Hari Guru; Sosok yang Digugu dan Ditiru

Pada tanggal 25 November, di Indonesia diperingati sebagai Hari Guru. Momentum ini sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi terhadap jasa para guru, untuk mencerdaskan anak bangsa

“Jika bukan karena guruku, mana mungkin aku dapat mengenal akan Tuhanku.”

Tak bisa dipungkiri, bahwa guru adalah sosok yang harus digugu dan ditiru oleh para muridnya. Maka dari itu, guru harus dapat memberikan contoh dan suri teladan yang baik kepada para peserta didik.

Dalam undang-undang dan peraturan Pemerintahan RI dituliskan tentang pendidikan bahwa “Guru adalah Pendidik profesi dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. (Baca: Departemen Pendidikan, Undang-undang SISDIKNAS dan Undang-Undang Guru Dan Dosen).

Dari sini sudah jelas, bahwa guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Itu sebabnya, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.

Tak hanya itu, guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, harus memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Sederhananya, kepribadian sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatan yang membedakan dirinya dari yang lain.

Guru Penentu Pendidikan

Penting dicatat, salah satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru. Kenapa demikian? Karena gurulah yang berada di garda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Guru berhadapan langsung dengan peserta didik di kelas proses belajar mengajar.

Dengan demikian, di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara skill (keahlian), kematangan emosional, dan moral spiritual. Pun, akan dihasilkan generasi masa depan yang siap hidup dengan tantangan zamannya. Karenanya, diperlukan sosok guru yang mempunyai kualitas, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesinya.

Maka peran guru tidak boleh dipandang sebelah mata sejak dari mempersiapkan calon guru, proses seleksi, penempatan, pembinaan, dan pengembangan guru harus terus dipantau dalam perkembangan masyarakat yang sangat cepat.

Syahdan. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh seseorang yang dewasa (pendidik) agar menjadi anak yang dewasa baik jasmani maupun rohaninya melalu pendidikan formal, non formal, maupun informal.

Para guru berperan besar dalam mencetak kehidupan setiap orang yang pernah mengecap bangku sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional guna meningkatkan sumber daya manusia yang telah dipikirkan dan dirumuskan secara bijaksana.

Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah. Sehubungan dengan hal itu, tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengalaman masyarakat terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang diterimanya.

Yang tidak kalah pentingnya untuk dicatat adalah, bahwa pelaksanaan pendidikan yang baik meliputi berbagai komponen pendidikan yang harus dipenuhi. Komponen itu antara lain meliputi landasan, tujuan, kurikulum, dan kompetensi profesionalitas guru, pola hubungan guru murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya.

Bukanlah dalam surat Al-Maidah ayat 105 sudah jelas bahwa, peranan guru sebagai seorang pendidik yang telah dibebankan tanggung jawab di pundak mereka untuk memberikan petunjuk pada kebenaran dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Allah Swt. berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ ۚ لَا يَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ اِذَااهْتَدَيْتُمْ ۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُـنَـبِّـئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Ma’idah [5]: 105).

Mengagungkan dan mendoakan 

Dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim, pada bab “Mengagungkan Ilmu dan Ahli Ilmu” dikatakan:

اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره.

Artinya: “Ketahuilah bahwa seorang pelajar tidak akan mendapatkan ilmu, kalau pun mendapatkan ia tidak akan dapat mengambil manfaatnya kecuali dengan mengagungkan ilmu dan ahli ilmu (ulama), memuliakan guru dan menghormatinya.”

Kiranya tak keliru digaji katakan bahwa guru adalah pendidik rohani, sedangkan orang tua lebih banyak berperan sebagai pendidik jasmani. Ini juga sebagaimana disebutkan dalam syair yang dikutip Ta’lim Muta’allim:

أُقَدِّمُ أُسْتَاذِي عَلَى نَفْسِ وَالِدِي # وَإِنْ نَالَنِي مِنْ وَالِدِي الْفضْلَ وَالشَرَف

Artinya: “Aku lebih mengutamakan guruku dari orang tuaku, meskipun aku mendapat dari orang tuaku keutamaan dan kemuliaan.”

Alkisah, suatu waktu, anak Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menanyakan kepada beliau:

“Wahai ayahku, bagaimana sosok Imam asy-Syafi’i itu? Aku mendengar bahwa engkau banyak mendoakannya.” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Wahai anakku, Imam Syafi’i itu diperumpamakan seperti matahari bagi dunia, dan kesehatan bagi manusia. Lihatlah, apakah kedua benda itu memiliki pengganti?” jawabnya.

Selain menghormatinya (mengagungkan), dari dialog di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa betapa pentingnya mendoakan guru-guru kita, yang masih hidup maupun yang telah wafat. Berharap agar ilmu yang kita peroleh menjadi ilmu barakah, bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Ala kulli hal, selamat Hari Guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku. Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Hari Guru Nasional; Peran Guru dalam Dunia Pendidikan

Peringatan Hari Guru Nasional tetapnya Sabtu 25 November 2023, menjadi momentum yang pas bagi tenaga pendidik untuk memahami peranannya yang bukan hanya sebagai pemberi pengetahuan. Tetapi juga memiliki tugas untuk menyiapkan generasi masa depan yang memiliki akhlak dan keluhuran budi pekerti.

Sehingga dengan begitu, segala waktu, tenaga, dan pikiran yang dicurahkan sebagai tenaga pendidik akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Lantas seperti apakah peran guru dalam pendidikan Islam?

Memahami Makna Pendidik

Kata “pendidik” atau guru dalam istilah pendidikan islam sering juga disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. Pendidik merupakan seseorang yang bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan kepada peserta didiknya baik berupa pertolongan baik jasmani maupun rohani.

Oleh karenanya seorang pendidik memiliki peranan yang sangat besar dalam pendidikan islam. Para murabbi sendiri merupakan pendidik yang memiliki tugas utama menyempurnakan, membersihkan menyucikan, serta mampu membawa hati manusia untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Tak terkecuali mendidik soal adab, akhlak, atau etika sebagai unsur yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia.

Akhlak sendiri merupakan salah satu tolok ukur yang akan menentukan mental, kepribadian, dan perilaku seseorang dalam kehidupannya. Lewat pendidikanlah penanaman nilai-nilai moral dan etika bisa ditanamkan. Bahasan mengenai akhlak juga sudah tertuang dalam sabda Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan bahwa dirinya diutus Allah SWT ke muka bumi untuk memperbaiki akhlak umat manusia:

إنما بعثت لأتمّم مكارم الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk memperbaiki akhlak”. 

Selain itu, akhlak atau etika juga merupakan cermin kesempurnaan iman seseorang.

Rasulullah SAW dalam hal ini menyatakan:

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya”.

Kita juga harus tahu bahwa dalam dunia pendidikan, penanaman etika bisa dilakukan dengan menyatukannya ke dalam setiap proses pembelajaran, apapun materi yang sedang dipelajari. Sehingga tugas pengajar di sekolah tidak hanya mendidik sebatas pengajaran materi pengetahuan.  Akan tetapi juga terlibat dalam penanaman nilai-nilai luhur serta pembentukan aspek potensi peserta didik secara utuh baik intelektual maupun spiritualnya.

Demikian penjelasan terkait Hari Guru Nasional, yakni menilik peran guru dalam dunia pendidikan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bagaimanakah Hukum Seorang Istri Memberi Zakat kepada Suami atau Sebaliknya?

Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ، فَوَعَظَ النَّاسَ، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، تَصَدَّقُوا. فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ. ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ، جَاءَتْ زَيْنَبُ، امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ زَيْنَبُ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ، ائْذَنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ اليَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan tempat salat untuk melaksanakan salat hari raya Iduladha atau Idulfitri. Setelah selesai, beliau memberi nasihat kepada manusia dan memerintahkan mereka untuk menunaikan zakat seraya bersabda, ‘Wahai manusia, bersedekahlah!’

Kemudian beliau mendatangi jemaah wanita, lalu bersabda, ‘Wahai kaum wanita, bersedekahlah. Sungguh, aku melihat kalian adalah yang akan paling banyak menjadi penghuni neraka.’

Mereka (para sahabiyah) bertanya, ‘Mengapa begitu, wahai Rasulullah?’

