Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)
Bismillah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata, “Dan dengan itulah (beribadah kepada Allah pent.) Allah perintahkan seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Penjelasan:
Apa yang disampaikan oleh penulis dalam risalah ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar bagi umat manusia. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ وَٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 21).
Hal ini juga ditegaskan di dalam ayat yang lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا
“Dan Rabbmu telah menetapkan; bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan hendaklah kalian berbuat baik dengan sebaik-baiknya kepada kedua orang tua” (QS. Al-Isra: 23).
Begitu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ’anhuma).
Hal ini juga semakin mempertegas bahwa asas semua ajaran para nabi adalah tauhid. Sebab tauhid inilah tujuan penciptaan jin dan manusia. Tidak ada seorang pun nabi yang diutus kecuali mendakwahkan tauhid dan memperingatkan dari bahaya syirik.
Kemudian, Syekh Rahimahullah melanjutkan,
“Apabila kamu telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya salat, tidak dinamakan salat kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik masuk ke dalam suatu ibadah, maka ibadah itu menjadi rusak, sebagaimana hadats yang menimpa pada thaharah.”
Penjelasan:
Dari keterangan beliau ini kita mendapatkan sebuah pelajaran berharga bahwa tidak semua ibadah itu bisa diterima. Sebab ibadah yang diterima adalah yang memenuhi syaratnya. Di antara syarat utama agar ibadah bisa diterima oleh Allah adalah ia harus dilandasi dengan tauhid. Tanpa tauhid, maka sebanyak apa pun amal tidak akan diterima.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar: 65).
Hal ini menunjukkan bahwa ibadah membutuhkan kepada akidah yang benar. Tanpa lurusnya akidah, maka amal ibadah dan ketaatan sebesar gunung sekali pun tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, setiap perintah beramal selalu disertai dengan larangan berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).
Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah untuk Allah semata. Tidak menujukan ibadah sekecil apapun kepada selain-Nya. Dalam risalah Ushul Tsalatsah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang Allah perintahkan adalah tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah.”
Maka tidak mengherankan apabila Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyusun buku khusus yang menyajikan pembahasan ilmiah mengenai tauhid ibadah ini yang telah diakui oleh para ulama mengenai keagungan dan faidahnya yang sangat besar, yaitu Kitabut Tauhid. Di dalamnya beliau menjelaskan berbagai kaidah pokok dalam tauhid dengan membawakan dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan beliau juga menjelaskan berbagai bentuk ibadah dan berbagai jenis perusaknya berupa syirik besar maupun syirik kecil.
Apabila seorang muslim begitu bersemangat menjaga salatnya agar tidak tertolak di hadapan Allah, maka tentu dia akan lebih bersemangat untuk menjaga tauhidnya agar ibadah-ibadahnya bisa diterima oleh Allah dan memasukkannya ke dalam surga. Kedudukan tauhid bagi amal ibadah sebagaimana thaharah bagi salat. Bahkan lebih penting daripada itu karena tauhid merupakan syarat diterimanya semua bentuk amal dan ketaatan hamba.
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pembahasan tauhid tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tazkiyatun nufus atau penyucian jiwa. Karena tauhid inilah sebab utama bersihnya hati seorang hamba. Bagaimana tidak? Sedangkan Allah mengutus rasul untuk membacakan kepada umatnya ayat-ayat Allah dan menyucikan jiwa mereka serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak bisa dipisahkan pembahasan tauhid ini dengan pengajaran nilai-nilai Al-Quran. Sebab pada hakikatnya semua bagian dari Kitabullah itu membicarakan tentang tauhid dari berbagai sudut pandang; sebagaimana diterangkan oleh para ulama kita.
Dan tidak berlebihan pula jika kita katakan bahwa tidak bisa dipisahkan pembahasan tauhid ini dengan pembahasan fikih dan sejarah Islam. Karena tauhid kepada Allah merupakan fikih yang terbesar di dalam agama Islam dan karena tauhid inilah para nabi dan rasul mengharumkan nama Islam dengan seruan dakwahnya. Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah Radhiyallahu’anhu).
Dan tidak pula berlebihan jika kita katakan bahwa pembahasan tauhid inilah bagian pokok di dalam pembuktian kecintaan seorang muslim kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam; karena tauhid inilah inti ajaran Islam yang beliau sebarkan. Lantas bagaimana mungkin seorang mengaku cinta kepada Rasul dan memuliakan beliau tetapi di saat yang sama justru jauh dari hakikat tauhid dan malah gandrung dengan berbagai bentuk pemberhalaan?!
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
“Katakanlah, ‘Jika kalian mengaku mecintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’” (QS. Ali-Imran: 31).
Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘Alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan (agama) akan bisa tegak berdiri di atasnya” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9).
Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16).
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ari Wahyudi
Sumber: https://muslim.or.id/69544-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-6.html