Berikut akan kami jelaskan berkaitan dengan penerapan triage ketika terjadi kepadatan pasien Covid-19. Berikut ini sejumlah kondisi yang mungkin ditemui di lapangan dan masukan terkait triage yang bisa diterapkan oleh tim tenaga medis ketika menangani pasien Covid19.
Kondisi pertama: kondisi pasien setara
Kondisi pasien setara baik dalam hal kebutuhan terhadap perawatan dan penggunaan alat, usia, peluang hidup, peluang sembuh, dan hal yang lain. Dalam kondisi ini, penanganan diutamakan kepada pasien yang lebih dulu mendatangi rumah sakit. Pasien yang datang belakangan tidak boleh mengambil tempat pasien yang datang lebih awal. Pasien yang datang lebih awal telah memiliki hak untuk memperoleh perawatan dan memanfaatkan perangkat kesehatan yang ada.
Dalam kondisi ini, tenaga medis tidak diwajibkan untuk menyelamatkan dan menangani pasien yang datang lebih akhir jika ia tidak memiliki kemampuan melaksanakannya, misalnya ia tengah menangani pasien yang datang lebih awal.
Hal ini dikarenakan di saat itu ia tak memiliki kemampuan melakukannya, sedangkan syarat taklīf (pembebanan syari’at) adalah adanya kemampuan. Allah taala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
Kondisi di atas dianalogikan dengan kasus seorang yang masih berakal ketika melaksanakan shalat Zhuhur, kemudian ia diperintahkan mengerjakan shalat Ashar sementara ia ternyata sudah menjadi gila di saat itu. Dalam hal ini, perintah agama (khithāb syar’i) gugur terhadap dirinya. [Tazāhum al-Huqūq ‘inda al-Mawārid ath-Thibbiyah].
Al-Lajnah al-Dāimah bi Majma’ Fuqahā al-Syarī’ah bi Amrīka, berpandangan bahwa pasien berusia muda lebih diutamakan ketika seluruh pasien setara dalam hal kedatangan dan kebutuhan. Alasan mereka pasien berusia muda lebih berpeluang untuk selamat karena berpegang pada kaidah,
تحصيل أعظم المصلحتين بتفويت أدناهما
“Memilih maslahat yang lebih besar dengan mengorbankan maslahat yang lebih ringan.” [al-Manṡūr fi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah 1/349]
Namun, pendapat ini justru tidak sejalan dengan prinsip Islam yang memerintahkan berbuat adil dan menghindari diskriminasi. Dengan demikian, usia, jenis kelamin, jumlah harta, kedudukan di bidang agama dan dunia, kewarganegaraan (ras), atau karakteristik pribadi yang lain tidak semestinya dijadikan pertimbangan.
Kondisi kedua: kondisi salah satu pasien sangat membutuhkan penanganan dibandingkan pasien yang lain
Kondisi ini terbagi dalam dua keadaan.
Keadaan pertama: Apabila pasien datang ke rumah sakit dalam waktu yang bersamaan, maka pasien yang lebih membutuhkan dan kehidupannya bergantung pada penanganan dan perawatan, lebih diutamakan. Pasien yang lebih membutuhkan lebih diprioritaskan meski hal itu menyebabkan pasien yang lain menanggung kesulitan dan rasa sakit, karena maslahat dari tindakan menghilangkan bahaya dari badan pasien sehingga rasa sakitnya mereda dianulir dan tidak perlu dihiraukan ketika berhadapan dengan kondisi pasien yang dikhawatirkan kehilangan nyawa jika tidak ditangani. Hal ini dalam rangka mengamalkan kaidah,
الأكثر حاجة مقدم على الأقل حاجة
“Pihak yang lebih membutuhkan diutamakan daripada pihak yang kurang membutuhkan.” [Fiqh al-Awlāwiyat hlm. 642; Ḍāwabiṭ Tazāhum al-Maṣāliḥ hlm. 37]
Selain itu, tindakan ini tercakup dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan demi mengenyampingkan bahaya yang lebih besar. [al-Asybāh wa al-Nazhāir 1/47]
Keadaan kedua: Dalam hal pasien tengah mendapatkan penanganan, kemudian datang pasien lain yang lebih membutuhkan, maka tenaga medis boleh menghentikan penanganan terhadap pasien pertama agar bisa menangani pasien kedua yang lebih membutuhkan.
