Pemberlakuan Kembali Jaga Jarak di Arab Saudi Disambut Positif

Pemberlakuan kembali social distancing di Arab Saudi mendapatkan respons positif dari sejumlah asosiasi penyelenggara haji dan umroh di Indonesia.  

Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) Firman M Nur, menilai langkah ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Arab Saudi terhadap keselamatan dan kesehatan jamaah haji. Untuk itu semua pihak perlu menghormati kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini.

“Ini bagian daripada komitmen Pemerintah Saudi Arabia dan khususnya komitmen pengurus masjid haram dan nabawi tentang kepastian menjaga keselamatan dan kesehatan jamaah dalam menunaikan ibadah di dua masjid suci tersebut,” kata Firman saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (30/12).

Firman mengatakan, Amphuri mengapresiasi kebijakan ini, karena bagian dari pada untuk mastikan jamaah bisa selalu melaksanakan ibadah dengan khusyuk, nyaman dan tetap memperhatikan kesehatan para jamaah. Firman berharap kebijakan ini tidak menutup kembali umroh bagi warga negara asing termasuk Indonesia.

“Kita berharap kondisi ini tetap memberi kesempatan kepada jamaah asal Indonesia untuk tetap bisa menunaikan ibadah umrah ke tanah susi,’ katanya.

Firman memastikan, jamaah Indonesia akan selalu mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan Pemerintah Arab Saudi dan Indonesia. Hal ini karena jamaah mengetahui aturan tersebut demi keselamatan jamaah.

“Karena Insya Allah jamaah asal indonesia akan selalu patuh dan tunduk serta mengikuti semua ketentuan prosedur yang ada,” katanya.

Firman mengatakan, Amphuri telah mengirim utusan di tim advance untuk memastikan bagaimana tata laksana, prosedur serta ketentuan umroh di masa pandemi. 

Nantinya tim advance ini akan menyampaikan kepada masing-masing jamaahnya bagaimana pelaksanaan ibadah umroh sesuai dengan protokol Covid yang telah ditetap Arab Saudi, dan Kementerian Haji. “Ataupun ketentuan dari penanggung jawab dua masjid suci,” katanya.

Firman memastikan, setelah megirimkan anggotanya, selanjutnya Amphuri akan memberangkatkan pimpinan penyelenggara umroh PPIU anggota Amphuri. 

Tujuannya sama untuk memastikan lagi secara detail, dan  lebih dalam lagi tentang bagaimana ketentuan umroh di masa pandemi bisa dijalankan.

Menurutnya, target pertama dari kebarangkatan ini, agar semua penyelenggara anggota Amphuri yang akan berangkat menunaikan ibadah umroh mengetahui hasil dari uji coba.  

Mereka jadi bisa langsung mengetahui realita di lapangan, untuk kemudian bisa mencatat dan menyampaikannya kepada calon jamaah haji.

“Kami akan melakukan evaluasi bersama kemudian akan kita sosialisasikan kepada calon jamaah ini akan berangkat ke tanah suci,” katanya.

Dengan demikian mudah-mudah jamaah dapat menjalankan ibada haji penuh percaya diri, karena sudah tidak takut lagi akan masalah yang disebabkan pandemi. Untuk itu sosialisasi hasil peninjauan umroh di masa pandemi ini perlu dilakukan.

“Insya allah lebih akan lebih terbangun confident yang baik daripada calon jamaah yang akan berangkat. Karena mereka telah memiliki pengetahuan dan pelayanan yang baik, sehingga ibadah mereka dapat dilaksanakan secara maksimal danmendapatkan umroh maqbul. Insya Allah,” katanya.

Hal senada disampaikan Gabungan Pengusaha Haji dan Umroh Nusantara (Gaphura). “Kita hormati aturan itu,” kata Anggota Pembina Gaphura, Muharom Ahmad, saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (30/12).

Muharom mengatakan, tujuan diberlakukannya kembali jaga jarak di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi itu demi keselamatan dan kesehatan umum. Khususnya bagi jamaah yang melakukan umroh.

“Tujuannya demi keselamatan dan kesehatan umum, termasuk jamaah umrah, baik oleh otoritas di Arab Saudi maupun di Indonesia,” katanya.

Muharom mengingatkan, setiap terjadi bencana, maka embalilah kepada kaidah bahwa di antara tujuan syariat Islam adalah melindungi jiwa manusia. 

Maka pemberlakuan 3 M (mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak) saat menjalani perjalanan dan ibadah umrah patut tetap dilaksanakan. “Bahkan aturan teranyar adalah wajib karantina institusi selama lima hari saat kedatangan di Arab Saudi,” ujarnya.

Muharom berharap, Pemerintah Arab Saudi dan Indonesia setelah habis tahun 2021 merubah kebijakan waktu karantina, dari lima hari menjadi tiga hari. Karena lamanya karantina mempengaruhi minat jamaah berangkat umroh.

“Gaphura berharap semoga setelah pergantian tahun kebijakan karantina ketibaan baik di Arab Saudi maupun Indonesia bisa kembali ke tiga hari. Karena durasi karantina ini yang sangat mempengaruhi minat atau tidaknya jamaah berangkat umroh,” katanya.

Untuk itu kata dia, Gaphur mempertimbangkan keberangkatan jamaah umrah setelah kebijakan kedua pemerintah lebih ringan dalam karantina. Karena hal itu merupakan ukuran manfaat atau mudharatnya perjalanan internasional. “Termasuk perjalanan umroh,” katanya. 

IHRAM

Bolehkah Pasien Penderita Covid-19 Tidak Shalat?

Shalat merupakan rukun Islam. Dalam fiqih Islam, wajib hukumnya melaksanakan shalat. Shalat termasuk perintah yang qathi. Untuk itu, shalat tak boleh ditinggalkan. Pelbagai ayat Al-Qur’an telah menerangkan kewajiban shalat. Lantas bagaimana dengan pasien penderita Covid-19? Bolehkah tidak shalat pasien penderita  Covid-19?

Syahdan, shalat adalah kewajiban bagi seorang muslim. Perintah untuk melaksanakan shalat tertera dalam pelbagai ayat Al-Qur’an dan hadis nabi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S al-Baqarah ayat 34;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya; Dan dirikan kamulah sholat, tunaikan kamu zakat dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk

Dan juga firman Allah dalam Q.S. An-Nisa/4: 103

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya; Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Nah, terkait hukum pasien penderita Covid-19, bolehkah tidak shalat? Para ulama menjelaskan tak ada keadaan apapun yang membuat kewajiban shalat gugur. Untuk itu, sejatinya orang yang sakit tidak dicabut kewajibannya untuk melaksanakan shalat.

Namun, dalam hukum Islam, orang yang sakit diberikan pelbagai kemudahan atau keringan dalam melaksanakan shalat. Keringanan itu guna memudahkan pasien penderita Covid-19 untuk melaksanakan shalat.

Menurut Syekh Muhammad Abdus Sami, Aminul Fatwa Darul Ifta Mesir mengatakan kewajiban shalat tak gugur bagi seseorang dalam keadaan apapun. Baik dia sehat atau sakit. Akan tetapi, bagi orang yang sakit ada keringanan hukum.

Ia mengatakan;

أن الدين الحنيف راعى أحوال الناس، فيمكن للمصلي على سيبل التسير الصلاة جالساً فى حالة صعوبة القيام لها، وأيضاً يجوز الصلاة نائماً على السرير فى حالة المشقة للحركة، وعلى هذا فلا تسقط الصلاة عن أى إنسان.

Artinya; Sesungguhnya agama yang benar ini (Islam) memelihar ia akan keadaan manusia. Maka sebagai kemudahan dalam hukum, dibolehkan bagi orang yang ingin shalat sebagai tapi tak mampu berdiri, ia boleh duduk sebagai kemudahan baginya, dan juga boleh shalat dalam keadaan memejamkan mata sebagai kemudahan karena sulit untuk bergerak. Dan atas keadaan apapun, tak ada kewajiban menggugurkan/meninggalkan shalat.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh  Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husain, As Syafii dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar,bagi orang yang sakit (lemah) ada kemudahan dalam melaksanakan shalat. Bila tak mampu berdiri, ia boleh duduk. Bila tak mampu duduk, ia boleh shalat dalam keadaan berbaring.

