Manfaatkan Penundaan Haji untuk Maksimalkan Manasik

Penundaan haji bisa dimanfaatkan untuk mematangkan manasik.

Pengamat Haji dan Umroh Ade Marfuddin menilai penundaan pelaksanaan ibadah haji 2020 memiliki hikmah. Salah satunya persiapan pembekalan ibadah atau manasik yang lebih matang. “Dengan rentang waktu satu tahun penundaan haji, pembinaan (manasik) ini menjadi penting. Dalam masa tunggu ini ruh ibadah jangan sampai luntur,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (3/6).

Pemerintah melalui Kementerian Agama disebut harus memanfaatkan waktu yang ada untuk memberikan bimbingan manasik yang maksimal kepada jamaah haji. Dengan jangka waktu satu tahun, pengetahuan manasik haji harus diperkuat dan lebih didalami oleh jamaah.

Sebelum melaksanakan ibadah haji, jamaah diharap sudah paham betul esensi dan simbol-simbol ibadah. Mereka yang berangkat melaksanakan ibadah haji 2021 nanti sudah harus betul-betul memahami dan memaknai kemandiriannya dari sisi ibadah.

“Nanti, tidak ada lagi, misal, jamaah yang kebalik tawafnya. Tidak ada lagi yang tidak tuntas melaksanakan sa’i. Masa tunggu ini cukup panjang, harus dimanfaatkan dengan optimal dan semaksimal mungkin. Ini hikmah yang bisa diambil,” ujarnya.

Pemerintah juga disebut dapat membuat skema manasik yang lebih komprehensif. Di satu sisi, jamaah juga menyadari hal ini sebagai masa untuk menggali pengetahuan tentang manasik.

Nantinya ketika berangkat, dengan persiapan yang sudah dilakukan selama ini, jamaah Indonesia menjadi rombongan yang memahami makna spiritual dan filosofis ibadah haji.

Terkait pengelolaan dana haji, mengutip pernyataan dari Kementerian Agama, ia menyebut dua skema sudah disiapkan. Salah satunya adalah pengembalian biaya pelunasan jamaah.

Untuk proses ini, Ade berharap sebaiknya dipermudah dan tidak dipersulit. Aspek ini dinilai penting karena uang tersebut adalah milik jamaah.

“Bagi jamaah yang memerlukan dana itu, silakan diproses. Tapi bukan berarti mereka yang menarik dananya lantas berarti membatalkan keberangkatan. Mereka tetap menjadi prioritas,” kata dia.

Dia mengingatkan jangan sampai ada kesan di masyarakat dengan mengambil uang pelunasan, status calon hajinya tahun depan berarti mundur atau harus antre ulang. Kalaupun nantinya jamaah tidak mengambil uang pelunasannya, lantas oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ada akad akan dikelola, maka BPKH tidak boleh menutup diri dan harus transparan.

“Misal dana ini akan diinvestasikan untuk sektor syariah, atau sukuk syariah, hasilnya akan disalurkan ke virtual akun jamaah. Hasilnya bukan lagi ke dana optimalisasi. Hal-hal seperti ini harus diperjelas,” ujarnya.

Ade pun menegaskan jika uang tersebut adalah uang titipan jamaah kepada BPKH untuk dikelola selama satu tahun, sampai musim haji berikutnya.

IHRAM

Penentuan Jenis Maslahat di Balik Tindakan Penutupan Masjid di Masa Wabah

الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده

أما بعد

Perdebatan dalam mengidentifikasi jenis maslahat pada upaya isolasi dan karantina sebenarnya telah diatasi dengan adanya keterangan para dokter yang disertai fakta bahwa perkembangan medis dan akses pengobatan yang luar biasa di saat ini belum ditemukan di zaman salaf. 

Menjaga jiwa manusia merupakan salah satu hal yang ditekankan oleh agama (syariat)

Karena menjaga jiwa merupakan salah satu kebutuhan pokok yang ditekankan dalam agama, maka agama memberikan porsi perlindungan yang lebih daripada kebutuhan lain yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, kepastian terjadinya bahaya tidaklah menjadi syarat untuk melakukan upaya pencegahan dalam melindungi jiwa manusia. Akan tetapi, cukup dengan adanya kekhawatiran (al-khauf) terhadap hilangnya nyawa yang bertopang pada asumsi yang kuat. Asumsi yang kuat ini menjadi faktor pertimbangan dalam perkara-perkara yang diperkirakan dapat terjadi. Sebagaimana juga digunakan dalam perkara-perkara yang sering terjadi, sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan maslahat bagi kepentingan bersama dan menjaga jiwa dari segala hal yang mengancam.

Penutupan masjid, perkara dharuriyah atau haajiyah?

Dalam hal penutupan masjid untuk sementara waktu, alim ulama berbeda pendapat karena dilatarbelakangi oleh perbedaan cara pandang dalam meninjau maslahat yang terdapat dalam tindakan mengisolasi/mengarantina suatu tempat yang terjangkit wabah. 

Apakah hal itu merupakan dharuriyah sehingga harus memperhitungkan hukum-hukum kedaruratan (ahkam adh-dharurah) ataukah ia adalah haajiyah yang harus memperhitungkan hukum-hukum kesukaran (ahkam al-masyaqqah)?

Ulama yang berpandangan bahwa hal itu adalah dharuriyah akan mewajibkan penutupan masjid. Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa hal itu adalah perkara haajiyah, melarang penutupan masjid dan menjadikan tolok ukur pemberlakuan rukhshah bergantung pada kondisi setiap orang.

Beberapa penuntut ilmu keliru karena berpikir bahwa substansi hukum penutupan masjid adalah upaya menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menghalang-halangi mereka untuk menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 114. Meski alasan tersebut terkadang menjadi kelaziman dari pendapat ulama yang menjadikan maslahat isolasi/karantina sebagai haajiyah, namun anggapan itu tidaklah tepat. Alasannya adalah penutupan masjid yang dilatarbelakangi adanya maslahat yang dibenarkan agama berbeda dengan penutupan masjid tanpa alasan yang dibenarkan agama. Ayat tersebut tentunya terbatas pada upaya penutupan masjid tanpa alasan yang dibenarkan agama, sehingga termasuk sebagai upaya menghalang-halangi orang dari jalan Allah.

Keterangan para ahli medis berkaitan dengan wabah virus corona

Perdebatan dalam mengidentifikasi jenis maslahat pada upaya isolasi dan karantina sebenarnya telah diatasi dengan adanya keterangan para dokter yang disertai fakta bahwa perkembangan medis dan akses pengobatan yang luar biasa di saat ini belum ditemukan di zaman salaf. 