Beliau menjawab, ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita.’ Kemudian beliau mengakhiri khotbahnya, lalu pergi.

Sesampainya beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab, istri Ibnu Mas’ud, meminta izin kepada beliau.

Lalu, dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini adalah Zainab.’

Beliau bertanya, ‘Zainab siapa?’

Dikatakan kepada beliau, ‘Zainab istri dari Ibnu Mas’ud.’

Beliau berkata, ‘Oh ya, persilakanlah dia.’

Maka, dia pun diizinkan masuk, kemudian berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sungguh Anda hari ini sudah memerintahkan sedekah (zakat), sedangkan aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq zakat).’

Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah (zakat) daripada mereka.’” (HR. Bukhari no. 1462)

Penjelasan hadis

Terdapat dua permasalahan fikih yang terkait dengan hadis di atas, yaitu:

Pertama, bolehkah seorang istri memberikan zakat kepada suami?

Sebagian ulama berdalil dengan hadis di atas untuk mengatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dalam riwayat yang mu’tamad (resmi) dalam mazhab beliau, pengikut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnul Munzir, dan juga dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahumullah.

Para ulama tersebut memaknai kata “sedekah” dalam hadis di atas dengan “sedekah wajib”, yaitu zakat. Hal ini berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha,

أَيَجْزِي عَنِّي

Apakah hal itu sudah mencukupi (menggugurkan kewajibanku)?” (HR. Bukhari no. 1466)

Sebagian ulama yang lain memaknai “sedekah” dalam hadis di atas sebagai sedekah sunah. Berdasarkan perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha,

وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ

Aku memiliki emas yang aku berkehendak untuk mensedekahkannya.”

Zainab tidak mengatakan, “Aku berkehendak untuk menzakatkannya.” Mengapa dimaknai sebagai sedekah sunah, bukan sedekah wajib (zakat), karena Zainab melakukannya setelah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memotivasi sedekah secara umum (bukan sedang menjelaskan kewajiban zakat), sehingga dia pun bersegera mengamalkannya dengan harta yang dia miliki.

Adapun perkataan Zainab radhiyallahu ‘anha,

أَيَجْزِي عَنِّي

yang dimaksud adalah berupa penjagaan dari apa neraka. Seolah-olah Zainab radhiyallahu ‘anha khawatir apabila dia bersedekah kepada suaminya, hal itu tidak mendatangkan pahala dan tidak menghalangi dari azab (hukuman).

Ibnul Hamam rahimahullah berkata, “Maknanya adalah apakah sedekah tersebut telah mencukupi untuk disebut sebagai sedekah dan mewujudkan maksud dari sedekah yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala?” (Syarh Fathul Qadir, 2: 271)

Pendapat ini (dimaknai sebagai sedekah sunah) adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan para ulama lainnya. Mereka berkata, “Yang dimaksud dengan ‘sedekah’ dalam hadis ini adalah sedekah sunah.” (Lihat Al-Mughni, 4: 102; Fathul Baari, 3: 330; dan Nailul Authar, 4: 187)

Adapun pendapat kedua menyatakan tidak bolehnya seorang istri memberi zakat kepada suaminya yang membutuhkan (miskin). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Al-Mughni, 4: 100). Alasannya, seorang suami bagi istri itu sama seperti istri bagi seorang suami. Jika seorang suami tidak boleh memberi zakat kepada istri, maka demikian pula, seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada seorang suami.

Alasan lainnya adalah jika seorang istri memberi harta zakat kepada suami, maka suami akan menggunakannya untuk memberi nafkah kepada istri. Maka pada hakikatnya, manfaatnya akan kembali lagi kepada sang istri. Manfaat dari harta zakat itu harus dirasakan oleh orang-orang fakir dan membutuhkan, bukan memberikan manfaat untuk dirinya sendiri. Adapun sedekah sunah (bukan zakat), boleh diberikan kepada suami sebagaimana hadis ini.

Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bolehnya seorang istri memberikan zakat kepada suami karena dua alasan:

Alasan pertama, cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin … “ (QS. At-Taubah: 60)

Jika seorang suami itu miskin, maka masih tercakup dalam ayat tersebut. Karena jika terdapat sebab (yaitu miskin), maka terdapat pula hukumnya (yaitu diberikannya harta zakat), kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya. Jika ada yang mengatakan bahwa suami yang miskin itu dikecualikan dari golongan yang berhak menerima zakat, maka dia wajib mendatangkan dalil. Sedangkan tidak ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri tidak boleh memberi zakat kepada suami yang miskin.

Alasan kedua, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan (meminta penjelasan) terlebih dahulu kepada Zainab secara rinci, itu menunjukkan bahwa hal itu berlaku umum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya terlebih dahulu kepada Zainab, apakah dia hendak sedekah wajib atau sedekah sunah? Maka, seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa engkau akan mendapatkan balasan, baik sedekahmu itu wajib atau sedekah sunah.

Adapun hadis ini, zahirnya menunjukkan bahwa maksudnya adalah sedekah sunah, bukan sedekah wajib. Hal ini dikuatkan oleh konteks keseluruhan hadis tersebut. Di antara indikasinya adalah kalimat,

زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

Suamimu dan anak-anakmu lebih berhak kamu berikan sedekah daripada mereka.

Hal ini karena seorang anak tidaklah berhak mendapatkan harta dari sedekah wajib (zakat) ketika orang tuanya masih memberi nafkah kepadanya. Apabila seorang anak itu fakir, dan ayahnya tidak mampu memberinya nafkah, maka diperbolehkan memberi zakat kepadanya. Ini sebagaimana pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. (Al-Ikhtiyarat, hal. 104)

Alasan lain bahwa “sedekah” dalam hadis ini adalah sedekah sunah, yaitu dalam hadis ini, Zainab ingin menyedekahkan emas yang dia miliki, bukan mengeluarkan zakat dari harta emas yang dia miliki. Ini pun dengan asumsi bahwa kita menguatkan pendapat bahwa terdapat kewajiban zakat dari harta berupa emas yang digunakan sebagai perhiasan.

Kedua, bolehkah seorang suami memberikan zakat kepada istri?

Berkaitan dengan masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama, tidak diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya yang membutuhkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Malik, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah mengklaim adanya ijmak. (Lihat Al-Ijma’, hal. 52; Al-Ikhtiyar, 1: 120; Al-Mughni, 4: 100; dan Al-Majmu’, 6: 229)

Mereka berdalil bahwa seorang istri itu sudah berkecukupan dari nafkah wajib yang diberikan oleh suami. Sehingga istri tidak lagi membutuhkan harta zakat. Jika suami memberikan zakat kepada istri, maka konsekuensinya dia tidak butuh lagi nafkah dari suami. Dalam kondisi ini, manfaat dari harta zakat itu pada hakikatnya kembali lagi ke suami, seolah-olah dia  memberikan zakat kepada dirinya sendiri.

Pendapat kedua, diperbolehkan bagi seorang suami untuk memberikan zakat kepada istrinya. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dalam mazhab Syafi’iyyah dan juga pendapat yang marjuh dalam mazhab Imam Ahmad. (Lihat Al-Majmu’, 6: 230)

Mereka berdalil bahwa jika seorang suami memberikan zakat kepada istri, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban nafkah. Karena nafkah adalah kewajiban tersendiri, baik sang istri itu kaya atau miskin. Maka, kasus ini seperti seseorang yang menyewa jasa orang miskin. Si pemakai jasa memberikan uang sebagai jasa upah, di samping memberikan harta zakat.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada istri. Akan tetapi, kita juga bisa katakan bahwa jika seorang istri itu menjadi berkecukupan dari nafkah wajib pemberian suaminya, maka hal itu tidaklah otomatis menjadikannya seperti orang kaya yang tidak lagi boleh diberi harta zakat. Jika seorang suami memberikan sedikit harta zakatnya tanpa menggugurkan hak istri yang wajib ditunaikan suami, maka hal itu diperbolehkan. Misalnya, seorang suami memberi harta zakat agar istri bisa melunasi utangnya. Maka zahirnya, hal ini diperbolehkan. Hal ini karena seorang suami tidaklah memiliki kewajiban untuk melunasi utang sang istri. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hambali. Wallahu Ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 11 Rabiul akhir 1445/ 26 Oktober 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89214-hukum-seorang-istri-memberi-zakat-kepada-suami-atau-sebaliknya.html

Pelajaran dari Palestina

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pemurah lagi Maha penyayang

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Amma Ba’du

Sesungguhnya kejadian yang menimpa saudara-saudara kita sesama muslim di Gaza berupa pembunuhan, penghancuran, serta penjajahan atas mereka yang dilakukan oleh kaum Yahudi terlaknat, tentu dirasakan pedih dan sakit oleh setiap mukmin dan membuat hati mereka teriris.

