Pembunuhan Imam Husein di Karbala; Jejak Berdarah Politik Islam

Hari ini 10 Muharam (19 Agustus 2021), tepat terjadinya peristiwa berdarah. Pembunuhan dan pembantaian terhadap cucu Nabi, Husein bin Ali di Karbala. Peristiwa yang membuat sejarah kelam ini dicatat dan direkam hingga kini.

Syahdan, friksi di tengah umat Islam sudah kelihatan, ketika Rasulullah baru saja wafat. Friksi terjadi bahkan ketika jenazah baginda Nabi Muhammad belum selesai fardu kifayahnya. Jenazah baginda Nabi masih disemayamkan di rumah duka— belum di kubur.

Apa musabab? Salah satunya adalah suksesi kepemimpinan. Siapa orang yang berhak menerima mandat khalifah setelah Nabi wafat. Pemimpin yang akan mengepalai urusan kaum muslimin. Penerus perjuangan Nabi. Tentu ini adalah perkara yang besar. Di sinilah friksi itu terjadi.

Pada sisi lain, Nabi Muhammad semasa hidupnya, tidak meninggalkan wasiat siapa yang akan mengantikan beliau. Tak meninggalkan surat tertulis, orang yang berhak menjadi suksesi kepemimpinan beliau. Estafet kepemimpinan seolah berhenti setelah Nabi wafat. Umat hanya bisa menerka dan menebak. Kemudian berdebat panas.

Kenapa Nabi tak menunjuk khalifah pengganti beliau setelah wafat? Al- Bazar dalam musnad-nya menjelaskan persoalan ini. Hal ini pernah ditanyakan pada Nabi. Sahabat mencoba mengulik persoalan ini. Lantas bertanya pada Nabi, ”Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkat salah seorang dari kami khalifah penggantimu?”

Lantas Nabi menjawab; “Aku khawatir kalau sekiranya aku mengangkat khalifah di antara kalian, lalu kalian mengkhianatinya sehingga Allah menurunkan adzab bagi kalian,” begitu sabda Nabi.

Untuk lebih jelas, simak penuturan Imam Jalaluddin Suyuthi dalam kitab Tārīkh al Khulafā, mengisahkan percakapan sahabat dan Nabi Muhammad. Imam Jalaluddin Suyuthi menggambarkan sebagai berikut;

قال البزار في مسنده: حدثنا عبد الفتاح بن وضاح الكوفي، حدثنا يحيى بن اليماني، حدثنا إسرائيل، عن أبي اليقظان، عن أبي وائل عن حذيفة، قال: قالوا: يا رسول الله ألا تستخلف علينا؟ قال: “إني أستخلف عليكم فتعصون خليفتي ينزل عليكم العذاب” أخرجه الحاكم في المستدرك1، وأبو اليقظان ضعيف

Artinya; Berkata Al Bazar dalam musnad-nya, menceritakan pada kami Abdul Fatah bin wadhah al Kufi, menceritakan Yahya bin Yamani, dan Israil dari Abu al-Yaqdhan dari Abu Wa‟il dari Khudzaifah, berkata: “Para Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkat salah seorang dari kami khalifah penggantimu?”

Rasulullah menjawab :“Aku khawatir kalau sekiranya aku mengangkat khalifah di antara kalian, lalu kalian mengkhianatinya sehingga Allah menurunkan adzab bagi kalian.” Meriwayatkan Hakim dalam al mustadrak.

Imbas dari tidak ditunjukkan siapa sebagai penggantinya pun diikuti oleh khalifah setelahnya, Abu bakar, Umar bin Khattab, dan di masa Ali terjadi perebutan kekuasaan—berakhir dengan abitrase. Tradisitak menunjuk pengganti sebagai pemimpin senantiasa di pelihara oleh Khulafaur rasyidin.

Dalam kitab Tārīkh al Khulafā, Bukhari dan Muslim meriwayatkan penjelasan dari Umar bin Khattab, ketika menjelang ajalnya—saat ditusuk Abu Lukluk (Fairuz)—, alasan tidak akan menunjuk khalifah penggantinya. Umar bin Khattab, Kalifah II kaum muslimin berkata:

“Jika aku mengangkat seorang khalifah maka telah ada khalifah yang lebih baik dari padaku (yaitu Abu Bakar), dan jika aku meninggalkan kalian maka ada yang lebih baik dari pada aku (yaitu Rasulullah),” begitu tuturnya.

Akibat tak ditunjuk sebagai pengganti, terjadi perebutan kekuasaan dalam tubuh umat Islam. Politik umat Islam kian memanas. Umar di bunuh. Usman bin Affan, kabarnya dibunuh. Ali juga mengalami hal yang tragis—dibunuh Khawarij, Abdurrahman bin  Muljam. Inilah akhir hayat para pemimpin kaum muslimin.

Peristiwa Berdarah Karbala

Peristiwa berdarah itu berlanjut. Perebutan kekuasaan. Berujung dengan pertumpahan darah. Pembantaian brutal terhadap cucu tercinta Nabi, Husein bin Ali. Anak dari sahabat sekaligus keponakan dan menantu Nabi, Ali bin Abi Thalib.

Pembantaian brutal itu tercatat lebih dari 1.300 tahun yang lalu. Penguasa Daulah Ummayah, Yazid bin Muawiyah ingin memperkukuh posisi politiknya sebagai pemegang kekhalifahan Islam yang saha, dengan membunuh Husain, cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680.

Peristiwa berdarah itu,  terjadi di Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah. Karbala pun jadi lambang pengorbanan, pembantaian dan kesedihan.

Alkisah, ketika Muawiyah meninggal dunia, ia telah menunjuk Yazid sebagai penggantinya—sesuatu yang tidak dilakukan khalifah sebelumnya. Yazid seorang politikus handal. Ia segera bergerak. Langkah pertama, meyakinkan penduduk Syam untuk membaiatnya sebagai khalifah. Dalam buku Tārīkh al Khulafā, Jalaluddin Suyuthi mengatakan Yazid juga ingin melebarkan pengaruhnya hingga ke negeri Hijaz.

Yazid pun mengutus seseorang ke Madinah untuk mengambil baiat penduduk Madinah. Penduduk Madinah diminta mengakui legitimasi kekuasaannya. Namun Husein bin Ali  dan Ibnu Zubair menolak dan dan pada malam hari keduanya pergi menuju Mekkah. Ibnu Zubair menolak membaiatnya dan tidak mengajak orang lain untuk berbaiat kepada dirinya.

Adapun Husein bin Ali ketika Yazid memproklamirkan diri sebagai khalifah, penduduk Kufah memintanya kembali datang ke Kufah, untuk diabiat. Husein pun mengabulkan permintaan itu. Ia berniat untuk pergi Iraq. Para sahabat Nabi berbeda pendapat terkait sikap cucu Nabi itu. Adapun Ibnu Zubair menyuruhnya untuk berangkat, sedangkan Abbas melarangnya pergi dan berkata : “Jangan kau lakukan itu, “Sesungguhnya saya menduga bahwa engkau akan dibunuh bersama istri dan anak-anakmu sebagaimana Utsman dibunuh,”.

Kemudian Ibnu Umar juga melarang pergi, seraya berkata kepadanya : “Janganlah kamu pergi. Karena sesungguhnya Rasulullah diberikan pilihan kepadanya antara dunia dan akhirat akan tetapi dia lebih memilih akhirat, dan kamu adalah bagian daripadanya maka janganlah kau pilih dunia,” itu katanya.  Kemudian Ibnu Umar meemeluknya seraya melepas kepergiannya.

Pada tanggal 10 Dzulhijjah Imam Husein berangkat bersama para Ahli Bait dari Mekkah menuju Iraq. Lalu Yazid menulis surat kepada gubernurnya yang ada di Iraq Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya. Maka Ziyad mengerahkan bala tentaranya yang berjumlah empat puluh ribu orang yang dipimpin oleh Amr bin Saad bin Abi Waqqas. Penduduk Kufah membiarkan Al-Husein dan kerabatnya serta tidak membelanya sama sekali seperti yang mereka lakukan kepada ayahnya.

Kemudian tatkala mereka saling mengangkat senjata Al-Husein memberikan tawaran kepada mereka agar menyerah dan kembali pada Yazid, akan tetapi mereka menolaknya seraya akan membunuhnya lalu mereka membunuhnya dan kepalanya diletakkan dalam baskom untuk diberikan Ziyad dalam sebuah wadah.  Dan langsung dikirim ke Yazid bin Muawiyah.