Para ahli juga telah menetapkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus corona adalah penyakit yang mematikan dan cepat menyebar. Obat bagi penyakit ini belum ditemukan. Tidak hanya itu, penyebarannya juga berada di luar kendali manusia, sebagaimana hal ini telah terjadi di beberapa negeri. Sehingga wabah penyakit ini tidak hanya terjadi spesifik di satu negeri seperti kasus tha’un dahulu, tetapi sudah menjadi pandemi global yang menimpa seluruh belahan dunia. Para dokter telah mengidentifikasi bahwa penyakit ini menyebar dan menular dengan cepat, yang terkadang tidak menampakkan gejala pada orang yang terinfeksi.

Berbagai alasan di atas menuntut perlunya isolasi dan karantina di seluruh negara. Hal ini karena maslahatnya bersifat dharuriyah dan bukan haajiyah, mengingat penyakit ini bukan penyakit yang hanya terjadi di suatu negeri. Apabila maslahatnya dharuriyah, maka masjid-masjid harus ditutup dan tentu kerugian yang ditimbulkan dari penutupan masjid untuk sementara waktu lebih ringan daripada kerugian yang timbul dari hilangnya nyawa.

Jawaban atas anggapan bahwa penutupan masjid adalah perkara haajiyah

Mereka yang berpandangan bahwa maslahat isolasi/karantina adalah haajiyah beralasan bahwa di zaman salaf juga terdapat tuntutan untuk melakukan isolasi/karantina ketika wabah tha’un menimpa mereka. Meski demikian hal itu tidak mendorong mereka untuk menutup masjid-masjid.

Alasan mereka itu dapat dijawab sebagai berikut:

  • Klaim bahwa wabah tha’un lebih mematikan dan lebih cepat menyebar daripada virus corona adalah klaim yang perlu diteliti lebih lanjut.
  • Minimnya teknologi medis dalam mengidentifikasi sebab-sebab penyebaran penyakit di zaman salaf berujung pada penangangan yang berbeda dan tentu hal ini juga berpengaruh pada hukum.
  • Kenyataannya kecepatan penyebaran tha’un tidaklah secepat virus corona.
  • Penderita Tha’un tidak pergi ke masjid sehingga tidak perlu ada fatwa untuk menutup masjid-masjid.
  • Terkait dengan hukum, terdapat kaidah عدم النقل لا يدل على العدم, ketiadaan dalil tidak lantas menunjukkan ketiadaan sesuatu. Dalam hal ini, tidak adanya fatwa penutupan masjid di masa salaf bukan berarti di masa itu masjid-masjid tidak ditutup ketika terjadi wabah Tha’un. Justru ahli sejarah telah menyebutkan betapa banyak masjid yang kosong disebabkan terjadinya perang atau wabah (epidemi). Pada saat hal itu terjadi, tidak satu pun ulama yang memaksa masyarakat untuk memakmurkan masjid karena berdasarkan ‘urf hal itu sulit dilakukan. Jika dilakukan, maka hal itu berarti membebani mereka dengan perkara yang tidak mampu dilaksanakan. Agama ini tidak memerintahkan sesuatu yang sulit dilakukan secara ‘urf. Juga, tidak ada perbedaan antara perkara yang sulit dilakukan berdasarkan syari’at dan perkara yang sulit dilakukan berdasarkan ‘urf

Saya juga ingin menekankan bahwa terdapat kontradiksi dari beberapa orang yang mengemukakan pendapat dalam permasalahan ini (yaitu hukum penutupan masjid sementara waktu di masa wabah). Hal ini karena di satu sisi mereka mendukung pemberlakuan jam malam, baik secara keseluruhan atau sebagian, namun di sisi lain mereka kontra terhadap wacana penutupan masjid. 

Hal yang aneh juga terjadi pada orang yang berpendapat bahwa maslahat dalam permasalahan ini adalah haajiyat. Mereka berdalil dengan aktifitas mengambil rukhshah (tarakhush) karena hujan untuk menyatakan penutupan masjid tidak diperbolehkan. Mereka berpikir bahwa qiyas yang mereka lakukan adalah qiyas ‘illah yang melazimkan kesamaan hukum dan luput dari pikiran mereka bahwa pendalilan yang tepat dalam hal ini adalah pendalilan dengan menggunakan mafhum muwafaqah atau qiyas aula, yang berarti bahaya virus corona yang lebih besar daripada bahaya hujan tentu menuntut adanya prioritas dalam upaya pengambilan rukhshah dan penutupan masjid.  

Demikianlah analisa terhadap permasalahan ini. Kita tidak sepatutnya menuduh pihak lain yang berbeda pendapat dengan tuduhan telah berdosa; melayani pihak sekuler dan membela kepentingan mereka; serta menyatakan bahwa upaya penutupan masjid ini hanya bergantung pada sebab-sebab fisik.

[Selesai]

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56674-penentuan-jenis-maslahat-di-balik-tindakan-penutupan-masjid-di-masa-wabah.html

Fatwa Ulama: I’tikaf di Masa Wabah Corona

I’tikaf adalah ibadah yang sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah absen ber-i’tikaf di bulan Ramadhan sejak disyariatkan i’tikaf sampai akhir hayatnya. Dan ibadah i’tikaf itu dilakukan di masjid. 

Di tengah wabah virus corona sekarang ini, banyak masjid-masjid ditutup dan masyarakat diimbau untuk beribadah di rumah. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan i’tikaf di masa wabah seperti ini? Kita simak fatwa para ulama kontemporer berikut ini. 

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sa’ad bin Turki Al Khatslan

Beliau hafizhahullah mengatakan:

I’tikaf tidak syariatkan kecuali di masjid. Dan ini adalah pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Madzhab Hanafi membolehkan bagi wanita untuk i’tikaf di mushalla al bait (tempat shalat di rumah). Namun ini pendapat yang lemah. 

Yang rajih, i’tikaf bagi laki-laki ataupun wanita tidak disyariatkan kecuali di masjid. Inilah yang diamalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, tabi’in serta tabi’ut tabi’in.

Adapun terkait kondisi sekarang ini (wabah corona), maka orang yang sudah terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf secara sempurna, seakan-akan dia melakukan i’tikaf di tahun ini. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إذَا مَرِضَ العَبْدُ، أوْ سَافَرَ، كُتِبَ له مِثْلُ ما كانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Adapun bagi orang yang tidak terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka kita katakan, amalan kebaikan itu banyak. Karena amalan kebaikan (di 10 hari terakhir Ramadhan) itu bisa berupa i’tikaf, dan bisa juga berupa amalan selain i’tikaf yang dilakukan di rumah. Seperti, bertasbih, bertahlil dan membaca dzikir-dzikir yang lain. 