Ya Allah, alangkah murah dan sepele darah kaum muslimin [di mata mereka].

Maha suci Allah, betapa menyakitkan gambaran mayat-mayat [orang-orang tak bersalah itu] di dalam hati orang-orang yang beriman. Alangkah banyak nyawa yang telah melayang, darah yang tertumpahkan, kaum wanita yang ternodai [kehormatannya], dan begitu banyak rumah-rumah yang dihancurkan.

Sesungguhnya kejahatan-kejahatan Yahudi di negeri Palestina yang terampas itu bukan perkara yang aneh dilakukan oleh orang-orang semacam mereka (baca: Yahudi). Lebih parah daripada itu, mereka adalah kaum yang berani mencela dan mengejek al-Bari (Allah) Yang Maha suci. Sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya (yang artinya), “Orang-orang Yahudi berkata; ‘Tangan Allah terbelenggu’. Justru tangan-tangan mereka itulah yang terbelenggu dan mereka dilaknat akibat ucapan yang mereka lontarkan. Bahkan, kedua tangan Allah itu terbentang, Dia akan memberi bagaimanapun yang dia suka.” (QS. al-Maa’idah [5]: 64)

Mereka adalah para pembunuh nabi-nabi Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hal itu terjadi karena mereka senantiasa mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu terjadi akibat kedurhakaan mereka dan karena mereka selalu saja melampaui batas.” (QS. al-Baqarah [2]: 61)

Mereka adalah saudara kera-kera dan babi-babi yang berusaha untuk mengelabui Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (QS. al-A’raaf [7]: 163)

Selaras dengan ikatan persaudaraan di atas keimanan, maka sudah semestinya setiap muslim memberikan bantuan sekuat kemampuannya dan memohon dengan sangat kepada Allah dengan doa yang diiringi rasa penuh harap kepada-Nya agar Allah berkenan segera menyingkirkan kesulitan dan musibah yang mencekam saudara-saudara kita [di sana]. Berkaitan dengan kejadian yang begitu memilukan ini, saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin dengan beberapa pelajaran manhaj dari kejadian yang menimpa daerah Gaza Palestina:

Pelajaran Pertama

Sesungguhnya kejadian yang menyedihkan ini semakin menguatkan kebenaran berita yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai orang-orang kafir berupa permusuhan mereka yang sengit kepada kaum mukminin. Dan yang harus kita lakukan adalah memusuhi seluruh golongan orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya, dikarenakan mereka adalah orang-orang kafir. Dan apabila mereka menyakiti dan memerangi kita, maka kebencian kita kepada mereka pun semakin memuncak.

Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh sebagian orang yang menganjurkan untuk tidak memberikan pertolongan yang mengatakan, “Sesungguhnya kita tidak akan memusuhi orang-orang kafir kecuali apabila mereka menyakiti dan memerangi kita.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah merasa puas/ridha kepada kalian sampai kalian mau mengikuti millah (ajaran agama) mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 120).

Ayat ini menunjukkan bahwa permusuhan mereka kepada kita akan terus berlangsung sampai kita ikut menjadi kafir seperti mereka. Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya) “Sungguh telah terdapat suri teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak dengan jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4).

Maka kita pun harus memusuhi dan membenci mereka untuk selama-lamanya dikarenakan mereka kafir, sampai mereka mau meninggalkan kekafiran mereka dan beriman kepada Allah semata. Jadi, permusuhan [kita] tidak hanya terbatas kepada orang yang memerangi kita di antara mereka, sebagaimana yang diserukan oleh sebagian da’i yang bersikap lembek

Allah ta’ala menegaskan kewajiban permusuhan kita kepada mereka karena mereka adalah orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, meskipun orang-orang itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah ditetapkan Allah keimanan di dalam hati mereka.” (QS. al-Mujadilah [58]: 22)

Di antara konsekuensi hal itu adalah kita tidak boleh menyerupai ciri khas mereka, baik dalam hal pakaian atau yang lainnya. Dan ini sekaligus merupakan ajakan kepada para pemuda kita, agar mereka meninggalkan pakaian-pakaian olah raga yang padanya terdapat nama-nama pemain (olah raga) yang kafir itu. Bahkan ini juga ajakan kepada segenap kaum muslimin untuk merasa mulia dan bangga dengan keislaman mereka. Agar kaum muslimin memandang kepada orang-orang kafir dengan pandangan permusuhan dan kerendahan, maka tidak benar perkataan bahwa orang kafir itu juga saudara kita sebagaimana yang dilontarkan oleh sebagian da’i yang lembek.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya, mereka bersikap keras kepada orang-orang kafir, dan berkasih sayang dengan sesama mereka.” (QS. al-Fath [48]: 29).

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum, Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, berlemah lembut dengan orang-orang mukmin dan keras kepada orang-orang kafir.” (QS. al-Maa’idah [5]: 54)

Salah satu perkara yang sangat-sangat mengherankan yaitu anda dapat melihat sebagian orang yang dinisbatkan (disandarkan) kepada kalangan para da’i ila Allah -namun itu adalah penisbatan yang dusta- mereka itu tidak mau mengafirkan Yahudi dan Nasrani. Maka sungguh dia telah mendustakan al-Qur’an yang jelas-jelas telah mengafirkan mereka, maka orang seperti itu kafir berdasarkan ijma’ ulama sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah. Sebagai tambahan, guru kami Ibnu Baz menyebutkan bahwa tidak benar menamai orang-orang Nasrani dengan istilah Masihiyyin (pengikut Isa).

Pelajaran Kedua

Sesungguhnya tindakan melampaui batas yang berlangsung secara beruntun dan terus-menerus serta penghinaan atas nyawa kaum muslimin yang suci, [dirampasnya] harta dan kehormatan mereka yang bersih termasuk bencana dan musibah besar yang menimpa kita. Sungguh banyak kalangan aktivis di medan dakwah yang telah keliru dalam mendiagnosa penyakit ini. Dibangun di atasnya, mereka pun keliru dalam menempuh jalan penyembuhannya. Saya telah menerangkan hal itu di dalam mukadimah kitab saya ‘Muhimmat fi al-Jihad’.

Intisari dari penyakit ini adalah kemaksiatan kepada Allah. Dan yang paling besar di antaranya adalah meninggalkan tauhid dan sunnah serta tersebarnya syirik dan bid’ah di antara barisan kaum muslimin yang dinamakan dengan istilah tasawuf dan lainnnya. Dan keadaan ini semakin bertambah parah ketika muncul berbagai kelompok dakwah yang menelantarkan dakwah tauhid dan melalaikan peringatan agar menjauhi kesyirikan serta mengikis aqidah al-Bara’ (kebencian kepada musuh Islam) yang seharusnya tertuju kepada bid’ah dan para penyebarnya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah: ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 165).

Allah juga berfirman (yang artinya), “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan dikarenakan ulah tangan manusia, Allah ingin memberikan pelajaran dengan menimpakan sebagian akibat perbuatan mereka, semoga mereka mau kembali(ke jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum [30]: 41).

Maka kedua ayat tersebut dan ayat-ayat yang lainnya secara tegas menjelaskan bahwa semua musibah -di antaranya adalah berupa kelemahan dan dikuasai oleh orang-orang kafir- adalah akibat dari dosa-dosa yang kita perbuat.

