Peran dan Sikap Kyai dalam Berpolitik

Kyai sebagai pengasuh Pesantren menjadi tokoh sentral, tidak saja sebagai pengelola Pesantren, tetapi Kyai juga sebagai tokoh dan panutan masyarakat Pesantren. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Kyai di Pesantren bagaikan Raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan penuh atas masyarakat yang memberikan mandat kepadanya.

Namun dalam dunia politik, ketokohan Kyai tidak bisa disamakan dalam posisinya sebagai tokoh Pesantren. Hal ini bukan karena Kyai tidak layak untuk menjadi panutan dalam berpolitik, tetapi dalam dunia politik, Pesantren menggunakan perspektif sunni, di mana kekuasaan adalah kewajiban kelompok (fardu kifayah), sehingga politik dijadikan sebagai wasilah/media bukan ghoyah/tujuan dalam rangka mencapai kemashlahatan ummat.

Partisipasi Politik Dalam Islam

Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata “partai” berasal dari bahasa Inggris “part” yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, sertatempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.

Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.

Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.

Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada simbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial. Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.

Peran Kyai dalam Partai Politik

Di tengah masyarakat Indonesia, tokoh agama atau kyai adalah sosok manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan, hormat, dan takut masyarakat itu tercipta karena kiai mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan damai di daerahnya. Bahkan seringkali mampu memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Malah penghormatan masyarakat tidak saja kepada sang kiai tetapi juga kepada anak kiai dan keluarganya.

Kiai politik bisa saja berbeda secara diametral dengan politik kiai. Mungkin saja seorang kiai politik sedang menjalankan misi politik kiai. Tetapi mungkin juga kiai politik lepas sama sekali dengan politik kiai. Misi ke-kiai-annya hilang karena ada kepentingan lain yang lebih menguntungkan, biasanya secara material. Kalau sudah sampai persoalan ini, maka semua tergantung kepada individu masing-masing kiai.

Dalam konteks ini, memposisikan kiai hanya sebagai penjaga dan pengawal moral bangsa tampaknya terlalu sederhana. Namun kiai tidak sebatas pada urusan moralitas semata. Kiai adalah manusia juga. Sebab kiai memang macam-macam dan macam-macam pula politiknya. Politik kiai dalam konteks ini bukan politik dalam pengertian partisan, yang tidak lebih dari sekadar berebut kursi dan kekuasaan, siapa memperoleh apa dengan cara bagaimana dan kapan, yang seringkali menimbulkan konflik. Politik kiai adalah politik dalam pengertian yang lebih luas, politik kebangsaan, politik bagaimana mengarifi kehidupan yang plural. Sehingga doktrin kiai adalah tasamuh, tawazun, dan ta’adul.

Politik kiai bukan siapa menguasai siapa dan siapa menguasai apa. Politik kiai adalah politik yang santun terhadap pluralitas. Sayangnya, doktrin politik kiai yang tasamuh, tawazun, dan ta’adul sering dimanfaatkan oleh kiai politik dan politisi pada umumnya untuk lebih memperkuat basis legitimasinya. Kasus pilkada di beberapa daerah menegaskan realitas tersebut. Lebih sayang lagi, setelah legitimasi diperoleh, kiai ditinggalkan begitu saja. Tetapi namanya kiai, tetap berjiwa besar dan tidak mendendam.

Politik Kyai di Indonesia

Bahasan tentang kyai di tengah politik orde baru tidak bisa lepas dari peran para kyai dalam medukung partai politik pada masa orde baru. Kyai sebagai sentral figur di pesantren mempunyai peran penting, tidak saja bagi civitas akademika pesantren tetapi juga masyarakat sekitar yang sehari-harinya bergaul dengan masyarakat pesantren.

Seringkali kyai pesantren menjadi bahan perebutan antar elite partai dalam memenangkan pemilu pada masa orde baru. Kyai tidak saja sebagai cultural broker sebagaimana disinyalir oleh Geertz, tetapi kyai juga bisa menjadi political activities. Karena sesungguhnya aktifitas politik merupakan bagian dari dakwah yang bisa dilakukan oleh seorang kyai di tengah-tengah masyarakatnya.