Sedangkan i’tikaf itu adalah ibadah, dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Dan ibadah i’tikaf ini disebutkan dalam dalil-dalil hanya bisa dilakukan di masjid saja. Dan tidak disyariatkan dilakukan di selain masjid”.

Fatwa Asy Syaikh Dr. Utsman bin Muhammad Al Khamis

Beliau ditanya: “apakah sah i’tikaf di rumah? Khususnya untuk kondisi sekarang ini (wabah corona). Apakah harus mengkhususkan suatu tempat tertentu di rumah jika memang dibolehkan?”. 

Beliau menjawab:

Tidak sah i’tikaf di rumah. I’tikaf itu di masjid. Allah ta’ala berfirman:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“… ketika engkau sedang i’tikaf di masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Namun jika seseorang sudah terbiasa i’tikaf, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Jika ia sudah berencana untuk i’tikaf, lalu ternyata terjadi wabah seperti sekarang ini (sehingga tidak bisa i’tikaf). Maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf. 

Agama itu mudah, dan rahmat Allah itu luas. Ini perkara yang gamblang. Allah ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al Baqarah: 261).

Allah ta’ala melipat-gandakan ganjaran. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ

“Barangsiapa siapa yang berniat melakukan satu kebaikan namun tidak jadi ia amalkan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Namun siapa yang berniat melakukan satu kebaikan lalu diamalkan, ditulis baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat” (HR. Muslim no. 130).

Allah itu Maha Pemurah.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BJPOORtTB-o

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar Ruhaili

Beliau mengatakan:

الاعتكاف للرجال يكون في المساجد بالاتفاق وكذلك للنساء عند جمهور الفقهاء وهو الراجح فلا اعتكاف للرجال ولا للنساء إلا في المساجد فقد قيد الاعتكاف في النصوص بالمساجد والعبادات مبنية على التوقيف وعليه فلا يشرع هذا العام الاعتكاف في البيوت من أجل إغلاق المساجد وتكفي النية الصالحة

“I’tikaf bagi laki-laki tempatnya di masjid berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian juga wanita, pendapat jumhur fuqaha, dan ini pendapat yang rajih, bahwa tempatnya di masjid. Maka tidak boleh bagi laki-laki atau wanita ber-i’tikaf kecuali di masjid. I’tikaf dalam nash-nash dalil dikaitkan dengan masjid. Dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Maka tidak disyariatkan di tahun ini untuk i’tikaf di rumah karena ditutupnya masjid-masjid. Cukupkah seseorang punya niat yang tulus (untuk i’tikaf)”. (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1256694658106884096)

Beliau juga mengatakan:

أحذر المؤمنين من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في المساجد في هذه الجائحة مخالفة لأمر ولي الأمر بترك هذا فلا تفعل سنة بمعصية ، كما أحذر من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في البيوت مخالفة للأدلة برأي محض ضعيف في أصل العبادة

“Saya memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan untuk tetap i’tikaf di masjid dalam kondisi sekarang ini. Yang ini bertentangan dengan perintah ulil amri untuk meninggalkan i’tikaf di masjid (karena wabah). Tidak boleh melakukan ibadah yang sunnah dengan bermaksiat. Dan aku juga memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan bolehnya i’tikaf di rumah dengan sekedar opini semata. Yang ini bertentangan dengan dalil-dalil tentang hukum asal ibadah” (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1259229549260410884).

Semoga bermanfaat.

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56571-fatwa-ulama-itikaf-di-masa-wabah-corona.html

Andai Hari Raya Masih Corona

Seandainya hari raya Idulfitri besok masih ada pandemi corona dan kita dilarang mengadakan perkumpulan dengan shalat Id, apa yang mesti dilakukan?

Amalan di hari raya walau tidak shalat Id

Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyatakan, “Hukum yang berkaitan dengan hari Id seperti mandi pada hari raya, memakai pakaian terbaik, memakai wewangian, mengucapkan selamat hari raya, bertakbir, sunnah-sunnah ini masih tetap dilakukan. Hukum asalnya syariat tadi masih ada walaupun shalat Id ditiadakan.” (Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 19)

Perintah bertakbir pada hari raya tetap ada

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Ayat di atas memerintahkan untuk banyak bertakbir pada hari id (Idulfitri dan Iduladha), di dalamnya perintah untuk menjalankan shalat. Di dalam shalat id terdapat takbir yang rutin dilakukan, juga ada takbir tambahan.  (Majmu’ah Al-Fatawa, 24:183).

Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut, para ulama berbeda pendapat. Ada pendapat yang menyatakan dari melihat hilal Syawal dan berakhir dengan khutbah Idulfitri. Berarti sejak malam Id bisa terus bertakbir.

Takbir yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).

Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam kitab sunannya, dari Ibnu ‘Abbas, ia bertakbir,

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ وَأَجَلُّ اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

Allahu akbar kabiiro, Allahu akbar kabiiro, Allahu akbar walillahil hamd wa ajall, Allahu akbar ‘ala maa hadaanaa. (artinya: Allah sungguh Maha besar, Allah sungguh Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji dan kemuliaan bagi Allah. Allahu Maha Besar atas segala petunjuk yang diberikan kepada kami). (Lihat Fath Al-Qadir, 1:336).

Kata Ibnu Taimiyah bahwa lafazh takbir seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud itulah yang dipraktekkan oleh banyak sahabat. Kalau seseorang bertakbir “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali, itu pun dibolehkan. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 24:220.

Saling mengucapkan selamat pada hari raya Idulfitri

Mengucapkan selamat pada hari raya Idulfitri tetap disyariatkan walaupun tidak dengan berjabat tangan atau bertemu langsung karena keadaan pandemi saat ini.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Tidaklah dua muslim itu bertemu lantas berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Daud, no. 5212; Ibnu Majah, no. 3703; Tirmidzi, no. 2727. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Adapun Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini sahih).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِى لَهُ قَالَ « لاَ ». قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ « لاَ ».قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ « نَعَمْ »

Ada seseorang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana jika ada seseorang di antara kami bertemu dengan saudara atau temannya, lalu ia membungkukkan badannya?” “Tidak boleh”, jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bagaimana jika memeluk lalu menciumnya?”, orang itu balik bertanya. “Tidak boleh”, jawab beliau lagi. Orang itu pun bertanya, “Bagaimana jika ia mengambil tangan saudaranya itu lalu ia menjabat tangan tersebut?” “Itu boleh”, jawab beliau terakhir. (HR. Tirmidzi, no. 2728. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Sedangkan Syaikh Al-Albani menghasankan hadits ini).

Dari Qatadah, ia berkata pada Anas bin Malik,

أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِى أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ نَعَمْ

“Apakah berjabat tangan dilakukan di tengah-tengah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Anas menjawab, “Iya.” (HR. Bukhari, no. 6263).

Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyatakan, “Mengucapkan selamat saat hari id adalah sunnah. Amalan seperti ini ada contohnya dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, jika dengan berkumpul untuk mengucapkan selamat atau bersalaman ada mudarat karena tersebarnya penyakit menular dan tersebarnya penyakit, berlakulah kaedah:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja maupun disengaja.” Saling mengucapkan selamat bisa dengan saling memandang saja (tanpa bersalaman) atau cukup dengan berbagai media komunikasi (seperti telepon).” (Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 20)

Bentuk ucapan selamat hari raya

Ada beberapa dalil yang menunjukkan bentuk ucapan selamat hari raya di masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن .

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari Id (Idulfitri atau Iduladha), satu sama lain saling mengucapkan, “TAQOBBALALLAHU MINNA WA MINKA (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.(Fath Al-Bari, 2:446)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari id seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat id, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika’ dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, ‘Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya.’ Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).” (Majmu’ah Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 24:253).

Kesimpulannya, bentuk ucapan selamat hari raya bisa dengan kalimat apa pun, asalkan mengandung doa dan makna yang benar.

Adakah shalat Id di rumah?

Yang jelas shalat itu diperintahkan di antaranya dengan dalil berikut,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Dalam Zaad Al-Masiir (9:249), Ibnul Jauzi menyebutkan tiga pendapat mengenai shalat. Salah satu tafsirannya adalah perintah untuk shalat id.

Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna (hlm. 19) menyatakan, “Jika kita mengatakan bahwa shalat berjamaah dan shalat Jumat ditiadakan dan beralih shalat di rumah saat pandemi, demikian pula untuk shalat id tidak dilakukan di berbagai tempat shalat dan masjid jami karena dikhawatirkan adanya mudarat dengan berkumpulnya orang banyak. Shalat id tidak sah dilakukan di rumah sebagaimana shalat Jumat tidak sah dilakukan di rumah. Demikianlah kesimpulan yang bisa ditarik dari pendapat Ibnu Taimiyah, jika shalat id luput, tidak ada qadha. Karena shalat id itu disyaratkan dilakukan dengan ijtimak (kumpulan orang banyak).”

Ada perkataan Ibnu Qudamah tentang mengqadha shalat id. Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang luput dari shalat id, maka tidak ada qadha baginya. Karena hukum shalat id adalah fardhu kifayah. Jika sudah mencapai kadar kifayah, sudah dikatakan cukup. Jika ia mau mengqadha shalat tersebut, tergantung pilihannya. Jika ia ingin mengqadhanya, diganti menjadi 4 rakaat. Empat rakaat tersebut boleh dilakukan dengan sekali salam atau dua kali salam.

Perihal di atas diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan menjadi pendapat Ats Tsauri. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,

مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا ، وَمَنْ فَاتَتْهُ الْجُمُعَةُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

“Barangsiapa yang luput shalat ‘ied, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat. Barangsiapa yang luput shalat Jum’at, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat.” (Al-Mughni, 3:284)

Ustadz Dr. Firanda Andirja menyatakan dalam tulisan di situs web beliau, “Jumhur ulama berpendapat disyariatkannya shalat id bagi wanita, budak, orang sakit, dan musafir meskipun sendirian dan tidak dirumah.

Al-Imam Al-Bukhari berkata :

بَابٌ: إِذَا فَاتَهُ العِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ النِّسَاءُ، وَمَنْ كَانَ فِي البُيُوتِ وَالقُرَى، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَذَا عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ» وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ المِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ وَقَالَ عِكْرِمَةُ: «أَهْلُ السَّوَادِ يَجْتَمِعُونَ فِي العِيدِ، يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ» وَقَالَ عَطَاءٌ: «إِذَا فَاتَهُ العِيدُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ»

“Bab: Jika seseorang terluput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaat, demikian juga para wanita, dan orang-orang yang ada di rumah-rumah dan juga di kampung-kampung. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ini adalah adalah id (hari raya) kita kaum muslimin.’ Anas bin Malik memerintahkan budaknya Ibnu Abi ‘Utbah di Az-Zawiyah, maka beliaupun mengumpulkan keluarganya dan anak-anaknya dan shalat seperti shalat orang-orang di kota dan sesuai dengan takbir mereka. Ikrimah berkata, ‘Penduduk kampung (demikian juga para petani) berkumpul tatkala id, lalu mereka shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa (yang shalat id di kota)”. ‘Atha’ berkata, ‘Jika seseorang luput dari shalat id maka ia shalat dua rakaat.’”

Ustadz Dr. Firanda Andirja lantas menegaskan, “Atsar Anas bin Malik di atas, dan juga atsar-atsar para tabiin dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama bahwasanya barang siapa yang terluput dari shalat id, maka hendaknya ia mengqadhanya. Yaitu ia mengqadhanya dengan shalat dua rakaat dan bertakbir sebagaimana shalat id biasanya. Namun tidak perlu khutbah setelah shalat. Wallahu a’lam.” (https://firanda.com/3922-fikih-seputar-ramadhan-terkait-covid-19.html)

Kesimpulannya, ada dua pendapat dalam masalah ini. Silakan memilih shalat id di rumah jika tidak melaksanakannya di lapangan, atau memilih tidak shalat id sama sekali dan tidak ada qadha sama sekali. Wallahu a’lam.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24229-andai-hari-raya-masih-corona.html

Puasa Tetap Wajib Saat Pandemi

Ada yang beragumen untuk meniadakan puasa Ramadhan agar sistem imunitas tubuh kita tetap terjaga.

Padahal, puasa justru akan meningkatkan kondisi tubuh seseorang semakin sehat. Sudah banyak penelitian yang memaparkan manfaat puasa bagi kesehatan tubuh. Secara keseluruhan, orang dapat dikatakan sehat ketika memiliki saluran pencernaan yang bersih. Berpuasa, jadi salah satu jalan mewujudkan kondisi tubuh yang fit. Dengan berpuasa, jalur pencernaan diberi kesempatan untuk beristirahat dan membersihkan diri selama tidak mengolah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita.

Akan tetapi, orang bisa menuai manfaat puasa jika pola makannya pun baik. Artinya, mengonsumsi makanan yang sehat saat sahur maupun berbuka, serta memenuhi zat gizi yang diperlukan tubuh. Biasanya, sebagian orang justru mengabaikan sahur dan memilih mengonsumsi makanan seadanya. Nah, saat berbuka seluruh jenis makanan ia konsumsi sebagai ajang balas dendam karena seharian ia menahan haus dan lapar. Pola makan yang buruk seperti ini yang justru menyebabkan puasa seseorang tidak membawa manfaat bagi kesehatannya.

Agar sistem imun kita tetap kuat selama Ramadhan, perlu sekali kita perhatikan asupan gizi bagi tubuh, kita juga harus menjaga pola istirahat dan kebutuhan cairan selama berpuasa. Silakan taati anjuran ahli gizi yang informasinya bisa mudah ditemukan di internet. Hal yang paling penting dilakukan adalah meminta pertolongan kepada Allah agar menjaga diri kita, keluarga, dan lingkungan kita bebas dari penyakit.

Syarat wajib puasa

Yang jelas, puasa masih tetap wajib bagi:

  1. Seorang muslim.
  2. Baligh [1]
  3. Berakal [2]
  4. Suci dari haidh dan nifas.
  5. Mampu berpuasa.

Mengenai perihal mampu dalam berpuasa

Ada beberapa keadaan dalam hal ini:

Pertama: Jika ada yang tidak mampu berpuasa, ia tidak wajib berpuasa. Contohnya adalah orang tua renta yang tidak mampu dan ada kesulitan ketika berpuasa, termasuk juga orang yang sakit dan tak kunjung sembuh. Karena puasa itu wajib bagi yang mampu. Pengganti puasa untuk orang seperti ini adalah menunaikan fidyah.

Dalam ayat disebutkan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).

Kedua: Jika seseorang tidak mampu berpuasa karena penyakit yang ia khawatirkan akan bertambah parah, namun penyakit ini masih bisa diharapkan sembuhnya, dalam kondisi ia tidak berpuasa dan ia harus mengqadha puasa yang tidak dilakukan ketika ia sudah sembuh. Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Cukup yang sakit merasa sulit berpuasa, ia boleh tidak berpuasa.

Ketiga: Jika pada pagi hari dalam keadaan berpuasa dan dalam keadaan sehat, kemudian ia sakit, ia boleh membatalkan puasa karena ia dibolehkan membatalkan dengan alasan darurat. Darurat pada saat ini ada, maka boleh membatalkan puasa.

Keempat: Ada juga keadaan orang yang jika berpuasa saat sakit, malah mendatangkan kematian, ia wajib tidak berpuasa dan kewajibannya adalah qadha’.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Catatan: Orang yang sakit ringan, tidak ada kesulitan untuk berpuasa, tidak boleh baginya membatalkan puasa.

Penjelasan di atas disarikan dari penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:167-171.

Keadaan orang sakit saat pandemi corona sama dengan perincian di atas, yakni:

  1. Jika sudah terkena virus corona dan dilarang puasa, bahkan jika puasa menyebabkan kematian, berarti tidak boleh puasa. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  2. Jika paginya sehat, siangnya sakit, berarti boleh tidak berpuasa karena darurat. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  3. Jika khawatir penyakitnya tambah parah, boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah qadha’ bakda Ramadhan.
  4. Jika tidak mampu berpuasa sama sekali karena sudah tua renta atau penyakitnya tak kunjung sembuh, penggantinya adalah bayar fidyah.

Kesimpulannya, kita yang hanya diam di rumah saja dalam keadaan sehat dan kuat, tak ada yang menghalangi untuk berpuasa, maka tetap wajib puasa.

[1] Anak kecil tetap diajak berpuasa setelah berumur tujuh tahun jika ia mampu berpuasa untuk membiasakan dirinya. Kalau ia meninggalkan puasa pada usia sepuluh tahun, boleh dipukul. Hal ini dianalogikan dengan perkara shalat. Jika anak ini baligh dan ketika kecil pernah tidak puasa, tidak ada kewajiban qadha’. Karena masa kecil bukanlah masa seseorang dibebani syariat. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily, 1:167-168.

[2] Yang keluar dari kewajiban puasa adalah orang gila, juga anak kecil yang belum tamyiz.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24125-puasa-tetap-wajib-saat-pandemi-corona.html

Zakat Fitrah Dikeluarkan Sejak Awal Ramadhan Karena Pandemi

Bolehkah zakat fitrah dimajukan sejak awal Ramadhan karena pandemi, di mana banyak kaum muslimin yang susah dan butuh bantuan dari zakat fitrah saat ini?

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (2:101), Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengatakan:

  • Waktu wajibnya zakat fitrah adalah ketika matahari tenggelam pada akhir Ramadhan.
  • Pengeluaran zakat fitrah harus sebelum shalat Id.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membayar zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menuju shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1509 dan Muslim, no. 986)

  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Id seluruhnya, diharamkan mengakhirkan dari hari Id. Jika ia akhirkan dari hari Id, ia berdosa, namun tetap masih ada qadha.
  • Boleh mendahulukan zakat fitrah dari awal Ramadhan dan sepanjang bulan Ramadhan karena zakat fitrah itu wajib dengan dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) berbuka dari bulan Ramadhan. Jika salah satu dari dua sebab ini didapati, boleh memajukan zakat fitrah. Sebagaimana boleh mendahulukan zakat maal sebelum haul asalkan sudah mencapai nishab. Yang tidak dibolehkan adalah mendahulukan zakat fitrah sebelum Ramadhan karena dua sebab yang disebutkan tadi belum ada. Status yang terakhir sama seperti menunaikan zakat maal sebelum nishab dan haul.

Dalil yang menunjukkan zakat fitrah boleh didahulukan dari awal bulan adalah hadits dari Nafi’, ia berkata,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya Idulfitri.” (HR. Bukhari, no. 1511).

Dalil ini lagi menunjukkan zakat fitrah ditunaikan tiga hari sebelum Idulfitri, dari Nafi’, ia berkata,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

“‘Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idulfitri.” (HR. Malik dalam Muwatho’nya, no. 629, 1:285).

Dua dalil di atas menunjukkan kalau dua atau tiga hari sebelum shalat Id dibolehkan untuk mendahulukan bayar zakat fitrah. Dari sini, para ulama Syafiiyah menganggap berarti boleh juga dibayarkan zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Wallahu a’lam.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Malam Kamis, 7 Ramadhan 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24194-zakat-fitrah-dikeluarkan-sejak-awal-ramadhan-karena-pandemi.html

Bolehkah Petugas Medis Covid19 yang Memakai APD Tidak Berpuasa Ramadhan?

Di masa pandemi corona atau COVID 19 ini tentu peran para petugas medis menjadi sangat vital sebagai garda depan dalam pananggulangan wabah ini. Lalu di bulan Ramadhan ini apakah mereka para petugas medis COVID 19  yang memakai Alat Perlindungan Diri (APD) boleh tidak berpuasa Ramdahan?

Boleh Tidak Puasa Ramadhan?

Jawabnya: Ia boleh tidak berpuasa Ramadhan setelah mencoba berpuasa dahulu. Apabila tidak sanggup melanjutkan puasa karena merasakan sangat haus dan lelah setelah memakai APD (alat pelindung diri), sedangkan pada hari itu masih tersisa beberapa jam lagi waktu berbuka puasa dan ia berprasangka kuat khawatir kondisi kesehatan akan menurun, maka ia boleh berbuka puasa (membatalkan puasa) pada hari  itu kemudian mengqadha pada hari yang lain. Hal ini berbeda-beda setiap orang ada yang kuat ada yang tidak kuat, apabila tidak kuat, ia boleh berbuka puasa.

Berikut Pembahasannya

Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa dalam menjelaskan suatu hukum, perlu “tashawwur” atau gambaran kasus yang benar. Apabila “tashawwur” atau gambaran kasusnya yang didapat oleh ustadz atau ulama itu tidak tepat, maka penjelasan hukum (fatwanya) juga tidak tepat. Sebagaimana dalam kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

  1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
  2. tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Demikian juga dengan fatwa mengenai “Shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid ketika musim wabah”. Ustadz atau ulama harus mendapatkan gambaran kasus (tashawwur) yang tepat dari ahli medis sebelum memberikan penjelasan hukumnya.

Gambaran Kasus saat Memakai APD

Kembali lagi ke hukum tenaga medis covid19 yang memakai APD, gambaran kasusnya perlu dijelaskan. Saya pribadi merasakan memakai APD karena spesialisasi saya adalah Patologi Klinik dan bekerja di laboratorium yang memeriksa sampel covid19. Gambaran kasus memakai APD:

  1. APD dipakai sekali saja, ketika dipakai tidak boleh dilepas karena keterbatasan APD
  2. Memakai APD bisa jadi 8 jam atau 12 jam sesuai shifnya, di lab bisa 4 jam saja apabila sampel sedikit
  3. Selama memakai APD sulit untuk minum dan buang air kecil, sehingga menjadi “serba salah”, jika minum banyak khawatir nanti akan buang air. Jika minum sedikit nanti mudah haus
  4. Selama memakai APD akan keluar keringat cukup banyak (elektrolit keluar banyak), terlebih ruangan tidak begitu dingin, kacamata bisa berembun sehingga penglihatan sulit dan itu tidak boleh diperbaiki. Demikian juga jika maka terasa gatal, tidak boleh dikucek dan harus ditahan
  5. Setelah memakai APD sebagian dari kita akan merasakan sangat haus, lapar dan lelah

Apabila kita membahas hukumnya. Ini kembali pada pembahasan “hukum tidak berpuasa Ramadhan karena pekerjaan” 

Jawabanya secara umum: hukum asalnya TIDAK BOLEH meninggalkan puasa Ramadhan karena alasan pekerjaan, karena ini rukun Islam.

Saya mendengar fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan (kurang lebih):

لم يرد في التاريخ أن السلف ترك الصيام لأجل عمل

“Tidak ada dalam sejarah Islam bahwa salaf dahulu meninggalkan puasa (Ramadhan karena alasan pekerjaan)

Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, yang menjelaskan orang yang bekerja sebagai pembakar roti dan merasakan haus sekali, ia tetap harus berpuasa.

Pertanyaan:

عن رجل يعمل في مخبز ويواجه عطشاً شديداً وإرهاقاً في العمل هل يجوز له الفطر

“Pertanyaan dari seorang yang bekerja sebagai pembakar roti, ia merasakan sangat haus dan lelah ketika bekerja, apakah ia boleh tidak berpuasa Ramadhan?

Jawaban:

لا يجوز لذلك الرجل أن يفطر ، بل الواجب عليه الصيام ، وكونه يخبز في نهار رمضان ليس عذراً للفطر ، وعليه أن يعمل حسب استطاعته

“Tidak boleh bagi orang tersebut berbuka puasa (tidak berpuasa), bahkan wajib baginya berpuasa. Adapun keadaan ia sebagai pembakar roti pada siang Ramadhan bukanlah udzur syar’i . ia wajib bekerja sesuai kemampuannya.” [Fatwa Al-Lajnah 10/238]

Perhatikan bahwa pembuat roti ini bisa mengatur pekerjaannya, ia bisa bekerja siang hari hanya beberapa jam (tidak full) atau memindahkan pekerjaannya pada malam hari. Gambaran kasus ini berbeda dengan petugas medis covid19 yang memakai APD, mereka tidak bisa mengatur jam kerja karena tugasnya adalah 24 jam dan masing-masing akan mendapatkan shif siang hari.

Alasan “khawatir” yang nyata dan kuat adalah alasan yang boleh (udzur syar’i) untuk tidak berpuasa Ramadhan. Petugas medis covid19 memang ada yang khawatir (berprasangka kuat) kondisi kesehatannya akan menurun apabila melanjutkan puasa. Ini adalah alasan dengan kekhawatiran yang nyata dan bukan dibuat-buat.

Salah satu dalil yang boleh tidak berpuasa Ramadhan karena khawatir adalah ibu hamil yang khawatir akan janinnya apabila ia berpuasa. Sang ibu tidak mengkhwatirkan dirinya, tetapi mengkhwatirkan janinnya, padahal di zaman dahulu belum ada alat untuk mengetahui kondisi janin seperti sekarang. Jadi sang ibu hanya mengandalkan “feeling” dan perasaan bahwa apabila ia berpuasa, maka janinnya akan bahaya.

Dalil akan hal ini, hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengugurkan kewajiban bagi musafir untuk berpuasa dan setengah shalat; dan menggugurkan pula kewajiban puasa bagi wanita hamil atau menyusui”. [HR. Tirmidzi]

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan,

والحامل إذا خافت على ولدها: أفطرت، وكذلك المرضع إذا أضر بلبنها

“Ibu yang hamil apabila khawatir akan janinnya, ia boleh tidak berpuasa (Ramadhan), demikian juga dengan ibu menyusui apabila khawatir akan membahayakan air susunya.” [Al-Umm 2/113]

Kesimpulan

Petugas medis covid19 yang memakai APD boleh tidak berpuasa Ramadhan apabila berprasangka kuat khawatir kondisi tubuhnya menurun, lalu mengqadhanya. Hal ini berbeda-beda setiap orang, ada yang kuat menahan dan melanjutkan pausa Ramadhan dan ada yang tidak kuat

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK (Petugas lab covid19 RS Unram)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56234-petugas-medis-covid19-puasa-ramadhan.html

IPHI Imbau Calhaj Fokus Jalankan Ibadah Puasa

Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) meimbau calon jamaah haji (Calhaj) fokus menjalankan ibadah puasa. Jamah tidak perlu memikirkan apakah tahun ini bisa berangkat atau tidak ke Tanah Suci.

“Para calon jamaah haji Indonesia sudah saatnya untuk lebih fokus mempersiapkan diri dalam memasuki b culan suci Ramadhan,” kata Ketua Umum IPHI H Ismed Hasan Putro saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (23/4).

Ismed menyarankan, sebaiknya para calhaj tidak larut dan terjebak dalam kegamangan antara jadi berangkat haji atau tidak tahun ini. Karena memang, sampai saat ini Pemerintah Saudi belum memberikan kepastian apakah ibadah haji dapat dilaksanakan atau ditutup seperti halnya umroh.

“Manfaatkanlah bulan suci Ramadhan sebagai bagian dari proses ritual untuk mempertebal dan memperluas wawasan ke Islaman masing-masing,” ujarnya.

Untuk itu Ismed mengajak calon jamaah umumnya umat Islam Untuk memperbanyak ibadah dan beramal sosial pada masyarakat sekitar yang terdampak Covid -19. Hal itu lebih baik daripada larut dengan ketidak pasti antar jadi berangkat haji atau tidak. ” Lebih baik kita meningkatkan terus kualitas ibadah dan ketebalan kesholehan sosialnya,” katanya.

Karena kata Ismed, kesholehan sosial yang termanifestasi dalam semangat berbagai pada saudara kita yang tengah mengalami kesulitan hidupnya. Manifestasi itu merupakan refleksi dari kualitas keimana dan ke Islaman seorang insan, atau hamba Allah SWT.

Bulan suci Ramadhan ini kata Ismed merupakan momentum yang luhur bagi para calon jamaah haji Indonesia untuk merekatkan semangat persaudaraan dan kebersamaan. Baik pada tataran masyarakat maupun dengan Keluarga di rumah masing-masing.

Para  kesempatan ini, Ismed juga menyampaikan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan kepada seluruh alumni haji dan para calon amaah Haji Indonesia. Ia berharap Allah memberikan kekuatan kepada semua umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa.

“Semoga kita semua tetap diberi kesabaran, kekuatan dan kesehatan untuk bisa melaksanakan puasa Ramadhan yang lebih khusuk dan semakin berkualitas,” katanya.

IHRAM

Kemenag Diminta Putuskan Soal Haji Pertengahan Ramadhan

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzilly meminta Kementerian Agama segera mengeluarkan putusan soal haji. Kemenag diimbau mengeluarkan keputusan itu sebelum pertengahan Ramadhan yang akan jatuh pada pertengahan Mei mendatang. 

“Saya menyampaikan kepada Kementerian Agama agar setidaknya pertengahan Ramadhan ini harus segera diputuskan tentang penyelenggaraan haji bagi Indonesia,” kata Ace saat dihubungi Republika, Jumat (17/4).

Menurut dia, Kementerian Agama harus memiliki tenggat waktu yang jelas untuk memutuskan apakah akan memberangkatkan jamaah haji tahun 2020 ini. Langkah ini penting agar pemerintah juga memiliki persiapan yang cukup untuk memastikan kesiapan jamaah haji untuk menunaikan ibadah haji.

“Yang harus kita utamakan juga keselamatan dan kesehatan calon jamaah haji kita, baik selama berada di Indonesia, maupun adanya jaminan jamaah haji Indonesia tidak tertular Covid 19 selama berada di Tanah Suci,” kata Ace. 

Sejauh ini,  Kementerian Agama telah membuat tiga skenario penyelenggaraan Ibadah haji tahun ini. Skenario pertama dengan penyelenggaraan yang normal. Jika itu terjadi, maka Ace mengatakan, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan. 

Pertama, harus dipastikan bahwa para Calon Jemaah Haji kita tidak ada yang positif Covid 19. Kedua, harus ada jaminan calon jemaah haji Indonesia tidak tertular Covid 19 selama di Arab Saudi. 

Untuk itu, perlu ada persiapan khusus dan tersedia waktu khusus bagi calon jemaah haji jika misalnya penyelenggaraan haji tetap akan berjalan tahun ini. Waktu khusus ini, menurut Ace untuk memastikan agar calon jemaah haji bebas dari Covid 19. 

“Dan ini memerlukan anggaran tersendiri untuk pengecekan kesehatan dan tes Covid 19 untuk calon jemaah haji kita,” ujar Politikus Golkar ini. 

Skenario kedua dengan memberangkatkan setengah dari kuota jemaah haji dengan asumsi menjaga physical distancing dalam pelaksanaan haji. Pengaturan ini dari mulai keberangkatan di tanah air, pengaturan duduk di pesawat, pelaksanaan manasik haji dari mulai tawaf, sa’i, mabit di Arafah, Muzdalifah dan Mina. 

Namun Ace mempertanyakan opsi kedua tersebut. “Apakah mungkin dilakukan dengan physical distancing?” ujarnya. 

Skenario ketiga penyelenggaraan haji dibatalkan tahun ini. Soal pembatalanpun menurut Ace, harus dipersiapkan penjelasan sosialisasinya ke masyarakat tentang kondisi darurat syari’ ketidakmungkinan penyelenggaraan ibadah haji di tengah Covid 19 ini.

Prinsipnya, tambah Ace, keselamatan dan kesehatan calon Jemaah Haji Indonesia itu yang utama. Pemerintah harus memikirkan matang-matang. 

“Bukan hanya menunggu kepastian dari pihak Arab Saudi juga, tapi kesiapan kita sendiri menjaga keselamatan Calon jemaah haji kita,” ujar dia menegaskan.

IHRAM

Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Wabah pandemi virus corona telah meluas ke berbagai penjuru dunia, berbagai upaya diusahakan untuk mengatasi musibah ini, lalu bagaimana seorang muslim menghadapinya? tentu selain menempuh upaya-upaya pencegahan sesuai intruksi dari tenaga medis kita hendaknya juga melakukan pencegahan dengan melakukan perbaikan hubungan kita dengan Allah Ta’ala

Kedudukan tauhid dalam bangunan agama Islam

Tauhid adalah inti dan dasar agama Islam. Tauhid adalah tujuan pengutusan para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّٰغُوتَ 

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah sesembahan selain-Nya.” (QS. An-Nahl: 36)

Tauhid adalah tujuan hidup kita dan tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku semata (mentauhidkan-Ku dalam ibadah).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)

Sungguh tinggi kedudukan tauhid di tengah-tengah bangunan agama kita. Memperbaiki tauhid seseorang di tengah-tengah keimanannya, hakikatnya adalah memperbaiki hati di tengah-tengah anggota jasad. Jika hati itu baik, maka baik pula amalan anggota tubuh lahiriah. Demikian pula, apabila tauhid seorang muslim itu baik dan sempurna, maka baik dan sempurna pula agamanya.

Tauhid adalah asas seluruh bentuk perbaikan, dan syirik adalah sebab terbesar keburukan dan musibah

Tauhid adalah asas perbaikan sebuah negeri. Apabila sebuah negeri menghadapi berbagai macam musibah, apalagi bertubi-tubi dan silih berganti, maka sudah semestinya masyarakatnya segera bertaubat dari segala dosa. Terutama bertaubat dari dosa syirik, karena syirik adalah dosa terbesar, keharaman yang paling haram, dan kezholiman (terhadap hak Allah) yang paling zholim. Sehingga syirik itu adalah penyebab terbesar kemurkaan dan adzab Allah.

Apabila masyarakat di negeri tersebut telah mengesakan dan mentauhidkan Allah dengan baik, maka akan tumbuh dari “akar pohon tauhid” dan keimanannya kepada Allah itu berbagai kebaikan dan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rusulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan lagi, akan membuahkan kebahagiaan dunia akhirat serta rasa aman dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan tentang pohon tauhid di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ(24) تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25) 

“(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Dalam kitab I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa jumhur ahli tafsir menafsirkan kalimat thayyibah di ayat ini dengan syahadat laa ilaha illallah.

Dengan demikian, perumpaan pohon yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perumpamaan pohon tauhid. Allah Ta’ala membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat thayyibah) pada ayat ini, yaitu syahadat laa ilaha illallah sebagai sebuah pohon yang merupakan sebaik-baik pohon. Yaitu, akarnya kokoh menghujam ke dalam bumi dan dahan rantingnya menjulang tinggi ke langit, buahnya tak terputus, selalu ada di setiap waktu. Akar pohon tauhid ini menghujam ke dalam bumi. Maksudnya adalah dasar keimanan (tauhid) tersebut kokoh dalam hati seorang mukmin, berupa ilmu tentang iman dan keyakinan yang benar. 

Sedangkan dahan dan ranting pohon tauhid adalah seluruh amalan ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diridhai oleh Allah, baik lahir maupun batin. Jadi, dasar keimanan yang kokoh dalam hati tersebut menumbuhkan ucapan dan amal shalih yang diridhai oleh Allah. Dahan ranting tersebut juga menjulang tinggi ke langit. Maksudnya, ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah tersebut terangkat ke atas, diterima oleh Allah pada setiap waktu, pagi, dan sore. Adapun buah dari pohon tauhid ini adalah kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seorang mukmin yang memiliki dasar iman yang kokoh dalam hati, ucapan serta amalnya pun shalih serta diridhoi oleh Allah, hal itu akan membuahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Pohon tauhid itu menghasilkan buah untuk setiap musim. Maksudnya, buah tauhid yang berupa kebaikan dan kebahagiaan itu dirasakan terus-menerus oleh seorang mukmin di setiap waktu selama iman dan tauhid seseorang masih ada dalam hatinya. Hal ini sebagaimana buah di surga yang terus-menerus ada tidak pernah habis dan selalu siap dipetik.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab tersebut,

وإذا تأملت هذا التشبيه رأيته مطابقا لشجرة التوحيد الثابتة الراسخة في القلب التي فروعها من الأعمال الصالحة الصاعدة إلى السماء ولا تزال هذه الشجرة تثمر الأعمال الصالحة كل وقت بحسب ثباتها في القلب ومحبة القلب لها وإخلاصه فيها ومعرفته بحقيقتها وقيامه بحقوقها ومراعاتها حق رعايتها

“Jika Anda perhatikan perumpamaan ini, maka Anda akan melihat kesesuaiannya dengan pohon tauhid yang menghujam kokoh dalam hati, cabangnya berupa amal shalih yang naik ke langit. Sedangkan pohon ini senantiasa membuahkan amal shalih setiap waktu sesuai dengan kadar kokohnya (akar pohon) tauhid ini dalam hati dan kecintaan hati terhadapnya, keikhlasan dalam bertauhid, kadar pengetahuannya tentang hakikat (pohon) tauhid, kadar upaya memenuhi hak tauhid, serta upaya menjaganya dengan sebenar-benar penjagaan.” 

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan dalam kitab tersebut,

والمقصود أن كلمة التوحيد إذا شهد بها المؤمن عارفا بمعناها وحقيقتها نفيا وإثباتا متصفا بموجبها قائما قلبه ولسانه وجوارحه بشهادته فهذه الكلمة الطيبة هي التي رفعت هذا العمل من هذا الشاهد أصلها ثابت راسخ في قلبه وفروعها متصلة بالسماء وهي مخرجة لثمرتها كل وقت

“Maksudnya, apabila seorang mukmin bersaksi dengan kalimat tauhid ini diiringi dengan mengetahui makna dan hakikatnya, baik mengetahui kandungan peniadaan maupun kandungan penetapannya, bersifat dengan sifat yang menjadi konsekuensi kalimat ini, dan menunaikan tuntutan syahadat tauhid ini dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh, maka dari sisi inilah, kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) itu akan mengangkat amalannya. Dasar kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) ini kokoh menghujam dalam hati, cabangnya menjulang ke langit, serta menghasilkan buah di setiap waktu (terus menerus).”

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55793-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-1.html