit-penyakit tertentu.

Pemberian vaksin disebut vaksinasi. Vaksinasi merupakan metode paling efektif untuk mencegah penyakit menular. Kekebalan karena vaksinasi terjadi menyeluruh di dunia sebagian besar bertanggung jawab atas pemberantasan cacar dan pembatasan penyakit seperti polio, campak, dan tetanus.

Efektivitas vaksinasi telah dipelajari dan diverifikasi secara luas, misalnya vaksin terbukti efektif termasuk vaksin influenza, vaksin HPV, dan vaksin cacar air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa vaksin berizin saat ini tersedia untuk dua puluh lima infeksi yang dapat dicegah.[]

BINCANG SYARIAH

Ulama Kharismatik Aceh Sembuh Covid-19, Begini Resepnya

Ulama kharismatik Aceh brbagi pengalaman sembuh dari Covid-19..

Seorang ulama karismatik di Provinsi Aceh HB (71 tahun) yang sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainoel Abidin Banda Aceh karena terinfeksi Covid-19 dinyatakan sembuh, dan kini sudah dipulangkan ke rumahnya.

Direktur RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh, dr Azharuddin, di Banda Aceh, Ahad (2/8) membenarkan informasi kesembuhan ulama tersebut, dan bahkan menegaskan bahwa ulama terkemuka itu telah dipulangkan kembali bersama keluarganya di Kabupaten Bireuen.

“Iya benar sudah sembuh, pada Jumat (31/7) kemarin sore dipulangkan,” kata Azharuddin melalui Koordinator Pelayanan Tim Penyakit Infeksi Emerging (PIE) RSUDZainoel Abidin dr Novina Rahmawati.

Dia menjelaskan, ulama Aceh itu berinisial HB itu merupakan salah satu pimpinan dayah (pesantren) di kawasan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Pasien ini dirujuk dari Bireuen ke RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh, Selasa (21/7) malam.

Setelah sekitar 10 hari menjalani perawatan medis di ruang respiratory intensive care unit (RICU) rumah sakit setempat, akhirnya pasien Covid-19 ke-151 di Aceh itu dinyatakan terbebas dari virus corona. “Saat dipulangkan kondisi klinisnya membaik, baliau sudah tidak lemas lagi, dan tidak sesak nafas lagi,” katanya.

Sementara itu, ulama Aceh HB bersyukur dirinya diberi kesembuhan oleh Allah SWT, berkat doa yang tulus dari seluruh masyarakat, sehingga telah dibolehkan pulang dan melanjutkan isolasi mandiri selama 14 hari di rumahnya.

“Alhamdulillah atas izin dari Allah SWT dan doa yang tulus tidak henti-hentinya dari semua masyarakat, saya sudah dibolehkan pulang dari ruang isolasi RICU RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh,” katanya, dalam keterangan video yang direkam oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Aceh.

Dia menyebutkan bahwa wabah Covid-19 itu nyata adanya. Apa yang dirinya alami sejak hari pertama dirawat di rumah sakit bukan sebuah rekayasa.

“Gejala lemas, pusing, dan penurunan nafsu makan adalah salah satu dari gejala yang mengarahkan kepada Covid-19, pada orang diabetes seperti saya, begitulah yang dokter ahli jelaskan,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskansetelah dinyatakan positif Covid-19 dirinya langsung mengikuti anjuran dokter. Hal itu merupakan sebuah wujud ikhtiar terbaik yang harus dijalani saat kita dinyatakan positif Covid-19.

“Bukan menghindari, mencari-cari kesalahan ataupun mencari pembenaran. Hal demikian akan mengganggu kinerja dokter dan pemerintah dalam menekan angka penularan wabah ini,” katanya.

Ia juga berterima kasih kepada Pemerintah Aceh dan seluruh tenaga kesehatan yang telah memonitor perkembangan kesehatannya setiap saat selama dirawat di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. “Saya berpesan pandemi ini jangan dianggap remeh, protokol kesehatan jangan diabaikan. Semuanya demi kemaslahatan kita semua,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Indonesia Jangan Terserah dan Menyerah Melawan Covid19

Tagar #IndonesiaTerserah adalah ‘unek-unek’ sebagian teman-teman medis, hal ini adalah wajar karena mereka juga manusia dan di puncak kejenuhan ketika berjuang merawat pasien covid19 bahkan ada di antara mereka yang menjadi korban terkena covid19, akan tetapi banyak juga tenaga medis yang bersabar dan hanya mengadu kepada Allah.