Syekh Taqiyuddin berkata dalam Kifayatul al-AkhyarJilid I, halaman 103;

(والقيام مع القدرة)اعلم ان القيام او ما يقوم مقامه عند العجز كالقعود والاجطجاع, ركن في الصلاة الفرض

Artinya; berdiri bagi yang mampu, ketahuilah bahwa berdiri atau memperbuat ia apa yang ia bisa ketika dalam keadaan lemah (tidak mampu) seperti duduk atau berbaring. Demikian itu (berdiri atau duduk dan berbaring) adalah rukun dalam shalat fardu.

Ada pun argumen keringanan shalat  bagi orang dalam keadaan sakit, Syekh Taqiyuddin dalam Kifayatul al Akhyar, mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Baginda Nabi bersabda;

  عن عمران بن حُصين رضي الله عنهما قال (( كانت بي بواسير فسألت رسول الله صلى الله عليه السلام عن الصلاة: قال لي النبي صلى الله عليه وسلم: ((صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جنبٍ))؛ رواه البخاري

Artinya; Aku menderita penyakit wasir lalu aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengenai salat. Beliau bersabda, “Salatlah kamu sambil berdiri; Jika tidak bisa, salatlah sambil duduk; Jika tidak mampu, salatlah sambil berbaring ke arah kanan. (H.R Bukhari)

Dan ada juga hadis riwayat Imam Nasai;

وزاد النسائي فان لم تستطع فمستلقيا لا يكلف الله  نفسا الا وسعها

Artinya; Jika tak sanggup (baca; berdiri, duduk, berbaring arah kanan) maka ia shalat dalam posisi telentang, Allah tak memberatkan seorang hamba, kecuali menurut kemampuannya.

Imam Nawawi Al Jawi dalam kitab Nihayatuz Zain, pun berpendapat bahwa orang yang sakit diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah shalat. Keringanan hukum itu diberikan syariat sebab sakit yang ia derita. Bila dipaksakan akan berakibat fatal pada jiwanya.

Imam Nawawi mencontohkan keringanan shalat bagi penderita penyakit beser (salasul baul). Dalam Kitab Nihayatuz Zain halaman 58 ia berkata;

وكذا لو كان به سلس بول, ولو قام سال بوله ولو قعد لم يسل, او قال طبيب ثقة لمن بعينه ماء إن صليت مستلقيا امكنت مداواتك فله ترك القيام في الجميع ويفعل مقدوره ولا إعادة عليه

 Artinya; dan seperti itu pula jika ada orang yang menderita penyakit beser, jika ia shalat dalam keadaan berdiri, maka akan menetes kencingnya, tapi jika ia shalat duduk maka kencingnya tak menetes, maka shalatlah ia dalam keadaan duduk. Atau berkata dokter yang terpercaya, bagai orang yang kena air akan berakibat fatal, atau jika berbaring maka itu dapat menyembuhkan penyakit, maka seluruh shalat fardu boleh  baginya meninggalkan shalat dalam keadaan berdiri. Ia boleh memperbuat dalam shalat semampunya, dan  shalatnya sah dan itu tak wajib diulangi di lain waktu.

Pada sisi lain, Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al- Kaff menjelaskan secara terperinci pengertian dari “keadaan lemah (tidak mampu)”.  Dalam Kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Ia mengatakan yang dimaksud dengan “lemah” ialah adanya kesulitan yang parah pada diri seseorang. Jika itu dilakukan akan berakibat fatal bagi dirinya. Lebih dari itu, bisa berujung pada kebinasaan diri.

Syekh Al Kaff at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, halaman214 mengatakan;

ضابط العجز ; ان تلحقه مشقة شديدة , بحيث يخاف منها محذور التيمم, كزيادة مرض او بطء الشفاء, او حدوث شين فاحش في عضو ظاهر  او كانت مشقة لا تحمل عادة

Artinya;  Defini lemah (tidak mampu) bahwa seseorang dalam keadaan sangat sulit, dengan sekira-kira ditakutkan  akan membawa kepada uzur (kebinasaan), seperti bila dilakukan akan menambah penyakit, atau penyembuhan penyakit yang bertambah lambat, atau dalam keadaan kesulitan yang payah, yang diluar batas kebiasaan,.

Terkait orang shalat orang dalam keadaan sakit, Habib Syekh Al kaff menjelaskan secara panjang lebar pelbagai alternatif yang bisa dilakukan pasien tersebut. Bila para ulama di atas hanya menjelaskan keringanan shalat hanya sebatas berbaring atau telentang, Syekh Ahmad Al Kaff justru menambahkan pelbagai keringanan lain.

Menurut kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Orang sakit; shalat sambil berdiri, bila tak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk; dan bila tak mampu sujud, cukup dengan isyarat kepalanya saja—ketika sujud, maka kepala lebih rendah dari rukuk—, bila sanggup shalat duduk, maka shalat ia dengan berbaring ke arah kanan dan menghadap kiblat.

Kemudian, jika tak bisa berbaring ke arah kanan, maka ia shalat dalam keadaan telentang, dengan posisi  kedua kakinya menghadap kiblat. Dan bila tak jua mampu untuk telentang, maka cukup dengan menggerakakn kelopak mata. Terakhir bila tanpa jua sanggup menggerakakan kelopak mata, maka cukup bagi yang sakit dengan isyarat hati. Dalam hatinya ia menggerakkan rukun shalat. Itulah kemudahan bagi orang yang sakit dalam shalat.

Begini tulis Habib Syekh Al Kaff;

فإن عجز صلى ميتلقيا على قفاه, و يئميئ برأسه عند ركوعه وسجوده, فإن عجز او مأبأ بأجفانه, فإن عجز اجرى اركان الصلاة

Artinya; jika ia tak sanggup shalat dalam keadaan itu (berdiri, duduk, berbaring) maka shalatlah dalam keadaan telentang menggerakan ia akan kepala ketika sujud dan sujudnya, maka jika telentang pun tak mampu, maka shalatlah ia dengan menggerakkan kelopak matanya. Pun ketika itu semua ia tak mampu melakukannya, maka shalat ia dalam hati, dan berniat ia menggerakkan anggota shalat.

Demikian keterangan tentang  hukum Shalat Pasien Penderita Covid-19. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mufti Zimbabwe Sebut Penceramah Agama Tak Seharusnya Menyebut Covid-19 Hoaks

Pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum usai. Justru hari-hari terakhir ini kian bertambah orang positif—terjangkit Covid-19. Pada sisi lain, korban yang meninggal akibat Covid-19, sepanjang bulan Juni-Juli terus bertambah. Total angka kematian mencapai 69.210 jiwa. Belum lagi kondisi rumah sakit yang full pasien. Dan juga kelangkaan oksigen untuk  mereka korban sesak pernapasan.

Meski sudah ribuan nyawa yang melayang. Jutaan orang yang positif. Dan jutaan pula yang dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri, tapi masih ada saja orang yang tak percaya Covid-19 ini. Tak sedikit jumlahnya orang yang denial atas Covid-19. Mereka menyangkal keberadaan SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19.

Mereka yang denial itu datang dari latar belakang berbeda-beda. Ada dari kalangan dokter. Ada karwayan. Kelompok penceramah agama, juga banyak yang menyangkal Covid-19. Terlebih masyarakat umum, tak sedikit yang menafikan keberadaan Covid-19 ini.

Untuk mereka yang tak denial terhadap Covid-19— terutama penceramah agama dan orang-orang yang membawa motif agama—, saya harapkan Anda untuk sudi mendengarkan dan membaca nasihat dari ulama besar, Mufti Ismael Menk. Seorang mufti agung dari Zimbabwe.

Ismail Menk termasuk orang yang pada awalnya denial  terhadap Covid-19.  Mufti Agung yang berasal dari Zimbabwe ini mengira bahwa  Covid-19 adalah hoaks yang besar. Pun ia sempat berpikir bahwa Covid-19 adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan.

Namun, mufti agung ini mulai berpikir secara mendalam. Apa penyebabnya? Syekh Ismael Menk sadar posisinya sebagai seorang tokoh agama. Yang memiliki jutaan pengikut. Umat yang senantiasa menunggu pelbagai fatwanya. Ia merasa iba hati bila umat salah tafsir terhadap Covid-19 ini.

Kemudian di tahun 2020 itu—awal-awal  kemunculan Covid-19—, ulama besar ini mulai melaksanakan observasi terkait virus Corona itu. Di tahun itu juga  ia juga melakukan sedikit riset. Agar memperoleh fakta valid terkait pandemi ini.

Langkah itu ternyata memberikan hasil. Setelah melakukan observasi, penelitian, dan berbicara dengan epidemolog, Ia meyakini  bahwa Covid-19 itu nyata dan berbahaya. Dalam sekejap mengubah pemikirannya. Yang awalnya ragu dan menganggap bohong, kini ia telah mantap membenarkan keberadaa Covid-19.

Lebih lanjut, Syekh Ismael Menk juga menyesalkan tindakan kaum agamawan, terutama yang menyebarkan Covid-19 sebagai hoaks. Padahal mereka belum melaksanakan observasi dan riset mendalam.”Sebagai pemimpin (pemimpin umat) Anda seharusnya jangan mengeluarkan kata kata itu, “ katanya menyesalkan perbuatan itu.

Teruntuk para  kaum agamawan dan siapapun yang menganggap Covid-19 konspirasi, Ismael Menk memberikan pesan. Mungkin saja ada teori konspirasi di balik Covid-19. Mungkin saja ada motif yang bertujuan ekonomi dan politik, tetapi itu bukan bidang Anda. Yang harus diperhatikan oleh seorang ulama dan penceramah agama adalah fakta di lapangan.

Ada umat di sana. Jutaan pasien terjangkit Covid-19. Ribuan nyawa melayang. Orang tua kehilangan anaknya. Ibu berpisah dari buah ahtinya. Anak kehilangan bapak dan ibunya. Virus semakin menggila. Itulah fakta ril di lapangan.

Anologi sederhana. Ketika terjadi kebakaran besar di semak-belukar di Australia. Pihak Australia bisa saja menyalahkan siapa saja, dan menganggap ada konspirasi besar.Pun misalnya, di Indonesia ada kebakaran besar, siapa saja silahkan menyebutkan ada konspirasi besar di balik itu semua.

Tetapi penting dicatat, kebakaran itu kemudian jadi bencana bagi kemanusiaan. Bukan hanya bencana bagi Australia dan Indonesia. Tapi  bencana kemanusiaan bagi dunia. Yang terpenting bagi kita adalah untuk menyelamatkan nyawa. Menjaga lisan agar tak memberikan nasihat yang keliru.

Dan untuk Penceramah agama yang menakutkan orang lain menggunakan dalil agama. Menyebutkan Covid-19 konspirasi, lantas mengutip ayat dan hadis yang keliru. Itu sungguh perbuatan tak terpuji. Bagaimana mungkin seorang paham agama melakukan perbuatan itu?

Pada masyarakat umum, Covid-19 ini adalah urusan ahli medis dan kesehatan. Mereka orang yang berwenang bicara dan memiliki otoritas. Maka dengarkanlah dan ikuti perintah mereka. Merekalah pemimpin kita di tengah pandemi Covid-19.

Pada umat Islam, Mufti  Ismael Menk berpesan. Jaga jarak ketika berbicara. Agar manusia lain tidak tertular virus. Sembari itu, jangan lupa memakai masker. Pasalnya, masker menurut pakar kesehatan, itu akan bermanfaat  bagi Anda.

Saban orang pasti ingin sakit. Meskipun seseorang menjadi direktur di 12 rumah sakit, lengkap dengan ICU nya. Tetapi si direktur itu pasti tidak ingin masuk rumah sakit, bukan? Nah Anda pun yang sehat, jangan sekali-kali menimbulakn penyakit pada orang lain.

Terutama pada mereka yang rentan, karena ada komorbid. Pun orang yang lanjut usia.  Jangan sekali-kali membuat mudharat bagi makhluk Allah lain. Pasalnya, itu perbuatan terkutuk. Nasihat dan petuah bijak ini diutarakan oleh Mufti Zimbabwe, Ismail ibn Musa Menk, yang dinukil dari video Youtube Cordova Media. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Dokter Lois Owien, Ada Apa Dengan Mu?

Seorang sahabat mengirim pesan. Melalui aplikasi WhatApp, ia mengirim emotikon tangis. Tak berselang lama ia lantas mengirim teks pesan. “Abang saya meninggal dunia. Perjuangannya berakhir. Ia positif Covid-19. Ia akan berkumpul bersama ibu dan bapak. ” bunyi chat seorang sahabat kemaren.

Pesan itu bak sambaran petir. Lama saya tak beranjak. Berdiri. Alam pikir saya melanglang buana. Pikiran seolah kosong. Seperti orang kena hipnotis. Tak percaya rasanya membaca pesan singkat itu.

Abang bagi sahabat saya ini sudah kepala keluarga. Perkenalkan sebut saja sahabat saya ini A. Ia sejak umur 9 tahun sudah yatim. Ayahnya ditimpa pohon besar ketika di ladang. Kala itu akan kencang. Dahan kayu menimpa tubuh bapaknya. Mati di tempat.

Sejak itu, A hidup bersama abang dan ibunya. Mereka dua bersaudara. A sangat bergantung pada abangnya. Biaya kuliah selama di Jakarta ditanggung abangnya. Belanja bulanan pun ketika masih semester 1-5, masih dibiayai kakak laki-lakinya.

Dua pekan sebelumnya, A juga berduka. Ibunya meninggal. Positif Covid-19. Klaster Covid-19 di Jawa bagian Timur memang sedang naik. Banyak manusia terjangkit positif. Tak sedikit juga yang meninggal dunia.

Ibu A sudah di atas 60 tahun. Sebagai lansia, ibunya juga ada penyakit lain. Ibunya mengidap penyakit diabetes. Hal itu yang membuat sakitnya kian parah. Hingga akhirnya wafat. Meninggalkan A dan abangnya.

Kini abangnya pun telah tiada. Menyusul ayah dan ibunya. Sahabat saya ini tinggal sebatang kara. Tak punya ayah, ibu, dan saudara. Covid-19 merengut keluarga tercintanya. Ia tak sempat mencium jenazah keduanya. Hanya bisa melihat dari jauh. Peti mati itulah yang ia ingat.

Sabtu (10/7) kabar duka datang lagi. Kali ini datang di WA Group. Teman waktu Kuliah Kerja Nyata, meninggal dunia. Sebelumnya ia dikabarkan positif Covid-19. “Mohon doanya, saya sedang Isoman. Dua hari lalu swab. Hasilnya positif,” begitu pesannya di grup.

Rupanya anak muda tak bertahan lama. Ia dikalahkan ganasnya Covid-19. Saya tak bisa membayangkan kedua orangtuanya. Anak lelakinya yang baru sarjana, mati berkalang tanah. Tak sempat ada ciuman perpisahan. Kini ia telah tiada. Perjuangnya telah selesai.

Kabar duka akibat Pandemi Covid-19 datang lagi. Kematian akibat Covid-19 juga melanda para tokoh agama. Dalam catatan Majelis Ulama Indonesia, dilansir dari CNN Indonesia, sekitar 584 kiai wafat selama pandemi virus corona. Covid-19 turut menjangkit para pemimpin pondok pesantren di wilayah Jawa dan Madura. Lebih lagi, jumlah kiai dan ulama yang menderita Covid-19 terus meningkat.

Sebagai garda terdepan dalam menghadapi Covid-19, tenaga kesehatan pun banyak yang meninggal dunia. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Adib Khumaidi, SpOT, sebagimana dilansir dari Detik.com, menyatakan jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 naik hingga 7 kali lipat.