Hal ini analog dengan tindakan mendahulukan pasien yang lebih membutuhkan tatkala mereka datang dalam waktu yang bersamaan asalkan memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Penanganan yang diberikan kepada pasien pertama (yang ditangani lebih dulu) merupakan penanganan yang bersifat intermiten (dilakukan sesekali), bukan penanganan yang bersifat permanen (dilakukan sepanjang waktu), baik penanganan itu berupa pemberian obat atau penggunaan perangkat kesehatan seperti ventilator.
2. Penghentian penanganan tidak berpotensi hilangnya nyawa pasien pertama atau ia mengalami bahaya yang serius sehingga menghilangkan maksud dari upaya menjaga jiwa.
3. Kondisi pasien pertama memungkinkan untuk mendapatkan penanganan kembali jika nanti ia membutuhkan.
(Qararāt al-‘Ilājiyat al-Musanadah li al-Ḥayah hlm. 800-979; Rukyah Syar’iyah Haula al-Tazāhum ‘alā al-Mawārid al-Ṭibbiyyah fi Zaman Tafsyī Firus Kuruna al-Mustajad (COVID-19))
Semua ini merupakan pengamalan kaidah,
العمل بكل منهما من وجه أولى من العمل بالراجح من كل وجه وترك الآخر
“Mempraktikkan dua perkara meski hanya sebagian lebih utama daripada mempraktikkan satu perkara yang lebih kuat di segala aspek tapi berkonsekuensi meninggalkan perkara yang lain.” [Irsyād al-Fuhul 2/264]
Kondisi ketiga: kematian pasien tersebut akan menimbulkan fitnah, seperti kematian tenaga medis spesialis yang menangani pasien Covid-19
Dalam pasien adalah tenaga medis spesialis atau yang semisal, maka mereka diutamakan, karena yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini adalah maslahat untuk mencegah timbulnya fitnah. Dengan kematian mereka justru akan menyebabkan jatuhnya korban Covid19 yang lebih banyak karena jumlah tenaga medis yang memberikan penanganan terhadap pasien Covid19 berkurang, sehingga mengutamakan penanganan pasien yang berstatus tenaga medis spesialis lebih dikedepankan karena tercakup dalam praktik menempuh bahaya yang lebih ringan dan upaya mencapai maslahat yang lebih besar dengan mengenyampingkan bahaya yang lebih ringan. [al-Manṡūr fi al-Qawā’id al-Fiqhiyyah 1/349]
Tindakan ini juga termasuk pengamalan kaidah menanggung bahaya yang bersifat khusus demi menolak bahaya yang bersifat umum. Maka, maslahat umum lebih utama daripada maslahat khusus; dan maslahat yang berdampak luas diutamakan daripada maslahat yang berdampak terbatas. [al-Asybāh wa an-Nazhāir 1/74, Ḍāwabiṭ Tazāhum al-Maṣāliḥ hlm. 30, 44]
Kondisi keempat: salah satu pasien telah divonis tak akan bertahan hidup
Ahli fikih kontemporer berselisih pendapat dalam hal ini, di mana Al-Lajnah al-Dāimah bi Majma’ Fuqahā al-Syarī’ah bi Amrīka berpandangan, bahwa ketika menghadapi pasien yang telah divonis tidak akan bertahan hidup dengan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka pasien lain yang darahnya terjaga (ma’ṣūm al-dam) lebih diutamakan. Alasannya, sebagaimana dua hal yang serupa tidak boleh dibedakan, maka dua hal yang berbeda tidak boleh disamakan. [Maqāsid al-Syari’ah 3/38]
Sedangkan Syaikh as-Sariri, bahwa vonis semacam itu tidak bisa dijadikan pertimbangan untuk menghentikan penanganan/perawatan dan mementingkan pasien yang lain. Karena dalam kondisi demikian, jika penghentian itu dilakukan boleh jadi justru akan menzalimi pasien yang telah divonis itu, sehingga mementingkan pasien lain untuk ditangani setelah menghentikan penanganan terhadap pasien pertama merupakan bentuk kezaliman di atas kezaliman. [Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillah al-Mawārid al-Ṭibbiyyah]
Adapun Dr. Abrar Ahmad Hadi berpandangan apabila pasien yang divonis tersebut berstatus mahdur al-dam, darahnya tak terlindungi, maka boleh mendahulukan pasien yang lain. Jika tidak demikian, dalam artian pasien yang divonis tersebut berstatus ma’ṣūm al-dam, maka menurut beliau tidak boleh mengutamakan penanganan pasien yang lain atas pasien yang telah divonis tak akan bertahan hidup, karena tindakan tersebut merupakan kezaliman seperti yang telah dijelaskan. Kemudian boleh jadi ia bisa disembuhkan sehingga dengan menghentikan perawatan, justru akan menghilangkan haknya untuk hidup [al-Nawāzil al-Ṭibbiyyah al-Muta’alliqah bi Jaihah Kuruna al-Mustajad (COVID-19)].
Kondisi kelima: salah satu pasien adalah ibu hamil
Dalam hal ini, pasien ibu hamil lebih diutamakan daripada pasien yang lain karena melindungi dua jiwa lebih utama daripada melindungi satu jiwa. [Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillah al-Mawārid al-Ṭibbiyyah]
Kondisi keenam: semua pasien sangat membutuhkan; waktu tidak diketahui atau insiden lain
Kondisi keenam seluruh pasien setara dalam kebutuhannya terhadap penanganan, namun kedatangan pasien tidak bisa diidentifikasi; atau terjadi keributan dan pemaksaan sehingga tidak bisa mengidentifikasi kedatangan pasien.
Dalam hal ini boleh memutuskan dengan melakukan undian atau mengacu pada penilaian tim medis [Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillah al-Mawārid al-Ṭibbiyyah].
Kondisi ketujuh: melepas ventilator dari pasien yang datang lebih awal untuk digunakan oleh pasien yang datang belakangan
Ada dua keadaan dalam hal ini.
Keadaan pertama: Penggunaan ventilator tidak menunjukkan manfaat bagi pasien pertama (yang datang lebih awal), akan tetapi kehidupan pasien tersebut tetap bertahan dan stabil dengan perangkat tersebut. Kebutuhan terhadap perangkat itu sebagai wujud kehati-hatian, di mana jika perangkat itu dilepas tidak akan berujung pada kematian pasien tersebut.
Dalam kondisi ini dokter boleh melepas ventilator dari pasien pertama untuk digunakan oleh pasien berikut yang sangat membutuhkan ventilator dan/atau yang berpotensi kuat meninggal jika tidak diberi perawatan dengan menggunakan ventilator. Hal ini dalam rangka mempertimbangkan kriteria kebutuhan yang mendesak.
Dalam kondisi ini, kelangsungan hidup pasien pertama tetap tercapai dan tetap berpotensi selamat meski ventilator telah dilepas untuk digunakan pasien berikut yang sangat membutuhkan. Alasannya adalah karena pihak yang lebih membutuhkan diutamakan daripada pihak yang kurang membutuhkan; dan sesuatu yang dikhawatirkan terluput (dalam hal ini adalah nyawa pasien yang datang belakangan) lebih diutamakan daripada sesuatu yang tidak dikhawatirkan terluput (dalam hal ini nyawa pasien pertama). [Ḍawābiṭ Tazāhum al-Maṣālih hlm. 26 & 39]
Keadaan kedua: Pasien tak ada harapan untuk sembuh; atau kondisinya bertambah buruk dan tidak bisa diharapkan untuk pulih. Tanda-tanda kematian ada pada dirinya, namun jantung masih berdetak dan nafasnya masih kontinu dengan ditunjang ventilator. Melepas ventilator pada pasien ini akan berakibat kematiannya dan berpotensi kuat mengakibatkan kematian pasien lain yang datang belakangan dan juga membutuhkan ventilator.
Ahli fikih kontemporer saat ini memiliki beragam pandangan dalam menyikapi keadaan ini. Al-Lajnah al-Dāimah bi Majma’ Fuqahā al-Syarī’ah bi Amrīka, Majma’ al-Fiqh al-Islamiy, dan Syaikh as-Sariri berpandangan bahwa dalam kondisi ini boleh melepas ventilator yang digunakan oleh pasien yang datang lebih awal untuk digunakan oleh pasien yang datang belakangan berdasarkan kaidah,
درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح
“Menolak kerusakan lebih diprioritaskan daripada memperoleh kemaslahatan.” [Syarh al-Qawā’id al-Fiqhiyyah 1/165]
Sedangkan Dr. Anqawi berpendapat tindakan itu tidak diperbolehkan, karena melindungi nyawa merupakan salah satu bentuk penjagaan terhadap kebutuhan asasi (ḍarūriyāt) yang dijamin kesetaraannya bagi setiap kaum muslimin dalam agama ini. Rasulullah shallallāhu ‘alahi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ
“Darah kaum muslimin itu setara.” [HR. Abu Dawud no. 2751. Dinilai hasan shahih oleh al-Albani]
Dengan demikian, pelanggaran terhadap jiwa manusia tidak boleh dilakukan karena mementingkan jiwa yang lain.
Menurut Dr. Abrar Ahmad Hadi, dalam kondisi tersebut, melepas perangkat ventilator agar digunakan oleh pasien Covid19 lain yang kehidupannya bergantung pada ventilator, diperbolehkan jika sudah ada keputusan dari tim medis bahwa pasien yang lebih awal menggunakan telah dinyatakan meninggal secara hukum.
Dr. Abrar Ahmad Hadi menjelaskan lebih lanjut bahwa hukum ini dapat berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sehingga tidak berlaku umum untuk segala kondisi.
Kesimpulan beliau berangkat dari pemahaman bahwa jika dua kerusakan/bahaya saling bertentangan, maka yang dipertimbangkan adalah maslahat yang terbesar dengan menempuh bahaya/kerusakan yang lebih ringan. Dalam keadaan ini, manfaat penggunaan ventilator bagi pasien yang datang lebih awal bersifat dugaan, sementara manfaatnya bagi pasien yang datang belakangan pasti diketahui. Tentu suatu hal yang diketahui pasti lebih diutamakan daripada hal yang masih berupa dugaan. Dalam keadaan ini, kondisi pasien awal serupa dengan orang yang telah meninggal. [al-Nawāzil al-Ṭibbiyyah al-Muta’alliqah bi Jaihah Kuruna al-Mustajad (COVID-19)]
Kondisi kedelapan: pasien mengorbankan ventilator yang digunakannya
Dalam kondisi ini ada tiga keadaan.
Keadaan pertama: Pasien yang datang lebih awal merelakan ventilator yang digunakannya demi pasien lain karena ia tak membutuhkannya. Hal ini boleh dilakukan karena ia tak membutuhkan ventilator, sehingga kematian tidak dikhawatirkan terjadi pada dirinya.
Keadaan kedua: Pasien yang datang lebih awal merelakan ventilator yang digunakannya kepada pasien lain padahal mereka setara dalam kebutuhan. Dalam keadaan ini, hal itu tidak boleh dilakukan karena pada dasarnya jiwa adalah milik Allah dan manusia bertanggungjawab atas jiwa tersebut. Dengan alasan itu, Allah mengharamkan perbuatan menyakiti dan membahayakan nyawa sendiri. Apabila sikap mengorbankan kepentingan pribadi melanggar tujuan syari’at (maqāṣīd syar’iyyah), dalam hal ini menjaga jiwa, maka hal itu tidaklah dipandang sebagai tindakan yang terpuji menurut agama. [al-Muwāfaqāt 3/71]
Allah taala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [al-Nisā’: 29]
Allah taala juga berfirman,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” [al-Baqarah: 195]
Keadaan ketiga
Pasien yang datang lebih awal merelakan ventilator yang digunakannya bagi pasien lain yang datang belakangan, disertai ketidakmampuan mempertahankan ventilator tersebut untuk digunakan oleh pasien awal, sehingga bisa menyebabkan kematian keduanya. Dalam hal ini, pasien yang datang belakangan lebih diutamakan demi menolak salah satu bahaya/kerusakan timbul dengan melakukan salah satunya secara acak. Selain itu, dokter tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan pasien awal sedangkan syarat taklīf (pembebanan syari’at) adalah adanya kemampuan. [Durar al-Hukkām fi Syarh Majallah al-Ahkām 1/41, Tazāhum al-Huqūq ‘inda Qillati al-Mawārid al-Ṭibbiyyah]
Referensi: Artikel ini disadur dari al-Nawāzil al-Ṭibbiyyah al-Muta’alliqah bi Jaihah Kuruna al-Mustajad (COVID-19) karya Dr. Abrar Ahmad Hadi.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel: Muslim.or.id