Apabila ada musibah menimpa kita hendaknya kita pertama kali mengadu kepada Allah terlebih dahulu. Allah berfirman mengenai Nabi Ya’qub ‘alaihis salam yang hanya mengadu kepada Rabbnya, beliau berkata,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf : 86).

Setelah itu barulah kita mengajak musyawarah orang yang bisa diajak untuk musyawarah (tidak ke semua orang), untuk bersama-sama mencari solusi masalah ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَ شَاوِرْهُمْ في الأَمْرِ 

“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159)

Mari, kita sama-sama menghadapi wabah covid19. Semua pihak harus berperan dengan poin berikut:

  1. Aturan yang tegas dan pemerintah terkait PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan lain-lain
  2. Warga yang patuh terhadap arahan dan himbauan para ahli mengenai social distancing, physical distancing dan lain-lain
  3. Support terhadap Rumah sakit dan tenaga kesehatan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang cukup seperti APD (Alat pelindung diri) dan lain-lainnya

Mari kita ganti tagar #IndonesiaTerserah dengan #IndonesiaBerbenah atau #IndonesiaBangkit dan sebagainya. Intinya kita jangan sampai menyerah melawan wabah covid19 ini. Kita pemerintah dan rakyat sama-sama memberikan sumbangsih nyata melawan covid19.

Terlebih seorang muslim, harus optimis dan tidak boleh menyerah serta putus asa, karena putus asa termasuk perbuatan yang tidak disukai oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ 

“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” [QS. Az-Zumar:53]

Mari kita berbenah saat yang lain menyerah, Kita bangkit saat yang lain terpuruk, Kita peduli saat yang lain cuek dan tidak peduli. Ketika kita tetap tawakkal, berusaha dan berdoa, pasti Allah akan memberikan solusi, jalan keluar dan hikmah dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞ ﻟَّﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟﺎً ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ

”Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan memberikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka” (QS. Ath Thalaaq:2-3)

Semoga Allah segera mengangkat wabah ini dari muka bumi dan Indonesia tercinta.

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56712-indonesia-jangan-terserah-menyerah-melawan-covid19.html

Bolehkah Tidak Shalat Jum’at karena Covid-19? Ini Penjelasan Kiai Cholil Nafis

Seusai fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Covid-19 dikeluarkan banyak diskusi dan masyarakat bertanya-tanya. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan bahwa dalam fatwa tersebut menegaskan tentang dua hal:

Pertama, orang yang terpapar Covid-19 harus mengisolasi diri dan haram untuk melaksanakan shalat Jum’at karena dapat menularkan dan membahayakan orang lain. Tentu prinsipnya, memelihara kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan individu dan juga prinsip menolak keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan.

Kedua, orang yang sehat dan belum diketahui terkena Covid-19 maka ada dua hal dan kondisi. Jika ia berada di daerah yang rawan tinggi dan menurut otoritas medis dan pemerintah yang dipercaya rawan dan bahaya dengan penularan penyakit maka ia boleh tidak melaksanakan shalat Jum’at. Kata Boleh itu artinya juga boleh melaksanakan jum’atan. Meskipun itu juga bisa jadi udzur untuk tidak melaksanakan shalat jum’at.

Namun, jelas laki-laki yang saat ini juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Koperasi Syariah itu, jika dalam kondisi sehat di tempat yang rendah bahkan tak ada tanda-tanda penularan Civid-19 maka tetap wajib shalat Jum’at dengan penuh kehati-hatian dan ikhtiyar dengan sebaik-baiknya, seperti jaga kebersihan dan selalu memelihara wudhu.

Yang perlu diperhatikan adala kata Tidak melaksanakan ibadah jum’at itu berbeda dengan meniadakan jum’atan. “Tidak melaksanakan shalat jum’at berarti bisa saja hanya dia sendiri yang tak melaksanakan shalat jum’at. Namun meniadakan shalat jum’at berarti melarang semuanya untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jum’at,” jelasnya sebagaimana dalam penjelasan tertulis di laman facebook-nya.

Tentu meniadakan shalat jum’at pasti bertentangan dengan semangat beragama dan melanggar kewajiban agama, namun shalat Jum’at itu selalu dilakukan dengan ramai hingga melibatkan puluhan kadangkala ratusan orang sehingga dikhawatirkan wabahnya cepat menular kepada orang banyak.

Ketentuan Hukum Shalat Jum’at Menurut Empat Madzhab

Masih menurut Kiai Cholil Nafis, dalam kondisi mewabahnya Covid-19 ini umat Islam dapat memilih pendapat imam mazhab yang lebih memungkin tentang syarat sahnya shalat jum’at harus berjemaah. “Mari kita simak pendapat ulama tentang jumlah jemaah shalat Jum’at,” katanya lagi.

1. Madzhab Hanafi.

Syarat sahnya shalat jum’at harus berjemaah yang sedikitnya berjumlah tiga orang selain Imamnya (4 orang). Dan ketiganya tidak harus hadir saat khutbah, yang penting di antara jemaah meskipun hanya seseorang ada yang mendengarkan khutbah. Shalat jum’atnya pun tak harus dimasjid.

2. Madzhab Maliki

Shalat Jum’at harus dilaksanakan secara berjemaah yang sedikitnya dua belas orang selain imam (13 orang) dengan syarat semua jemaahnya adalah orang yang wajib shalat jum’at, penduduk setempat dan semuanya hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat jum’at.

3. Madzhab Syafi’i

Shalat Jum’at dilaksanakan oleh jemaah yang sedikitnya empat puluh orang meskipun sekalian dengan imamnya. Semua harus penduduk setempat, orang-orang yang wajib shalat jum’at yang hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat.

4. Madzhab Hanbali

Demikian madzhab Hambali hampir sama dalam hal ini dengan madzhab Syafi’i.

Semua pendapat imam mazhab ini, jelas Kiai Cholil Nafis, memungkinkan untuk diikuti asalkan tidak karena talfiq, yakni memcampur pendapat ulama mazhab dengan tujuan cari kemudahan dan  menggampangkan hukum Islam (tatabbu’urukhash)

Menurut Kiai yang menyelesaikan Post Doctoral-nya di Muhammad V University, Maroko itu, di antara sebab perbedaan pendapat ulama ini adalah interpretasi surat al-Jum’ah ayat 9 yang dapat ditafsirkan jumlah peserta yang diseru untuk shalat Jum’at 3 orang lebih. Maka lebih dari 3 orang dalam satu daerah hukumnya wajib melaksanakan shalat Jum’at. Tapi karena kehati-hatian Imam Syafi’i menyaratkan minimal shalat jum’at dilakukan oleh 40 orang.

Sementara, jelasnya, kondisi sekarang ini seperti di Jakarta dapat memilah tempat mana yang rawan covid-19 sehingga boleh meninggalkan shalat Jum’at demi keselamatan diri dan masyarakat. Lalu seperti daerah lain yang masih steril dari Covid-19 maka wajib melaksanakan shalat Jum’at seraya ikhtiyar dan berhati-hati. Wallahua’alam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Covid-19 Menuntut Manusia Merenung & Perbaiki Diri

VIRUS Corona atau Covid-19 tengah mewabah dunia. Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia salan satu yang terdampak dengan jumlah korban cukup besar. Kehidupan sosial dan ekonomi luluh lantak akibat pandemi virus mematikan tersebut.

Menurut Profesor Quraish Shihab, bencana tersebut mengharuskan siapa pun untuk merenung.

“Bencana ini mengharuskan kita merenung, mengapa terjadi? Lalu kita berusaha untuk memperbaiki diri guna terhindar darinya,” kata Prof Quraish pada acara “Munajat Hamba”, Selasa (21/4/2020).

Menurut Prof Quraish, siapa pun harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT, tetapi harus disadari pula bahwa kehendak Allah terjadi tidak secara sewenang-wenang. “Kita masih diperintahkan untuk berusaha. Salah satu usaha itu adalah doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,” kata ulama tafsir yang dianugerahi Bintang Tanda Kehormatan Tingkat Pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni dari Pemerintah Mesir itu.

Perihal pentingnya doa, Allah telah menyatakan dalam Surat Al-Furqan ayat 77. Artinya, “Katakanlah (Muhammad kepada orang-orang musyrik), Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena doamu. (Tetapi bagaimana Dia mengindahkan kamu), padahal sungguh kamu telah mendustakan (rasul dan Al-Quran)? Karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu).

“Begitu juga hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa takdir tidak akan berubah kecuali dengan doa. “La yaruddul qadara illad du’a.” Artinya, “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.”

“Bencana jatuh dari langit. Doa naik membumbung ke atas. Doa bertemu dengan bencana, bisa jadi bencana dialihkannya sehingga tidak turun ke bumi. Bisa jadi juga diperlemah kejatuhnya sehingga dia jatuh bagaikan di atas tumpukan jerami. Oleh karena itu doa sangat dianjurkan,” terangnya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Allah menyatakan tidak akan menghukum hamba-Nya selama mereka beristighfar. Artinya, “Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Allah tidak akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun,” (Surat Al-Anfal ayat 33).