Imam Husein bin Ali  terbunuh di padang Karbala, dalam pembunuhannya terdapat sebuah kisah yang menyedihkan dan sangat meringis hati. Imam Al-Husein telah terbunuh bersama dengan enam belas orang dari kerabat dekatnya. Jaluluddin Suyuthi mengambarkan dengan tragis kematian itu;

فقتل وجيء برأسه في طست حتى وضع بين يدي ابن زياد، لعن الله قاتله وابن زياد معه ويزيد أيضًا. وكان قتله بكربلاء، وفي قتله قصة فيها طول لا يحتمل القلب ذكرها، فإنا لله وإنا إليه راجعون، وقتل معه ستة عشر رجلًا من أهل بيته. ولما قتل الحسين مكثت الدنيا سبعة أيام والشمس على الحيطان كالملاحف المعصفرة، والكواكب يضرب بعضها بعضًا، وكان قتله يوم عاشوراء، وكسفت الشمس ذلك اليوم، واحمرت آفاق السماء ستة أشهر بعد قتله، ثم لازالت الحمرة ترى فيها بعد ذلك اليوم ولم تكن ترى فيها قبلها

Artinya: Maka dikatakan kepalanya didatangkan kepada Ziyad dalam sebuah wadah. Semoga Allah melaknat pembunuhnya serta Ibnu Ziyad begitu juga dengan Yazid. Al-Husein terbunuh di padang Karbala, dalam pembunuhannya terdapat sebuah kisah yang menyedihkan dan sangat meringis hati. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Imam Al-Husein telah terbunuh bersama dengan enam belas orang dari kerabat dekatnya.

Adapun saat Imam Husein terbunuh, seakan bumi berhenti berputar selama tujuh hari dan matahari seakan berada pada sisi dunia yang memancarkan cahaya kunung bak kain yang berwarna kekuningan, bintang-bintang bertabrakan satu sama lain, Imam Al-Husein dibunuh pada hari ‘Asyura pada hari itu terjadi gerhana matahari hingga memerahkan langit selama enam bulan lamanya setelah terbunuhnya Husein di Karbala sebuah fenomena alam yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pertumpahan Darah Mewarnai Dinasti Islam

Sejarah juga mencatat bagaimana bala tentara Yazid memporak-porandakan kota Madinah. Peristiwa kelam itu dikenal dengan sebutan harrah. Ia menyerang kota suci ini, tatkala penduduk Madinah mencabut dukungan politik terhadapnya.  Selama tiga hari kota itu dikepung. Anarkisme berdarah pun terjadi. Sejarah menulis sekitar 4.500 jiwa melayang. Lebih seribu anak gadis dan perempuan yang diperkosa. Tragis. Dan biadab.

Tak sampai di situ, Yazid juga mengutus pasukan ke Mekah untuk memerangi Abdullah bin Zubeir. Pemimpin pasukan Harrah ini adalah Uqbah bin Muslim. Kemudian digantikan oleh Husain bin Numair as Sakuni. Peperangan itu terjadi pada tahun 64 Hijrah. Kota Mekah dilempar dengan ketapel besar. Penyerangan ini mengakibatkan Ka’bah terbakar. Dan rusak parah.

Perjalan khilāfah islāmiyah tak sepi tragedi duka. Tujuh abad lebih menjadi adikuasa dunia, dinasti Umayah dan Abbasiyah merekam kekejian. Ribuan nyawa melayang. Pun darah mengalir, akibat intrik politik dan birahi ingin berkuasa. Itulah sistem dinasti Islam di masa lampau.

Gambaran lebih tragis dan bengis dinasti Islam pun dinukil oleh Faraq Fouda. Dalam Kebenaran yang Hilang; Sisi Kelam Praktik politik dan Kekuasaan dalam Sejarah kaum Muslimin, ia menulis sisi kelam pemerintahan Islam. Bagi Faraq Fouda,  khilafah dalam perjalanannya tak seperti yang orang banyak pikirkan. Sejarah politik Islam tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia menggugat slogan Islam dalam label Khilafah Islam.

Ia menganjurkan bagi puak-puak  revivalis  yang berniat  untuk menghidupkan khilafah Islam dan fotocopy Khulafaur Rasyidin, tak lebih dari kumpulan para omong kosong. Kaum ini hanya akan mengajak manusia kembali terjatuh dalam tragis. Sejarah Khilafah Islam tak selama putih, ia diwarnai tinta hitam yang akan terus terbongkar meskipun ditutup sedemikian.

Demikianlah sekelumit sisi kelam dan tragedi duka dalam politik Islam. Terutama di Karbala. Pembunuhan secara tragis Husein bin Ali pada tanggal 10 Muharam, di padang Karbala. Sejatinya, penerapan Khalifah Islam seyogianya bukanlah esensi dasar Islam sendiri. Esensi dari syariat Islam adalah berkesesuaian dengan semangat Islam.

BINCANG SYARIAH