Pembagian tauhid merupakan salah satu ijtihad dari para ulama untuk menjelaskan betapa pentingnya aspek-aspek pada ajaran tauhid dalam agama Islam. Pembagian-pembagian yang disampaikan oleh para ulama adalah hasil telaah (istiqra‘) dari berbagai dalil-dalil dalam syariat. Pembagian ini berguna juga untuk memperingatkan umat Islam terkait aspek-aspek yang dapat merusak nilai keimanan seorang muslim terhadap Allah Ta’ala. Bahkan, urgensi ini lebih sangat dibutuhkan lagi jika melihat berbagai ancaman dan tantangan di zaman ini yang penuh fitnah-fitnah yang menerpa umat Islam, mulai dari ajaran-ajaran liberalisme, pluralisme, sekulerisme, singkretisme, sampai pada syubhat-syubhat kesyirikan yang dibungkus sebagai ajaran dari Islam.
Oleh karena itu, pembagian tauhid dalam ajaran agama Islam bukanlah sesuatu yang baru alias bid’ah, melainkan hanyalah sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami agama sebagaimana para ulama fikih merumuskan berbagai tatanan aspek-aspek yang menjadi rukun dalam suatu ibadah. Itu merupakan hasil ijtihad sebagai cara/metode yang bertujuan memudahkan umat untuk belajar terkait hukum-hukum dalam sebuah ibadah.
Sebelum membahas pengklasifikasian tauhid, tentunya kita harus memahami makna tauhid secara ringkas. Makna tauhid secara bahasa berasal dari kata وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا yang memiliki arti “menjadikan sesuatu esa (tunggal)”. Adapun secara istilah dalam syariat, tauhid dapat diartikan sebagai mengesakan Allah dalam segala hal yang menjadi kekhususan bagi-Nya. Para ulama membagi tauhid dapat ditinjau dari berbagai sisi dan jenis pembagian, di antaranya:
Pembagian tauhid ditinjau dari objek yang dibahas (Allah)
Jenis pembagian yanng pertama ini adalah pembagian yang masyhur di masa kontemporer ini. Pembagian yang pertama ini menitikberatkan pada sudut pandang dari mu’allaq-nya, yaitu objek yang dibahas, yaitu Allah. Pembagian ini mencakup tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa sifat.
Tauhid ar-rububiyyah (توحيد الربوبية)
Tauhid rububiyyah dapat didefiniskan sebagai pengesaan Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. Tauhid rububiyyah ini mengandung implementasi bahwasanya seorang hamba harus memiliki keyakinan bahwa hanya Allah semata yang Mahamencipta, Mahamengatur, Mahamenghidupkan, Mahamematikan, Mahamemberikan rezeki, Mahakuat, dan Mahaperkasa. Atau dengan definisi yang lebih mudah, mengesakan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya.
Tauhid jenis ini hampir-hampir tidak ada seorang pun yang mengingkari dari umat manusia, kecuali orang yang menyimpang dan menyombongkan diri. Hal ini dikarenakan semua hamba memiliki fitrah dalam hatinya bahwa ada Tuhan Yang Esa dibalik seluruh penciptaan dan pengaturan jagad raya. Hal ini dibuktikan sebagaimana yang Allah firmankan,
قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِیمِ سَیَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, mengapa kamu tidak bertakwa?‘” (QS. Al-Mu’minun: 86-87)
Selain faktor fitrah, tauhid rububiyyah ini memiliki banyak sekali bukti yang mempersaksikan bahwa hanya Allah sematalah yang menciptakan, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh alam lewat berbagai ayat kauniyyat, berupa berbagai penciptaan makhluk dan alam semesta yang sempurna, begitu juga dengan keteraturan dari kejadian yang ada di alam semesta begitu teliti dan sempurna. Allah Ta’ala berfirman,
ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Terdapat syair Arab yang masyhur terkait keesaan Allah dalam rububiyyah-Nya, yaitu
وَفِي كُلِّ شيئٍ لَهُ آيَةٌ — تَدُلُّ عَلَى أنَّهُ وَاحِدُ
“Di dalam setiap sesuatu terdapat bagi-Nya bukti yang menunjukan bahwa Dia adalah Esa.”
Tauhid al-uluhiyyah (توحيد الألوهية)
Tauhid uluhiyyah dapat didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam seluruh jenis ibadah, hanya ditujukan untuk Allah. Kata “ulūhiyyah” (الألوهية) bermakna “ibadah”, sementara kata asal pembentuknya adalah dari “al-ilah” (الإله) yang berarti “yang disembah”. Maka dari itu, tauhid ini disebut dengan tauhid ibadah (توحيد العِبادة).