“Mari kita memanjatkan doa dengan beristighfar sambil berselawat kepada rasulullah SAW,” ajak penulis Tafsir Al-Misbah itu. Selain Prof Quraish, turut pula mengikuti acara ini, yaitu lama terkemuka Mesir Syekh Ali Jum’ah, Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon KH Husein Muhammad, Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand Prof Nadirsyah Hosen, dan Pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, KH Abdullah Kafabihi Mahrus. Selain itu, terdapat Pengasuh Pesantren Al-Munawwir Krapyak KH R Najib Abdul Qodir, Pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan KH Idris Hamid, Pengasuh Pondok Roudlotut Thohiriyyah Kajen KH Ahmad Muadz Thohir, Cendekiawan Muslim Ulil Absar Abdalla, dan Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen. [nuol]

INILAH MOZAIK

Covid19 Apakah Penyakit Menular dengan Sendirinya?

Corona Apakah Penyakit Menular dengan Sendirinya?

Tulisan ini adalah penjelasan bahwa penyakit itu menular dengan izin Allah.

Dunia sedang dihantui dengan penyebaran Corona, ekonomi dunia tumbang, wisata rontok, politik gonjang ganjing, kepanikan di mana mana.

Pernahkah Anda berpikir, benarkan Corona pantas untuk disikapi sedemikian rupa?

Perlukah kita panik seperti yang dilakukan oleh sebagian orang? Borong bahan makanan, takut Shalat Jum’at, takut berjabat tangan, takut bepergian, dan takut takut lainnya.

Semoga dengan membaca hadits berikut Anda bisa menjawab berbagai pertanyaan di atas:

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ

“Tidak ada penularan penyakit, tidak pula ada sial pada bulan Sofar, dan tidak pula ada arwah gentayangan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Spontan seorang arab badui berkata: “Wahai Rasulullah, lalu mengapa onta-ontaku yang semula ketika berada di tempat terbuka bagaikan rusa (berkulit indah nan bersih) kemudian ketika kedatangan onta kudisan di tengah mereka, tidak selang berapa lama onta ontaku terkena kudisan pula?

Menanggapi pertanyaan ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ أَعْدَى الأَوَّلَ

“Menurutmu, Siapakah yang menularkan penyakit kudis kepada onta pertama yang kudisan?” (Muttafaqun ‘alaih)

Ya, siapakah yang menyebabkan onta pertama terkena kudis? Tentu jawabannya: itu terjadi atas kuasa Allah, demikian pula dengan Corona, orang pertama pengidap Corona karena Allah menghendakinya, demikian pula orang kedua, ketiga dan seterusnya.

Karena itu sikapilah dengan wajar, tempuhlah hidup sehat, konsumsi makanan yang halal, jauhi perbuatan dosa, perbanyak meminta ampun kepada Allah Ta’ala dan selalu berlindunglah kepada-Nya dari berbagai penyakit dan wabah yang Anda khawatirkan:

اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ وَالأَدْوَاءِ

“Ya Allah, Jauhkanlah aku dari akhlak, amal perbuatan. hawa nafsu, dan penyakit buruk.” (HR. At-Tirmidzi)

Semoga Allah senantiasa menjauhkan kita semua dari wabah penyakit dan meneguhkan kita di atas iman hingga akhir ajal.

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

Read more https://konsultasisyariah.com/36306-covid19-apakah-penyakit-menular-dengan-sendirinya.html

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Wabah pandemi virus corona telah meluas ke berbagai penjuru dunia, berbagai upaya diusahakan untuk mengatasi musibah ini, lalu bagaimana seorang muslim menghadapinya? tentu selain menempuh upaya-upaya pencegahan sesuai intruksi dari tenaga medis kita hendaknya juga melakukan pencegahan dengan melakukan perbaikan hubungan kita dengan Allah Ta’ala

Kedudukan tauhid dalam bangunan agama Islam

Tauhid adalah inti dan dasar agama Islam. Tauhid adalah tujuan pengutusan para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّٰغُوتَ 

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah sesembahan selain-Nya.” (QS. An-Nahl: 36)

Tauhid adalah tujuan hidup kita dan tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku semata (mentauhidkan-Ku dalam ibadah).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)

Sungguh tinggi kedudukan tauhid di tengah-tengah bangunan agama kita. Memperbaiki tauhid seseorang di tengah-tengah keimanannya, hakikatnya adalah memperbaiki hati di tengah-tengah anggota jasad. Jika hati itu baik, maka baik pula amalan anggota tubuh lahiriah. Demikian pula, apabila tauhid seorang muslim itu baik dan sempurna, maka baik dan sempurna pula agamanya.

