5 Dalil Pelipur Lara tentang Sakit Penggugur Dosa

SAHABAT ku yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, insya Allah pada kesempatan ini, saya ingin mengulas bahwa sakit yang diterima oleh seorang MUSLIM yang BERIMAN lagi BERTAKWA adalah PENGGUGUR DOSA. Saya coba berikan beberapa dalil penguat:

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”. (HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).

“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).

“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).

“Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya”. (HR. Tirmidzi no. 2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan IV/314, Ibnu Hibban no. 697, disahihkan Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 576).

“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”. (HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Shohih Jamiis Shoghirno.1870).

Kiranya 5 dalil di atas dapat memperkuat penjelasan bahwa SAKIT yang kita hadapi adalah penggugur dosa, namun perlu diingat bahwa tetap ada syarat agar sakit itu benar-benar menjadi penggugur dosa. Syaratnya adalah: ikhlas dan konsisten beribadah.

Mungkin kita pernah saksikan si rumah sakit bahwa ada beberapa orang pasien yang menggunakan kursi roda tetap berupaya menunaikan salat berjemaah di masjid seperti yang lainnya. Seolah SAKIT yang diderita tidak menjadi penghalang baginya. Ia tetap konsisten beribadah dan semoga di hatinya tumbuh rasa keikhlasan.

Sahabat sekalian, iblis laknatuLLah itu sangat tidak menyukai jika kita sebagai manusia dekat dengan Allah Ta’ala dan mendapatkan berbagai kemurahan dari Allah Ta’ala, sehingga berbagai cara ia lakukan agar penggugur dosa yang sedang kita jalani di dunia tidak menimbulkan efek kebaikan bagi kita, melainkan hanya derita sakit yang ada.

Iblis meniupkan sebuah rasa dalam hati kita untuk tidak menerima sakit yang kita derita melalui berbagai macam media, misal seseorang yang berkunjung dan berkata-kata yang melemahkan mental sehingga membuat kita tidak menerima keadaan. Sepertinya selalu ada saja orang uang seperti ini dalam kehidupan. Atau dengan media lainnya, karena iblis akan berupaya dengan berbagai macam cara agar kita tidak ikhlas.

Selanjutnya, iblis menawarkan beberapa rukhsoh SAKIT dalam hati kita, sehingga hati kita membenarkan bahwa meninggalkan ibadah ketika sakit merupakan RUKHSOH (kemudahan) yang diperbolehkan oleh Allah Ta’ala. Padahal Allah Ta’ala telah menetapkan kemudahan bagi seseorang untuk beribadah ketika sakit, melalui berbagai macam cara yang tidak memberatkan. Ingat tetap menjalankan ibadah dengan cara yang tidak memberatkan bukan meninggalkan ibadah.

Sehingga, hasilnya dapat kita lihat bersama, banyak saudara-saudara kita yang terbuai untuk meninggalkan salat yang didukung oleh pengunjung atau yang menemani kita yang sedang sakit dengan mengatakan “Allah Ta’ala MAHA MENGETAHUI bahwa kamu sedang SAKIT, tidak apa asal jangan keterusan”. Saya hanya menyatakan seyogyanya si pengunjung dan yang menemani orang sakit itu memotivasi ibadah karena kita tidak pernah tau, mungkin ajalnya telah dekat dipembaringan.

Tidak kah mengerikan ketika kita mengatakan hal demikian yang membuat saudara kita yang sedang sakit lalai dalam ibadah, kita dicap oleh Allah Ta’ala sebagai orang-orang yang menghalang-halangi manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Naudzubillah.

Maka 2 nasihat yang harus kita sampaikan ketika kita menjenguk seseorang yang sakit, agar kita dapat menjadi jalan kebaikan bagi seseorang yang sedang Allah Ta’ala kehendaki untuk mendapatkan kebaikan berupa pengguguran dosa adalah ikhlaskan hati bahwa semua kehendak Allah Ta’ala dan tetaplah konsisten dalam beribadah, sesungguhnya ada kebaikan di hadapan kita ketika kita mampu melalui derita sakit ini, yaitu: penggugur dosa, di mana kelak penggugur dosa inilah yang akan diharapkan oleh semua jiwa ketika di yaumul hisab. Jangan sia-siakan hanya karena bisikan iblis yang tidak rida atas diri kita.

Wallahu a’lam. [Oleh. Maulana Ishak, S.Pi, Alumni MSP IPB angkatan 43, Relationship Manajemen Rumah Zakat, Ex. Staff Khusus Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS]

INILAH MOZAIK

Jihad dan Membangun Masjid Termasuk Amalan Muta’addi

Contoh amalan muta’addi lainnya adalah jihad, berjaga di jalan Allah, hingga membangun masjid.

Contoh Amalan Muta’addi #03: Jihad di jalan Allah

Jihad yang dimaksud di sini adalah berperang melawan orang kafir.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,

قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا . كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». وَقَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ : « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ . لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى» .

Ada yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para sahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab, “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada kali yang ketiga, “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala itu kembali.” (HR. Bukhari, no. 2635 dan Muslim, no. 1878)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

وَالْجِهَادُ مَقْصُودُهُ أَنْ تَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَأَنْ يَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ؛ فَمَقْصُودُهُ إقَامَةُ دِينِ اللَّهِ

“Tujuan jihad adalah agar kalimat Allah tinggi, dan agar agama semuanya milik Allah, yaitu maksud tujuannya agar agama Allah tegak (di muka bumi).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 15:170)

Contoh Amalan Muta’addi #04: Berjaga di jalan Allah

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (begadang) untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 1639. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Contoh Amalan Muta’addi #05: Membangun Masjid

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)

Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِى الْجَنَّةِ مِثْلَهُ

Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga.” (HR. Bukhari, no. 450 dan Muslim, no. 533).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan setelah ia mati adalah: (1) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan; (2) anak shalih yang ia tinggalkan; (3) mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan; (4) masjid yang ia bangun; (5) rumah bagi ibnu sabil (musafir yang terputus perjalanan) yang ia bangun; (6) sungai yang ia alirkan; (7) sedekah yang ia keluarkan dari harta ketika ia sehat dan hidup. Semua itu akan dikaitkan dengannya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah, no. 242; Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh Al-Mundziri. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Referensi:

Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahil. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Madarul Wathan.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21374-jihad-dan-membangun-masjid-termasuk-amalan-mutaaddi.html

Masjid Mana Yang Lebih Utama Untuk Shalat?

Pada asalnya, semua masjid itu setara keutamaannya kecuali 3 masjid yaitu masjid Nabawi, masjid Al Haram dan masjid Al Aqsha. Karena 3 masjid ini disebutkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram” (HR. Muslim no. 1394)

Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram. SHalat di masjid Al Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di tempat lain” (HR. Ibnu Majah no.1406, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsha” (HR. Bukhari no. 1115 dan Muslim no. 1397)

Namun untuk masjid selain 3 masjid ini, para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai masjid yang lebih afdhal untuk kita datangi sebagai tempat kita menunaikan ibadah shalat.

Masjid Yang Lebih Dekat

Para ulama menganjurkan untuk mengutamakan masjid yang lebih dekat dengan rumah kita sebagai tempat kita menunaikan ibadah shalat.  Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

يُصَلِّ الرجلُ في المسجِدِ الذي يلِيه ، ولا يَتَّبِعُ المساجِدَ

Hendaknya seseorang shalat di masjid yang dekat dengannya, dan jangan mencari-cari masjid lain” (HR. Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 2/178)

Diantara alasannya adalah, untuk tercapainya berbagai maslahah antara orang-orang yang saling bertetangga atau sesama kerabatnya. Karena yang shalat di masjid terdekat tentu adalah orang-orang yang rumahnya saling berdekatan atau bahkan sesama kerabat yang masih ada hubungan keluarga. Dengan berkumpulnya mereka di masjid yang sama akan mempererat hubungan, terbuka kesempatan untuk menunaikan hak tetangga dan hak kerabat, terbuka kesempatan untuk berbagi empati, saling membantu, saling menasehati dan maslahah lainnya.

Al Hasan Al Bashri ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang sering shalat di masjid lain yang jauh, beliau berkata:

كانوا يحبون أن يكثر الرجل قومه بنفسه

“Mereka (para salaf) menyukai untuk sering-sering berada di tengah-tengah kaumnya”

Masjid Yang Lebih Lama

Sebagian ulama menganjurkan untuk mengutamakan masjid yang usianya lebih lama atau lebih awal dibangunnya. Dalam kitab As Shalah, Abu Nu’aim Al Fadhl bin Dukain meriwayatkan kisah Ibnu Sirin tentang sahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu. Ibnu Sirin berkata:

كنت أقبل مع أنس بن مالك من الزاوية, فإذا مر بمسجد قال: أمحدث هذا؟ فإن قلت: نعم مضى, وإن قلت:عتيق صلى

“Aku pernah bertemu Anas bin Malik di Az Zawiyah. Jika ia melewati masjid, beliau bertanya: ‘Ini masjid baru?’ Kalau saya jawab: ‘ya’, maka beliau melewatinya, namun jika saya jawab: ‘ini masjid lama’ maka beliau shalat”

Sebagian mereka berdalil dengan ayat:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. At Taubah: 108)

Di dalamnya ada isyarat untuk memilih masjid yang lebih lama.

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, maksud Anas bin Malik memilih masjid yang lebih lama kemungkinan untuk mencegah keinginan orang-orang untuk membangun masjid baru tanpa kebutuhan. Karena hal ini bisa memecah-belah kaum muslimin dan membuka pintu perpecahan. Sehingga bisa jadi ketika ada orang yang tidak suka dengan si Fulan, ia pun membuat masjid sendiri sehingga ia tidak perlu shalat semasjid dengan si Fulan. Dan sudah maklum, bahwa terkumpulnya umat Islam dalam satu masjid itu lebih baik, karena dapat saling berkenalan, saling berakrab, saling menghapus kebencian, saling mengetahui keadaan satu sama lain ketika ada yang kena musibah, sakit, atau butuh pertolongan dan hal-hal lain yang sejalan dengan maqashid syar’iyyah dan sunnah fithriyyah.

Masjid Yang Lebih Sesuai Sunnah

Para ulama juga menganjurkan untuk memilih masjid yang di dalamnya ditegakkan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan benar, jauh dari perkara yang mungkar, perkara bid’ah apalagi perkara kesyirikan. Dalam rangka menjaga keistiqamahan diri menempuh jalan yang benar dalam beragama dengan senantiasa berhias dengan amalan yang sesuai sunnah. Namun seseorang hendaknya shalat di masjid kaumnya yang terdekat dengan rumahnya walaupun ada beberapa kemungkaran atau kebid’ahan di dalamnya dan di sana ia senantiasa berusaha untuk menasehati dan memperbaiki. Sehingga selain tercapai maslahah-maslahah dengan shalat di masjid terdekat, sekaligus tercapai juga maslahah dakwah. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta menyatakan:

فإذا كان الإمام يسدل في صلاته ويديم القنوت في صلاة الصبح على ما ذكر في السؤال نصحه أهل العلم وأرشدوه إلى العمل بالسنة ، فإن استجاب فالحمد لله ، وإن أبى وسهلت صلاة الجماعة وراء غيره صُلِّيَ خلف غيره محافظةً على السنة ، وإن لم يسهل ذلك صُلِّيَ وراءه حرصاً على الجماعة ، والصلاةُ صحيحةٌ على كل حال .

“Jika imam melakukan sadl atau merutinkan membaca doa qunut ketika shalat shubuh, sebagaimana yang anda tanyakan, katakan kepadanya bahwa para ulama menasehatkan dirinya untuk beramal dengan yang sesuai sunnah. Jika ia setuju, alhamdulillah. Jika ia menolak, maka bila anda dapat dengan mudah mencari masjid lain, shalatlah di sana. Dalam rangka menjaga diri agar senantiasa mengamalkan yang sunnah. Jika sulit untuk mencari masjid lain, maka anda tetap shalat menjadi makmum imam tersebut, dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat berjama’ah” (Fatawa Lajnah Ad Daimah, 7/366)

Semoga bermanfaat.

Referensi:

  • Sifatu Shalatin Nabi, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
  • Fatawa Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/13474-masjid-mana-yang-lebih-utama-untuk-shalat.html

Shalat Jama’ah Sahkah di Selain Masjid?

Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.

Ini pendapat Malik, Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.

Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]

Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]

Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”

Dalil-dalilnya

Mereka berdalil dengan hadis-hadis berikut:

1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]

2. Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau.”[5]

3. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]

Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.

Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.

Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]

Beliau juga berkata, “Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]

Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]

Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”

Dalil-dalilnya

Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.

Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah– berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”

Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.

Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]

Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur.”[11]

Penutup

Alangkah baiknya jika kita tutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam “Kitab Shalat”:

“Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”

Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan sampai kabarnya kepada penduduk Mekah, Suhail bin Amr berkhutbah –ketika itu Itab bin Usaid menjadikannya gubernur di Mekkah, ia sembunyi dari mereka karena takut. Kemudain Suhail mengeluarkannya saat penduduk Mekah telah kuat dalam Islam- kemudian Itab bin Usaid berkhutbah, “Wahai penduduk Mekah, tidak sampai kepadaku salah seorang diantara kalian yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali akan dipukul lehernya.” Para sahabat Nabi pun berterima kasih kepadanya atas perbuatan ini dan semakin menambah derajatnya di mata mereka. Dan yang aku yang yakini, tidak boleh seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali kerena uzur, wallahu ‘alam bish-shawab.”

Catatan

Setelah tetap bahwa tidak boleh meniggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali bagi yang memiliki uzur, maka kemudian hendaknya diperhatikan tiga perkara berikut:

  1. Orang yang ketinggalan shalat berjamaah di masjid dan ia memperkirakan tidak ada yang dapat shalat bersamanya di masjid, maka yang lebih baik baginya adalah kembali ke rumah dan shalat berjamaah beserta keluarganya.
  2. Dalam kondisi safar dan bepergian bersama keluarga, maka ia hendaknya shalat berjamaah bersama keluarganya.
  3. Jika tertinggal shalat berjamaah di masjid yang dekat, maka hendaknya ia shalat di masjid yang lain dengan tanpa memberatkan dan ia yakin akan mendapatinya.

[Diterjemahkan dari kitab “Shalat al-Jama’ah, Hikamuha wa Ahkamuha”, Syaikh Dr. Shaleh bin Ghanim As-Sadlan, hal. 52-26]

Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/13053-shalat-jamaah-sahkah-di-selain-masjid.html

Setiap Kebaikan itu Sedekah (Kullu Makrufin Shodaqoh)

Setiap kebaikan itu sedekah, kullu makrufin shodaqoh.

Kitabul Jaami’ dari Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani

بَابُ اَلْبِرِّ وَالصِّلَةِ

Bab Berbuat Baik pada Orang Tua dan Silaturahim (Berbuat Baik pada Kerabat)

Hadits 1471

عَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – – كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ – أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6021. Diriwayatkan pula oleh Muslim, no. 1005 dari hadits Hudzaifah]

Faedah Hadits

  1. Kullu makrufin, setiap kebaikan”, kalimat ini adalah bentuk lafaz umum. Makruf adalah suatu istilah yang bentuknya memberikan kemanfaatan pada orang lain dengan perkataan atau perbuatan. Bisa jadi kemanfaatannya dengan badan, dengan harta, dengan amalan, dengan nasihat, dan dengan memberikan kemaslahatan duniawi. Contoh perbuatan makruf adalah kalimat thoyyibah (kalimat yang baik), berbuat baik kepada manusia dengan harta, kedudukan, menolong, memberi petunjuk pada orang yang kebingungan.
  2. Shodaqoh asalnya adalah mengeluarkan harta miliknya karena Allah Ta’ala. Shodaqoh atau sedekah ada yang wajib dan ada yang sunnah.
  3. Maksudnya kalimat “kullu makrufin shodaqoh” adalah melakukan perbuatan makruf memiliki pahala seperti pahala sedekah.
  4. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim, yaitu kalimat yang ringkas namun sarat makna, mencakup banyak makna, berisi nasihat bermanfaat, cukup dengan lafaz yang singkat dan jelas.
  5. Hadits ini mendorong kita untuk berbuat makruf. Berbuat makruf ini berpahala sebagaimana seseorang bersedekah.
  6. Sedekah tidak hanya dengan harta. Sedekah bisa dengan perbuatan dan lainnya seperti mendamaikan orang yang berselisih, menolong orang naik kendaraan, membantu menaikkan barang seseorang di atas kendaraannya, kalimat thoyyibah (kalimat yang baik), langkah kaki ke masjid, dan menghilangkan gangguan dari jalanan.
  7. Perbuatan makruf dapat dibagi menjadi tiga: (1) amalan badan seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, tholabul ilmi, dan mengajarkan ilmu; (2) pengorbanan harta seperti zakat, sedekah, nafkah; (3) terkumpul amalan badan dan pengorbanan harta seperti haji dan jihad di jalan Allah.

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid kesepuluh.


Disusun di Darush Sholihin, 7 Muharram 1441 H (7 September 2019)

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21425-setiap-kebaikan-itu-sedekah.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 4)

Shalat tahiyyatul masjid ketika memasuki masjidil haram

Perlu diketahui bahwa terdapat dua keadaan ketika seseorang memasuki masjidil haram, yaitu:

Pertama, memasuki masjidil haram untuk melaksanakan ibadah thawaf.

Dalam kondisi ini, dia tidak disyariatkan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, baik thawaf tersebut dalam rangka ibadah haji atau ibadah umrah, atau dalam rangka thawaf sunnah. Hal ini karena ibadah thawaf tersebut adalah bentuk penghormatan terhadap masjidil haram, sebagaimana hikmah di balik disyariatkannya shalat tahiyyatul masjid. 

Yang disyariatkan bagi orang yang hendak thawaf adalah dia melaksanakan thawaf, kemudian melaksanakan shalat sunnah thawaf di belakang maqam Ibrahim. Janganlah dia duduk, kecuali telah melaksanakan shalat sunnah thawaf. Dengan rangkaian ibadah tersebut, maksud dari shalat tahiyyatul masjid sudah tercapai dengan thawaf dan shalat sunnah thawaf, sehingga tidak disyariatkan lagi untuk shalat tahiyyatul masjid secara khusus. 

Inilah yang disyariatkan bagi orang-orang yang hendak thawaf. Adapun yang dikerjakan oleh sebagian orang dengan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, baru thawaf, maka tindakan ini menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjidil haram, beliau mulai dengan thawaf, sebagaimana dalam riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu dan selainnya. 

Adapun jika seseorang mau duduk terlebih dahulu, baru thawaf, baik karena ingin istirahat terlebih dahulu; atau karena masih menunggu rombongan umrah yang lain; atau karena sebab-sebab yang lain; maka yang disyariatkan adalah dia melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan makna umum dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)

Ke dua, memasuki masjidil haram untuk melaksanakan ibadah selain thawaf, misalnya untuk menunggu waktu shalat wajib, membaca Al-Qur’an, dzikir, mengahdiri majelis ilmu (pengajian), atau selainnya. 

Dalam kondisi ini, yang disyariatkan adalah melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, berdasarkan makna umum dari hadits di atas. 

Sebagian orang menyangka bahawa shalat tahiyyatul masjid itu gugur ketika memasuki masjidil haram, karena tahiyyah untuk masjidil haram adalah thawaf, bukan shalat tahiyyatul masjid. Ini adalah pemahaman yang keliru. Yang mungkin saja karena salah paham terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ – حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ، ثُمَّ طَافَ

“Perkara pertama yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai (di Makkah) adalah berwudhu, kemudian thawaf.” (HR. Bukhari no. 1614, 1641, dan Muslim no. 1235)

Maksud yang tepat dari hadits di atas adalah dianjurkan untuk memulai dengan thawaf, baik thawaf wajib atau thawaf sunnah, bagi yang memasuki masjidil haram. Dia tidak perlu shalat tahiyyatul masjid, kecuali jika memang tidak ada niat (keinginan) untuk thawaf karena ‘udzur (alasan) tertentu. 

Bukanlah maksud dari hadits ini bahwa shalat tahiyyatul masjid itu tidak disyariatkan secara mutlak ketika seseorang memasuki masjidil haram, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum muslimin. 

Selain itu, jika bentuk tahiyyah untuk masjidil haram adalah hanya dengan thawaf (tidak dengan shalat tahiyyatul masjid), maka ini adalah syariat yang memberatkan, yang tidak mungkin syariat Islam yang mudah ini menetapkannya. Lebih-lebih lagi jika seseorang berkali-kali memasuki masjidil haram dalam satu hari untuk shalat wajib atau yang lainnya. Bahkan, lebih-lebih lagi ketika di musim tertentu ketika jamaah di masjidil haram itu sangat ramai, seperti saat musim haji, atau di bulan Ramadhan, atau di waktu-waktu lainnya ketika jamaah sangat penuh berdesakan. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51157-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-5.html

Diantara Akhlak Para Salaf Dalam Berbicara

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah figur teladan dalam berbicara. Tutur kata beliau ringkas dan mudah dipahami. Ungkapannya lembut penuh tawadhu dan tidak berlebih-lebihan sehingga menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Orang-orang terdahulu yang shalih dianugrahi oleh Allah kekuatan lisan untuk selalu menyampaikan kebenaran berdasarkan ilmu, bukan berbantah-bantahan atau berdebat yang lebih didominasi oleh hawa nafsu. Terlebih lagi ketika mereka membahas permasalahan yang ada kaitannya dengan agama, mereka sangat memuliakan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menjadikan keduanya sebagai sumber petunjuk dalam segala permasalahan kehidupan.

Sebagaimana yang dikatakan Al-Hasan ketika dia mendengar suatu kaum yang saling berbantah-bantahan “Mereka telah bosan beribadah, ringan perkataan bagi mereka dan sedikit wara’ mereka sehingga mereka bicara”. (Dikeluarkan oleh Ahmad di dalam Az-Zuhd, hal 272).

Sebagian ulama salaf berkata:“Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba maka Dia bukakan baginya pintu amalan dan Dia tutup darinya pintu jidal (perdebatan), dan jika Allah menghendaki kejelekan pada seorang hamba maka Dia tutup darinya pintu amalan dan Dia bukakan baginya pintu jidal” (Al-Hilyah, 8/361).

Demikianlah diantara akhlak generasi terdahulu yang sangat berhati-hati dalam berbicara, mereka menyadari betapa lidah tidak bertulang yang bisa menjerumuskannya pada neraka ketika ia berbicara tanpa kendali syariat. Di zaman fitnah dimana bendera-bendera Dajjal telah bermunculan, saat ini begitu menjamur orang-orang yang berbicara tanpa ilmu, mereka pandai bersilat lidah dalam memutarbalikkan kebenaran. Menjadikan agama sebagai ajang perdebatan padahal telah jelas ditegaskan dalam Kitab dan Sunnah.
Allah memerintahkan umat-Nya agar ‘mengerem’ sikap terlalu banyak berbicara yang membuat kehebohan di tengah manusia. Terkadang ‘diam itu emas’ ketika seseorang terlalu mengumbar kata-kata tanpa kebutuhan penting. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47).

Dengan mengendalikan pembicaraan niscaya lisan akan terjaga dari ketergelinciran. Terlebih lagi dengan menyibukkan lisan pada perdebatan yang bertujuan agar pendapatnya diterima orang lain tanpa landasan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Sikap seperti ini bukan akhlak mukmin yang mulia.
Ja’far bin Muhammad berkata: “Jauhilah diri kalian dari debat dalam agama karena hal tersebut menyibukkan hati dan menumbuhkan nifaq” (Dikeluarkan oleh Al-Ajury dalam “Asy-Syariah” hal 58).
Orang yang diberi taufiq oleh Allah niscaya ia akan bersungguh-sungguh memanfaatkan lisan dengan baik. Dia paham kapan akan diam dan kapan akan bicara. Mampu melihat situasi dan kondisi serta dengan siapa ia berbicara.
Setiap mukmin hendaknya menyadari bahwa setan senantiasa memotivasi, membisik-bisiki orang untuk berbuat melampaui batas termasuk dalam pembicaraan. Setan berambisi menjerumuskan lisan agar tergelincir yang pada akhirnya membuat manusia binasa.
Imam Ahmad mengeluarkan begitu juga Tirmidzi dari hadits Abu Umamah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Rasa malu dan diam karena takut salah adalah termasuk keimanan, dan kejelekan lidah dan banyak bicara adalah dua cabang dari kemunafikan” (Dihasankan oleh Tirmidzy dan dikeluarkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya).
Wallahu a’lam.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11632-diantara-akhlak-para-salaf-dalam-berbicara.html

Seruan Dari Allah Untuk Semua Manusia

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (2577), dalam kitab “Al Birr wash Shilah wal Adab”, bab “Haramnya Kezaliman” :

وَعَن أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَ اللَّهُ عَلَيهِ وَ سَلَم فِيمَا يَروِيهِ عَن رَبِّهِ، قَالَ: “يَا عِبَادِي إِنِّ حَرَّمتُ الظُلمَ عَلَى نَفسِي، وَجَعَلتُهُ بَينَكُم مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا…”

Dari Abi Dzar rahimahullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang Nabi riwayatkan dari Rabbnya (hadits qudsi), Allah berfirman: “Wahai hamba-Ku, sesungguuhnya Aku haramkan kezaliman atas Diriku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi”

Hadits yang agung dan panjang namun dicukupkan oleh penulis dalam satu kalimat saja. Hadits dari Abu Dzar yang terkenal diriwayatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Rabbnya. Dan adalah Abu Muslim Al-Khauali rahimahullah apabila membaca dan menyampaikan hadits ini beliau duduk dengan bertekuk lutut dalam rangka takut kepada Allah ta’ala.

Allah Tidak Menzalimi Hamba-Nya
Pada kalimat, “Allah berfirman” merupakan penetapan bahwa Allah ta’ala bisa berbicara. Sesungguhnya Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku”, ini adalah seruan dari Allah untuk semua manusia. Makna dari kalimat, “Sesungguhnya Aku haramkan kezaliman atas Diriku” adalah Allah mencegah dan membersihkan diri-Nya dari kezhaliman serta menolak untuk berbuat zalim padahal Allah mampu melakukannya. Allah mampu melakukan segala sesuatu akan tetapi Allah menghalangi diri-Nya untuk berbuat kezaliman karena kezaliman merupakan suatu aib (sifat kekurangan) dan Allah tersucikan dari aib.
Hadits ini adalah dalil bahwasanya Allah mampu berbuat zalim terhadap hamba-hamba-Nya namun Allah tidak ingin berbuat zalim. Maka Allah menegaskan hal tersebut untuk menunjukkan betapa adilnya Allah.
Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Dan Rabbmu tidaklah zalim kepada siapapun” (Q.S Al-Kahfi: 49).

وَمَا رَبُّكَ بِظُلاَّمٍ لِلعَبِيدِ

Dan Rabbmu sama sekali tidak berbuat zalim pada hamba-hamba-Nya” (Q.S Fushshilat: 46).
Meskipun kata zhullam adalah sighah mubalaghah (makna hiperbola) sehingga zhullamin bermakna sangat zalim, namun makna ayat bukanlah “Allah tidaklah berbuat sedikit zalim pada hamba-hamba-Nya” melainkan makna yang tepat adalah zalim sehingga makna yang tepat adalah “Dan Rabbmu sama sekali tidak berbuat zalim pada hamba-hamba-Nya”.
Allah Ta’ala berfirman,

لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ

Tidak ada kezaliman hari ini” (Q.S Ghafir: 17).

Pengertian dan Macam-macam Kezaliman
Maka Allah tidak zalim pada siapapun padahal Allah mampu berbuat zalim. Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

الظلم ثلاثة: فظلم لا يتركه الله، و ظلم يغفر، وظلم لا يغفر، و أما الظلم الذي لا يغفرفا الشرك لا يغفر الله، و أما الظلم الذي يغفر فظلم العبد فيما بينه و بين ربه، و أما الظلم الذي لا يترك فظلم العبد فيقتص الله بعضهم من بعد

Kezaliman ada tiga macam yaitu kezaliman yang tidak akan Allah biarkan, kezaliman yang diampuni dan tidak diampuni. Kezaliman yang tidak diampuni adalah syirik, Allah tidak mengampuni kemusyrikan. Kezaliman yang diampuni adalah kezaliman terkait hamba dan hak Rabbnya. Kezaliman yang tidak Allah biarkan adalah kezaliman antara hamba dengan hamba Allah akan kisas sebagian dengan yang lain (HR. Abu Daud At-Thalisi dalam musnadnya no. 2223, Abu Nu’aim di dalam Hilyah (6/309) dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah no. 1927).

Zalim ada tiga macam;
1. Zalim antara hamba dengan Rabbnya dan ini adalah syirik. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang besar” (Q.S Luqman: 13).
2. Zalim antara hamba dengan hamba yakni atta’addi (melampau batas terhadap orang lain). Atta’addi mencakup tiga hal, yakni melampau batas terhadap;
a.  Harta orang lain dengan mencuri, merampok, mengambil haknya
b.  Darah orang lain dengan memukuli, melukai bahkan membunuh
C.  Nama baik dan kehormatan orang lain dengan mencaci maki, ghibah, menggunjing dan yang lain
3. Zalim terhadap diri sediri, dengan bermaksiat dan melakukan keburukan. Zalim jenis ini hukumnya haram dan termasuk salah satu dosa besar.
Kalimat “Aku haramkan kezaliman atas Diriku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian”, merupakan larangan zalim terhadap sesama manusia. Kalimat “Maka janganlah saling menzalimi” adalah taukid (penegasan) untuk kalimat “Dan Aku menjadikannya haram di antara kalian”. Zalim buruk secara syariat dan akal sehat. Orang yang berbuat kezaliman diancam dengan azab.
Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا

Sungguh menyesal orang yang memikul kezaliman” (Q.S Thaha: 111).

Penulus: Atma Beauty Muslimawati

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11616-seruan-dari-allah-untuk-semua-manusia.html

Menjawab Syubhat: Zina Yang Terlarang Adalah Yang Terang-Terangan

Muhammad Syahrur -‘aamalallahu bimaa yastahiqquhu-, tokoh liberal yang sedang ramai dibicarakan karena menyerukan konsep halalnya zina, dia mengatakan bahwa zina yang terlarang adalah yang terang-terangan. Sedangkan yang sembunyi-sembunyi maka tidak mengapa.

Diapun mengutip ayat:

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah. Itulah batasan-batasan Allah” (QS. Ath Thalaq: 1).

Dia menafsirkan “fahisyah mubayyinah” dengan “zina terang-terangan”. Mafhumnya, menurut dia, zina yang sembunyi-sembunyi itu boleh. 

Maka kita jawab:

PERTAMA, ini tafsiran yang aneh yang tidak dikenal. Baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan juga para ulama tafsir. Ini tafsiran dari hawa nafsu semata.

KEDUA, justru para ahli tafsir memaknai “fahisyah mubayyinah” dengan zina secara umum. Al Hasan Al Bashri, Mujahid, Ibnu Zaid dan yang lainnya mengatakan:

الزنى، قال فتُخْرَج ليُقام عليها الحدّ

“Maksudnya zina, maka istri yang berzina dikeluarkan dari rumah untuk dijatuhkan hukuman hadd” (lihat Tafsir Ath Thabari).

Bahkan Ibnu Abbas dan Qatadah memaknai “fahisyah mubayyinah” adalah semua bentuk maksiat.

عن ابن عباس ( إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ) والفاحشة: هي المعصية

“Dari Ibnu Abbas tentang ayat [kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah], fahisyah di sini maknanya maksiat” (lihat Tafsir Ath Thabari).

Dan “mubayyinah” di sini maksudnya perbuatan tersebut jelas merupakan maksiat dan jelas keburukannya. As Sa’di menjelaskan:

{ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ } أي: بأمر قبيح واضح، موجب لإخراجها، بحيث يدخل على أهل البيت الضرر من عدم إخراجها

“[kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah], maksudnya perkara yang jelas keburukannya. Yang mewajibkan dia untuk dikeluarkan dari rumah, karena menimbulkan bahaya bagi penghuni rumah jika tidak dikeluarkan” (Tafsir As Sa’di).

Maka “mubayyinah” di sini bukan maksudnya melakukan terangan-terangan di depan banyak orang. Walaupun itu termasuk dalam cakupan. Artinya, jika ia melakukan maksiat terang-terangan tentu lebih parah dan lebih dosa lagi.

KETIGA, larangan zina bersifat mutlak untuk semua zina, tanpa pengecualian. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra: 32).

KEEMPAT, di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pelaku zina dijatuhi hukuman hadd walaupun tidak terang-terangan melakukannya.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata,

أن رجلاً من أسلمَ، جاء النبيَّ صلى الله عليه وسلم فاعترف بالزنا، فأعرض عنه النبيُّ صلى الله عليه وسلم حتى شَهِدَ على نفسِه أربعَ مراتٍ، قال له النبيُّ صلى الله عليه وسلم:أبك جنونٌ؟ قال: لا، قال: آحصَنتَ؟. قال: نعم، فأمرَ به فرُجِمَ بالمصلى، فلما أذلقته الحجارةُ فرَّ، فأُدرِك فرُجِمَ حتى مات. فقال له النبيُّ صلى الله عليه وسلم خيرًا، وصلى عليه

“Ada seorang lelaki, yang sudah masuk Islam, datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengakui dirinya berbuat zina. Nabi berpaling darinya hingga lelaki tersebut mengaku sampai 4 kali. Kemudian beliau bertanya: ‘Apakah engkau gila?’. Ia menjawab: ‘Tidak’. Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau pernah menikah?’. Ia menjawab: ‘Ya’. Kemudian beliau memerintah agar lelaki tersebut dirajam di lapangan. Ketika batu dilemparkan kepadanya, ia pun lari. Ia dikejar dan terus dirajam hingga mati. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan hal yang baik tentangnya. Kemudian menshalatinya” (HR. Bukhari no. 6820).

Ada wanita dari Bani Ghamid mengaku berzina. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَيْحَكِ اِرْجِعِي فَاسْتَغْفِرِيْ اللهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ! فَقَالَتْ: أَرَاكَ تُرِيْدُ أَنْ تُرَدِّدَنِي كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ: وَمَا ذَاكِ؟ قَالَتْ: إِنَّهَا حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فَقَالَ: أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهَا حَتَّى تَضَعِي مَا فِي بَطْنِكِ، قَالَ: فَكَفَلَهَا رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ حَتَّى وَضَعَتْ، قَالَ: فَأَتَى النَّبِيَّ j، فَقَالَ: قَدْ وَضَعَتِ الْغَامِدِيَّةُ، فَقَالَ: إِذًا لاَ نَرْجُمُهَا وَنَدَعُ وَلَدَهَا صَغِيْرًا لَيْسَ لَهُ مَنْ يُرْضِعُهُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: إِلَيَّ رَضَاعُهُ يَا نَبِيَّ اللهِ، قَالَ: فَرَجَمَهَا.

“Celaka engkau! Pulanglah dan mintalah ampun kepada Allah serta bertaubatlah!” Kemudian wanita itu menjawab, “Aku melihat engkau menolak (pengakuan)ku sebagaimana engkau menolak (pengakuan) Ma’iz bin Malik.” Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menjawab, “Ini adalah kehamilan dari perzinaan.” Beliau meyakinkan, “Apakah engkau melakukannya?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu beliau bersabda kepadanya, “Sampai engkau melahirkan apa yang engkau kandung.” (Perawi) berkata, “Lalu wanita itu ditanggung kesehariannya oleh seorang laki-laki dari Anshar sampai melahirkan.” (Perawi) melanjutkan, “Kemudian ia (laki-laki Anshar) mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Perempuan Ghamidiyyah itu sudah melahirkan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, kita tidak akan merajamnya dan membiarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusui.’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku yang akan bertanggung jawab atas penyusuannya, wahai Nabi Allah.’” (Perawi) berkata, “Maka Nabi pun merajam wanita tersebut” (HR. Muslim no.1695).

Dua kasus zina di atas, pelakunya berzina diam-diam, tidak terang-terangan. Buktinya hukuman dijatuhkan atas dasar pengakuan. Andaikan mereka terang-terangan maka sudah dilaporkan oleh orang-orang, bukan karena pengakuan.

KELIMA, beda antara masalah dosa dengan masalah hadd. Terkadang pelaku dosa tidak terkena hukuman hadd, karena tidak dilaporkan atau tidak ketahuan, tapi ia tetap berdosa.

Bahkan terkadang orang yang berbuat maksiat karena tergelincir, padahal ia asalnya orang baik, maka hendaknya dimaafkan dan tidak dilaporkan kepada ulil amri agar tidak dijatuhi hadd. Namun jika sudah dilaporkan wajib dijatuhi hadd. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

dalam riwayat lain:

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).

An Nawawi mengatakan:

الْمُرَادُ بِهِ السَّتْرُ عَلَى ذَوِي الْهَيْئَاتِ وَنَحْوِهِمْ مِمَّنْ لَيْسَ هُوَ مَعْرُوفًا بِالْأَذَى وَالْفَسَادِ فَأَمَّا المعروف بذلك فيستحب أن لا يُسْتَرَ عَلَيْهِ بَلْ تُرْفَعَ قَضِيَّتَهُ إِلَى وَلِيِّ الْأَمْرِ إِنْ لَمْ يَخَفْ مِنْ ذَلِكَ مَفْسَدَةً

“Maksudnya adalah menutupi kesalahan orang yang memiliki nama baik dan semisal mereka yang tidak dikenal gemar melakukan gangguan dan kerusakan. Adapun orang yang gemar melakukan gangguan dan kerusakan maka dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi kesalahannya bahkan dianjurkan untuk diajukan perkaranya kepada waliyul amri, jika tidak dikhawatirkan terjadi mafsadah” (Syarah Shahih Muslim, 16/135).

Dari sini kita paham bahwa beda antara hadd dengan dosa. Zina yang tidak ketahuan, sembunyi-sembunyi, tidak ada 4 saksi, maka memang tidak bisa dijatuhi hadd. Namun tetap pelakunya berdosa besar.

KEENAM, zina mata, zina lisan, zina hati saja dilarang. Maka bagaimana mungkin zina yang betulan malah dibolehkan jika sembunyi-sembunyi??

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه

“sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al Bukhari 6243).

Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).

KETUJUH, haramnya zina dalam bentuk apapun, disepakati oleh para ulama bahkan semua agama samawiyah mengharamkan zina. Haramnya zina juga disepakati oleh orang-orang berakal dan waras. Karena sangat jelas sekali kerusakan zina, jijiknya zina dan akibat-akibat buruknya bagi pribadi dan masyarakat.

Semoga Allah memberi taufik.

**

CATATAN:

Pemikiran-pemikiran Muhammad Syahrur dan juga doktor Abdul Aziz jangan disebar-sebarkan dan jangan diberi panggung. Walaupun dengan alasan diskusi atau debat.

Karena mereka juga menggunakan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mereka pelintir sesuai hawa nafsu, yang ini bisa menjadi syubhat dan fitnah bagi orang awam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51161-menjawab-syubhat-zina-yang-terlarang-adalah-yang-terang-terangan.html

Surat Luqman Ayat 13-14, Arab Latin, Arti, Tafsir dan Kandungan

Surat Luqman ayat 13-14 adalah ayat tentang tauhid dan birrul walidain. Berikut ini arti, tafsir dan kandungan maknanya.

Surat Luqman (لقمان) terdiri dari 34 ayat dan merupakan surat makkiyah. Dinamakan Surat Luqman karena memuat kisah Luqman al Hakim yang memiliki pemahaman mendalam tentang keesaan Allah dan memiliki hikmah.

Adapun secara khusus ayat 13-14 merupakan ayat tentang tauhid dan birrul walidain. Melarang berbuat syirik dan memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtua. Dan itu diajarkan Luqman kepada anaknya.

Surat Luqman Ayat 13-14 Beserta Artinya

Berikut ini Surat Luqman Ayat 13-14 dalam tulisan Arab, tulisan latin dan artinya dalam bahasa Indonesia:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ . وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

(Wa idz qoola luqmaanu libnihii wahuwa ya’iduhu yaa bunayya laa tusyrik billaah, innasy syirka ladhulmun ‘adhiim. Wa washshoinal insaana biwaalidaihi hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin wa fishooluhuu fii ‘aamaini anisykurlii waliwaalidaik, ilayyal mashiir)

Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Tafsir Surat Luqman Ayat 13-14

Tafsir Surat Luqman Ayat 13-14 ini disarikan dari Tafsir Ibnu KatsirTafsir Fi Zhilalil QuranTafsir Al Azhar, dan Tafsir Al Munir. Harapannya, agar ringkas dan mudah dipahami.

Kami memaparkannya menjadi beberapa poin dimulai dari redaksi ayat dan artinya. Kemudian diikuti dengan tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ . وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 13-14)

1. Parenting Luqman Al Hakim

Surat Luqman ayat 13 ini merupakan perkataan Luqman kepada anaknya yang diabadikan Allah dalam Al Quran.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:

Luqman adalah seorang yang istimewa. Ia bukanlah Nabi dan Rasul, tapi namanya dijadikan nama surat dalam Al Quran. Ajaran-ajaran Luqman, terutama kepada anaknya, diabadikan dalam Al Quran. Allah telah memberinya hikmah sebagaimana disebutkan dalam ayat 12 surat Luqman ini.

Dan dalam ayat 13 ini disebutkan bahwa Luqman memberikan pelajaran kepada anaknya. Dan hendaknya setiap orangtua muslim mencontoh parenting dan pendidikan anak ala Luqman ini.

2. Larangan syirik

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Inilah nasehat Luqman kepada anaknya. Inilah pelajaran utama yang diberikan Luqman kepada buah hatinya. Yakni janganlah mempersekutukan Allah.

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan, Luqman menasehati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya itu sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya. “Karena itulah hal pertama yang ia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia menyembah Allah semata, jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kemudian ia mengingatkan anaknya bahwa syirik adalah kezaliman yang paling besar.”

Sayyid Qutb menjelaskan, nasehat seperti ini tidak menggurui dan tidak mengandung tuduhan. Karena orang tua tidak menginginkan kepada anaknya melainkan kebaikan.

“Luqman melarang anaknya dari berbuat syirik, dan dia memberikan alasan atas larangan tersebut bahwa kemusyrikan adalah kezaliman yang besar,” terangnya dalam Tafsir Fi Zilalil Quran.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan mengapa syirik merupakan kezaliman terbesar. Zalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sedangkan syirik, ia adalah kezaliman terbesar karena berkaitan dengan pokok aqidah, menyamakan dan menyetarakan Sang Khaliq dengan makhluk.

Sedangkan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menjelaskan bahwa bahwa syirik merupakan kezaliman terbesar karena ia memperbodoh diri sendiri.

“Memang aniaya besarlah orang kepada dirinya kalau dia mengakui ada Tuhan selain Allah, padahal selain Allah adalah makhluk. Dia aniaya atas dirinya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajaknya agar membebaskan jiwa dari segala sesuatu selain Allah,” tulis Buya Hamka.

“Jiwa yang dipenuhi tauhid adalah jiwa yang merdeka. Tidak ada sesuatupun yang bisa mengikat jiwa kecuai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila manusia menuhankan yang lain, sedang yang itu makhluk belaka, berarti manusia menjadikan dirinya budak bagi makhluk lain.”

Ayat ini juga menjadi dalil bahwa boleh bagi orangtua mengatakan “jangan” kepada anaknya. Sementara salah satu tren pendidikan dari Barat di masa modern ini ada yang melarang mengatakan “jangan.”

3. Birrul Walidain

Surat Luqman ayat 14 ini merupakan perintah untuk berbakti kepada orangtua (birrul walidain).

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;

Kata washshoina (وصينا) artinya adalah Kami wasiatkan. Wasiat kalau berasal dari Allah, maka ia adalah perintah.

Dalam  ayat ini Allah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya. Allah memerintahkan menghormati dan memuliakan keduanya.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, ayat 14 ini adalah firman Allah. Setelah Dia mengabadikan perkataan Luqman kepada anaknya untuk bertauhid, Allah mengiringinya dengan perintah birrul walidain.

4. Terutama Ibu

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.

Menurut Mujahid, kata wahn (وهن) berarti penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, artinya adalah kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Atha al Khurrasani artinya adalah lemah yang bertambah-tambah.

Firman Allah ini secara khusus menunjukkan betapa besar kepayahan seorang ibu tatkala mengandung anaknya. Dan setelah melahirkan, seorang ibu masih menyusui bayinya selama dua tahun. Lalu bagaimana mungkin seorang anak tidak mau berbakti kepada orangtua, terlebih ibunya?

Ayat ini juga menunjukkan bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah dua tahun. Minimalnya enam bulan, menurut Ibnu Abbas. Sebagaimana juga firman Allah yang lain:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS. Al Baqarah: 233)

5. Bersyukur kepada Allah dan orangtua

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Setelah perintah bertauhid kepada Allah dan berbakti kepada orangtua, Allah menuntun hamba-Nya agar bersyukur kepada-Nya dan berterima kasih kepada kedua orangtuanya.

Mengapa lebih dulu harus bersykur kepada Allah? Karena seluruh nikmat dalam hidup ini adalah pemberian Allah. Termasuk nikmat kasih sayang orangtua, sesungguhnya yang membuat orangtua mengasihi anaknya adalah Allah.

“Syukur pertama ialah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,” kata Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar. “Karena semuanya itu, sejak mengandung sampai mengasuh dan mendidik dengan tidak ada rasa bosan, dipenuhi cinta dan kasih, adalah berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

“Lalu bersyukurlah kepada orangtuamu. Ibu yang telah mengasuh dan ayah yang telah membela serta melindungi ibu dan anak-anaknya. Ayah yang berusaha mencari nafkah setiap hari.”

Lalu ayat ini ditutup dengan mengingatkan ke mana manusia akan kembali. Hanya kepada Allah Azza wa Jalla.

Kandungan Surat Luqman Ayat 13-14

Berikut ini adalah isi kandungan Surat Luqman Ayat 13-14:

  1. Orangtua harus mendidik anak-anaknya untuk bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Luqman mencontohkan, pendidikan utama yang harus diberikan kepada anak adalah tauhid. Larangan berbuat syirik.
  3. Menyekutukan Allah adalah kezaliman yang paling besar.
  4. Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orangtuanya, birrul walidain. Terutama kepada ibu yang telah mengandung, melahirkan dan mengasuhnya dengan penuh susah payah.
  5. Wajib bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada orangtua.
  6. Ayat ini mengingatkan bahwa hanya kepada Allah-lah kita semua akan kembali.

Demikian Surat Luqman ayat 13-14 mulai dari tulisan Arab dan latin, terjemah dalam bahasa Indonesia, tafsir dan isi kandungan maknanya. Semoga bermanfaat dan menguatkan tauhid serta birrul walidain kita. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]