الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده
أما بعد
Perdebatan dalam mengidentifikasi jenis maslahat pada upaya isolasi dan karantina sebenarnya telah diatasi dengan adanya keterangan para dokter yang disertai fakta bahwa perkembangan medis dan akses pengobatan yang luar biasa di saat ini belum ditemukan di zaman salaf.
Menjaga jiwa manusia merupakan salah satu hal yang ditekankan oleh agama (syariat)
Karena menjaga jiwa merupakan salah satu kebutuhan pokok yang ditekankan dalam agama, maka agama memberikan porsi perlindungan yang lebih daripada kebutuhan lain yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, kepastian terjadinya bahaya tidaklah menjadi syarat untuk melakukan upaya pencegahan dalam melindungi jiwa manusia. Akan tetapi, cukup dengan adanya kekhawatiran (al-khauf) terhadap hilangnya nyawa yang bertopang pada asumsi yang kuat. Asumsi yang kuat ini menjadi faktor pertimbangan dalam perkara-perkara yang diperkirakan dapat terjadi. Sebagaimana juga digunakan dalam perkara-perkara yang sering terjadi, sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan maslahat bagi kepentingan bersama dan menjaga jiwa dari segala hal yang mengancam.
Penutupan masjid, perkara dharuriyah atau haajiyah?
Dalam hal penutupan masjid untuk sementara waktu, alim ulama berbeda pendapat karena dilatarbelakangi oleh perbedaan cara pandang dalam meninjau maslahat yang terdapat dalam tindakan mengisolasi/mengarantina suatu tempat yang terjangkit wabah.
Apakah hal itu merupakan dharuriyah sehingga harus memperhitungkan hukum-hukum kedaruratan (ahkam adh-dharurah) ataukah ia adalah haajiyah yang harus memperhitungkan hukum-hukum kesukaran (ahkam al-masyaqqah)?
Ulama yang berpandangan bahwa hal itu adalah dharuriyah akan mewajibkan penutupan masjid. Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa hal itu adalah perkara haajiyah, melarang penutupan masjid dan menjadikan tolok ukur pemberlakuan rukhshah bergantung pada kondisi setiap orang.
Beberapa penuntut ilmu keliru karena berpikir bahwa substansi hukum penutupan masjid adalah upaya menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menghalang-halangi mereka untuk menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 114. Meski alasan tersebut terkadang menjadi kelaziman dari pendapat ulama yang menjadikan maslahat isolasi/karantina sebagai haajiyah, namun anggapan itu tidaklah tepat. Alasannya adalah penutupan masjid yang dilatarbelakangi adanya maslahat yang dibenarkan agama berbeda dengan penutupan masjid tanpa alasan yang dibenarkan agama. Ayat tersebut tentunya terbatas pada upaya penutupan masjid tanpa alasan yang dibenarkan agama, sehingga termasuk sebagai upaya menghalang-halangi orang dari jalan Allah.
Keterangan para ahli medis berkaitan dengan wabah virus corona
Perdebatan dalam mengidentifikasi jenis maslahat pada upaya isolasi dan karantina sebenarnya telah diatasi dengan adanya keterangan para dokter yang disertai fakta bahwa perkembangan medis dan akses pengobatan yang luar biasa di saat ini belum ditemukan di zaman salaf.
Para ahli juga telah menetapkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus corona adalah penyakit yang mematikan dan cepat menyebar. Obat bagi penyakit ini belum ditemukan. Tidak hanya itu, penyebarannya juga berada di luar kendali manusia, sebagaimana hal ini telah terjadi di beberapa negeri. Sehingga wabah penyakit ini tidak hanya terjadi spesifik di satu negeri seperti kasus tha’un dahulu, tetapi sudah menjadi pandemi global yang menimpa seluruh belahan dunia. Para dokter telah mengidentifikasi bahwa penyakit ini menyebar dan menular dengan cepat, yang terkadang tidak menampakkan gejala pada orang yang terinfeksi.