Tauhid adalah asas seluruh bentuk perbaikan, dan syirik adalah sebab terbesar keburukan dan musibah

Tauhid adalah asas perbaikan sebuah negeri. Apabila sebuah negeri menghadapi berbagai macam musibah, apalagi bertubi-tubi dan silih berganti, maka sudah semestinya masyarakatnya segera bertaubat dari segala dosa. Terutama bertaubat dari dosa syirik, karena syirik adalah dosa terbesar, keharaman yang paling haram, dan kezholiman (terhadap hak Allah) yang paling zholim. Sehingga syirik itu adalah penyebab terbesar kemurkaan dan adzab Allah.

Apabila masyarakat di negeri tersebut telah mengesakan dan mentauhidkan Allah dengan baik, maka akan tumbuh dari “akar pohon tauhid” dan keimanannya kepada Allah itu berbagai kebaikan dan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rusulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan lagi, akan membuahkan kebahagiaan dunia akhirat serta rasa aman dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan tentang pohon tauhid di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ(24) تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25) 

“(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Dalam kitab I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa jumhur ahli tafsir menafsirkan kalimat thayyibah di ayat ini dengan syahadat laa ilaha illallah.

Dengan demikian, perumpaan pohon yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perumpamaan pohon tauhid. Allah Ta’ala membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat thayyibah) pada ayat ini, yaitu syahadat laa ilaha illallah sebagai sebuah pohon yang merupakan sebaik-baik pohon. Yaitu, akarnya kokoh menghujam ke dalam bumi dan dahan rantingnya menjulang tinggi ke langit, buahnya tak terputus, selalu ada di setiap waktu. Akar pohon tauhid ini menghujam ke dalam bumi. Maksudnya adalah dasar keimanan (tauhid) tersebut kokoh dalam hati seorang mukmin, berupa ilmu tentang iman dan keyakinan yang benar. 

Sedangkan dahan dan ranting pohon tauhid adalah seluruh amalan ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diridhai oleh Allah, baik lahir maupun batin. Jadi, dasar keimanan yang kokoh dalam hati tersebut menumbuhkan ucapan dan amal shalih yang diridhai oleh Allah. Dahan ranting tersebut juga menjulang tinggi ke langit. Maksudnya, ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah tersebut terangkat ke atas, diterima oleh Allah pada setiap waktu, pagi, dan sore. Adapun buah dari pohon tauhid ini adalah kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seorang mukmin yang memiliki dasar iman yang kokoh dalam hati, ucapan serta amalnya pun shalih serta diridhoi oleh Allah, hal itu akan membuahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Pohon tauhid itu menghasilkan buah untuk setiap musim. Maksudnya, buah tauhid yang berupa kebaikan dan kebahagiaan itu dirasakan terus-menerus oleh seorang mukmin di setiap waktu selama iman dan tauhid seseorang masih ada dalam hatinya. Hal ini sebagaimana buah di surga yang terus-menerus ada tidak pernah habis dan selalu siap dipetik.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab tersebut,

وإذا تأملت هذا التشبيه رأيته مطابقا لشجرة التوحيد الثابتة الراسخة في القلب التي فروعها من الأعمال الصالحة الصاعدة إلى السماء ولا تزال هذه الشجرة تثمر الأعمال الصالحة كل وقت بحسب ثباتها في القلب ومحبة القلب لها وإخلاصه فيها ومعرفته بحقيقتها وقيامه بحقوقها ومراعاتها حق رعايتها

“Jika Anda perhatikan perumpamaan ini, maka Anda akan melihat kesesuaiannya dengan pohon tauhid yang menghujam kokoh dalam hati, cabangnya berupa amal shalih yang naik ke langit. Sedangkan pohon ini senantiasa membuahkan amal shalih setiap waktu sesuai dengan kadar kokohnya (akar pohon) tauhid ini dalam hati dan kecintaan hati terhadapnya, keikhlasan dalam bertauhid, kadar pengetahuannya tentang hakikat (pohon) tauhid, kadar upaya memenuhi hak tauhid, serta upaya menjaganya dengan sebenar-benar penjagaan.” 