Lonjakan kasus covid-19 di bulan Juni 2021 lalu membuat banyak menjadi penyebab para dokter berguguran satu demi satu. Hingga 8 Juli 2021, tim mitigasi PB IDI mencatat total ada 458 dokter yang wafat akibat Covid-19. Di samping tak sedikit dokter terpapar positif, dan masih berjuang untuk sembuh dari pagebluk ini.

Lebih lanjut, adapun dalam catatan BNPB per hari ini, Senin (12/7) kasus positif Covid-19 bertambah 40.427 orang. Total jumlah orang yang positif Covid-19 naik menjadi 2.567.630 kasus. Pasien sembuh bertambah 34.754 menjadi 2.119.478 orang. Ada pun pasien meninggal  pada hari ini bertambah 891 orang. Secara total kematian akaibat pagebluk ini menjadi 67.355 orang

Mereka yang Tak Percaya Adanya Covid-19

Meski begitu, tak sedikit orang yang tak percaya adanya Covid-19. Mereka menyangkal keberadaan SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19. Latar mereka pun berbeda-beda. Pun tautan usia yang beragam.

Penyangkalan Covid-19 ada yang datang dari anak muda. Misalnya, di aplikasi TikTok, muncul dua orang; muda dan mudi. Menyanyikan lagu “Welcome to Indonesia”. Lirik lagu ini seolah menyatakan Covid-19 yang sudah tak ada. Lantas membandingkan dengan negara Eropa, yang sudah melaksanakan piala Euro 2021.

Ada juga kalangan agamawan. Para ustazd, dai dan pendakwah. Mereka tak percaya akan adanya Covid-19. Narasi yang digunakan pun sangat tendisius dan bercampur teori konspirasi. Misalnya, Covid-19 untuk menghancurkan umat Islam. Dan Corona buatan komunis dan barat, untuk melenyapkan Islam.

Terbaru, tak kalah bikin heboh. Penolakan Covid-19 datang dari seorang dokter. Ia bernama Lois Owien. Si dokter tak percaya akan adanya Covid-19. Pengakuan tak percaya virus Corona itu terjadi ketika ia menjadi narasumber dalam acara televisi, Hotman Paris Show.

Tentu ini sebuah ironis. Covid-19 sudah berjalan lebih satu tahun. Dan telah membunuh 67. 355 jiwa. Dokter ini menyebutkan kematian selama pandemi kali ini lantaran interaksi antar obat. Bukan karena virus Corona.” Cuma karena kurang vitamin dan mineral,Lansia di perlakukan spt penjahat?? Covid19 Bukan Virus dan Tidak Menular!!!!, tulis Dokter Lois di akun twitter-nya.

Saya tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka yang menyangkal adanya Covid-19 ini. Saya juga tak tahu apa motif mereka yang menyebarkan narasi penyangkalan adanya virus yang mematikan ini.

Yang saya bayangkan adalah bagaimana nasib keluarga korban yang terjangkit dan meninggal akibat virus ini. Yang saya pikirkan bagaimana teman, sahabat, orang tua, anak atau siapapun yang kehilangan orang yang dicintainya membaca dan mendengar ocehan ini.

Juga yang saya bayangkan, bagaimana perasaan mereka yang sedang berjuang untuk sembuh dari Covid-19 ketika mendengar ocehan dan narasi kejam ini? Pun bagaimana juga perasaan orang yang sedang berjuang mencari tabung oksigen, karena sesak napas, dan tetiba mereka mendengar atau membaca narasi penyangkalan adanyaCovid-19?

Itulah yang saya bayangkan. Kejam. Sadis. Itulah bagi saya manusia jenis ini. Saya tak melarang Anda atau siapapun menyangkal atau tak percaya pada Covid-19, tapi berhenti menyebarkan narasi itu di ruang publik. Itu hanya akan membuat kericuhan dan kemudharatan.

Terakhir untuk mereka yang tak percaya Covid-19, dalam ilmu hadis ada yang dinamakan dengan hadis mutawatir. Dalam kitab Taisir Mushthalah al-Hadits karya Dr. Mahmud Thahhan menyatakan bahwa Maksudnya hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadis, dari sejumlah lainnya yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk secara ramai-ramai sejumlah perawi tersebut bersekongkol untuk berbohong.

Hadis mutawatir derajatnya shahih. Hadis mutawatir memiliki kualitas yang terjamin. Di samping itu, hadis jenis ini merupakan sumber hukum terkait permasalahan yang pokok, seperti tentang rukun iman dan islam, shalat, puasa dan lain-lain. Pasalnya, jalur periwayat yang banyak, dan mustahil mereka untuk berbohong dan berdusta.

Neneng Maghfiro, dengan mengutip Dr. Mahmud Thahhan dalam Mengenal Hadis Mutawatir menyebutkan bahwa ada empat syarat hadis disebut mutawatir. Pertama, hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh banyak perawi. Minimal 10 perawi. Kedua, banyaknya periwayat harus ada dalam setiap lapisan sanad. Seperti ada 10 atau lebih sahabat yang meriwayatkannya, begitu juga dari golongan tabi’in, tabi’u tabi’in dan seterusnya.

Ketiga, secara adat kebiasaan sejumlah perawi tersebut tidak mungkin ramai-ramai sepakat untuk berbohong. Keempat, panca indera merupakan sandaran utama periwayatan seperti pendengaran dan penglihatan.

Nah, kabar Covid-19 ini laiknya mutawatir tadi. Ini sudah terjadi satu tahun lewat di Indonesia. Riawayatnya pun sudah tak terhitung. Pun yang terkena imbasnya puluhan negara. Benua Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan Eropa. Dan mustahil dalam akal para perawi ini untuk berbohong.

Status Covid-19 adalah shahih. Jalur periwatnya sudah mencukupi menjadikannya shahih. Dan tak akan mungkin pada akal manusia yang banyak ini, baik itu dokter, pejabat, agamawan, sipil society, masyarakat luas. Dan juga telah banyak yang meninggal dan sekarang jutaan yang terjangkit. Jadi mustahil itu semua bermufakat untuk dusta.

Untuk Anda yang menolak, tak percaya, dan menyangkal adanya Covid-19, saya hanya berdoa agar Anda tak terkena penyakit ini. Pun keluarga dan orang terkasih Anda terhindar dari virus ini. Dan bila memunginkan, sadarlah. Sebelum penyesalan menghampiri.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Menghina Covid-19 dengan Kata-Kata Kasar?

Bismillahirrahmanirrahim

Wabah Covid-19 telah melumpuhkan ekonomi dunia dan jutaan nyawa melayang melalui sebabnya. Sebagian ada merasa sangat geram dengan pandemi ini. Sehingga munculah ucapan-ucapan serapah atau hinaan kepada virus ini. Di dalam Islam, ternyata hal sedetail ini telah diatur. Menunjukkan kepada manusia bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi etika atau adab.

Dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhu, beliau bercerita,

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumah Ummu Saib atau Ummu Musayyib, kemudian beliau bertanya,

“Mengapa kamu menggigil ya Ummu Saib?”

الحمى لا بارك الله فيها

“Sakit panas, semoga Allah tak memberkahinya.” Jawab Ummu Saib.

Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,

لا تسبي الحمى فإنها تذهب خطايا بني آدم كما يذهب الكير خبث الحديد

“Janganlah kamu cela penyakit panas. Karena sesungguhnya ia dapat menghilangkan dosa-dosa anak cucu Adam sebagaimana tiupan api pandai besi dapat menghilangkan karat-karat besi” (HR. Muslim).

Hadis di atas menunjukkan larangan mencela penyakit, termasuk dalam hal ini adalah wabah Covid-19. Mengapa hal tersebut bisa dilarang?

Pertama, adanya keberkahan di balik penyakit.

Seperti yang dikabarkan pada hadis di atas, penyakit demam dapat menggugurkan dosa. Bukan hanya demam, bahkan semua penyakit dan musibah dapat menjadi sebab penggugur dosa. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها

“Semua kecemasan, kegalauan, rasa capek, sakit, kesedihan dan gangguan yang dialami oleh seorang muslim sampai-sampai duri yang menusuk kakinya adalah penyebab Allah akan menghapus dosa-dosanya” (HR. Bukhori, dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu’anhu).

