Dalam kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa berkawan dengan orang baik karena Allah adalah salah satu pilar memperkuat agama (Kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, hal. 63).
Allah SWT berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba jika mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 41).
Pergaulan merupakan faktor yang mempengaruhi pemikiran, lebih-lebih keimanannya. Seseorang dapat menjual iman, karena tergiur tipuan kawannya. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi orang shalih karena selalu dinasihati teman dekatnya.
Maka dari itu, Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang dapat dinilai dari agama kawan setianya, maka hendaklah di antara kalian melihat seseorang dari siapa mereka bergaul.” (HR. al Hakim).
Yang harus diutamakan kawan adalah orang yang berilmu. Sebab sedikit atau banyak akan mempengaruhi pemikiran kita.
Dituturkan oleh Rasulullah SAW bahwa, lebih baik bersendiri dari pada bergaul dengan orang-orang yang rusak. Dan lebih baik bergaul dengan orang-orang baik daripada menyendiri (HR. Al Hakim).
Orang baik (ahl al-khoir) adalah orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Individu yang baik ini adalah orang yang beradab. Bukan sekedar beretika, tapi juga bertauhid.
Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefinisikan orang baik sebagai orang yang mengamalkan adab secara menyeluruh.
Pengamalan adab ini meliputi adab kepada Allah SWT, sebagai tingkatan adab tertinggi. Kemudian adab dengan sesama manusia, kepada ilmu, kepada alam dan sebagainya. Adab-adab ini dipandang dengan kacamata tauhid.
Karena orang baik (insan adabi) memberi pencerahan dalam segala aspek bidang kehidupan, makanya Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk mempergaulinya.
Orang yang demikian akan melihat realitas secara konstan dari kacamata ketuhanan – sebagai fondasi utamanya. Orang yang demikianlah yang dimaksud Rasulullah SAW untuk kita pergauli. Tidak memberi faedah kecuali faedah agama.
Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang dzalim dan lalai bisa membutakan hati. Allah SWT bersabda: “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah SWT, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (HR. QS. Hud: 113).
Condong dalam ayat tersebut di atas maksudnya, mendukung, melapangkan jalan, memuji-muji dan bersekutu bersama mereka. Tujuannya tidak lebih untuk kepentingan materialistik.
Setiap kita bergaul secara akrab dengan orang-orang lalai maka, saat itu iman kita mengalami pelemahan (Kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, hal. 61). Duduk bersama orang-orang fasik oleh Rasulullah SAW dikaitkan dengan kadar keimanannya. Tidak mungkin orang beriman bergaul akrab bersama mereka dalam bersekutu melakukan aktifitas tidak baik.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia duduk (di suatu majelis) yang dihidangkan padanya minuman keras.” (HR. Abdu Dawud dan Ibn Majah).
Ketika kita memiliki kecondongan kepada mereka, maka cepat-cepatlah memutus kecondongan itu. Sebab dikhawatirkan akan mendapatkan kemungkaran. Karena mereka sangat pandai dalam tipu daya dan penipuan. Terkecuali jika kita memiliki misi khusus, berbekal ilmu akan mendakwahi mereka. Sikap ini bukan dinamakan memiliki kecondongan sebab tujuannya adalah dakwah.
Pernah Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz mendapat laporan tentang adanya suatu kaum yang sedang meminum khamr. Beliaupun memerintahkan agar mereka semua dicambuk. Kemudian seseorang berkata kepada beliau; “Sesungguhnya di antara mereka ada orang yang sedang berpuasa.”
‘Umar bin Abdul ‘Aziz menjawab: “Mulailah darinya (dalam mencambuk). Tidakkah kalian mendengar firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan kepada kalian di dalam al-Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah SWT diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka. Sehingga mereka pindah kepada pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kalian berbuat demikian), maka tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 140).
Hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah, sebenarnya bergaul dengan siapa pun kita mesti memiliki cara pandang Islam yang kokoh. Semua harus atas dasar berukhuwah karena Allah SWT. Jika kita ingin memasuki majelis orang-orang fasik, maka pertama-tama yang harus dipertanyakan dalam hati adalah, atas dasar apa kita masuk dalam majelis itu?
Jika dasarnya adalah karena Allah SWT dengan maksud berdakwah, maka itu adalah langkah baik. Memberi nasihat, meluruskan pandangan orang-orang fasik dan mengajak bertaubat. Jika kita mendapati sebuah majelis di dalamnya ajaran Islam dihina, maka jika kita mampu maka luruskan mereka atau janganlah duduk-duduk bersama. Jika kita diam, berarti kita setuju dengan mereka.
Namun, jika iman kita masih lemah. Terlalu mudah terbuai godaan, maka lebih baik tidak memasukinya, dan sebaliknya bergabunglah bersama orang-orang shalih.
Faedah bergaul dengan orang shalih ada dua, yaitu mengambil ilmu dan menjaga keimanan agar tetap konstan. Iman itu diperkuat dengan ilmu, maka hendaklah kita mengambil faedah ilmu dari orang shalih agar keimanan selalu terjaga.
Oleh : Kholili Hasib – Anggota MIUMI Jawa Timur dan Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya