Saat ini kita mengetahui bahwa peningkatan kasus positif Covid19 di sejumlah wilayah tanah air menyebabkan sejumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan dipadati pasien Covid-19. Hal ini berakibat pasien Covid-19 dalam jumlah yang besar tidak dapat ditampung dan ditangani oleh rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Praktik penanganan pasien Covid-19 seperti mendahulukan pasien berdasarkan usia dan disabilitas; melepas perangkat kesehatan dari satu pasien demi kepentingan pasien yang lain; menolak kedatangan pasien; atau membiarkan pasien menghadapi penyakit itu sendiri sehingga tercipta kekebalan komunal (herd immunity), mungkin menjadi aktivitas yang dijalankan oleh setiap tenaga medis.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kriteria-kriteria agama yang patut dijadikan pedoman dalam menangani pasien Covid-19 ketika terjadi kepadatan atau penumpukan jumlah pasien?
Artikel singkat ini berusaha untuk memberikan gambaran dari sisi agama meskipun penulis tahu bahwa setiap tim medis pasti memiliki pedoman khusus yang dijadikan acuan.
Prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19
Ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19 dan sebelum memprioritaskan mana di antara mereka yang berhak memperoleh penanganan, setiap tenaga medis perlu kiranya memperhatikan setiap prinsip umum berikut:
Prinsip pertama
Memperhatikan bahwa tujuan agama Islam (syariat) adalah menjaga lima hal pokok (adh-dharuriyah al-khamsah), dan menjaga jiwa (nyawa) lebih diprioritaskan ketika terjadi pertentangan di antara lima hal tersebut. Islam sangat menekankan hal itu karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
“ … dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) …” (QS. al-An’am: 151).
Demikian pula, Islam memerintahkan untuk melindungi jiwa dengan melakukan upaya pencegahan dari berbagai penyakit sebelum hal itu terjadi; dan dengan menempuh pengobatan setelah terserang penyakit. Hal itu karena mengikuti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غير داء واحد قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ
“Berobatlah! Sesungguhnya Allah tidak memberikan penyakit, melainkan Allah juga memberikan obatnya, kecuali untuk satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, penyakit apa itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penyakit tua.” (HR. Abu Dawud no. 3855. Dinilai sahih oleh al-Albani).
Berdasarkan hal ini otoritas terkait berhak mewajibkan masyarakat untuk menjalani pengobatan tertentu; juga berhak menerapkan pelayanan dan intervensi medis yang secara khusus berkaitan dengan penanganan virus Corona. Karena itulah, tenaga medis wajib menjadikan tujuan “menjaga jiwa” sebagai pertimbangan penting dalam menentukan keputusan di setiap detail permasalahan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19.
Prinsip kedua
Menerapkan prinsip keadilan dan melaksanakan hukum Allah dalam tataran realita. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“ … dan Allah (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS. An-Nisa: 58).
Maka, hendaknya tenaga medis menerapkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih utama dan diakui oleh agama; serta tidak perlu menghiraukan selainnya demi memenuhi maksud dan tujuan menjaga jiwa yang merupakan fokus hukum agama. Dengan demikian, tenaga medis tidaklah membeda-bedakan manusia, sehingga karakteristik pribadi pasien seperti anak-anak dan dewasa; pria dan wanita; kaya dan miskin; kedudukan dunia dan agama; serta kewarganegaraan menjadi faktor pertimbangan dalam prioritas penanganan pasien. Karena jika hal itu dilakukan, pastilah akan terjadi kezaliman. Allah Ta’ala telah memuliakan manusia melalui firman-Nya,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra: 70).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ
“Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751. Dinilai hasan shahih oleh al-Albani).
Kriteria dan pertimbangan utama dalam penanganan pasien
Ahli fikih menetapkan bahwa tidak seorang pun boleh diprioritaskan atas orang lain ketika terjadi kepadatan dalam memperoleh hak kecuali terdapat kriteria dan/atau sebab yang mengunggulkannya.
Terdapat sejumlah fatwa yang berkaitan dengan sebab-sebab prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19. Berbagai sebab itu ditentukan oleh tim medis dan dokter yang menangani pasien, dengan berpedoman pada etika kedokteran dan moral. Maka, setiap kebijakan yang akan diterapkan pada masyarakat hendaklah didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah, 1/294).
Di antara fatwa yang berkaitan dengan hal tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan dari Majma’ Fiqhi al-Islami ad-Duwali, al-Majlis al-Arubi li al-Ifta wa al-Buhuts, al-Lajnah ad-Daimah li al-Ifta bi Majma’ Fuqaha asy-Syari’ah bi Amrika. Demikian pula hal ini disampaikan oleh Thariq Anqawi dan Syekh Maulud as-Sariri, (Majma al-Fiqh al-Islami: Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19) wa Maa Yata’allaq bihi min Mu’alajat Thibbiyah wa Ahkam Syar’iyyah; al-Ulaa bi at-Taqdim fi al-‘Ilaj ‘inda at-Tazahum, fatwa no. 18/30; Nazilah Kuruna wa Tazahum al-Huquq ‘inda Naqsh al-Mawarid ath-Thibbiyah, no. 87747; Qararat al-‘Ilajiyat al-Musanadah li al-Hayah, hlm. 787 dan Rukyah Syar’iyah Haula at-Tazahum ‘ala al-Mawarid ath-Thibbiyah fi Zaman Tafsyi Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19); Tazahum al-Huquq ‘inda Qillah al-Mawarid ath-Thibbiyah).
Kesimpulan mereka bahwa di antara kriteria dan sebab yang patut dijadikan pertimbangan utama dalam menangani pasien Covid-19 adalah sebagai berikut:
Kriteria pertama: Kedatangan yang lebih awal
Pasien yang lebih awal mendatangi dan menempati rumah sakit lebih diutamakan. Hal ini menjadi pertimbangan dan berpengaruh dalam prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَايُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ
“Janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat duduknya, kemudian dia duduk di tempat itu” (HR. al-Bukhari no. 911 dan Muslim no. 2177).
Kriteria kedua: Kebutuhan yang mendesak
Setiap pasien yang lebih membutuhkan penanganan, ventilator, atau perawatan yang bersifat urgen lebih didahulukan daripada pasien lain yang kurang membutuhkan.
Kaidahnya, pihak yang lebih membutuhkan didahulukan daripada pihak yang kurang membutuhkan (Fiqh al-Awlawiyat hlm. 264; Dhawabith Tazahum al-Mashalih hlm. 27). Hal ini termasuk dalam praktik mengutamakan maslahat yang lebih besar dan menolak bahaya yang lebih besar; serta termasuk dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan demi mengenyampingkan bahaya yang lebih besar (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah 1/349; al-Asybah wa an-Nazhair 1/47).
Al-Izz ibn Abdissalam rahimahullah menuturkan,
فيما يقدم من حقوق بعص العباد على بعض التقديم بالحاجة الماسة على ما دونها من الحاجات
“Perihal hak-hak hamba yang didahulukan sesama mereka adalah mendahulukan kebutuhan yang lebih mendesak atas kebutuhan yang kurang mendesak” (Qawa’id al-Ahkam 1/172)
Kriteria ketiga: Peluang hidup
Dalam hal perawatan diberikan, lebih diutamakan pasien yang berpeluang hidup besar atas pasien yang berpeluang hidup kecil. Demikian pula, pasien dengan kriteria tersebut lebih diutamakan atas pasien yang bisa melangsungkan hidup tanpa ada intervensi atau perawatan medis yang urgen.
Al-Izz ibn Abdissalam rahimahullah menuturkan,
…تقديم ذوي الضرورات على ذوي الحاجات…
“Mendahulukan pihak yang berkepentingan darurat ketimbang pihak yang berkepentingan hajat” (Qawa’id al-Ahkam 1/172).
Patut dicatat, hal ini bukan berarti mengutamakan pasien yang lebih berpeluang hidup karena dia berusia muda. Namun yang menjadi perhatian pada poin ini adalah efek intervensi dan perawatan medis dalam menjaga kelangsungan hidup pasien (Rukyah Syar’iyah Haula at-Tazahum ‘ala al-Mawarid ath-Thibbiyah fi Zaman Tafsyi Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19) hlm. 13).
Kriteria keempat: Peluang sembuh
Dalam hal ini diutamakan pasien yang lebih berpeluang sembuh daripada pasien yang memiliki kriteria-kriteria sebelumnya. Bukan karena mempertimbangkan bahwa pasien yang berpeluang sembuh kecil tidak layak lagi melangsungkan hidup, sehingga tidak diberikan perawatan sama sekali. Namun pertimbangan ini diambil dalam kasus terdapat pasien lain yang setara dalam kriteria lainnya, namun dia lebih berpeluang sembuh.
Kriteria kelima: Mengundi jika kriteria-kriteria di atas tidak ada
Hai ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian” (QS. as-Shaffaat: 139-141).
Mengundi adalah hal yang dilakukan oleh nabi Yunus dan juga merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Demikian pula hal ini diisyaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
لَوْ يعْلمُ النَّاسُ ما في النِّداءِ والصَّفِّ الأَولِ. ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يسْتَهِموا علَيهِ لاسْتهموا علَيْهِ
“Seandainya manusia mengetahui (kebaikan) apa yang terdapat pada panggilan salat (azan) dan saf pertama, lalu mereka tidak dapat meraihnya melainkan dengan mengundi tentulah mereka akan mengundinya” (HR. Muslim no. 437).
[Bersambung insyaallah]
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel: Muslim.or.id