Untuk mengatasi hal itu, maka obat dan penyembuhnya adalah dengan kembali kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal salih, niscaya Allah akan menjadikan mereka benar-benar berkuasa di atas muka bumi ini, sebagaimana halnya Allah telah mengangkat orang-orang sebelum mereka menjadi pemimpin, Allah benar-benar akan meneguhkan untuk mereka agama mereka yang telah Allah ridhai bagi mereka, dan Allah akan menggantikan rasa takut yang mencekam mereka dengan keamanan; mereka senantiasa beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku sama sekali.” (QS. an-Nuur [24]: 55).

Ini adalah janji dari Allah, sedangkan Allah tidak mungkin menyelisihi janji-Nya. “Itulah janji Allah, Allah tidak akan pernah menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Ruum [30]: 6)

Termasuk kekeliruan yang sangat fatal dan dosa yang sangat buruk yaitu [usaha sebagian orang] untuk memberikan posisi bagi Syi’ah Rafidhah untuk berada di antara barisan Ahlus Sunnah; sehingga mereka dapat dengan leluasa menyebarkan ajaran kekafiran dan kesesatan mereka, dan pada akhirnya mereka pun membahayakan Ahlus Sunnah.

Sungguh mengherankan! Bagaimana bisa dibenarkan bagi seorang da’i yang mengajak untuk ishlah (perbaikan) kok malah memberikan tempat bagi Rafidhah yang mengafirkan umat terbaik setelah Nabi-Nya yaitu para sahabat yang mulia seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka jugalah orang-orang yang berani menuduh ibunda kaum mukminin -sosok yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri beliau- telah melakukan perzinaan, mereka (baca: Syi’ah) juga melampaui batas dalam mengangkat kedudukan para imam mereka sampai menduduki derajat sebagaimana halnya derajat Allah, sebagaimana sudah saya terangkan dalam bantahan untuk mereka dalam risalah al-Qaul al-Mubin li maa ‘alaihi ar-Rafidhah min ad-Din al-Masyin.

Dahulu saya telah memberikan nasihat kepada organisasi HAMAS beserta pimpinan mereka -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan mereka- dan saya peringatkan mereka mengenai dampak [buruk] yang akan muncul akibat memberikan posisi bagi orang-orang Rafidhah di Palestina dan akibat buruk dari menyanjung mereka, sebagaimana telah kami sampaikan dalam sebuah pelajaran yang telah didokumentasikan dan disebarkan dengan judul ‘Rasa’il ila Hamas’, di antara tindakan mereka yang keliru itu adalah kunjungan Khalid Masy’al ke Iran dan meletakkan karangan bunga di atas kubur orang yang binasa yaitu al-Khumaini, dan pernyataannya bahwa Khumaini adalah bapak ruhani yang menjiwai dakwah mereka (HAMAS) di Palestina[?!].

Pelajaran Ketiga

Wajib bagi kaum muslimin untuk menyadari ukuran diri dan kekuatan mereka. Hendaknya mereka bisa membedakan antara kondisi lemah dan kondisi kuat, dan sudah seharusnya mereka pun mengetahui hukum-hukum yang menjadi konsekuensi atasnya. Hendaknya mereka menjadi orang yang bertindak realistis, bukan menjadi tukang khayal yang gemar berandai-andai.

Maka tidak dibenarkan bagi siapapun mengharuskan kaum muslimin mengikuti keputusan-keputusan yang tidak cocok dengan kondisi mereka [sekarang ini] dan kelemahan mereka; yang itu semua dibangun di atas impian persatuan dan kesatupaduan mereka [yang belum terwujud].

Akan tetapi, yang harus dilakukan adalah hendaknya kaum muslimin bertindak sesuai dengan kondisi mereka saat ini, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih perdamaian ataupun peperangan dengan mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang ada serta faktor-faktor lainnya.

Tatkala beliau masih berada di Mekah, Allah belum mensyariatkan kepadanya jihad. Karena pada saat itu beliau sedang dalam kondisi yang lemah, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para pemimpin Islam, di antaranya Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Anda bisa menemukan keterangan mereka dengan jelas di dalam buku saya ‘Muhimmat fi al-Jihad’ dan dalam pelajaran yang berjudul ‘al-Jihad baina al-ghuluw wa al-Jafaa’.

Betapa sering seorang muslim harus merasakan sakit akibat melayangnya nyawa kaum muslimin yang lain disebabkan kobaran semangat yang tak terkendali oleh ilmu sehingga menimbulkan kezaliman orang-orang kafir kepada kaum muslimin yang lemah justru menjadi berlipat ganda, maka jadilah mereka sebagai korban sembelihan orang-orang kafir yang sangat gemar menganiaya, dan mereka [orang kafir] itu adalah orang-orang Yahudi. Dan jadilah kaum muslimin sebagai korban akibat tindakan yang salah dari sebagian kaum muslimin, dan mereka itu adalah para pemimpin HAMAS.

Saya tidak mengerti sama sekali apa yang mendorong organisasi HAMAS untuk melakukan tindakan-tindakan perlawanan secara terang-terangan kepada orang-orang Yahudi kafir terlaknat itu, padahal mereka juga mengetahui bahwa kekuatan mereka sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan orang-orang Yahudi. Bahkan, tindakan mereka itu justru -pada ujungnya- mengakibatkan semakin kerasnya penyiksaan kaum Yahudi kepada orang-orang yang lemah di antara kaum muslimin di Gaza.

Sementara para pemimpin HAMAS bisa saja selamat karena mereka bisa membuat perlindungan di sekelilingnya untuk menyelamatkan diri. Kemudian, yang lebih aneh lagi adalah tindakan HAMAS yang tetap bersikeras meneruskan perang, sampai-sampai orang yang melihat mengira bahwa mereka memiliki kekuatan dan kemampuan yang memadai untuk menghancurkan Yahudi. Maka hal itu tidak lain justru semakin menambah sakit dan luka [pada diri kaum muslimin] akibat terjadinya berbagai pembantaian berdarah yang sangat keji [yang dilakukan oleh Yahudi, pent].

Salah satu contoh tindakan yang membuat orang tertawa sekaligus menangis adalah pernyataan HAMAS yang mendalili perbuatan mereka itu -serangan kepada Yahudi secara terang-terangan- dengan alasan terpaksa karena mereka berada sedang dalam kondisi terkepung. Sehingga hal itu mendorong mereka untuk memilih meninggalkan bahaya yang timbul akibat kepungan musuh menuju suatu bahaya yang lebih berat dan lebih mengerikan, yaitu menggabungkan antara [bahaya] pengepungan dan terjadinya pembantaian berdarah.

Memang benar, menetapnya Yahudi di bumi Palestina adalah kejahatan dan kezaliman yang tidak boleh diakui sama sekali. Mereka pun harus diusir dan dibuat angkat tangan [menyerah] agar tidak lagi menjajah al-Quds. Akan tetapi, kekeliruan ini tidak boleh disembuhkan dengan kekeliruan lain yang lebih fatal yaitu dengan menyebabkan tertumpahnya darah orang-orang yang tidak bersalah dalam jumlah yang sangat banyak.

Saya benar-benar mengajak kepada para pemimpin organisasi HAMAS untuk selalu bertakwa dan takut kepada Allah dan mengambil pelajaran dari para pendahulu mereka yaitu al-Ikhwan al-Muslimun (IM).

Betapa banyak kerugian yang timbul akibat letupan semangat dan tindakan-tindakan membahayakan yang mereka perbuat sehingga menyebabkan melayangnya banyak nyawa sebagaimana yang dahulu mereka lakukan di daerah Hamat. Kejadian yang menimpa mereka ketika itu belum jauh berlalu dari ingatan kita.

Hendaknya mereka takut kepada Allah demi terjaganya keselamatan kaum muslimin yang lemah di Gaza yang terdiri dari orang-orang tua yang sudah jompo, anak-anak yang masih menyusu. Lihatlah, sekarang darah itu sudah tertumpah, para wanita telah ternodai kehormatannya, demikian pula anak-anak telah menjadi yatim. Apa yang bisa kalian lakukan selain mengeluh dan mengadu.

Lihatlah, apa yang bisa kalian harapkan dari Iran yang Syi’ah itu yang katanya siap memberikan bantuan kepada kalian kecuali sekedar melemparkan urusan [tanggung jawab] mereka kepada pihak lain dan menebarkan keragu-raguan kepada negara-negara Islam Sunni yang lainnya.