Mereka bisa menjadi simbol moral dalam melaksanakan tugas-tugas politik yang oleh banyak pihak disinyalir banyak terjadi kecurangan dan kelemahan. Sayangnya, fungsi-fungsi budaya dan politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. Para ulama’ yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan partainya sendiri di arena Pemilu. Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga banyak yang hanya menjadi corong pembenar kebijakan pemerintah.

Ulama’ yang hanya diam ketika terjadi kemungkaran di hadapannya, menurut al-Ghazali digolongkan sebagai ulama al-su’ (ulama yang buruk). Ulama jenis ini, biasanya bila berbicara atau mengeluarkan fatwa hanya sekedar basa-basi atau pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul keluar dari hati nurani dan berniat membela rakyat yang tertindas.

Terhadap fenomena politik, aktifitas dan suara kyai yang aktif di politik sangat dinanti masyarakat. Sebetulnya aktifitas para kyai dalam dunia politik, lebih bersifat fiqih oriented yang menekankan pada dakwah bil hal. Mereka akan buka suara sekeras-kerasnya dalam rangka menyampaikan amar makruf nahi munkar. Dalam persoalan wajib atau tidak mengikuti pemilihan umum legislatif dan pilpres, para ulama mendasarkan pada kaidah ma la yatimmu al-wajiib illa bihi fahwa waajib.

Kewajiban Berpolitik

Pemilihan umum adalah jembatan dalam memilih pemimpin dalam pemerintahan, sementara taat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban atas dasar teologis. Oleh karena itu dengan sendirinya pemilu adalah wajib hukumnya. Persoalan pemimpin mereka nantinya bisa bersikap adil atau tidak itu berkaitan dengan kewajiban-kewajiban seorang pemimpin negara, seperti yang disebutkan dalam kaidah lain, tasharruful imaam alaal-raiyyah manutun bi al-maslahah. Kewajiban pemilih hanya sampai memilih pemimpin yang adil dan kompeten. Bila dilihat secara normatif berpolitik merupakan salah satu bentuk realisasi keIslaman seseorang.

Pertama, dari aspek dakwah bil hal, berpolitik menempati urutan yang penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di era negara bangsa (nation state) sekarang ini kehidupan di tengah masyarakat tidak bisa lepas dari perilaku politik. Berbagai kebijakan kepemerintahan dari tingkat RT hingga tingkat kenegaraan, merupakan hasil kesepakatan yang diperoleh oleh lembaga politik. Oleh karena itu berpolitik merupakan salah satu upaya memasuki jaringan kekuasaan dan pemerintahan. Paling tidak lewat politik, umat Islam bisa ikut serta menetukan konsep dan perilaku kemasyarakatan dalam bentuk kebijakan publik.

Kedua, dalam fiqh siyasah dinyatakan bahwa persoalan yang pertama muncul setelah Nabi Muhammad meninggal dunia adalah persoalan politik kenegaraan atau khilafah. Siapa yang akan menggantikan Nabi baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala agama. Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa persoalan khilafah mempunyai kedudukan penting sebagai pengganti kenabian dengan fungsinya untuk melindungi agama dan mengatur urusan dunia (kharatsa al-diin wa siyasah al-duniya).

ISLAMKAFFAH

Soal Pilihan Capres-Cawapres, Ingat Pesan Nabi Muhammad SAW Soal Persaudaraan

Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan perselisihan.

Sekarang masyarakat ada di momen tahun politik yang sering kali menimbulkan perselisihan di tengah-tengah mereka. Terkait hal ini, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umatnya agar senantiasa menjaga persaudaraan dan tidak saling bermusuhan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:

لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Janganlah saling mendengki, saling memarahi, mencari-cari isu, mencari-cari kesalahan; saling menipu. Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Muslim).

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (QS Al Hujurat ayat 10).

Perdamaian adalah rahmat, baik di dunia dan akhirat. Segala kerusakan di antara manusia, itu lebih besar dosanya ketimbang dosa besar yang dilarang oleh Rasulullah SAW.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis dan akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang memusuhi saudaranya. Maka dikatakan, ‘Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.'” (HR Muslim).

Bahkan, mendamaikan dua pihak yang berselisih itu merupakan bentuk sedekah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan perselisihan.” (HR Thabrani dan Al Bazzar).

Mantan Mufti Mesir Syekh Ali Jum’ah menjelaskan, ketenangan dan ketentraman di antara manusia adalah sesuatu yang membuat seorang hamba ada dalam rahmat Allah SWT, dan keridhaan-Nya.

“Allah SWT mengabulkan (doa) Anda, menolong Anda, menghilangkan kecemasan Anda, dan membuat Anda lapang dada. Maka terangilah hati, mintalah ampunan kepada Allah SWT dan tutupilah aib Anda,” tuturnya.

“Namun, jika Anda menerima kerusakan tersebut, di antara kamu dan saudaramu, maka Anda diabaikan Allah SWT. Permintaan Anda akan ditunda sampai kemudian bertobat dan mendamaikan apa yang ada di antara kamu dan saudaramu. Dan ini adalah perintah Rasulullah SAW kepada kita,” tambahnya.

ISLAMDIGEST

Potensi Prilaku Dosa Tanpa Sadar di Masa Kampanye Politik

Semakin dekatnya Pemilu 2024, potensi kita menebar bencana semakin besar. Kenapa demikian? Sebab dengan jari kita dengan mudah meracik hoaks, baik hasil ramuan sendiri maupun sebagai penyebar pelbagai propaganda dan berita hoaks. Terlepas kita sadar dari perbuatan dosa tersebut atau tanpa menyadari.

Akibat fanatisme dan kesukaan yang berlebihan terhadap calon yang dibela, apa saja mudah dilakukan tanpa sadar. Mencari kesalahan lawan, menebar hoaks dan fitnah untuk menjatuhkan lawan, dan beberapa prilaku yang tanpa sadar dilakukan.

Potensi perbuatan dosa itu lebih-lebih setelah dimulainya masa kampanye pada 28 November 2023. Sebab di era media sosial yang berkembang pesat seperti saat ini, jari memiliki peran yang sangat signifikan. Suatu aktifitas enteng namun memiliki resiko besar dalam sudut pandang agama apabila sampai terjebak pada memformulasi berita hoaks dan berbagai propaganda untuk kepentingan politik.

Allah mengingatkan kita akan hal ini. Dalam al Qur’an ditegaskan: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. (Yasin: 65).

Kondisi mulut terkunci tanpa bisa berkata apapun yang tergambar pada ayat di atas terjadi pada saat hari pembalasan, di mana semua perbuatan manusia di dunia dimintai pertanggungjawaban. Perbuatan baik dibalas pahala untuk menempati surga, sementara perbuatan dosa akan diganjar dosa dan digiring ke neraka.

Seperti termaktub dalam Tafsir Ibnu Katsir, pada hari kiamat mulut orang kafir dan orang munafik di kunci sehingga mereka tidak bisa ingkar terhadap kejahatan atau perbuatan dosa ketika di dunia. Yang berbicara pada saat itu adalah anggota-anggota badan yang mengakui segala perbuatannya di dunia tanpa bisa berdusta.

Dalam ayat yang lain Allah menguatkan: “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (An Nur: 24).

Selayaknya kita semua sadar akan hal ini. Permusuhan, saling hasut dan saling benci bisa terjadi dan bermula dari jari. Melalui berita hoaks yang diproduksi oleh orang atau kelompok tertentu, sementara kita ikut menyebarkannya. Jari kita membagikan berita yang berpotensi menciptakan kesemrawutan dan kekisruhan.

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, tingginya tensi dan hiruk pikuk politik menjadi tantangan sendiri bagi kehidupan beragama kita, juga kehidupan berbangsa dalam bingkai kerukunan umat. Hal ini patut menjadi renungan kita bersama. Demokrasi membuka kran kebebasan memilih dan dipilih namun tidak berarti kebebasan tersebut boleh menghalalkan segala cara. Apalagi sampai mengorbankan norma dan mengangkangi ajaran agama.

ISLAMKAFFAH

Waspada! Politik Identitas Jelang Pemilu 2024

Politik identitas jelang Pemilu 2024 termasuk sesuatu yang berbahaya dalam alam demokrasi. Aura kehangatan pesta rakyat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang kian terasa kuat. Akhir-akhir ini masyarakat telah disodorkan sejumlah fenomena politik masa kini. 

Bahkan nama-nama sejumlah calon bakal pemimpin sudah tersebar luas di kalangan media maupun rakyat, mulai dari kampanye, pemasangan pamflet, dan lain sebagainya menjadi penanda akan berlangsungnya Pemilu. 

Terlepas dari serentetan peristiwa tersebut ada isu menarik yang sering kali dijadikan perdebatan masyarakat kita, yakni terkait politik identitas. Menariknya lagi ceramah-ceramah bermuatan politik identitas justru sering dijadikan sarana kampanye di Indonesia, ini bahaya loh sahabat muslim!

Apa Itu Politik Identitas?

Pembahasan politik identitas memang selalu asik diperbincangkan di Indonesia. Politik identitas memiliki makna sebagai alat politik dari suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. 

Melihat dari tafsiran tersebut sebenarnya aspek-aspek politik identitas ini sudah ada sejak lama, konsekuensinya pun dapat kita rasakan bersama. Apalagi ketika bentuk politik identitas dijadikan sebagai titik kumpul salah satu kelompok, yang terselubung dalam kepentingan pribadi pihak partai. 

Realitanya sering kali dalam hal ini elit politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Fakta Kerancuan Politik Identitas

Fenomena politik identitas dengan populisme agama menjadi ladang ranjau demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak kompeten. Politik identitas mengarah pada kepercayaan umum bahwa orang yang tidak memiliki identitas yang sama dengan Anda tidak pantas menjadi pemimpin. 

Hal ini tentu saja berimplikasi pada hilangnya persamaan hak bagi minoritas dalam pemerintahan negara, khususnya di bidang pemilu dan pilkada. Dan dikhawatirkan lambat laun akan merusak demokrasi.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa pengaruh politik identitas begitu besar. Tentu saja, berdampak langsung bagi kita. Seperti banyak isu politik yang dikaitkan dengan SARA di sejumlah media sosial. Hal tersebut tentu saja berbahaya karena bisa menimbulkan opini publik yang memicu perpecahan antar umat beragama. 

Dari pengalaman tersebut, tidak menutup kemungkinan isu seputar politik identitas ini akan muncul kembali pada Pilkada 2024 mendatang. Peristiwa masa lalu menawarkan peluang yang sangat baik untuk terus bergema dengan kelompok radikal demi keuntungan pribadi. 

Begitu pula dengan kelompok yang pada prinsipnya ingin memisahkan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus melek isu politik dan menjauhi segala macam bentuk dari politik identitas.

Dampak Negatif dari Politik Identitas

Lantas apa dampak dari politik identitas itu sendiri? Kemunculan tema populisme mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Memanfaatkan isu agama untuk mendapatkan dukungan politik merupakan celah besar yang dapat ditimbulkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tujuannya tak lain adalah ingin memecah belah Indonesia. 

Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkannya akan sebabkan turunnya semangat persatuan dan kesatuan, bahkan meningkatkan kemungkinan terjadinya polarisasi masyarakat hingga elit politik. 

Politik identitas juga dapat menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia mengingat pluralitas masyarakatnya.

Jika populisme dalam politik identitas semakin kuat, tidak akan ada lagi keadilan sosial, tidak akan ada persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan tidak akan ada kebebasan bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.

Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga menimbulkan perpecahan antar kelompok agama di Indonesia. Kuatnya tekanan kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung memiliki dampak negatif bagi pemeluk agama lain. Penganut agama minoritas merasa terdiskriminasi, sehingga menimbulkan perpecahan antar umat beragama.

Islam dalam Memandang Politik Identitas

Sejak jaman Rasulullah SAW dan para sahabat antara politik dan agama memang sangat erat kaitannya. Karna dasarnya syariat agama dijadikan sebagai kontroling dalam menjalankan politik ketata negaraan. Berikut diantaranya antara ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan politik identitas :

Al-Qur’an mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. Ali ‘Imran/3:159).

Selain itu dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah (5:8) dijelaskan di dalamnya Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sungguhpun umat Islam terlibat sebagai subyek atau objek dalam persoalan tersebut. Rasa keadilan tidak boleh dikorbankan oleh keinginan subyektif.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah/5:8).

Al-Qur’an juga samasekali tidak menolerir pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan, sesuci apapun tujuan itu. Tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya.

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Baqarah/2:195).

Seyogianya kedepannya kita harus lebih berhati-hati dalam memilah informasi, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH