Peran dan Sikap Kyai dalam Berpolitik

Peran dan Sikap Kyai dalam Berpolitik

Kyai sebagai pengasuh Pesantren menjadi tokoh sentral, tidak saja sebagai pengelola Pesantren, tetapi Kyai juga sebagai tokoh dan panutan masyarakat Pesantren. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Kyai di Pesantren bagaikan Raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan penuh atas masyarakat yang memberikan mandat kepadanya.

Namun dalam dunia politik, ketokohan Kyai tidak bisa disamakan dalam posisinya sebagai tokoh Pesantren. Hal ini bukan karena Kyai tidak layak untuk menjadi panutan dalam berpolitik, tetapi dalam dunia politik, Pesantren menggunakan perspektif sunni, di mana kekuasaan adalah kewajiban kelompok (fardu kifayah), sehingga politik dijadikan sebagai wasilah/media bukan ghoyah/tujuan dalam rangka mencapai kemashlahatan ummat.

Partisipasi Politik Dalam Islam

Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata “partai” berasal dari bahasa Inggris “part” yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, sertatempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.

Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.

Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.

Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada simbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial. Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.

Peran Kyai dalam Partai Politik

Di tengah masyarakat Indonesia, tokoh agama atau kyai adalah sosok manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan, hormat, dan takut masyarakat itu tercipta karena kiai mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan damai di daerahnya. Bahkan seringkali mampu memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Malah penghormatan masyarakat tidak saja kepada sang kiai tetapi juga kepada anak kiai dan keluarganya.

Kiai politik bisa saja berbeda secara diametral dengan politik kiai. Mungkin saja seorang kiai politik sedang menjalankan misi politik kiai. Tetapi mungkin juga kiai politik lepas sama sekali dengan politik kiai. Misi ke-kiai-annya hilang karena ada kepentingan lain yang lebih menguntungkan, biasanya secara material. Kalau sudah sampai persoalan ini, maka semua tergantung kepada individu masing-masing kiai.

Dalam konteks ini, memposisikan kiai hanya sebagai penjaga dan pengawal moral bangsa tampaknya terlalu sederhana. Namun kiai tidak sebatas pada urusan moralitas semata. Kiai adalah manusia juga. Sebab kiai memang macam-macam dan macam-macam pula politiknya. Politik kiai dalam konteks ini bukan politik dalam pengertian partisan, yang tidak lebih dari sekadar berebut kursi dan kekuasaan, siapa memperoleh apa dengan cara bagaimana dan kapan, yang seringkali menimbulkan konflik. Politik kiai adalah politik dalam pengertian yang lebih luas, politik kebangsaan, politik bagaimana mengarifi kehidupan yang plural. Sehingga doktrin kiai adalah tasamuh, tawazun, dan ta’adul.

Politik kiai bukan siapa menguasai siapa dan siapa menguasai apa. Politik kiai adalah politik yang santun terhadap pluralitas. Sayangnya, doktrin politik kiai yang tasamuh, tawazun, dan ta’adul sering dimanfaatkan oleh kiai politik dan politisi pada umumnya untuk lebih memperkuat basis legitimasinya. Kasus pilkada di beberapa daerah menegaskan realitas tersebut. Lebih sayang lagi, setelah legitimasi diperoleh, kiai ditinggalkan begitu saja. Tetapi namanya kiai, tetap berjiwa besar dan tidak mendendam.

Politik Kyai di Indonesia

Bahasan tentang kyai di tengah politik orde baru tidak bisa lepas dari peran para kyai dalam medukung partai politik pada masa orde baru. Kyai sebagai sentral figur di pesantren mempunyai peran penting, tidak saja bagi civitas akademika pesantren tetapi juga masyarakat sekitar yang sehari-harinya bergaul dengan masyarakat pesantren.

Seringkali kyai pesantren menjadi bahan perebutan antar elite partai dalam memenangkan pemilu pada masa orde baru. Kyai tidak saja sebagai cultural broker sebagaimana disinyalir oleh Geertz, tetapi kyai juga bisa menjadi political activities. Karena sesungguhnya aktifitas politik merupakan bagian dari dakwah yang bisa dilakukan oleh seorang kyai di tengah-tengah masyarakatnya.

Mereka bisa menjadi simbol moral dalam melaksanakan tugas-tugas politik yang oleh banyak pihak disinyalir banyak terjadi kecurangan dan kelemahan. Sayangnya, fungsi-fungsi budaya dan politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. Para ulama’ yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan partainya sendiri di arena Pemilu. Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga banyak yang hanya menjadi corong pembenar kebijakan pemerintah.

Ulama’ yang hanya diam ketika terjadi kemungkaran di hadapannya, menurut al-Ghazali digolongkan sebagai ulama al-su’ (ulama yang buruk). Ulama jenis ini, biasanya bila berbicara atau mengeluarkan fatwa hanya sekedar basa-basi atau pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul keluar dari hati nurani dan berniat membela rakyat yang tertindas.

Terhadap fenomena politik, aktifitas dan suara kyai yang aktif di politik sangat dinanti masyarakat. Sebetulnya aktifitas para kyai dalam dunia politik, lebih bersifat fiqih oriented yang menekankan pada dakwah bil hal. Mereka akan buka suara sekeras-kerasnya dalam rangka menyampaikan amar makruf nahi munkar. Dalam persoalan wajib atau tidak mengikuti pemilihan umum legislatif dan pilpres, para ulama mendasarkan pada kaidah ma la yatimmu al-wajiib illa bihi fahwa waajib.

Kewajiban Berpolitik

Pemilihan umum adalah jembatan dalam memilih pemimpin dalam pemerintahan, sementara taat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban atas dasar teologis. Oleh karena itu dengan sendirinya pemilu adalah wajib hukumnya. Persoalan pemimpin mereka nantinya bisa bersikap adil atau tidak itu berkaitan dengan kewajiban-kewajiban seorang pemimpin negara, seperti yang disebutkan dalam kaidah lain, tasharruful imaam alaal-raiyyah manutun bi al-maslahah. Kewajiban pemilih hanya sampai memilih pemimpin yang adil dan kompeten. Bila dilihat secara normatif berpolitik merupakan salah satu bentuk realisasi keIslaman seseorang.

Pertama, dari aspek dakwah bil hal, berpolitik menempati urutan yang penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di era negara bangsa (nation state) sekarang ini kehidupan di tengah masyarakat tidak bisa lepas dari perilaku politik. Berbagai kebijakan kepemerintahan dari tingkat RT hingga tingkat kenegaraan, merupakan hasil kesepakatan yang diperoleh oleh lembaga politik. Oleh karena itu berpolitik merupakan salah satu upaya memasuki jaringan kekuasaan dan pemerintahan. Paling tidak lewat politik, umat Islam bisa ikut serta menetukan konsep dan perilaku kemasyarakatan dalam bentuk kebijakan publik.

Kedua, dalam fiqh siyasah dinyatakan bahwa persoalan yang pertama muncul setelah Nabi Muhammad meninggal dunia adalah persoalan politik kenegaraan atau khilafah. Siapa yang akan menggantikan Nabi baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala agama. Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa persoalan khilafah mempunyai kedudukan penting sebagai pengganti kenabian dengan fungsinya untuk melindungi agama dan mengatur urusan dunia (kharatsa al-diin wa siyasah al-duniya).

ISLAMKAFFAH