Dalil-dalil terkait dengan tauhid uluhiyyah, di antaranya:
وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Bahkan, inti dari tauhid ini yaitu ibadah, menjadi tujuan utama diciptakan manusia dan jin di alam semesta ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Konsekuensi dari implementasi tauhid ini adalah wajib bagi setiap mukallaf untuk menyerahkan seluruh ibadah hanya kepada Allah semata. Maka sebaliknya, jika ia menyerahkan sedikit saja dari ibadah kepada selain Allah, maka ia terjerumus pada kesyirikan.
Definisi-definisi ibadah
Arti dari ibadah sendiri, para ulama mendefinisikan dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda, tetapi memiliki makna inti yang sama. Definisi-definisi terkait dengan ibadah dapat dikelompokkan menjadi tiga definisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan dalam Al-Irsyad Ilaa Ash-Shahih Al-I’tiqad, yaitu:
Pertama, ibadah adalah segala hal yang diperintah oleh syariat dan tidak termasuk padanya hal-hal dari adat kebiasaan maupun hal-hal yang berasal dari konsekuensi logika (akal).
Kedua, ibadah adalah perendahan diri yang disertai dengan rasa cinta dan ketundukan diri yang sempurna. Definisi ini disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Kafiyah Asy-Syafiyah karangan beliau,
وَعِبادَةُ الرحمَن غاية حُبِّه — مَعْ ذُلِّ عَابِدِه هما قُطْبَانِ
عَليهِمَا فَلَكُ العِبَادةِ دائِرٌ — ما دَار حَتّى قَامتْ قُطْبَانِ
“Ibadah kepada Allah adalah rasa cinta yang sempurna dibarengi dengan ketundukan seorang hamba. Maka dua unsur tersebut adalah kutub (inti) dari ibadah.
Di atas kedua (unsur kutub) tersebut poros ibadah berjalan, dan tidak akan berjalan (sah) poros ibadah, kecuali dengan tegaknya dua kutub (unsur inti) tersebut.”
Ketiga, ibadah adalah seluruh hal yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan, baik yang tampak (zahir) maupun tersembunyi (batin). Definisi ini merupakan definisi yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah. Pada pendapat ketiga ini, Al-Hafidz Al-Hakami dalam kitabnya A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah menambahkan dengan kalimat “disertai dengan berlepas diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang Allah cintai dan ridai”.
Dari ketiga definisi di atas dapat dibuat kompromi yang menandakan maksud dari para ulama adalah satu hal yang sama. Dari sisi pendapat pertama, definisi tersebut ditinjau dari penetapan sesuatu hal itu sebagai ibadah yang sah, maka harus berasal dari wahyu syariat. Maka, tidak boleh mengatakan atau menghukumi suatu perkataan dan perbuatan itu adalah ibadah melainkan dari wahyu syariat. Adapun definisi kedua, maka ia dibangun dari makna bahasa Arab yaitu “perendahan diri” dan unsur yang dikandung dari ibadah, yaitu rasa cinta dan ketundukam yang sempurna. Sementara pendapat ketiga, ditinjau dari konsekuensi sesuatu hal itu disebut ibadah. Maka, hal yang disebut ibadah konsekuensinya pasti dicintai dan diridai oleh Sang Khaliq, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Rukun kandungan dari suatu ibadah
Ibadah yang diperintahkan mengandung tiga makna utama di dalamnya. Para ulama menyebutnya dengan rukun dalam setiap ibadah. Tiga hal tersebut adalah: 1) cinta, 2) harap, dan 3) takut. Ketiga rukun tersebut dapat diringkas kembali dalam dua rukun saja, yaitu: a) cinta dan b) pengagungan. Sifat dari ibadah yang berkualitas adalah yang mengandung ketiga unsur ibadah tersebut sebagaimana dalam ayat tentang sifat ibadah para nabi. Allah berfirman,
فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ
“Maka, Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)
Tauhid al-asma’ wa ash-shifat (توحيد الأسماء والصفات)
Tauhid al-asma’ wa shifat dapat didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah. Tauhid jenis ini adalah tauhid yang implementasinya berupa persaksian dan keyakinan bahwa Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, terbebas dari aib dan kekurangan. Dalil dari tauhid jenis ketiga ini dapat dijumpai dalam firman Allah Ta’ala berikut,
لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Mahamendengar, Mahamelihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah mendefinisikan tauhid asma’ wa shifat dengan kalimat berikut,
الإيمان بما وصف به نفسه في كتابه العزيز، وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه وسلم من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل
“Keimanan dengan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an yang agung, dan keimanan dengan sifat-sifat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapkan untuk Allah tanpa disertai tahrif, ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil.”
Meskipun definisi di atas adalah terkait dengan sifat Allah, akan tetapi juga sama berlaku dalam bahasan nama-nama Allah Ta’ala. Adapun yang dimaksud dari istilah-istilah tentang tahrif, ta’thil, takyif, dan tamstil akan dijelaskan berikut ini,
Pertama, tahrif adalah menyelewengkan makna yang terpahami secara langsung kepada makna yang lain dan jauh yang tidak dimaksud oleh redaksi lafaz dengan kemungkinan kebenarannya yang lemah.
Kedua, ta’thil adalah menafikan sifat-sifat ketuhanan Allah dan mengingkari sifat tersebut sebagai sifat yang ada (melekat) pada Zat Allah.
Ketiga, takyif adalah meyakini sifat Allah memiliki bentuk dan rupa seperti ini atau itu atau bertanya tentang bentuk sifat Allah.
Keempat, tamtsil adalah meyakini bahwasanya sifat Allah serupa dengan sifat-sifat yang ada pada diri para makhluk-Nya.
Maka dari itu, keimanan seorang muslim terkait nama dan sifat Allah harus terbebas dari empat penyelewengan di atas yang dilakukan oleh kubu yang bersebrangan dari ahlussunnah wal jamaah.
Kaidah-kaidah umum dalam memahami nama dan sifat Allah
Dalam keimanan terkait tauhid jenis ini harus dilandaskan dengan berbagai kaidah yang telah masyhur di kalangan para ulama. Kaidah-kaidah dalam memahami asma’ dan sifat Allah dapat dijelaskan dalam beberapa poin-poin berikut:
Pertama, nama dan sifat bagi Allah adalah termasuk dari perkara gaib. Sikap yang wajib dilakukan oleh seorang mukmin adalah mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana apa adanya, tanpa menjadikan barometer selain wahyu sebagai pokok rujukan dalam menetapkan keduanya.
Kedua, wajib memahami nash-nash terkait nama dan sifat Allah yang datang dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana makna yang tampak (dzahir).
Ketiga, akal (logika) manusia tidak memiliki ruang dan kuasa hak untuk menetapkan nama dan sifat bagi Allah secara terperinci dan mandiri tanpa adanya wahyu yang menetapkan perinciannya.
Keempat, pembahasan terkait sifat-sifat Allah itu sama dengan pembahasan Zat Allah. Maksudnya, jika Zat Allah Ta’ala itu adalah Zat yang ada dan memiliki kesempurnaan yang tiada sesuatu apapun yang menyerupainya, maka akan sama juga sifat-sifat yang melekat pada Zat Allah juga mencapai titik kesempurnaan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Maka dapat disimpulkan, hukum yang kita tetapkan dan yakini dalam sifat-sifat Allah itu sama dengan Zat Allah.
Kelima, kesamaan makna umum dari suatu sifat yang dimiliki oleh Allah dan makhluk tidak berkonsekuensi kesamaan atau keserupaan dalam kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Allah dengan makhluk. Artinya, kesamaan pada suatu eksistensi yang ada dalam hal sifat-sifat yang memiliki makna sama tidak mengharuskan mereka sama dalam hakikat sifat tersebut. Akan tetapi, masing-masing dari sesuatu yang ada/ eksis memiliki kekhususan masing-masing dalam sifat tersebut. Misalkan, ilmu Allah, maka tentunya pada derajat sempurna. Sedangkan ilmu makhluk tidak akan sedikit pun berarti dan bernilai, jika dibandingkan dengan ilmu Sang Khaliq.
Keenam, Seluruh nama dan sifat Allah itu mencapai derajat kesempurnaan yang tidak diisi oleh sedikit pun dari kekurangan dan kelemahan.
[Bersambung]
***
Penulis: Sakti Putra Mahardika
Artikel: www.muslim.or.id
Referensi:
Alu Syaikh, Shalih bin Abdullah bin Abdul Aziz . 2016. At-Tamhid Li Syarhi Kitab At-Tauhid. Al-Azhar: Dar At-Taqwa
Al-’Utaimin, Muhammad bin Shalih. 1435 H. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Ibnu Al-Jauzi.
Al-’Umairi, Sulthan bin Abdurrahman. 2021. Al-’Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘Ala Maqashidi Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Madariju Li An-Nasyr
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. 1440 H. Al-Irsyad Ila Shahihi Al-I’tiqad. Riyadh: Maktabah Dar Al-Minhaj.
Harras, Muhammad Khalil. ____. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Urdun: Dar Al-Hasan Li An-Nasyr wa At-Tauzi’
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78966-pembagian-tauhid-menurut-para-ulama-ahlussunnah-bag-1.html