Berbagai alasan di atas menuntut perlunya isolasi dan karantina di seluruh negara. Hal ini karena maslahatnya bersifat dharuriyah dan bukan haajiyah, mengingat penyakit ini bukan penyakit yang hanya terjadi di suatu negeri. Apabila maslahatnya dharuriyah, maka masjid-masjid harus ditutup dan tentu kerugian yang ditimbulkan dari penutupan masjid untuk sementara waktu lebih ringan daripada kerugian yang timbul dari hilangnya nyawa.
Jawaban atas anggapan bahwa penutupan masjid adalah perkara haajiyah
Mereka yang berpandangan bahwa maslahat isolasi/karantina adalah haajiyah beralasan bahwa di zaman salaf juga terdapat tuntutan untuk melakukan isolasi/karantina ketika wabah tha’un menimpa mereka. Meski demikian hal itu tidak mendorong mereka untuk menutup masjid-masjid.
Alasan mereka itu dapat dijawab sebagai berikut:
- Klaim bahwa wabah tha’un lebih mematikan dan lebih cepat menyebar daripada virus corona adalah klaim yang perlu diteliti lebih lanjut.
- Minimnya teknologi medis dalam mengidentifikasi sebab-sebab penyebaran penyakit di zaman salaf berujung pada penangangan yang berbeda dan tentu hal ini juga berpengaruh pada hukum.
- Kenyataannya kecepatan penyebaran tha’un tidaklah secepat virus corona.
- Penderita Tha’un tidak pergi ke masjid sehingga tidak perlu ada fatwa untuk menutup masjid-masjid.
- Terkait dengan hukum, terdapat kaidah عدم النقل لا يدل على العدم, ketiadaan dalil tidak lantas menunjukkan ketiadaan sesuatu. Dalam hal ini, tidak adanya fatwa penutupan masjid di masa salaf bukan berarti di masa itu masjid-masjid tidak ditutup ketika terjadi wabah Tha’un. Justru ahli sejarah telah menyebutkan betapa banyak masjid yang kosong disebabkan terjadinya perang atau wabah (epidemi). Pada saat hal itu terjadi, tidak satu pun ulama yang memaksa masyarakat untuk memakmurkan masjid karena berdasarkan ‘urf hal itu sulit dilakukan. Jika dilakukan, maka hal itu berarti membebani mereka dengan perkara yang tidak mampu dilaksanakan. Agama ini tidak memerintahkan sesuatu yang sulit dilakukan secara ‘urf. Juga, tidak ada perbedaan antara perkara yang sulit dilakukan berdasarkan syari’at dan perkara yang sulit dilakukan berdasarkan ‘urf.
Saya juga ingin menekankan bahwa terdapat kontradiksi dari beberapa orang yang mengemukakan pendapat dalam permasalahan ini (yaitu hukum penutupan masjid sementara waktu di masa wabah). Hal ini karena di satu sisi mereka mendukung pemberlakuan jam malam, baik secara keseluruhan atau sebagian, namun di sisi lain mereka kontra terhadap wacana penutupan masjid.
Hal yang aneh juga terjadi pada orang yang berpendapat bahwa maslahat dalam permasalahan ini adalah haajiyat. Mereka berdalil dengan aktifitas mengambil rukhshah (tarakhush) karena hujan untuk menyatakan penutupan masjid tidak diperbolehkan. Mereka berpikir bahwa qiyas yang mereka lakukan adalah qiyas ‘illah yang melazimkan kesamaan hukum dan luput dari pikiran mereka bahwa pendalilan yang tepat dalam hal ini adalah pendalilan dengan menggunakan mafhum muwafaqah atau qiyas aula, yang berarti bahaya virus corona yang lebih besar daripada bahaya hujan tentu menuntut adanya prioritas dalam upaya pengambilan rukhshah dan penutupan masjid.
Demikianlah analisa terhadap permasalahan ini. Kita tidak sepatutnya menuduh pihak lain yang berbeda pendapat dengan tuduhan telah berdosa; melayani pihak sekuler dan membela kepentingan mereka; serta menyatakan bahwa upaya penutupan masjid ini hanya bergantung pada sebab-sebab fisik.
[Selesai]
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56674-penentuan-jenis-maslahat-di-balik-tindakan-penutupan-masjid-di-masa-wabah.html