Apa yang telah diperbuat oleh kaum Rafidhah (Syi’ah) di Irak berupa pembunuhan terhadap kaum Ahlus Sunnah dan menyerahkan urusan mereka kepada negara kafir Amerika merupakan bukti paling besar yang menunjukkan kekejian mereka, dan tidak mungkin kita berharap bantuan dari mereka untuk melawan kaum Yahudi dan Nasrani.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam bukunya ‘Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah’ [3/377] berkata, “Banyak di antara mereka -Rafidhah/Syi’ah- justru menaruh rasa kasih sayang kepada orang-orang kafir dari dalam lubuk hatinya lebih daripada kecintaan mereka kepada kaum muslimin. Oleh sebab itulah ketika pasukan Turki keluar sedangkan orang-orang kafir datang dari arah timur kemudian membunuhi kaum muslimin dan menumpahkan darah mereka di negeri Khurasan, Irak, Syam, jazirah Arab, dan negeri yang lainnya, maka kaum Rafidhah justru memberikan bantuan kepada mereka (orang kafir) untuk membunuh kaum muslimin. Dan menteri Baghdad saat itu yang sudah ma’ruf (dikenal) yaitu Alqami dan orang-orang yang sepertinya, mereka itulah orang-orang yang paling besar perannya dalam memberikan bantuan kepada mereka untuk menghancurkan kaum muslimin. Demikian pula orang-orang Rafidhah yang dahulu tinggal di Syam, mereka itu adalah orang-orang yang paling besar perannya dalam membantu orang kafir untuk memerangi kaum muslimin. Begitu pula orang-orang Nasrani yang dahulu diperangi oleh kaum muslimin di Syam, ternyata kaum Rafidhah pun termasuk pembantu mereka yang sangat berjasa. Demikian pula tatkala Yahudi berhasil memiliki pemerintahan di Irak dan negeri yang lainnya, maka jadilah kaum Rafidhah sebagai pembantu mereka yang paling besar perannya. Mereka itu selalu memberikan loyalitasnya kepada orang-orang kafir dari kalangan orang-orang musyrik maupun Yahudi dan Nasrani. Mereka membantu orang-orang kafir itu dalam rangka memerangi kaum muslimin dan memusuhi mereka…” Selesai ucapan beliau.

Sekarang kalian, wahai HAMAS. Kalian telah membuka jalan untuk kaum Rafidhah guna merusak keyakinan-keyakinan Ahlus Sunnah dan mengubahnya menjadi [aqidah] Syi’ah. Dan sebaliknya, kalian justru melarang para da’i salafi [ikut serta memperbaiki kekeliruan kalian, pent].

Bahkan, sudah terbukti kalian berani melakukan pembunuhan kepada sebagian di antara mereka (da’i salafi) dengan mengatasnamakan kemaslahatan yang diada-adakan. Barangsiapa yang ingin mendapatkan tambahan bukti dan keterangan yang lebih lengkap silakan merujuk kepada pelajaran ‘Rasa’il ila Harakati Hamas’ [masih dalam bentuk ceramah audio, belum di transkrip, pent].

Saya memohon kepada Allah agar Dia mematikan kita sebagai syuhada’ di jalan-Nya dan menyejukkan hati kita dengan hancurnya Yahudi. Saya pun memohon kepada-Nya dengan segenap kekuatan yang dimiliki-Nya demi terjaganya darah saudara-saudara kami kaum muslimin di Gaza dan di semua tempat, dan semoga Allah memberikan hidayah kepada para pemimpin HAMAS untuk meniti jalan yang lurus.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Abdul Aziz bin Rays ar-Rays (Pengawas situs al-Islam al-‘Atieq, islamancient.com)

Permulaan tahun 1430 H

diterjemahkan dari: Durus Manhajiyah Min Ahdats Ghazah al-Filisthiniyah

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/490-pelajaran-dari-palestina.html

Keistimewaan Palestina dan Penduduknya dalam Al-Qur’an dan Hadis

Tanah Palestina adalah tanah kaum muslimin, tanah yang diberkahi, dan kiblat pertama kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan para nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Bahkan, Allah pilih tempat ini sebagai tempat singgah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan isra dan mikraj, dan menjadi tempat naiknya beliau ke atas langit untuk menerima perintah salat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman,

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1)

Allah Ta’ala berkahi tanah Palestina dengan pepohonannya yang banyak, kebun-kebunnya yang subur, dan sungai-sungainya yang mengalir. Allah Ta’ala berkahi juga dengan keberadaan Masjidilaqsa di dalamnya, pahala salat di dalamnya berlipat ganda dan adanya anjuran untuk berkeinginan kuat pergi ke masjid tersebut semata-mata dengan tujuan beribadah dan salat di dalamnya.

Palestina adalah negeri para nabi

Allah Ta’ala telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Di antaranya Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,

وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ * وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ

“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi. Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 70-71)

Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan, ‘Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri’ adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qurtubi, 11:211)

Dan Syam di masa sekarang adalah wilayah yang mencakup Lebanon, Palestina, Suriah, dan Yordania.

Di dalam surah Al-Anbiya’, tatkala menceritakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, Allah Ta’ala berfirman,

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا

“Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya.” (QS. Al-Anbiya’: 81)

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “(Negeri yang kami beri berkah padanya), maksudnya adalah negeri Syam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim)

Negeri palestina di dalam hadis Nabi

Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

ذَكَرَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ قالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في شَامِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا في يَمَنِنَا قالوا: يا رَسولَ اللَّهِ، وفي نَجْدِنَا؟ فأظُنُّهُ قالَ في الثَّالِثَةِ: هُنَاكَ الزَّلَازِلُ والفِتَنُ، وبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjatkan doa, ‘Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca doa, “Ya Allah, berilah kami berkah dalam Syam kami. Ya Allah, berilah kami berkah dalam Yaman kami.’ Para sahabat berkata; ‘Ya Rasulullah, juga dalam Nejed kami!’ dan seingatku, pada kali ketiga, beliau bersabda, “Di sanalah muncul keguncangan dan fitnah, dan di sanalah tanduk setan muncul.” (HR. Bukhari no. 7094)

Para ulama berpendapat bahwa di antara sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan dua daerah tersebut dengan keberkahan adalah dikarenakan bahan pokok makanan penduduk Madinah di zaman tersebut paling banyak dikirim dan berasal dari dua daerah tersebut.

Pada kesempatan lainnya, Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

كُنَّا عِندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ نؤلِّفُ القرآنَ منَ الرقاعِ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ طوبى للشامِ فقلْنا لأيٍّ ذلك يا رسولَ اللهِ قال لأن ملائكةَ الرحمنِ باسطةٌ أجنحَتَها عليْها

“Kami menulis Al-Qur’an dari pelepah kurma di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Beruntunglah bagi penduduk Syam.’ Lalu, kami bertanya, ‘Kenapa bisa seperti itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.’” (HR. Tirmidzi no. 3954)

Para ulama mengatakan bahwa makna “Malaikat Yang Maha pengasih (malaikat Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam” adalah “dikelilingi dengan keberkahan, dan dijauhkan dari mara bahaya dan gangguan.” Dan pendapat lain mengatakan, “dengan menjaganya dari kekafiran.”

Sungguh, ini merupakan janji Allah dan Rasul-Nya bahwa meskipun saat ini berada di bawah penjajahan kaum Zionis, ada masanya dan ada saatnya Palestina akan berjaya dan diliputi dengan keamanan serta ketentraman.

Setelah mendengar hadis ini, wajib bagi kita untuk semakin yakin dan kuat dalam berdoa. Mendoakan kebebasan, kemerdekaan, dan keamanan bagi negeri Palestina, negeri milik kaum muslimin yang penuh dengan keberkahan ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لا يَزالُ أهْلُ الغَرْبِ ظاهِرِينَ علَى الحَقِّ، حتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Orang-orang Magrib (Syam) akan terus nampak di atas kebenaran hingga datang hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1925)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

ومن ذلك أن بها الطائفة المنصورة إلى قيام الساعة التي ثبت فيها الحديث في الصحاح من حديث معاوية وغيره: “لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى تقوم الساعة ” وفيهما عن معاذ بن جبل قال: ” وهم في الشام ” وفي تاريخ البخاري مرفوعا قال: ” وهم بدمشق “

“Dan dari hadis ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut (Syam/Palestina) adalah wilayah golongan yang akan senantiasa menang dan diberi pertolongan yang disebutkan juga dalam hadis yang sahih diriwayatkan oleh sahabat Muawiyah dan lainnya, ‘Senantiasa ada sekelompok umatku yang membela kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya dan menghinanya hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu.’ Terkait kedua hadis tersebut, ada riwayat Muadz bin Jabal yang menyebutkan, ‘Dan mereka berada di Syam.’ Dan dalam kitab ‘Tarikh Al-Bukhari’ dengan rantai sanad yang marfu’, beliau bersabda, ‘Mereka berada di Damaskus.’”  (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, 27: 507, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd)

Kebaikan agama penduduk Syam, tolak ukur bagi kaum muslimin yang lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشّامِ فَلا خَيْرَ فِيكُمْ

“Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tidak akan tersisa kebaikan di tengah kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2192)

Rusaknya agama penduduk Syam adalah pertanda rusaknya umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merekalah benteng terakhir kebaikan agama kaum muslimin.

Palestina rumah bagi Islam, tempat berlindung dari fitnah akhir zaman

Sahabat Salamah bin Nufail radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

كنتُ جالسًا عندَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فقالَ رجلٌ: يا رسولَ اللَّهِ أذالَ النَّاسُ الخيلَ ووضعوا السِّلاحَ وقالوا: لا جِهادَ قد وَضعتِ الحربُ أوزارَها فأقبلَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بوجهِهِ قال: كذبوا الآنَ ، الآنَ جاءَ القتالُ، ولا يزالُ من أمَّتي أمةٌ يقاتِلونَ على الحقِّ، ويزيغُ اللَّهُ لَهم قُلوبَ أقوامٍ، ويرزقُهم منْهم حتَّى تقومَ السَّاعةُ وحتَّى يأتِيَ وعدُ اللَّهِ، والخيلُ معقودٌ في نواصيها الخيرُ إلى يومِ القيامَةِ، وَهوَ يوحي إليَّ أنِّي مقبوضٌ غيرُ ملبَّثٍ، وأنتم تتَّبعوني أفنادًا يضربُ بعضُكم رقابَ بعضٍ، وعقرُ دارِ المؤمنينَ الشَّامُ

“Aku pernah duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ada seorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah melepaskan kuda dan meletakkan senjata. Mereka berkata, ‘Tidak ada lagi jihad dan perang telah berakhir.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kepadanya dengan wajahnya sambil bersabda, ‘Mereka dusta! Sekarang telah tiba peperangan. Dan akan senantiasa ada di kalangan umatku yang berperang di atas kebenaran. Allah akan menjadikan hati sebagian orang condong kepada mereka dan Dia akan memberikan rezeki dari mereka hingga tiba hari Kiamat dan hingga datang janji Allah. Dan pada setiap ubun-ubun kuda telah tertulis kebaikan sampai hari Kiamat. Telah diwahyukan kepadaku, bahwa aku akan meninggal dunia tanpa menunggu lama, dan kalian akan mengikutiku secara berpisah-pisah, sebagian kalian menebas leher sebagian yang lain, dan tempat asal orang-orang mukmin adalah Syam.’”  (HR. An-Nasa’i no. 3563)

Syam, termasuk di dalamnya Palestina, di saat fitnah akhir zaman sedang terjadi, akan menjadi tempat perlindungan dan tempat yang aman bagi kaum muslimin. Tempat tinggal dan tempat kembali bagi kaum mukminin. Sungguh ini merupakan keistimewaan dari Allah Ta’ala bagi negeri tersebut.

Saudaraku, semoga dengan menyebutkan dan membaca keutamaan serta keistimewaan negeri Syam ini, diri kita menjadi semakin cinta dengan Palestina, turut merasakan kesedihan yang mereka rasakan dan membantu mereka sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Semoga Allah Ta’ala memberikan keamanan dan kemenangan untuk negeri Palestina, serta mengembalikan kejayaan kaum muslimin di sana. Amin ya Rabbal ‘alamin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/90022-keistimewaan-palestina-dan-penduduknya-dalam-al-quran-dan-hadis.html

Bisakah Watak Buruk Seseorang Diubah? Begini Penjelasan Mubaligh Mesir

Watak buruk tak bisa diubah adalah pendapat keliru.

Mubaligh Mesir yang juga peneliti syariah di Dewan Ulama Sepuh Al-Azhar Kairo Mesir, Dr Ayman Al Hajjar, menyampaikan penjelasan soal apakah sifat buruk yang dimiliki seseorang tidak bisa berubah. Kebanyakan orang menganggap itu sebagai sesuatu yang memang sudah wataknya.

Dr Ayman Al Hajjar menjelaskan, anggapan bahwa sifat buruk manusia tidak bisa berubah adalah gagasan yang keliru. Dilansir Masrawy, Kamis (23/11/2023). Dia mengatakan, manusia adalah ciptaan Allah SWT, dan Allah Maha Mengetahui atas berubahnya seseorang menjadi baik.

Mubaligh Mesir yang juga peneliti syariah di Dewan Ulama Sepuh Al-Azhar Kairo Mesir, Dr Ayman Al Hajjar, menyampaikan penjelasan soal apakah sifat buruk yang dimiliki seseorang tidak bisa berubah. Kebanyakan orang menganggap itu sebagai sesuatu yang memang sudah wataknya.

Dr Ayman Al Hajjar menjelaskan, anggapan bahwa sifat buruk manusia tidak bisa berubah adalah gagasan yang keliru. Dilansir Masrawy, Kamis (23/11/2023). Dia mengatakan, manusia adalah ciptaan Allah SWT, dan Allah Maha Mengetahui atas berubahnya seseorang menjadi baik.

“Anggapan bahwa watak buruk seseorang tidak bisa berubah tentu akan mengakibatkan adanya energi negatif dan ketidakmampuannya secara psikologis untuk berubah menjadi baik,” ujarnya.

Al Hajjar dalam kesempatan itu mengumpamakan para sahabat Nabi Muhammad SAW yang sebelum masuk Islam mereka adalah orang-orang yang melakukan perbuatan buruk. Berakhlak buruk, saling membunuh dan bahkan mereka melakukan apapun yang diinginkan.

“Sampai kemudian mereka berubah menjadi orang yang memiliki akhlak lebih baik di tangan junjungan kita Nabi Muhammad SAW,” jelasnya.

Itu artinya, seseorang yang memiliki sifat atau watak atau akhlak yang buruk pun sejatinya bisa berubah menjadi orang shaleh.

Menurut Al Ghazali, akhlak bisa diubah dan diperbaiki. Sebab, jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam proses menjadi sempurna. Selalu terbuka dan mampu menerima usaha pembaruan serta perbaikan.

Namun, Al Ghazali juga menjelaskan, perbaikan harus dilakukan melalui pendidikan dan pembinaan pada sikap dan perilaku konstruktif. Pembiasaan tersebut dilakukan melalui metode berbalik.

Misalnya, kebodohan harus diubah dengan semangat menuntut ilmu, kikir dengan dermawan, sombong dengan rendah hati, dan rakus dengan puasa. Proses pembiasaan ini tentu saja tidak bisa dilakukan secara instant tapi membutuhkan waktu, perjuangan, dan kesabaran yang tinggi.

Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk terus memohon perlindungan dari setan sehingga dijauhkan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Araf Ayat 200, “Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Seorang Muslim agar tetap berada di jalan kebaikan, juga perlu istiqamah dalam beramal shaleh. Salah satunya ialah dengan membaca Alquran seperti membaca permulaan dan akhir Surat Al-Baqarah, Ayat Kursi, dan konsisten mengucapkan dzikir pagi, sore dan menjelang tidur.

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Amr alias Abu Amrah Sufyan bin Abdullah, dia berkata, “Saya berkata kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, ajari saya satu ucapan yang mengandung ajaran Islam dan saya tidak perlu lagi bertanya kepada siapapun selain kepada engkau.” Rasulullah menjawab, “Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian bersikap istiqamah.” (HR Muslim)

ISLAMDIGEST

Bolehkah Menonton Film Horor?

