Petrus Venerabilis yang menyimpulkan Islam sekte terkutuk membentuk, membiayai sekaligus membuat tim menerjemahkan karya untuk misionaris Kristen berinteraksi dengan kaum Muslimin, yang ujungnya lahir studi Islam di Barat
Oleh: Adnin Armas
Hidayatullah.com | PETRUS (Peter 1094-1156) adalah seorang tokoh terkemuka Gereja Katolik Roma (the Roman Catholic Church) pada ‘zaman pertengahan Barat.’ Sekalipun usianya baru tujuh belas tahun (1111), Petrus diangkat sumpah sebagai seorang pendeta dalam sebuah biara di Sauxillanges, Prancis.
Tiga tahun setelah itu, ia menjadi rahib di biara Vézelay. Kemudian dia berpindah ke biara Domene. Pada usianya yang ketiga puluh (1124), Petrus diangkat sebagai “Bapak” (Abbot) Cluny di Prancis. Cluny adalah Gereja yang paling berpengaruh di Kristen Eropa pada ‘zaman pertengahan Barat.’
Disebabkan kualitas yang dimilikinya, Petrus digelar dengan the Venerable (yang terhormat). Petrus Venerabilis (Peter the Venerable) yang dikenal juga sebagai Pierre Maurice de Montboissier meninggal di Cluny (sekarang lokasinya di Mâcon, Prancis) pada tanggal 25 Desember 1156.
Merintis studi Islam di Barat
Sekitar tahun 1141-1142, Petrus Venerabilis berkunjung ke Toledo, Spanyol. Kedatangannya untuk mengkaji Islam secara serius.
Petrus memulainya dengan membentuk, membiayai sekaligus menugaskan sebuah tim yang akan menerjemahkan karya berseri dan bisa dijadikan landasan bagi para misionaris Kristen ketika berinteraksi dengan kaum Muslimin. Robert dari Ketton (Inggris), yang merupakan salah seorang anggota tim penerjemah yang dibentuk Petrus, menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin.
Disebabkan kualitas yang dimilikinya, Petrus digelar dengan the Venerable (yang terhormat). Petrus Venerabilis (Peter the Venerable) yang dikenal juga sebagai Pierre Maurice de Montboissier meninggal di Cluny (sekarang lokasinya di Mâcon, Prancis) pada tanggal 25 Desember 1156.
Merintis studi Islam di Barat
Sekitar tahun 1141-1142, Petrus Venerabilis berkunjung ke Toledo, Spanyol. Kedatangannya untuk mengkaji Islam secara serius.
Petrus memulainya dengan membentuk, membiayai sekaligus menugaskan sebuah tim yang akan menerjemahkan karya berseri dan bisa dijadikan landasan bagi para misionaris Kristen ketika berinteraksi dengan kaum Muslimin. Robert dari Ketton (Inggris), yang merupakan salah seorang anggota tim penerjemah yang dibentuk Petrus, menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin.
Hanya menjelang akhir abad ke-17, tepatnya pada tahun 1698, terjemahan Robert sudah tidak digunakan lagi. Sebabnya, Ludovico Marracci (1612-1700), seorang Pendeta Italia yang mengkaji Al-Qur’an selama 40 tahun, telah menerjemahkan Al-Qur’an sekali lagi ke dalam bahasa Latin dengan judul Alcorani Textus Receptus (Teks Al-Qur’an yang Standart).
Ludovico Marracci mencatat serta merevisi berbagai kelemahan terjemahan Robert. (Lihat Hartmut Bobzin, “A Treasury of Heresies”: Christian Polemics against the Koran, dalam The Qur’an as Text, editor Stefan Wild, Leiden: E. J. Brill, 1996).
Motif Petrus Venerabilis mengkaji Islam adalah untuk “membaptis pemikiran kaum Muslimin.” Dalam pandangannya, kaum Muslimin perlu dikalahkan bukan saja dengan ekspedisi militer, namun juga dengan pemikiran.
Berbeda dengan sikap para tokoh terkemuka Katolik yang memprovokasi semangat tempur Laskar Kristus dalam Perang Salib periode kedua (1145-1150), Petrus Venerabilis menyatakan:
“Kelihatannya aneh, dan mungkin memang aneh, aku, seorang manusia yang yang sangat berbeda tempat dari kamu, berbicara dengan bahasa yang berbeda, memiliki suasana kehidupan yang terpisah dari suasana kehidupanmu, asing dengan kebiasaanmu dan kehidupanmu, menulis dari jauh di Barat kepada manusia yang tinggal di tanah-tanah Timur dan Selatan. Dan dengan perkataanku itu, aku menyerang mereka yang aku tidak pernah melihat, orang yang mungkin aku tidak pernah lihat. Namun aku menyerangmu bukan sebagaimana sebagian dari kami [orang-orang Kristen] sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan akal; bukan dengan kebencian, namun dengan cinta… aku sungguh mencintaimu, aku memang menulis kepadamu, aku mengajakmu kepada keselamatan.” (Dikutip dari James Kritzeck, “Robert of Kettons’ Translation of the Qur’an, The Islamic Quarterly No. 2 tahun 1955).
Untuk mendapatkan sokongan atas usaha intelektualnya, Petrus Venerabilis mengirim surat kepada Bernard dari Clairvaux (±1090-1153), seorang tokoh terkemuka Gereja Katolik di Prancis yang memainkan peran penting dalam Perang Salib. Dalam suratnya kepada Bernard dari Clairvaux (Epistola Petri Cluniacensis ad Bernardum Caraevallis), Petrus Cluny menyatakan sekiranya apa yang dilakukannya dianggap tidak berguna, karena senjata untuk mengalahkan musuh (Islam) bukan dengan pemikiran, namun kerja-kerja ilmiah seperti itu tetap akan ada manfaatnya. Jika orang-orang Islam yang sesat tidak bisa diubah, maka sarjana Kristen akan bisa menasehati orang-orang Kristen yang lemah imannya. (Lihat Maxime Rodinson, “The Western Image and Western Studies of Islam,” dalam The Legacy of Islam, editor Joseph Schacht dengan C. E. Bosworth, Oxford: Oxford University Press, edisi kedua, 1974).
Sekalipun pada zamannya usaha Petrus Venerabilis tidak mendapat sambutan, namun perjalanan waktu justru menunjukkan cita-citanya menjadi kenyataan. Kini, setelah kurang lebih 850 tahun kematiannya, para calon intelektual Muslim banyak yang belajar mengenai Islam (Islamic Studies) dari orang-orang Kristen. Petrus dengan kerja-kerja ilmiah bukan saja telah memprakarsai ketertarikan sarjana Kristen kepada studi Islam, bahkan telah ‘menaklukkan pemikiran’ sebagian sarjana Muslim yang lemah iman dan kurang ilmu.
Petrus venerabilis dan pemikiran Islam
Selain menugaskan para sarjana Kristen untuk menerjemahkan teks-teks Arab yang penting, Petrus Venerabilis sendiri menulis mengenai Islam. Karyanya mengenai Islam ada dua: Summa Totius Haeresis Saracenorum (Semua Bid’ah Tertinggi Orang-Orang Islam) dan Liber contra sectam sive haeresim Saracenorum (Buku Menentang Cara Hidup atau Bid’ah orang-orang Islam).
Dalam karyanya Summa, Petrus Venerabilis menghujat pandangan Islam mengenai Tuhan, Isa as., Rasulullah ﷺ, Qur’an, penyebaran Islam dan menamakan Islam sebagai Kristen yang sesat (Islam as a Christian heresy). (Lihat Dikutip dari Allan Cutler, “Petrus the Venerable and Islam,” Journal of the American Oriental Society 86:1966).
Pendapat Petrus mengenai Islam berasal dari beberapa sarjana Kristen pendahulunya yang menetap di Spanyol dan beberapa karya anggota tim penerjemah yang dibentuknya. Gagasan Petrus mengenai Al-Qur’an berdasarkan kepada karya anggota tim penerjemah, yaitu Petrus dari Toledo (Petrus Toletanus) yang telah menerjemahkan karya Risalah ‘Abd allah ibn Ismail al-Hashimi ila ‘Abd al-Masih ibn Ishaq al-Kindi wa risalat al-Kindi ila al-Hashimi (Surat ‘Abdullah ibn Ismail al-Hashimi kepada Abdul Masih al-Kindi dan Surat al-Kindi kepada al-Hashimi) ke dalam bahasa Latin pada tahun 1141 dengan judul Epistula Saraceni et Rescriptum Christiani (Surat Seorang Muslim dan Jawaban Seorang Kristen).
Mengulangi pendapat Abdul Masih al-Kindi (nama samaran), Petrus Venerabilis menyatakan Al-Qur’an tidak terlepas dari peran setan. Dalam pandangannya, ketika Mohammed menyangkal Kristus adalah Tuhan atau Anak Tuhan, maka sangkalan itu merupakan rancangan setan (diabolical plan). Setan telah mempersiapkan Mohammed, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim seorang informan kepada Mohammed, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture).
Petrus Venerabilis menyimpulkan Islam adalah sekte terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious) dan sekte terlaknat (a damnable sect) dan Mohammed adalah orang jahat (an evil man). (Lihat Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, “Popular Attitudes Towards Islam in Medieval Europe” dalam Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, editor Michael Frasseto and Davis R. Blanks, New York: St. Martin’s Press, 1999).
Oleh sebab itu, Petrus mengajak orang-orang Islam ke jalan keselamatan karena dalam keyakinannya tidak ada keselamatan di luar Gereja (extra ecclesiam nulla salus). Saat ini, motif ‘zaman pertengahan’ memang sudah tidak banyak digunakan oleh para orientalis/Islamolog kontemporer. Pendekatan yang digunakan orientalis kontemporer dalam studi Islam adalah dengan menggunakan kajian kritis-historis.
Bagaimanapun, kajian kritis-historis tersebut juga tidak terlepas dari pengalaman pandangan hidup Kristen terhadap agamanya. Jadi, paradigma ‘zaman pertengahan’ dengan zaman kontemporer tetap sama, yaitu mengkaji Islam tetap dalam perspektif pandangan hidup Kristen, padahal sebenarnya Islam memiliki pandangan hidupnya tersendiri, yang berbeda bahkan bertentangan dengan pandangan hidup agama lain.*
Oleh: Adnin Armas
Penulis buku “Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an”. Artikel diambil dari laman INSISTSnet