PRU (Pilihan Raya Umum) ke-15 di Malaysia tahun lalu, mempertontonkan kentalnya isu politik identitas di negara jiran itu. CIJ [The Center for Independent Journalism) Malaysia mencatat; sepanjang tempo masa kampanye sampai beberapa hari setelah PRU (20 Oktober hingga 26 November 2022), terdapat 91.417 postingan berbau politik identitas. Angka-angka itu merupakan kalkulasi dari temuan 66.933 postingan unsur etnis ditambah 24.484 postingan memuat isu agama.
CIJ menghimpun data itu setelah memantau berbagai platform yang dimanfaatkan selama PRU. Pantauan juga dilakukan terhadap media sosial seperti tiktok, facebook, twitter dan tiktok. Sialnya ditemukan; penabur utama tajuk politik identitas di berbagai platform itu adalah para politisi.
Populernya tajuk politik identitas pada PRU 15 itu menegaskan kembali catatan polarisasi masyarakat di Malaysia, setelah sempat mereda pada PRU sebelumnya; tahun 2018. Faktor pengiring bergulirnya kembali bola panas politik identitas pada PRU itu adalah penurunan batas umur pemilih menjadi 18 tahun untuk pertama kali. Faktor itu berjalan seiring dengan terampilnya generasi belia dalam menyetel medsos seperti Tiktok.
Peserta PRU 15 di Malaysia
PRU di Malaysia sama seperti Pemilu (Pemilihan Umum) di Indonesia, instrumen demokrasi yang diserahi mandat menyeleksi wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Bedanya, PRU di Malaysia menggunakan sistem distrik (single-member constituency), dimana sebuah partai politik atau koalisi partai politik hanya meletakkan satu calon untuk satu daerah pemilihan. Sementara Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional (multi-member constituency), partai politik menyerahkan sederet daftar nama calon untuk satu daerah pemilihan.
Dalam sistem sistem pemilihan distrik, rivalitas antar partai politik atau koalisi partai politik mencolok benar. Partai politik menjadi faktor penting pengunci kemenangan. Diatas tajuk-tajuk besar yang diperkenalkan partai politik itulah, masing-masing calon memainkan peranan menyabet dukungan pemilih.
Sejak awal pengumuman PRU, 20 Oktober tahun lalu, tiga koalisi besar partai politik mendominasi lajunya tajuk-tajuk populer masa kampanye di seluruh Malaysia. Gabungan pertama BN (Barisan Nasional), kedua PN (Perikatan Nasional), ketiga PH (Pakatan Harapan). Kecuali itu, Negara Bagian Serawak punya corak politiknya sendiri.
Koalisi partai politik BN merupakan koalisi berbasis etnis. Kita bisa lihat itu dari nama-nama partai politik yang menyertai koalisi ini; UMNO singkatan dari United Malays National Organisation, partai MIC singkatan dari Malaysian Indian Congress, partai MCA singkatan dari Malaysian Chinese Association. Koalisi ini telah memerintah Malaysia selama enam dekade sejak merdeka.
Koalisi partai politik PN merupakan koalisi baru yang dibentuk setelah krisis politik di Malaysia pada tahun 2020. Koalisi ini dipimpin oleh dua partai besar; PAS (Partai Islam Se-Malaysia) dan PPBM (Partai Pribumi Bersatu Malaysia). Koalisi ini berhasil mendudukkan Muhyiddin Yassin menjadi Perdana Menteri Malaysia kedelapan selama 18 bulan (Maret 2020 – Agustus 2021).
Tajuk yang diserakkan oleh simpatisan koalisi itu selama PRU 15 adalah Melayu-Islam. Meskipun di dalam koalisi itu terdapat partai politik yang didominasi etnis China; Partai Gerakan Rakyat Malaysia. Tetapi partai itu terlihat seperti melukut di tepi gantang dalam koalisi tersebut.
Sedangkan koalisi partai politik PH melabeli diri sebagai penggasak politik identitas (populer disebut politik perkauman di Malaysia). Koalisi ini dipelopori tiga partai besar; PKR (Partai Keadilan Rakyat), DAP (Demokratic Action Party), dan PAS (Partai Amanah Negara). Koalisi ini diejek sebagai liberal dalam beberapa rujukan seputar PRU 15.
Politik Identitas dan Golnya
Tajuk kerusuhan 13 Mei 1969, menjadi populer selama PRU 15 di Malaysia. Berdasarkan pantauan media Malaysia AstroAwani.com, tajuk itu sengaja dipromosikan oleh beberapa akun di TikTok. Konten itu berhasil mendulang ratusan ribu pemutaran.
Kerusuhan 13 Mei 1969 merupakan kerusuhan melibatkan etnis Melayu dan China di Kuala Lumpur, Malaysia. Peristiwa itu menelan ratusan korban. Kerusuhan tersebut berakar pada suatu peristiwa politik setelah PRU di masa lalu.
Apapun niat awal konten itu dinaikkan, pada tahap tertentu telah digunakan untuk memantik api politik identitas. Karena kerusuhan 13 Mei 1969 itu, berawal dari keberhasilan pertama partai politik China menggembosi dominasi partai politik UMNO dan koleganya di Parlemen Malaysia. Sekalipun UMNO tetap keluar sebagai pemenang PRU kala itu.
Sentimen tentang kecemasan kejadian itu berulang, diapikan berbarengan dengan sentimen kecemasan hilangnya kekuasaan politik Melayu-Islam di Malaysia. Tujuannya untuk menggasak partai politik yang bekerja sama dengan partai dominasi etnis China. Meskipun masing-masing gabungan, bekerja sama dengan setidaknya satu partai politik dominasi etnis China.
Sasaran yang diserbu sebenarnya para pemilih belia, yang pertama kali menggunakan hak pilihnya, setelah parlemen Malaysia menurunkan batas minimal umur pemilih dari 21 tahun menjadi 18 tahun, pada tahun 2019. Jumlah mereka tercatat sebanyak 4 juta dari 21,1 juta pemilih. Hampir seluruh mereka menggunakan aplikasi TikTok.
Usaha tersebut bekerja dengan baik, PRU 15 itu dilabeli sebagai “PRU TikTok” sebagaimana direkamkan media Malaysianow.com. Meskipun PRU 15 berakhir dengan tidak ada koalisi partai politik yang mendominasi kursi Parlemen Malaysia. Sehingga harus dibentuk sebuah pemerintahan campuran di Malaysia pada penghujung tahun lalu.
Meskipun PRU telah berakhir, hujatan-hujatan berbau agama dan etnis masih terus marak di berbagai media sosial rakyat Malaysia. Jika ketika PRU sengaja diproduksi oleh oknum politisi untuk meloloskan maksudnya, ujaran kebencian itu setelah PRU diproduksi secara natural.
Saya mengikuti secara virtual dua buah live kajian umum di Malaysia lewat kanal Youtube, pada awal tahun ini. Ketika menyimak kuliah umum itu, saya harus menutup kolom komentar. Kolom komentar yang berisi cacian sentimen agama dan etnis tanpa ujung, sangat mengganggu kekhusyukan. Padahal kajian umum itu disampaikan Syekh Ali Jum’ah bersama Habib Umar, satunya lagi Syekh Yusri Jabr al-Hasani. Ulama-ulama ini tidak ada kaitannya dengan PRU 15 itu.
Akhirnya
Pertama; wilayah Indonesia yang luas dan dihuni oleh lebih dari 622 suku-suku besar, memperlambat laju politik identitas berbau etnis. Nyatanya memang tidak ada partai politik nasional yang memperjuangkan kepentingan etnis tertentu.
Tetapi dengan sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia, isu etnis berpeluang menjadi agenda oknum kader partai. Karena kompetitor dalam sistem pemilu proporsional terbuka tidak hanya kader partai lain, kader partai yang sama dalam satu daerah pemilihan adalah kompetitor juga.
Kedua; politik identitas bertajuk agama berpeluang dijadikan agenda terselubung oleh partai politik tertentu, seperti pemilu 2019 lalu. Jika isu di Malaysia adalah ketertindasan Melayu-Islam, di Indonesia isunya ketertindasan orang Islam. Modalnya bisa jadi sentimen kecemasan terhadap kebangkitan komunis, faktor ekonomi yang didominasi non-muslim keturunan Tionghoa.
Ketiga; sentimen politik identitas itu seperti api dalam sekam, pada waktunya kobarannya bisa tidak terkendali. Tentu kita tidak ingin terulang tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menyasar etnis Tionghoa sebagai korban. Efek dari sentimen anti-China yang ditabur beberapa tahun sebelum itu.
Keempat; penggunaan media sosial seperti TikTok, Twitter, Youtube dan WhatsApp sebagai alat kampanye telah dimulai. Penyebaran sentimen politik identitas lewat media tersebut, ekonomis dan efisien untuk menjangkau pemilih muda. Kasus PRU 15 di Malaysia harus kita ambil jadi pengajaran di pemilu 2024.
Kelima; yang seharusnya kita dengar dari politisi adalah visi bernegara yang lebih baik, bukan kobaran kecemasan atas nama agama, etnis, ras, atau kelompok. Mengutip Buya Syafii, pragmatisme politik yang tuna moral dan tuna visi adalah lahan subur politik identitas. Ketika pemodal menyerakkan uang pembeli suara rakyat, pada saatnya politisi melarat akan mengapikan sentimen politik identitas.