Gambar hidup yang menampilkan beberapa lakon adalah salah satu fenomena yang sulit kita hindari di zaman ini. Mulai dari lakon yang bertujuan mendidik, menghibur, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Dan film horor merupakan salah satu dari deretan genre film yang digemari kebanyakan masyarakat di negara ini.

TV atau bioskop adalah alat yang hukumnya bergantung kepada penggunaannya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah di dalam film atau televisi terdapat hal-hal yang melanggar nilai-nilai syariat? Seperti tersingkapnya aurat yang bukan mahram kita, mendengarkan alunan musik, tersebarnya keyakinan-keyakinan yang batil, ajakan menyerupai dan mengikuti gaya orang-orang kafir, dan sebagainya.

Dan perlu diingat bahwa anggota tubuh manusia yang dengannya mereka menyaksikan film atau berjalan menuju bioskop, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullahu (dalam Ighatsatul Lahfan, 1: 80) mengatakan,

“Tujuh anggota, yakni: mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, dan kaki akan mengantarkan seorang hamba kepada kehancuran dan keselamatan. Barangsiapa yang tidak peduli ke arah mana anggota tubuh tersebut digunakan, tidak menjaganya, maka ia akan celaka. Sebaliknya, siapa saja yang peduli dan mempergunakannya dalam kebaikan, maka ia akan selamat. Jadi, menjaga anggota tersebut adalah sebab keselamatan dan acuh dengannya adalah sebab kehancuran.”

Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Begitu pun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam salah satu sabdanya,

فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

Mata berzina dengan melihat, lisan berzina dengan bicara, hati berzina dengan hasrat, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243)

Terkumpulnya banyak sekali keburukan di dalam sebuah film menjadikan tidak ada celah bagi seorang muslim untuk menormalisasi kesalahan tersebut. Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu mengatakan,

ومحل الشاهد منه قوله صلى الله عليه وسلم ( فزنى العين النظر ) ، فإطلاق اسم الزنى على نظر العين إلى ما لا يحلّ : دليل واضح على تحريمه ، والتحذير منه ، والأحاديث بمثل هذا كثيرة معلومة  .ومعلوم أن النظر سبب الزنى ؛ فإنَّ مَن أكثر مِن النظر إلى جمال امرأة – مثلاً – : قد يتمكن بسببه حبّها من قلبه تمكّنًا يكون سبب هلاكه – والعياذ باللَّه – ، فالنظر بريد الزنى

“Alasan dilarangnya melihat film yang menampilkan aurat perempuan adalah perkataan Nabi, ‘Mata berzina dengan melihat.’ Penggunaan terminologi zina ditujukan untuk setiap hal yang dilarang secara syariat dan ini menunjukkan keharamannya dan peringatan akan hal tersebut. Hadis yang semisal ini berjumlah cukup banyak. Yang sudah diketahui pula, bahwa banyak menonton aurat perempuan akan menyebabkan hati resah dan binasa (semoga Allah jauhkan kita dari hal tersebut). Karena sesungguhnya pandangan adalah akar muasal zina.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 510)

Lantas bagaimana dengan film horor?!

Film horor yang di dalamnya terdapat hal-hal seperti pengabaran tentang hal gaib (jin) yang tentu hanya karangan manusia semata, keyakinan yang batil (seperti peribadahan kepada selain Allah, aurat wanita, musik, dan menakut-nakuti sesama), maka hukumnya haram dengan beberapa alasan berikut ini.

Memunculkan rasa takut di hati seorang muslim

Secara ringkas, Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu mengatakan bahwa ada dua alasan menulis kisah-kisah misteri:

Pertama: Di dalamnya terkandung cerita-cerita yang bisa melahirkan rasa takut di hati manusia terhadap makhluk Allah ‘Azza Wajalla, penggambaran yang batil tentang tempat-tempat tertentu, dan boleh jadi ada peran setan untuk menakut-nakuti manusia. Maka, hal ini termasuk ke dalam hadis,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Tidak boleh menceburkan diri ke dalam bahaya dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad no. 2865 dan Ibnu Majah no. 2341)

Kedua: Di dalam tulisan horor terdapat hal-hal yang mengagetkan atau menakut-nakuti kaum muslimin. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak boleh bagi seorang muslim menakut-nakuti yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 5004)

Al-Munawi rahimahullahu mengatakan, “Dan tetap tidak diperbolehkan walaupun tujuannya bercanda. Karena terdapat unsur kesengajaan mencelakai orang lain.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 12: 236)

Terdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan

Alasan yang lebih-lebih menjadi dasar pengharaman melihat film horor adalah di dalamnya terdapat simbol-simbol kesyirikan, seperti peribadahan kepada jin, sesajen, dan lain-lain. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.”

Al-Baidhawi rahimahullahu menjelaskan,

لا يقيمون الشهادة الباطلة، أو لا يحضرون محاضر الكذب؛ فإن مشاهدة الباطل شركة فيه

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tidak turut menyaksikan kebatilan dan menghadiri sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur kedustaan. Karena menyaksikan kebatilan (tanpa mengingkarinya, pent.) adalah bentuk bekerja sama di dalam acara tersebut.” (Anwar At-Tanzil)

Bahkan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seseorang berkorban di tempat yang biasa dijadikan tempat kesyirikan karena khawatir manusia mengira itu merupakan pembenaran terhadap perbuatan kesyirikan sebelumnya. Sebagaimana ketika salah seorang sahabat hendak menunaikan nazarnya, beliau bertanya terlebih dahulu,

Apakah tempat tersebut dulunya dikenal dengan tempat penyembahan berhala?

“Bukan, ya Rasulullah”, jawab sahabat.

Kemudian beliau bertanya kembali,

Apakah dulunya pernah dijadikan tempat merayakan perayaan orang-orang kafir?

“Tidak, ya Rasulallah”, jawab sahabat.

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan,

أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ.

Jika demikian, penuhi nazarmu. Ketahuilah bahwasanya tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 3313, At-Thabrani no. 1341, dan Al-Baihaqi no. 20634)

Maka, tidak seharusnya seorang muslim bersenang-senang dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat pengingkaran kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti film horor. Karena kepedihan yang kita rasakan kelak di akhirat akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kesenangan yang kita dapatkan yang tidak seberapa ketika kita menyaksikan film-film tersebut. Semoga Allah bukakan pintu ampunan kepada kesalahan kita yang lalu maupun akan datang. Amin.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89947-bolehkah-menonton-film-horor.html

Stuart Seldowitz, Islamofobia dan Usia Pernikahan Aisyah

Stuart Seldowitz, seorang mantan penasihat pada masa Pemerintahan Presiden Obama, menimbulkan kontroversi dengan melontarkan ujaran kebencian terhadap seorang penjual makanan Muslim yang memiliki food truck. Seldowitz menyebut Nabi Muhammad sebagai seorang pemerkosa (pedofilia) karena menikahi anak di bawah umur.

Pernyataan ini merujuk pada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menikahi ‘Aisyah ketika berusia 6 tahun dan hidup bersamanya ketika usianya mencapai 9 tahun. Tentu ini juga bukan satu-satunya Riwayat dalam menjelaskan usia pernikahan Nabi dengan Aisyah. Menurut Abdurrahman bin Abi Zina, Aisyah saat pertama kali satu rumah dengan Nabi adalah berusia 17 tahun atau 18 tahun. Riwayat lain dari Abdurrahman bin Abu Abi Zannad dan Ibnu Hajar, umur Aisyah ketika menikah dengan Nabi adalah 19 tahun atau 20 tahun.

Terlepas dari perbedaan riwayat tersebut, memahami konteks sejarah pada masa itu, usia pernikahan dan hubungan suami-istri di usia muda bukanlah sesuatu yang dianggap aneh. Penting untuk dicatat bahwa istilah dan penelitian tentang pedofilia baru muncul di akhir abad ke-19, dan istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh psikiater Richard von Krafft-Ebing. Pedofilia kemudian dipublikasikan dalam buku “Diagnostic and Statistical Manual (DSM): Mental Disorders” pada sekitar tahun 1950 oleh American Psychiatric Association.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah dan aturan pedofilia tidak ada pada zaman Rasulullah, dan kondisi fisik serta psikologi anak-anak pada abad pertengahan atau tahun 600 Masehi tidak terdokumentasi secara akurat. Jika aturan pedofilia belum ada pada masa itu, pernikahan di bawah umur tidak dianggap tabu di dunia pada saat itu. Oleh karena itu, menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Rasulullah dengan menikahi Aisyah di usia 6 tahun tidak dapat dianggap salah pada konteks waktu tersebut, dan tentu saja tidak dapat dijadikan landasan atau patokan di zaman sekarang.

Penting untuk memahami bahwa pandangan dan norma sosial mengenai pernikahan di bawah umur berbeda-beda di berbagai budaya dan agama. Agar memahami kontroversi ini secara komprehensif, kita harus melibatkan perspektif dari berbagai sumber dan tidak hanya memusatkan perhatian pada satu interpretasi atau sudut pandang.

Meskipun pernyataan Stuart Seldowitz mencerminkan kurangnya penghargaan dan pemahaman terhadap konteks sejarah, kita harus tetap membuka ruang untuk berbicara dan berdiskusi secara terbuka mengenai sejarah dengan niat untuk belajar dan memahami. Dialog yang adil dan inklusif memungkinkan kita mencapai pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan budaya dan agama serta menghormati keragaman pandangan.

Menyambung dengan konteks islamofobia, pernyataan Seldowitz mencerminkan salah satu bentuk diskriminasi terhadap Islam. Islamofobia, atau ketakutan dan kebencian terhadap Islam atau Muslim, sering kali melibatkan stereotip negatif dan pemahaman yang dangkal terhadap ajaran dan praktik Islam. Dalam hal ini, islamofobia dapat memicu penilaian yang tidak adil terhadap sejarah dan praktik keagamaan, seperti yang terjadi dalam pernyataan Seldowitz.

Penting untuk menghadapi islamofobia dengan pendidikan dan dialog yang konstruktif, memerangi stereotip yang tidak benar, dan mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberagaman budaya dan agama. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak setiap individu untuk mempraktikkan keyakinan agama mereka tanpa takut menjadi sasaran prasangka atau diskriminasi.

ISLAMKAFFAH

Ini 8 Ciri Imam Mahdi dalam Hadis Nabi

Kepercayaan umat Muslim mengenai kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman merupakan hal yang diamini banyak ulama. Berikut ini ada 8 ciri Imam Mahdi dalam hadis Nabi.

Imam Ja’far al-Kattani bahkan menyebutkan bahwa hadits mengenai kemunculan Imam Mahdi itu mencapai tingkat mutawatir. Al-Tirmidzi meriwayatkan tiga hadis tentang Al-Mahdi. Salah di antaranya bersumber dari sahabat Abdullah bin Mas’ud.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ العَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي

Dari Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak kiamat dunia ini sampai seorang laki-laki dari ahli baitku menguasai bangsa Arab. Namanya sesuai dengan namaku. (HR. Al-Tirmidzi)

Namun ada juga ulama, seperti Ibnu Khaldun, yang tidak percaya mengenai kemunculan Imam Mahdi. Kemunculan Imam Mahdi kerap diklaim oleh sebagian pihak untuk melakukan kekacauan, konflik, dan pertumpahan darah di antara sesama umat Muslim.

Tak jarang mereka menggunakan hadis dhaif, bahkan palsu, mengenai Imam Mahdi. Bahkan ulama hadis kontemporer Syekh Abdul Alim Abdul Azhim menulis ensiklopedia hadis-hadis dhoif dan palsu seputar Imam Mahdi.

Tapi ia juga menulis mengenai hadis-hadis shahih seputar Imam Mahdi. Oleh karena itu, kita harus mengetahui secara jelas mengenai seluruh ciri-ciri Imam Mahdi. Salah satunya saja tidak terpenuhi, kita jangan mudah percaya bila ada orang mengklaim sebagai Imam Mahdi.

Al-Suyuthi mencatat bahwa dalam sejarah umat Islam, terdapat banyak kelompok yang mengklaim sebagai gerakan Al-Mahdi. Menurutnya, semua itu bentuk kebohongan belaka karena ketika diukur berdasarkan kriteria-kriteria di atas selalu ada yang kurang alias tidak cocok.

Kelompok-kelompok tukang klaim tersebut mempermainkan dalil-dalil agama seperti anak-anak memainkan mainannya. Mereka berusaha mencocok-cocokkan ciri-ciri pemimpin serta kelompoknya dengan Al-Mahdi dan pendukungnya.

Ciri tukang klaim tersebut, kata Al-Suyuthi, adalah mereka membuat standar keimanan sendiri bahwa umat Islam yang mendukungnya sebagai mukmin dan yang menolak bergabung bersama mereka disebut kafir.

Ciri lainnya, mereka berani membunuhi para ulama (Al-Suyuthi, Syarah Sunan Ibn Majah, jilid 1, hlm. 300). Lantas, apa sajakah ciri Imam Mahdi dalam hadis Nabi?

Video: https://youtu.be/ifo9muipOog?si=aTobqWBJsVdKpSNF

BINCANG SYARIAH

2 Cara Mendekatkan Diri Pada Allah dari Syekh Abdul Qadir Jailani

Dalam literatur ilmu tasawuf, Istilah wushul atau dekat dengan Allah sering diperbincangkan oleh para ulama sufi. Adapun wushul atau dekat dengan Allah berbeda-beda metode atau cara yang mereka jalani atau mereka tempuh. Nah berikut 2 cara mendekatkan diri Pada Allah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Sebelum wushul atau dekat dengan Allah, ada syarat yang harus dijalani, yaitu, melakukan berbagai rangkaian ibadah, dengan rangkaian ibadah tersebut seseorang bisa wushul atau dekat dengan Allah.

Para ulama sufi dalam menjalankan ibadah berbeda-beda metode atau cara. Ada yang istiqamah dalam menjalankan shalat sunnah, puasa, zikir, bersedekah, membantu orang lain, dan sebagainya.

Dengan keistiqomahan menjalankan ibadah tersebut, hati mereka menjadi bersih dari berbagai penyakit hati, dan orang yang masih mempunyai penyakit hati, ia akan jauh dari rahmat Allah dan tidak akan bisa wushul atau dekat dengan Allah. Apabila hati seseorang sudah bersih dari berbagai penyakit hati, maka mudah baginya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2 Cara Mendekatkan Diri Pada Allah

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam karyanya Sirrul Asrar Juz 1, halaman 19, menjelaskan tentang wushul atau dekat dengan Allah. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 

وطريق الوصول الى الله تعالى متابعة الجسم على الصراط المسقيم بأحكام الشريعة ليلا ونهارا ودوام ذكرالله تعالى

Artinya: “Jalan untuk wushul (sampai kepada Allah Ta’ala) adalah Ikutnya jisim (badan) atas jalan yang lurus dengan hukum-hukum syariat siang dan malam dan melanggengkan dzikir kepada Allah Ta’ala.”

Dari penjelasan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di atas, dapat kita pahami bahwa untuk wushul atau dekat dengan Allah, kita harus melalui dua jalan yang harus kita tempuh. Adapun rincian dua jalan tersebut sebagai berikut: 

Pertama, yang dilakukan oleh badan kita setiap hari dan malam, harus berada di jalan yang lurus, jalan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seseorang tidak bisa wushul atau dekat dengan Allah apabila ia masih melakukan kemaksiatan atau perbuatan yang melanggar dari tuntunan syariat Islam. Pada dasarnya orang yang wushul atau dekat dengan Allah perbuatannya selalu mengikuti sunnah Nabi atau sesuai dengan tuntunan syariat Islam. 

Kedua, melanggengkan dzikir kepada Allah SWT. Setelah berperilaku sesuai dengan sunnah Nabi atau sesuai dengan tuntunan syariat Islam, maka untuk wushul atau dekat Allah ia harus melanggengkan zikir, baik siang dan malam santai atau sibuk. Karena dengan zikir ia selalu mengingat keagungan Allah, dan orang yang selalu mengingat atas keagungan Allah ia berusaha istiqamah berada di jalan Allah. 

Itulah 2 cara untuk mendekatkan diri Pada Allah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH