Palestina dan Lemahnya Ghirah Kita

Palestina dan Lemahnya Ghirah Kita

Nasib saudara kita di Palestina, mirip kisah Nabi Yusuf  alaihissalam, dizalimi saudara sendiri, dibohongi, dimasukkan sumur lalu ditinggalkan, tapi kita umat Nabi Muhammad yang punya ghirah

PALESTINA dan al-Masjid al-Aqsha adalah “cermin” sekaligus “timbangan” kualitas keimanan dan ukhuwwah umat Islam. Jika kita beriman, mari kita bercermin dan menimbang keimanan itu sekarang.

Bercerminlah di tragedi pembantaian kemanusiaan paling sadis dan paling bengis dan brutal di Jalur Gaza. Maka, masih akan ada yang mengatakan bahwa yang salah adalah Hamas, bahkan orang-orang Palestina.

Mengapa tidak “hijrah”? Mengapa hanya sebuah masjid tua mereka serahkan harta dan nyawa mereka? Ini dungu dan bodoh kwadrat. Kata mereka. Yakinlah, pepatah yang tepat untuk para “Yahudi Pesek” ini adalah: “Buruk rupa cermin dibelah”.

Ya, padahal apa yang ada dicermin itu adalah pantulan benda dan objek yang ada di depannya. Dan cermin tidak akan pernah bohong. Karena itu Rasulullah pernah mengingatkan bahwa “Seorang Mukmin adalah cermin bagi saudaranya (Mukmin) yang lain.”

Timbanglah pula iman dan ghirah kita ketika kiblat pertama umat Islam itu dimbombardir manusia yang nenek-moyangnya dikutuk jadi ‘kera-kera’ buruk rupa oleh Allah.

Mereka kita sebut pengecut, karena Yahudi-Zionis itu hanya mampu berperang melawan benda-benda selain manusia dan mujahid: gudang makanan, perkantoran, rumah sakit, pabrik roti, kantor berita, dan lainnya.

Paling hebat mereka membunuh kaum tua, wanita, dan anak-anak calon mujahid di masa mendatang. Itulah tentara Yahudi-Zionis pengecut. Yang kadang berperang pakai “pampers”, karena sering kencing di celana.

Tapi, timbanglah lagi. Mengapa negara-negara Arab diam? Negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim ke mana?

Jadi penontonkah mereka? Dan yang sangat menyayat hati adalah ketika banyak umat Islam yang rela pergi jihad tapi dipersulit oleh negaranya.

Bukankah kata Nabi kita ini “laksana satu tubuh: saling-menguatkan bahkan saling-merasa sakit jika salah satu anggota tubuh itu ada yang terluka. Bahkan, jika ada yang sakit dan terluka bagian tubuh yang lain menghadirkan demam sehingga tak dapat tidur.”

Ini perumpamaan Baginda Nabi ﷺ yang saat ini sangat sulit dicari realisasinya. Lihatlah, Gaza saat ini berjuang dan berjihad sendirian.

Getirnya, malah ada yang bilang: “Tidak, mereka dibersamai oleh Allah.”

Kalimat tersebut benar, tapi menyembunyikan kepengecutan. Karena jika benar hanya cukup kata itu, maka Baginda Rasulullah ﷺ  tak butuh Sahabat ketika berjihad.

Apa benar “sahabat-sahabat Palestina kita” dan “teman-teman Masjid Al-Aqsha” sedang rehat?

Kadang, hiburan hati dan obat jiwa ada di kisah-kisah heroik seperti jihad-nya saudara-saudara kita di Jalur Gaza. Mereka akhirnya memang harus memilih berjuang sendiri.

Karena sepertinya itu pilihan paling nyata. Ternyata, mereka seperti mengulang kisah Nabi Yusuf alaihissalam yang dizalimi oleh saudara kandung sendiri, dibohongi, dimasukkan ke dalam sumur, kemudian, ditinggalkan dan dibiarkan sendirian dalam gelap dan gulitanya sumur itu.

Nabi Yusuf akhirnya sabar dan berjuang sendiri. Beliau bertawakal kepada Allah dan akhirnya dikeluarkan oleh Allah Swt.

Beliau diselamatkan dari berbagai ujian –harta, tahta bahkan wanita—dan akhirnya menuai kemenangan. Ketika menang, beliau memaafkan saudara-saudaranya yang telah mendzaliminya.

Tapi, kita bukan saudara Nabi Yusuf ‘alaihi salam. Bukan. Kita ini umat Nabi Muhammad ﷺ yang masih memiliki ghirah dan iman yang kuat. 

“Cermin” dan “timbangan” Gaza dan Palestina sudah cukup untuk bangkitkan ghirah perjuangan.

Mari kita berjuang dengan doa, harta, dan pena saja dahulu. Sebelum panggilan Jihad itu turun.

Karena ia akan berlaku kapan saja. Dan saudara-saudara kita di Gaza memang dipilih Allah di shaf dan dan utama melawan penjajah Yahudi ini.

Yang tengah berjuang adalah para mujahid. Yang gugur adalah syahid, mereka tak pernah merugi.

Dan kita, pandai-pandailah bercermin dan menimbang rasa. Wallāhu A‘lam bis-shawāb.*/ Qosim Nurseha Dzulhadi, guru dan dosen di Pesantren dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Sedang menyelesaikan Program Doktor di Universitas Darussalam (Unida) Gontor

HIDAYATULLAH