Kedua, tujuan dari adanya musibah dan penyakit adalah, memberi peluang kepada orang-orang mukmin agar mengamalkan sabar, yang pahalanya tanpa batas (lihat Quran surat Az-Zumar ayat 10). Inilah perintah Allah dan Rasul-Nya. Mencela penyakit sangat bertentangan dengan tujuan ini.

Ketiga, wabah ini adalah bagian dari takdir Allah. Maka menghinanya, sama saja menghina takdir Allah. Dan itu dosa besar.

Tindakan seperti itu bisa berhadapan dengan hadis yang mulia ini,

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

“Sesungguhnya besarnya ganjaran itu sesuai besarnya ujian. Dan sungguh bila Allah Ta’ala mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Siapa yang rida akan ujian itu, maka baginya keridaan Allah, dan siapa yang marah atau benci terhadap ujian itu, maka baginya kebencian Allah” (HR. Turmudzi, beliau menilai hadis ini Hasan).

Syekh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya tentang hukum ucapan, “Semoga Allah melaknat penyakit ini. Ia telah membuatku tak bisa apa-apa.”

Beliau Rahimahullah menjawab,

وأما من يلعن المرض وما أصابه من فعل الله عز وجل فهذا من أعظم القبائح – والعياذ بالله – لأن لعنه للمرض الذي هو من تقدير الله تعالى بمنزلة سب الله عزوجل فعلى من قال مثل هذه الكلمة أن يتوب إلى الله، وأن يرجع إلى دينه، وأن يعلم أن المرض بتقدير الله، وأن ما أصابه من مصيبة فهو بما كسبت يده، وما ظلمه الله، ولكن كان هو الظالم لنفسه

“Mencela penyakit atau musibah yang mana itu terjadi atas perbuatan Allah Azza wa jalla, ini adalah dosa yang paling besar -semoga Allah melindungi dari dosa seperti ini-. Karena celaannya kepada penyakit yang mana itu terjadi karena perbuatan Allah, itu sama dengan mencela Allah Azza wa jalla. Oleh karena itu, siapa yang pernah mencela penyakit atau musibah, hendaklah bertaubat kepada Allah, kembalilah kepada ajaran agama, serta meyakini bahwa musibah yang menimpanya adalah karena sebab dosanya. Allah sama sekali tidak zalim, namun ia sendiri yang menzolimi dirinya” (Majmu’ Fatawa War Rosa-il As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin 3/126, fatwa nomor 492).

Keempat, celaan tak akan mengubah nasib.

Apakah dengan mengucapkan “Corona b*ngs*t.” “corona anj**g,” virus ini akan mati? Pandemi akan berakhir? Kan tidak!

Maka tak ada gunanya ucapan-ucapan serapah seperti itu. Malah akan mengisi jiwa dengan kemarahan, yang malah berdampak tidak baik bagi kesehatan.

Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah mengatakan,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Beliau juga bersabda,

مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ

“Diantara tanda baiknya kualitas Islam seseorang  adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi).

Maka daripada menghina, mending berdoa yang baik-baik, agar badai ini segera berlalu, semoga Pandemi berakhir, yang sakit disembuhkan Allah, yang tidak sakit dijaga Allah. Itu lebih bermanfaat, berkhasiat dan mendatangkan energi yang positif.

Wallahul muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/67320-bolehkah-menghina-covid19-dengan-kata-kata-kasar.html

Optimisme dan Solidaritas Nabi Menghadapi Penyakit Menular

Belakangan ini, isu wabah atau penyakit menular kembali menghebohkan umat manusia di dunia. Wabah ini dikenal dengan sebutan Corona atau Covid-19 dan dinyatakan bersumber dari China. Para ahli medis menginstruksikan untuk selalu berhati-hati dan mewaspadai wabah ini. Sebab wabah ini sangat mudah tertular pada orang lain, sekalipun sebatas hanya bersentuhan tangan.

Di samping kenyataan hari ini, sebenarnya wabah menular juga pernah menghebohkan umat manusia jauh sebelumnya. Tepatnya pada masa Rasulullah saw. Peristiwa tersebut termaktub dalam Shahih al-Bukhari sebagai berikut.

 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ إِبِلِي تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيَأْتِي الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيَدْخُلُ بَيْنَهَا فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ. رواه البخاري

Riwayat dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada penyakit yang menular, dan tidak ada shafar (menjadikan bulan shafar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula ada haamah (keyakinan Jahiliyah tentang Reinkarnasi atau ruh seseorang yang sudah meninggal, kemudian berpindah pada hewan).” Lalu ada seorang Arab Badui (pedalaman) berkata; “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan untaku (unta yang sehat) yang ada di pasir, seolah-olah mereka bagaikan gerombolan kijang. Lalu, datang seekor unta yang berpenyakit kudis, kemudian unta itu bercampur baur dengan unta-unta yang sehat, kemudian ia menularinya?” Maka Nabi saw. bersabda: “ Jika penularan itu ada, lalu siapakah yang menulari unta yang pertama tadi?.” (HR. al-Bukhari)

Sekilas dari hadis ini, Rasulullah saw. terlihat tidak mengakui adanya wabah atau penyakit menular. Hal ini berdasarkan pada ungkapan beliau Laa ‘Adwa (tidak ada penyakit menular). Lantas, benarkah penyakit menular itu tidak ada?

Jika kita melihat latar belakang hadis ini, sebenarnya peristiwa ini terjadi di Madinah yang saat itu sedang terkena wabah penyakit kusta, di mana penduduk Madinah saat itu merasa khawatir akan tertular wabah tersebut, hingga mereka menjauhi orang-orang yang terjangkit kusta. Bahkan, mereka sampai ke taraf pengabaian terhadap penderitaan mereka.

Yang biasanya mereka makan bersama atau memberi makan seseorang, namun karena ia terkena penyakit kusta, akhirnya mereka acuh terhadap para pengidap kusta. Melihat kondisi yang demikian, Nabi merasa khawatir terhadap solidaritas antar sesama muslim.

Wabah yang sedang menimpa mereka, bukannya dijadikan ajang untuk saling tolong-menolong, malah justru membuat para penderita semakin menderita. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Nabi saw. mengambil suatu tindakan yang berisiko, sebagai langkah awal untuk membantu sesama, sebagaimana yang dituturkan oleh Jabir Ibn ‘Abd Allah:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَكَلَ مَعَ مَجْذُوْمٍ وَقَالَ: كُلْ، ثِقَةً بِاللهِ وَتَوَكُلًا عَلَيْهِ

Bahwa Nabi saw. pernah makan bersama orang yang berpenyakit kusta dan beliau bersabda kepadanya: “Makanlah, kemudian yakinlah pada Allah dan bertawakkallah.”

Dari sini, jelaslah bahwa pernyataan Nabi di atas yang tidak mengakui adanya penyakit menular, bukan semata-mata tidak ada penyakit yang menular. Namun, disebabkan karena kondisi orang-orang saat itu yang sudah tidak lagi peduli dengan para penderita penyakit menular.

Di lain sisi, banyak dari golongan sahabat yang juga menyaksikan bahwa Nabi saw. meyakini adanya penyakit menular, sebagaimana hadis-hadis berikut.

سَمِعْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ يُحَدِّثُ سَعْدًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا رواه البخاري

Riwayat dari Usamah Ibn Zaid, ia bercerita kepada Sa’d dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut.” (HR. al-Bukhari)

عن أبي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ رواه البخاري

Riwayat dari Abu Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat.” (HR. al-Bukhari)

عن عمرو بن الثريد الثقفي عن أبيه قال: كان في وفد ثقيف رجل مجذوم، فأرسل إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنا قد بايعناك، فارجع. رواه مسلم

Riwayat dari ‘Amr Ibn al-Tsarid al-Tsaqafi dari ayahnya, ia berkata: Dalam delegasi Tsaqif (yang akan diba’iat oleh Rasulullah saw.) terdapat seorang laki-laki yang berpenyakit kusta. Maka Rasulullah saw. mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima ba’iat anda. Karena itu, anda boleh pulang. (HR. Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas, pesan yang bisa kita ambil adalah, jika negeri kita atau dunia sedang dilanda wabah atau penyakit menular, maka tetaplah waspada dan berhati-hati, agar kita tidak ikut terjangkit wabah tersebut. Namun, jangan sampai kewaspadaan kita terhadap orang-orang yang terkena wabah, menjadikan kita acuh dan tak peduli, tetap berikan dukungan, baik dari segi materi maupun non-materi dan doakan yang terbaik bagi mereka. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Terkait Warga Jakarta Barat Positif Corona Nekad Jadi Imam Tarawih, Ini Alasan Ulama Mengharamkannya

Seorang bapak berinisial O berusia 82 tahun di Tambora, Jakarta Barat, terdeteksi positif corona. Ia nekad menjadi imam tarawih di musala. Sontak  28 jamaah yang ikut menjadi makmum berstatus orang dalam pemantauan (ODP), sebagaimana diberitakan Detik.com.

Padahal ulama sudah memfatwakan bahwa Muslim yang positif terjangkit corona itu dilarang berjamaah di masjid. Terkait hal ini, mufti di Timur Tengah mengeluarkan fatwa larangan berkerumunan di ruang publik, termasuk saat sholat jamaah. Hal ini karena mempermudah penyebaran virus corona, terlebih lagi bila sudah ada yang terdeteksi terkena virus tersebut. 

Syekh Bin Bayyah, ulama Mauritania yang menjadi mufti di Uni Emirat Arab mengeluarkan fatwa mengenai larangan sholat berjamaah bagi Muslim yang sudah positif terjangkit virus corona. (Baca: Fatwa Syaikh Ibn Bayyah terkait Virus Corona). Ia lebih baik mengisolasi diri daripada berkerumunan dengan publik. Mengapa demikian? Simak penjelasan lengkapnya di sini.

BINCANG SYARIAH

Profesor Penemu Alat Tes Covid 19 Mualaf China

Singapura menjadi negara Asia pertama yang mengklaim telah berhasil menciptakan alat tes cepat virus corona Covid-19.  Alat itu bahkan diklaim bisa memberikan hasil pemeriksaan hanya dalam 5 menit. Alat tersebut ternyata ditemukan seorang  mualaf bernama Profesor Jackie Ying.

Dia  kepala Laboratorium  NanoBio di Agency for Science, Technology and Research. Dia  peneliti teknologi nano lulusan bidang Bioenginering dan Nanoteknologi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) AS. Lahir di Taiwan pada 1966, pada usia 7 tahun, dia dan keluarganya pindah ke Singapura.

HIDAYATULLAH

Varian Delta, Bagaimana Kita Bersikap?

Sebagaimana beberapa negara di Asia, Indonesia mulai menghadapi lonjakan kedua kasus COVID-19 yang jauh lebih besar. Virus SARS-CoV-2 pada asalnya adalah virus dengan kemampuan mutasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan virus RNA yang lain. Penularan yang terus-menerus terjadi sampai saat ini menyebabkan virus SARS-CoV-2 memiliki banyak kesempatan untuk bermutasi. Mutasi-mutasi tersebut memunculkan varian-varian baru yang memiliki fitness (ketangguhan atau daya adaptasi terhadap lingkungan) yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian sebelumnya. Bagaikan hukum rimba, varian dengan fitness yang lebih tinggi akan menggeser dominasi varian sebelumnya dengan fitness yang lebih lemah, layaknya seleksi alam pada “dunia virus”. Data dari pemerintah Inggris menjadi salah satu bukti fenomena ini. Varian alpha terdeteksi mendominasi sejak akhir bulan Desember 2020. Namun sejak Juni 2021, dominasi tersebut telah diambil alih oleh varian delta.

Tulisan ini dihimpun dari berbagai data yang telah dipublikasikan sampai dengan tanggal 20 Juni 2021. Seiring dengan terbitnya penelitian-penelitian baru yang cepat dan dinamis, fakta dan data yang disajikan dalam tulisan ini mungkin dapat berubah, sehingga pembaca disarankan untuk selalu mengikuti perkembangan informasi terbaru melalui sumber-sumber terpercaya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Mengenal “Variant of Interest” (VOI) dan “Variant of Concern” (VOC)

Varian dari SARS-CoV-2 diklasifikan oleh WHO menjadi dua jenis kategori, yaitu “Variants of Interest” (VOI) dan “Variants of Concern” (VOC). Suatu varian virus SARS-CoV-2 dikategorikan sebagai VOI apabila susunan materi genetika dari SARS-CoV-2 varian tersebut memiliki satu set mutasi yang bersifat spesifik yang diduga atau terbukti menyebabkan perubahan fenotip (karakter biologis) dari SARS-CoV-2, serta telah diidentifikasi menyebabkan kejadian COVID-19 di suatu wilayah atau telah dilaporkan menyebar di berbagai negara. Contoh VOI adalah varian Zeta (P.2); Eta (B.1.525); dan varian Kappa (B.1.617.1).

Suatu varian dikategorikan dalam VOC apabila varian tersebut telah memenuhi kriteria VOI, ditambah adanya kaitan dengan salah satu karakteristik berikut ini:

Pertama, meningkatkan risiko penularan; atau:

Kedua, meningkatkan virulensi (keganasan) virus dengan adanya perbedaan manifestasi klinis pada pasien seperti gejala penyakit yang semakin berat; atau:

Ketiga, menurunkan efektivitas diagnosis (swab PCR), vaksin, atau obat-obat anti-virus.

Sampai saat ini ada empat varian yang termasuk dalam kategori VOC, yaitu varian Alpha (B.1.1.7); Beta (B.1.3.5.1); Gamma (P.1); dan Delta (B.1.617.2).

Untuk mendeteksi keberadaan varian, diperlukan teknologi yang disebut dengan whole genome sequencing (WGS). Teknologi ini bertujuan untuk membaca urutan genetik yang dimiliki oleh virus SARS-CoV-2 sepanjang kurang lebih 30 ribu basa nukleotida untuk melihat adanya mutasi. Hingga tanggal 20 Juni 2021, telah dilakukan whole genome sequencing (WGS) terhadap 2.230 sampel virus yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Dari 2.230 sampel tersebut, sebanyak 202 sampel dideteksi sebagai sebagai VOC, yaitu varian Alpha (45 kasus); Beta (6 kasus); dan Delta (151 kasus).

Sampai saat ini belum ada laporan varian Gamma yang terdeteksi di Indonesia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa laporan varian SARS-C0V-2 di Indonesia tersebut bagaikan puncak gunung es (tip of the iceberg), karena kemampuan WGS kita di Indonesia yang masih terbatas, baik dari sisi jumlah laboratorium rujukan, sumberdaya manusia, dan juga ketersediaan reagen. Jumlah varian SARS-CoV-2 sesungguhnya di Indonesia mungkin jauh lebih banyak.

Dampak Varian Delta terhadap karakter biologis dari virus SARS-CoV-2

Varian Delta pertama kali dideteksi pada bulan Oktober 2020 di India. Berbagai penelitian, baik penelitian epidemiologis maupun laboratoris, telah banyak dilakukan untuk melihat dampak mutasi pada varian Delta

Pertama, keparahan penyakit yang diderita oleh pasien.

Sejak varian Delta terdeteksi, Inggris Raya adalah negara yang paling intensif melakukan berbagai penelitian terkait keparahan COVID-19 yang diakibatkan varian tersebut. Data penelitian di Inggris dan Skotlandia menunjukkan adanya peningkatan keparahan COVID-19 dan risiko masuk rumah sakit bagi pasien-pasien yang terinfeksi varian Delta dibandingkan dengan varian Alpha. Penelitian-penelitian lain mengenai keparahan COVID-19 akibat varian Delta ini masih terus dilakukan.

Kedua, risiko peningkatan penularan (risiko transmisi)

Penelitian melalui sistem permodelan komputer (in silico analysis) oleh para peneliti di India menunjukkan bahwa mutasi-mutasi khas pada varian Delta (L452R, E484Q, dan P681R) menyebabkan peningkatan daya ikat virus SARS-CoV-2 (melalui protein Spike) ke sel tubuh manusia (melalui reseptor ACE2). Data ini didukung oleh data epidemiologis di Inggris Raya yang menunjukkan jumlah penularan dari varian Delta yang lebih tinggi daripada  varian Alpha dan Kappa. Hal tersebut menunjukkan bahwa varian Delta meningkatkan risiko penularan. Penelitian-penelitian lain masih dilakukan untuk melihat risiko peningkatan penularan SARS-CoV-2 varian Delta tersebut.

Ketiga, deteksi oleh mesin PCR.

Saat tulisan ini disusun, belum ada bukti penelitian yang secara valid menunjukkan bahwa varian Delta tidak bisa dideteksi oleh metode PCR.

Keempat, efektivitas dari vaksinasi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vaksin Pfizer dan AstraZeneca cukup efektif untuk melindungi sebagian besar orang dari tertular atau mengalami COVID-19 yang bergejala berat akibat varian Delta jika orang tersebut telah mendapatkan 2 dosis vaksinasi. Efektivitas perlindungan kedua vaksin tersebut lebih rendah jika seseorang hanya mendapatkan 1 dosis saja. Bagaimana dengan vaksin Sinovac?  belum ada bukti penelitian terkait efektivitas perlindungan vaksin Sinovac terhadap varian Delta.

Lalu, bagaimana kita bersikap?

Saat ini kita menghadapi gelombang peningkatan kasus di berbagai daerah di DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Fasilitas kesehatan di wilayah tersebut mulai tidak dapat menampung lonjakan pasien COVID-19 yang bergejala berat. Dengan ditemukannya varian Delta di Indonesia yang mungkin dapat menimbulkan manifestasi COVID-19 yang lebih parah dan lebih mudah menular, maka masyarakat dan pemerintah wajib mendukung segala upaya untuk mengurangi penularan virus SARS-CoV-2, agar tidak semakin banyak korban yang berjatuhan akibat tidak mendapatkan fasilitas perawatan yang memadai.

Pertama, kewajiban sebagai individu.

Mutasi terjadi saat virus bereplikasi dalam sel tubuh manusia, baik manusia yang terinfeksi itu bergejala ataupun tidak. Potensi munculnya varian baru dari virus SARS-CoV-2 akan dapat dikurangi jika lebih sedikit orang yang tertular dan membawa virus SARS-CoV-2. Sehingga protokol kesehatan untuk pencegahan penularan menjadi sangat penting, selain untuk menurunkan jumlah penderita COVID-19, juga mengurangi potensi terjadinya mutasi.

Disiplin menegakkan protokol kesehatan di tingkat individu merupakan senjata utama untuk memutus mata rantai transmisi. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tetap tinggal di rumah jika merasakan gejala sakit, membatasi mobilitas keluar rumah, hanya keluar rumah jika diperlukan, menghindari kerumunan, serta mengikuti vaksinasi harus dilaksanakan dengan menghilangkan sikap keegoisan. Kita tidak pernah tahu pasti siapa yang akan terinfeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala atau siapa mengalami COVID-19 berat hingga kematian. Lebih banyaknya orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala atau hanya bergejala ringan justru membuat siapa pun mungkin dapat menjadi sang penular, tanpa terdeteksi, termasuk diri kita sendiri. Sehingga protokol kesehatan tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, namun juga melindungi orang lain dari ancaman COVID-19 yang fatal dan  terjadinya mutasi virus SARS-CoV-2

Disiplin menjalankan protokol merupakan sebuah keniscayaan jika dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai kebiasaan bukan keterpaksaan. Hendaknya kita menahan diri dari keinginan untuk “kumpul-kumpul” apa pun bentuknya, misalnya sekedar reuni dengan teman sekolah, acara makan-makan bersama keluarga besar yang datang berbagai daerah, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Jangan mudah percaya dengan hoax dan misinformasi lainnya terkait vaksinasi. Mengajak semua orang untuk patuh pada protokol kesehatan memang sulit, namun mulailah dari diri sendiri, keluarga dan orang terdekat. Saling mengingatkan dan memberi contoh secara tekun, serta tidak permisif dengan tekanan lingkungan yang abai dengan protokol kesehatan. Karena yang populer dan yang diikuti orang banyak belum tentu benar, sehingga harus benar-benar ditelaah dengan akal.

Kedua, kewajiban pemerintah.

Pemerintah harus menegakkan aturan yang lebih tegas terkait pembatasan mobilitas masyarakat, pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat, dan perlu diputuskan segera apakah suatu daerah memerlukan karantina wilayah yang lebih luas. Dengan adanya penularan yang semakin meluas, tentu saja pembatasan skala mikro menjadi tidak efektif.  Aturan harus ditegakkan dengan konsisten dan juga butuh teladan perilaku dari aparatur pemerintah. Jika pemerintah tidak konsisten dalam penegakan aturan, maka kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan turun, hingga kelak mungkin dapat terjadi kondisi tatkala apapun aturan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan lagi diikuti oleh rakyat. Sementara itu, apapun upaya pemulihan perekonomian yang dilakukan, fakta menunjukkan bahwa ekonomi tidak akan bisa bangkit jika penularan wabah tidak dikendalikan.

Pemerintah harus meningkatkan kapasitas testing and tracing. Ini penting dilakukan untuk mendeteksi semaksimal mungkin orang-orang yang terinfeksi dan melakukan isolasi sedini mungkin sehingga menurunkan risiko penularan ke semakin banyak orang. Konsekuensinya, fasilitas isolasi mandiri juga perlu ditingkatkan. Pemerintah juga perlu mempercepat distribusi dan meningkatkan kecepatan program vaksinasi. Vaksinasi tidak hanya melindungi mereka yang divaksin dari infeksi SARS-CoV-2 dan keparahan COVID-19, namun juga menurunkan potensi penularan. Semakin cepat target cakupan vaksinasi bagi seluruh penduduk Indonesia dapat tercapai, maka potensi munculnya mutasi baru yang lebih kuat dan ganas dapat semakin diturunkan.

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/66925-varian-delta-bagaimana-kita-bersikap.html

Peningkatan Jumlah Pasien Covid-19 di Rumah Sakit, Siapa yang Diprioritaskan? (Bag. 1)

Saat ini kita mengetahui bahwa peningkatan kasus positif Covid19 di sejumlah wilayah tanah air menyebabkan sejumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan dipadati pasien Covid-19. Hal ini berakibat pasien Covid-19 dalam jumlah yang besar tidak dapat ditampung dan ditangani oleh rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Praktik penanganan pasien Covid-19 seperti mendahulukan pasien berdasarkan usia dan disabilitas; melepas perangkat kesehatan dari satu pasien demi kepentingan pasien yang lain; menolak kedatangan pasien; atau membiarkan pasien menghadapi penyakit itu sendiri sehingga tercipta kekebalan komunal (herd immunity), mungkin menjadi aktivitas yang dijalankan oleh setiap tenaga medis.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kriteria-kriteria agama yang patut dijadikan pedoman dalam menangani pasien Covid-19 ketika terjadi kepadatan atau penumpukan jumlah pasien?

Artikel singkat ini berusaha untuk memberikan gambaran dari sisi agama meskipun penulis tahu bahwa setiap tim medis pasti memiliki pedoman khusus yang dijadikan acuan.

Prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19

Ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19 dan sebelum memprioritaskan mana di antara mereka yang berhak memperoleh penanganan, setiap tenaga medis perlu kiranya memperhatikan setiap prinsip umum berikut:

Prinsip pertama

Memperhatikan bahwa tujuan agama Islam (syariat) adalah menjaga lima hal pokok (adh-dharuriyah al-khamsah), dan menjaga jiwa (nyawa) lebih diprioritaskan ketika terjadi pertentangan di antara lima hal tersebut. Islam sangat menekankan hal itu karena Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ

“ … dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) …” (QS. al-An’am: 151).

Demikian pula, Islam memerintahkan untuk melindungi jiwa dengan melakukan upaya pencegahan dari berbagai penyakit sebelum hal itu terjadi; dan dengan menempuh pengobatan setelah terserang penyakit. Hal itu karena mengikuti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غير داء واحد قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ

“Berobatlah! Sesungguhnya  Allah tidak memberikan penyakit, melainkan Allah juga memberikan obatnya, kecuali untuk satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, penyakit apa itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penyakit tua.” (HR. Abu Dawud no. 3855. Dinilai sahih oleh al-Albani).

Berdasarkan hal ini otoritas terkait berhak mewajibkan masyarakat untuk menjalani pengobatan tertentu; juga berhak menerapkan pelayanan dan intervensi medis yang secara khusus berkaitan dengan penanganan virus Corona. Karena itulah, tenaga medis wajib menjadikan tujuan “menjaga jiwa” sebagai pertimbangan penting dalam menentukan keputusan di setiap detail permasalahan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19.

Prinsip kedua

Menerapkan prinsip keadilan dan melaksanakan hukum Allah dalam tataran realita. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“ … dan Allah (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS. An-Nisa: 58).

Maka, hendaknya tenaga medis menerapkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih utama dan diakui oleh agama; serta tidak perlu menghiraukan selainnya demi memenuhi maksud dan tujuan menjaga jiwa yang merupakan fokus hukum agama. Dengan demikian, tenaga medis tidaklah membeda-bedakan manusia, sehingga karakteristik pribadi pasien seperti anak-anak dan dewasa; pria dan wanita; kaya dan miskin; kedudukan dunia dan agama; serta kewarganegaraan menjadi faktor pertimbangan dalam prioritas penanganan pasien. Karena jika hal itu dilakukan, pastilah akan terjadi kezaliman. Allah Ta’ala telah memuliakan manusia melalui firman-Nya,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra: 70).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

“Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751. Dinilai hasan shahih oleh al-Albani).

Kriteria dan pertimbangan utama dalam penanganan pasien

Ahli fikih menetapkan bahwa tidak seorang pun boleh diprioritaskan atas orang lain ketika terjadi kepadatan dalam memperoleh hak kecuali terdapat kriteria dan/atau sebab yang mengunggulkannya.

Terdapat sejumlah fatwa yang berkaitan dengan sebab-sebab prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19. Berbagai sebab itu ditentukan oleh tim medis dan dokter yang menangani pasien, dengan berpedoman pada etika kedokteran dan moral. Maka, setiap kebijakan yang akan diterapkan pada masyarakat hendaklah didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah, 1/294).

Di antara fatwa yang berkaitan dengan hal tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan dari Majma’ Fiqhi al-Islami ad-Duwalial-Majlis al-Arubi li al-Ifta wa al-Buhutsal-Lajnah ad-Daimah li al-Ifta bi Majma’ Fuqaha asy-Syari’ah bi Amrika. Demikian pula hal ini disampaikan oleh Thariq Anqawi dan Syekh Maulud as-Sariri, (Majma al-Fiqh al-Islami: Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19) wa Maa Yata’allaq bihi min Mu’alajat Thibbiyah wa Ahkam Syar’iyyahal-Ulaa bi at-Taqdim fi al-‘Ilaj ‘inda at-Tazahum, fatwa no. 18/30; Nazilah Kuruna wa Tazahum al-Huquq ‘inda Naqsh al-Mawarid ath-Thibbiyah, no. 87747; Qararat al-‘Ilajiyat al-Musanadah li al-Hayah, hlm. 787 dan Rukyah Syar’iyah Haula at-Tazahum ‘ala al-Mawarid ath-Thibbiyah fi Zaman Tafsyi Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19)Tazahum al-Huquq ‘inda Qillah al-Mawarid ath-Thibbiyah).

Kesimpulan mereka bahwa di antara kriteria dan sebab yang patut dijadikan pertimbangan utama dalam menangani pasien Covid-19 adalah sebagai berikut:

Kriteria pertama: Kedatangan yang lebih awal

Pasien yang lebih awal mendatangi dan menempati rumah sakit lebih diutamakan. Hal ini menjadi pertimbangan dan berpengaruh dalam prioritas penanganan ketika terjadi kepadatan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَايُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ

“Janganlah seseorang membangunkan orang lain dari tempat duduknya, kemudian dia duduk di tempat itu” (HR. al-Bukhari no. 911 dan Muslim no. 2177).

Kriteria kedua: Kebutuhan yang mendesak

Setiap pasien yang lebih membutuhkan penanganan, ventilator, atau perawatan yang bersifat urgen lebih didahulukan daripada pasien lain yang kurang membutuhkan.

Kaidahnya, pihak yang lebih membutuhkan didahulukan daripada pihak yang kurang membutuhkan (Fiqh al-Awlawiyat hlm. 264; Dhawabith Tazahum al-Mashalih hlm. 27). Hal ini termasuk dalam praktik mengutamakan maslahat yang lebih besar dan menolak bahaya yang lebih besar; serta termasuk dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan demi mengenyampingkan bahaya yang lebih besar (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah 1/349; al-Asybah wa an-Nazhair 1/47).

Al-Izz ibn Abdissalam rahimahullah menuturkan,

فيما يقدم من حقوق بعص العباد على بعض التقديم بالحاجة الماسة على ما دونها من الحاجات

“Perihal hak-hak hamba yang didahulukan sesama mereka adalah mendahulukan kebutuhan yang lebih mendesak atas kebutuhan yang kurang mendesak” (Qawa’id al-Ahkam 1/172)

Kriteria ketiga: Peluang hidup

Dalam hal perawatan diberikan, lebih diutamakan pasien yang berpeluang hidup besar atas pasien yang berpeluang hidup kecil. Demikian pula, pasien dengan kriteria tersebut lebih diutamakan atas pasien yang bisa melangsungkan hidup tanpa ada intervensi atau perawatan medis yang urgen.

Al-Izz ibn Abdissalam rahimahullah menuturkan,

…تقديم ذوي الضرورات على ذوي الحاجات…

“Mendahulukan pihak yang berkepentingan darurat ketimbang pihak yang berkepentingan hajat” (Qawa’id al-Ahkam 1/172).

Patut dicatat, hal ini bukan berarti mengutamakan pasien yang lebih berpeluang hidup karena dia berusia muda. Namun yang menjadi perhatian pada poin ini adalah efek intervensi dan perawatan medis dalam menjaga kelangsungan hidup pasien (Rukyah Syar’iyah Haula at-Tazahum ‘ala al-Mawarid ath-Thibbiyah fi Zaman Tafsyi Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19) hlm. 13).

Kriteria keempat: Peluang sembuh

Dalam hal ini diutamakan pasien yang lebih berpeluang sembuh daripada pasien yang memiliki kriteria-kriteria sebelumnya. Bukan karena mempertimbangkan bahwa pasien yang berpeluang sembuh kecil tidak layak lagi melangsungkan hidup, sehingga tidak diberikan perawatan sama sekali. Namun pertimbangan ini diambil dalam kasus terdapat pasien lain yang setara dalam kriteria lainnya, namun dia lebih berpeluang sembuh.

Kriteria kelima: Mengundi jika kriteria-kriteria di atas tidak ada

Hai ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ

“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian” (QS. as-Shaffaat: 139-141).

Mengundi adalah hal yang dilakukan oleh nabi Yunus dan juga merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Demikian pula hal ini diisyaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

لَوْ يعْلمُ النَّاسُ ما في النِّداءِ والصَّفِّ الأَولِ. ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يسْتَهِموا علَيهِ لاسْتهموا علَيْهِ

“Seandainya manusia mengetahui (kebaikan) apa yang terdapat pada panggilan salat (azan) dan saf pertama, lalu mereka tidak dapat meraihnya melainkan dengan mengundi tentulah mereka akan mengundinya” (HR. Muslim no. 437).

[Bersambung insyaallah]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Artikel: Muslim.or.id