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan dalam kitab tersebut,

والمقصود أن كلمة التوحيد إذا شهد بها المؤمن عارفا بمعناها وحقيقتها نفيا وإثباتا متصفا بموجبها قائما قلبه ولسانه وجوارحه بشهادته فهذه الكلمة الطيبة هي التي رفعت هذا العمل من هذا الشاهد أصلها ثابت راسخ في قلبه وفروعها متصلة بالسماء وهي مخرجة لثمرتها كل وقت

“Maksudnya, apabila seorang mukmin bersaksi dengan kalimat tauhid ini diiringi dengan mengetahui makna dan hakikatnya, baik mengetahui kandungan peniadaan maupun kandungan penetapannya, bersifat dengan sifat yang menjadi konsekuensi kalimat ini, dan menunaikan tuntutan syahadat tauhid ini dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh, maka dari sisi inilah, kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) itu akan mengangkat amalannya. Dasar kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) ini kokoh menghujam dalam hati, cabangnya menjulang ke langit, serta menghasilkan buah di setiap waktu (terus menerus).”

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55793-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-1.html

Bersama Menanggulangi Wabah Corona

Kaum muslimin yang semoga selalu dirahmati Allah, tidaklah samar bagi kita keadaan musibah wabah yang saat ini tengah melanda dunia, yaitu wabah SARS CoV-2/COVID-19 (Corona Virus Infection Disease-19) atau umum disebut sebagai virus corona. Banyak korban jiwa yang telah melayang di berbagai negara dan Indonesia pun termasuk negara dengan presentase kematian yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. 

Menempuh Sebab dalam Menanggulangi Wabah

Untuk menanggulangi wabah dan musibah ini, kita perlu melakukan sebab-sebab secara syar’i (sebab non fisik) dan sebab-sebab secara fisik (sebab kauni). Di antara kedua sebab ini yang paling ditekankan adalah menempuh sebab-sebab syar’i karena bersumber dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya (berdasarkan bimbingan wahyu). Meskipun demikian kita tidak boleh mengabaikan sebab fisik/sebab kauni karena hal itu adalah bagian dari usaha (mengambil sebab) yang diperintahkan dalam agama. 

Itulah bentuk tawakal kita kepada Allah ta’ala. Karena rukun tawakal adalah menempuh sebab yang mengantarkan untuk memperoleh apa yang kita inginkan lalu hati kita pasrah total kepada Allah ta’ala. Jika kita terhindar dari penyakit atau mendapatkan kesembuhan dari penyakit, hal itu semata karena karunia Allah ta’ala. Jika ternyata setelah melakukan sebab syar’i dan sebab kauni (usaha lahiriah) kita tetap terkena penyakit atau tidak mendapatkan kesembuhan, maka itu merupakan takdir Allah yang semestinya kita terima dengan hati legowo (lapang) dan semua itu baik bagi seorang mukmin. [1] 

Menempuh Sebab-Sebab Fisik

Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (wabah Corona). Di antara poin-poin penting yang sepatutnya diperhatikan oleh segenap warga masyarakat ialah melakukan pencegahan dalam level individu dalam bentuk menjaga kebersihan diri dan rumah (universal precaution). 

Di antara himbauan yang diberikan adalah sebagai berikut.

  1. Sering mencuci tangan dengan air dan sabun dengan langkah yang benar (5-6 langkah cuci tangan), terutama saat baru memasuki rumah, sebelum dan sesudah makan, sesudah dari toilet, setelah menyentuh benda-benda yang tidak diketahui pasti kebersihannya, setelah mengurus binatang, dan lain-lain.
  2. Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang belum dicuci.
  3. Segera ganti baju dan mandi sepulang dari bepergian.
  4. Tidak berjabat tangan.
  5. Tidak berinteraksi dari jarak dekat dengan orang lain, baik yang memiliki gejala sakit ataukah tidak.
  6. Tutupi mulut saat batuk dan bersin dengan lengan atas dan ketiak dan segera cuci tangan.
  7. Sering membersihkan/mengelap permukaan benda seperti meja/kursi yang sering disentuh .

Kemudian, juga ada beberapa cara untuk mencegah meluasnya wabah ini pada tingkatan masyarakat dengan melakukan pembatasan interaksi fisik seperti:

  • Tidak berdekatan atau berkumpul di tempat keramaian.
  • Gunakan masker saat keluar rumah.
  • Tidak mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak peserta.
  • Hindari melakukan perjalanan ke luar kota.
  • Mengurangi berkunjung ke rumah orang lain dan kurangi menerima kunjungan.
  • Mengurangi frekuensi pergi untuk belanja dan usahakan bukan pada jam ramai.
  • Menerapkan bekerja dari rumah.
  • Menjaga jarak saat mengantri atau duduk di bus, kereta, atau fasilitas umum lainnya minimal 1 meter.
  • Anak-anak bermain di rumah saja.
  • Ibadah dapat dilaksanakan di rumah untuk sementara waktu. [2]

Selain itu, pemerintah juga menghimbau atau memberikan ketentuan bagi masyarakat untuk melakukan pembatasan sosial berupa menjaga jarak fisik dengan beberapa cara, misalnya:

  • Tidak bersalaman, berpelukan atau berciuman (cipika cipiki).
  • Hindari penggunaan transportasi publik dan hindari jam sibuk ketika bepergian.
  • Dilarang berkumpul massal di kerumunan dan fasilitas umum.
  • Hindari berkumpul tatap muka dengan banyak orang dan menunda kegiatan bersama.
  • Gunakan telepon atau layanan online untuk menghubungi orang lain.
  • Jika anda sakit jangan mengunjungi/berdekatan dengan orang lanjut usia.

Semua orang harus mengikuti ketentuan ini. Pemerintah juga menghimbau untuk mengikuti petunjuk ini dengan ketat dan membatasi tatap muka dengan teman dan keluarga, khususnya jika anda berusia 60 tahun ke atas, atau memiliki penyakit penyerta seperti diabetes melitus, hipertensi, kanker, asma dan penyakit paru obstruksi kronik, atau ibu hamil. [3]

  Pemerintah juga telah memberikan penjelasan ringkas berkaitan dengan klasifikasi kasus COVID-19 untuk masyarakat sebagai berikut :

  • Orang Tanpa Gejala (OTG): Orang tanpa gejala yang memiliki kontak dengan kasus positif. Maka bagi kelompok ini diberlakukan isolasi diri sendiri di rumah.
  • Orang Dalam Pemantauan (ODP): Orang yang memiliki gejala ringan, dan membutuhkan pemeriksaan. Bagi kelompok ini juga harus mengisolasi diri sendiri di rumah. 
  • Pasien Dalam Pengawasan (PDP): Pasien yang memiliki gejala ringan/sedang/berat yang memiliki riwayat perjalanan/kontak dan membutuhkan pemeriksaan. Bagi kelompok ini jika sakitnya ringan cukup mengisolasi diri di rumah. Jika sakitnya sedang perlu dirawat di Rumah Sakit Darurat. Dan apabila sakitnya berat harus dirawat di Rumah Sakit Rujukan. 
  • Konfirmasi: Yaitu pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan positif. Apabila sakitnya ringan bisa mengisolasi diri di rumah. Apabila sakitnya sedang harus dirawat di Rumah Sakit Darurat. Dan apabila sakitnya berat harus dirawat di Rumah Sakit Rujukan. [4]

Menempuh Sebab-Sebab Non-Fisik

Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin bahwasanya dalam kondisi wabah dan musibah yang begitu berat semacam ini perlu dilakukan usaha-usaha non fisik yang berkaitan dengan agama dan keyakinan kita sebagai seorang muslim. Salah satu perkara mendasar yang harus kita ingat adalah betapa fakir dan butuhnya kita kepada Allah.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia, kalian adalah orang-orang yang fakir/butuh kepada Allah. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji” (QS. Fathir: 15) 

Kebutuhan ini semakin penting dan mendesak pada saat tertimpa kesulitan dan musibah berat semacam ini.

Kaidah pertama. Kita harus meyakini bahwa Allah telah menakdirkan segala sesuatu. Allah berfirman 

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dan Allah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan takdirnya dengan sebenar-benarnya.” (QS. al-Furqan: 2)

Oleh sebab itu kita mengimani takdir Allah ini dan menghadapi musibah yang menimpa dengan kesabaran. 

Kaidah kedua. Kita harus menyempurnakan tawakal kepada Allah dan menyandarkan segala urusan kepada-Nya. Allah berfirman,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah; Tidak akan menimpa kami kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Allah menimpa kami, Dia lah penolong bagi kami. Dan kepada Allah semata hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. At-Taubah : 51)

Kaidah ketiga. Kita harus kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Allah berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali/bertaubat.” (QS. Ar-Rum : 41) 

Kaidah keempat. Kita harus menempuh sebab-sebab (upaya nyata) untuk menghindar dari wabah. Allah berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kalian dengan sengaja menjerumuskan diri kalian menuju kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Termasuk dalam usaha ini adalah dengan tidak mendatangi tempat-tempat yang terkena wabah dan melakukan upaya-upaya fisik (secara medis) untuk terhindar atau selamat dari wabah atau penyakit tersebut. 

Kaidah kelima. Kita harus bersungguh-sungguh dalam mengambil informasi yang berkaitan dengan wabah ini dari sumber-sumber yang terpercaya dan ahli pada bidangnya. Dan harus menjauhi berbagai berita yang tidak jelas kebenarannya (kabar burung). Hendaknya kita mengembalikan setiap urusan kepada ahlinya dan tidak menerima kabar-kabar yang tidak jelas yang pada akhirnya justru akan membahayakan atau merugikan orang banyak. 

Kaidah keenam. Semestinya kita terus bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah karena doa itulah intisari dari ibadah. Baik itu doa secara umum agar dihindarkan atau diangkat dari bencana yang menimpa. Seperti dengan ucapan, “Ya Allah, singkirkanlah dari kami wabah ini.” atau doa-doa serupa. Oleh sebab itu, para ulama juga telah menyampaikan anjuran untuk banyak-banyak berdoa agar wabah ini diangkat dan disingkirkan bahkan hal itu telah tertulis dalam kitab-kitab hadits sejak ratusan tahun yang silam. Bisa juga dengan doa-doa secara khusus seperti:

  • Membaca surat al-Falaq dan an-Naas
  • Membaca doa 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

‘Allahumma inni a’uudzu bika minal barash wal junun wal judzam wa sayyi’il asqam’

Artinya:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, kusta, dan dari segala penyakit yang buruk lainnya.”

  • Rutin membaca dzikir pagi-petang, misalnya:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.”

Artinya:

“Dengan nama Allah yang apabila disebut, tidak akan berbahaya segala sesuatu yang ada di bumi maupun di langit. Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

dibaca sebanyak tiga kali setiap pagi (habis subuh) dan sore (habis ashar). 

Inilah ringkasan enam kaidah pokok untuk menyikapi merebaknya wabah Corona sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah al-Ushaimi hafizhahullah; seorang ulama besar dan pengajar tetap di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Arab Saudi dalam sebuah nasihat beliau yang berjudul ‘Ushul Sittah fil Iftiqar ilallah fisy Syiddah’ atau enam kaidah dalam mewujudkan perasaan fakir/butuh kepada Allah dalam kondisi musibah yang sangat berat. 

Kemudian juga perlu kami tekankan di sini apa-apa yang telah dinasihatkan oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah tentang wajibnya kita untuk bertaubat kepada Allah atas semua dosa. Beliau mengutip nasihat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu

ما نزل البلاء إلا بذنب وما رفع إلا بتوبة

“Tidaklah Allah menurunkan bala’ (bencana, wabah penyakit) kecuali disebabkan perbuatan dosa, dan tidaklah diangkat bala’ tersebut kecuali dengan bertaubat kepada Allah.”  

Beliau juga mengingatkan kita terhadap firman Allah, 

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. an-Nur: 31) 

Allah juga berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (QS. at-Tahrim: 8)

Beliau juga mewasiatkan agar kita tetap menegakkan sholat 5 waktu dan mengerjakan sholat-sholat sunnah, memperbanyak istighfar, tasbih/membaca subhanallah, memuji Allah/mengucapkan alhamdulillah, berdzikir dan melakukan amal salih, perbanyak sedekah dan memperbanyak shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[5] 

Berdzikir kepada Allah merupakan sebab Allah mengingat dan memberikan pertolongan kepada hamba-Nya. Allah berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

 Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun ingat kepada kalian.” (QS. al-Baqarah : 152)

Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat tersebut, “Ingatlah kalian kepada-Ku dengan melakukan ketaatan kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dengan memberikan ampunan-Ku kepada kalian.”  Sa’id bin Jubair berkata, “Artinya; Ingatlah kalian kepada-Ku pada waktu berlimpah nikmat dan kelapangan niscaya Aku akan mengingat kalian ketika berada dalam keadaan tertimpa kesusahan dan bencana.” [6]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنِّي أَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani hafizhahullah mengatakan dalam sebuah nasehatnya, “Tidaklah musibah-musibah -dan kehinaan- menimpa kaum muslimin kecuali disebabkan minimnya perendahan diri mereka kepada Allah. Dan hal ini merupakan sunnah kauniyah; barangsiapa yang tidak mau tunduk merendahkan diri kepada Allah, maka Allah akan buat dia tunduk/merendah kepada selain-Nya.” [7]

Demikian sedikit rangkuman arahan dan nasihat yang dapat kami kumpulkan dengan taufik dari Allah semata. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan segera mengangkat wabah ini, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha dekat serta mengabulkan doa-doa. [8]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55671-bersama-menanggulangi-wabah-corona.html