Mengatasi Wajah Janus Politik Identitas

Politik identitas membingungkan. Tidak hanya dalam tataran praktik. Namun juga dalam ranah konsep. Sebagian kalangan, menilai bahwa politik identitas adalah sesuatu yang wajar. Absah. Bahkan niscaya untuk diperjuangkan. Sebaliknya, sebagian yang lain, menyakini politik identitas adalah bahaya. Virus dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih, bagi bangsa yang multi identitas. Di titik inilah, kita menemukan wajah janus politik identitas.

Dalam mitologi Yunani, Janus digambarkan sebagai dewa bermuka dua. Menghadap ke arah yang berlawanan. Satu muka menunjukkan optimisme, harapan perubahan dan masa depan. Satu mukanya lagi pesimisme, keraguan, kegalauan, kesuraman yang meyimbolkan situasi tak menyenangkan. Analogi ini, tidak jauh berbeda dengan politik identitas. Dalam artian, politik identitas memiliki dua sisi. Dilihat sebagai sesuatu yang wajar, bahkan niscaya. Di sisi lain, dianggap tidak wajar dan destruktif.

Dalam kajian ilmu politik, paradoksal politik identitas ini erat kaitannya dengan definisi politik itu sendiri. Di awal kemunculannya, politik adalah upaya mengatur kehidupan bersama. Sesuai akar kata politik dari kata polis. Dalam bahasa Yunani, polis diartikan sebagai kota. Karena itu, pengetahuan dan upaya mengatur kehidupan kota (polis) yang baik, disebut sebagai politik. Pandangan positif terhadap politik ini dapat mudah ditemukan dalam pemikiran filsuf Yunani kuno. Semisal Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Di era berikutnya, pemikir Barat menawarkan makna lain. Arti yang relatif bertolak belakang. Melihat sisi negatif wajah politik. Tokoh yang mudah dirujuk adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527). Bagi Machiavelli, dalam dunia politik, wajar adanya menghalalkan segala cara. Yang penting kekuasaan dapat diraih dan dipertahankan.

Lebih mutakhir lagi, Harold D. Lasswell mendefinisikan politik sebagai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how). Politik tidak lain adalah berebut kekuasaan.

Ditambah lagi, dalam kajian ilmu sosial, identitas dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada diri seseorang (identity is the fact of being or feeling that you are). Baik yang berkaitan dengan dengan latar belakang suku, agama, ras, ataupun golongan. Karena itu, seseorang tidak mungkin hidup tanpa identitas. Lebih dari itu, identitas ini yang mempengaruhi cara pandang dan tindakannya. Termasuk memperjuangkannya.

Kajian politik identitas dalam ilmu politik menarik banyak pihak setelah disimposiumkan. Tepatnya adalah pertemuan internasional Asosiasi Ilmuan Politik Internasional di Wina pada 1994. Agnes Haller (1995) memaparkan definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah pada perbedaan (difference) sebagai suatu kategori perjuangan politik.

Tidak jauh berbeda, Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai aktivitas politis yang didasarkan pada identitas. (Cressida Heyes, 2007). Dengan kata lain, politik identitas adalah politik yang mengedepankan kepentingan suatu kelompok. Terikat dengan kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasis ras, etnisitas, gender, atau agama.

Dari tilikan ini, tidak aneh jika politik identitas memiliki wajah ganda. Wajah janus politik identitas, di satu sisi, dipahami sebagai kewajaran. Memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masing-masing kelompok. Di satu sisi, politik identitas dianggap merusak, karena memiliki potensi benturan antar satu identitas dengan identitas lainnya.

Wajah Positif Politik Identitas

Perjuangan identitas adalah bagian dari perjuangan kemanusiaan. Dimana satu identitas, secara faktual tertindas. Ditambah lagi, tidak sedikit doktrin agama yang menentang kesewenang-wenangan. Sejarah mencatat adanya tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang.

Bahkan, agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan despotik. Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah contoh sejarah dimana agama telah melakukan fungsi kritisnya. Agama menjadi medium kritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan.

Politik identitas (agama) dalam konteks sejarah Indonesia mengalami pasang surut. Relasi agama dan politik dapat dibagi menjadi 4 zaman; Kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Revormasi. Pada masa Kolonial, agama berperan ganda; sebagai legitimasi kolonialisme sekaligus kritik sosial. Banyak tokoh agama yang bekerja dengan pemerintah kolonial. Tetapi pada saat yang bersamaan, juga banyak di antara mereka yang menjadi pengkritik dan melawan kolonial.

Pada zaman Orde Lama, Presiden Sukarno di satu sisi mengakomodasi tokoh-tokoh muslim Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Masyumi. Bahkan tokoh dari organisasi ini terjun ke dalam politik praktis. Yakni dengan mendirikan partai politik. Di sisi lain, pemerintah juga tegas melakukan tindakan militer terhadap DI/TI, NII, dan lainnya.

Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto tidak melirik kelompok Islam meskipun pada awalnya mereka digandeng untuk mengantarkan jalan kekuasaan. Dalam perjalanannya, Islam politik tidak banyak diberi ruang. Stabilitas politik untuk pembangunan diutamakan. Pancasila sebagai asas ideologi tunggal diterapkan.

Selain itu, Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik “melirik” Islam dengan menggaet kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer.

Pada Era-Revormasi, keran kebebasan dibuka kembali lebar-lebar. Indonesia menjadi bebas. Salah satu konsekuensinya ialah lahirlah partai-partai berbasis agama. Masing-masing mengonsolidasikan kekuatan politik identitas mereka.

Di kalangan umat Islam misalnya, Deliar Noer menghendaki didirikannya partai Islam. Partai yang menampung aspirasi umat. Didukung oleh beberapa aktivis Islam, akhirnya didirikan Partai Umat Islam (PUI). Kalangan Islam tradisionalis, yakni Nahdlatul Ulama (NU) memelopori berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dapat disebut lahir dari rahim tokoh-tokoh NU, khususnya KH. Abdurrahman Wahid.

Demikian pula dengan lahirnya partai-partai agama lainnya, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Dari empat periodesasi ini, Islam menjadi identitas perjuangan politik. Namun, disalurkan dan diperjuangakan dalam koridor konstitusi.

Didasarkan pada Pancasila dan UUD 45 dalam bingkai NKRI. Dalam konteks ini, identitas Islam yang diperjuangkan dalam ranah politik dianggap wajar adanya. Tidak terbilang, tokoh-tokohnya memegang jabatan strategis. Mulai dari wilayah legislatif, eksekutif, hingga yudikatif.

Wajah Negatif Politik Identitas

Jika dilihat secara seksama, di awal berdirinya Republik Indonesia, politik identitas juga telah memberikan pelajaran berharga. Dimana identitas Islam digunakan sebagai basis melawan pemerintahan yang sah. DI/TI, NII, pemberontakan Daud Beureueh, dan Kahar Mudzakar adalah contah nyata. Sesama anak bangsa harus saling menumpahkan darah.

Tragedi sesama anak bangsa kembali terulang di kisaran tahun 1965. Kubu komunis, islamis, dan nasionalis saling angkat senjata. Tak terhitung, korban nyawa dipertontonkan. Dengan bentuk yang berbeda, Pilkada DKI Jakarta 2017 juga menyimpan trauma. Perbedaan identitas sesama anak bangsa dieksploitasi sedemikian hingga.

Masyarakat tersekat. Agamawan dan tempat-tempat ibadah dijadikan alat dan arena rebut kuasa. Hanya segelintir elit yang bermain, namun masyarakat awam merasakan dampaknya. Proses politik semacam ini disadari atau tidak, telah menggerus demokratisasi di Indonesia. Lantas bagaimana kita mengatasinya? Dan siapa saja yang bertanggungjawab?

Politik identitas harus diminimalisir dengan penguatan identitas nasional. Bangsa Indonesia tidak boleh terjebak pada solidaritas kelompok yang melahirkan primordialisme dan chauvinisme. Terjebak pada fanatisme kedaerahan, kesukuan, agama, golongan, serta kelompok-kelompok lainnya.

Selain itu, politik identitas tak bisa dilawan dengan politik identitas “yang lebih lunak”. Ia harus dilawan dengan politik yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Lebih dari itu, pencegahan terjadinya politik identitas pada Pemilu 2024 merupakan tanggung jawab multisektor. Mencakup pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu, dan kelompok masyarakat sipil. Masing-masing harus mengambil peran. Sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing.

Pengalaman telah mengajari bangsa Indonesia. Bahwa politik identitas, pada hakikatnya hanya elit yang menikmatinya. Namun, resikonya sangat besar. Yakni keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Sebagai anak bangsa yang baik, tentu kita tidak ingin ikut bertaruh di dalamnya.

Semoga penjelasan tentang wajah janus politik identitas ini memberikan manfaat. Pun kita berharap Indonesia tetap aman, harmoni dan damai. Wallhu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Politik Identitas; Ambil Pengajaran dari PRU 15 di Malaysia

PRU (Pilihan Raya Umum) ke-15 di Malaysia tahun lalu, mempertontonkan kentalnya isu politik identitas di negara jiran itu. CIJ [The Center for Independent Journalism) Malaysia mencatat; sepanjang tempo masa kampanye sampai beberapa hari setelah PRU (20 Oktober hingga 26 November 2022), terdapat 91.417 postingan berbau politik identitas. Angka-angka itu merupakan kalkulasi dari temuan 66.933 postingan unsur etnis ditambah 24.484 postingan memuat isu agama. 

CIJ menghimpun data itu setelah memantau berbagai platform yang dimanfaatkan selama PRU. Pantauan juga dilakukan terhadap media sosial seperti tiktok, facebook, twitter dan tiktok. Sialnya ditemukan; penabur utama tajuk politik identitas di berbagai platform itu adalah para politisi.

Populernya tajuk politik identitas pada PRU 15 itu menegaskan kembali catatan polarisasi masyarakat di Malaysia, setelah sempat mereda pada PRU sebelumnya; tahun 2018. Faktor pengiring bergulirnya kembali bola panas politik identitas pada PRU itu adalah penurunan batas umur pemilih menjadi 18 tahun untuk pertama kali. Faktor itu berjalan seiring dengan terampilnya generasi belia dalam menyetel medsos seperti Tiktok.

Peserta PRU 15 di Malaysia

PRU di Malaysia sama seperti Pemilu (Pemilihan Umum) di Indonesia, instrumen demokrasi yang diserahi mandat menyeleksi wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Bedanya, PRU di Malaysia menggunakan sistem distrik (single-member constituency), dimana sebuah partai politik atau koalisi partai politik hanya meletakkan satu calon untuk satu daerah pemilihan. Sementara Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional (multi-member constituency), partai politik menyerahkan sederet daftar nama calon untuk satu daerah pemilihan.

Dalam sistem sistem pemilihan distrik, rivalitas antar partai politik atau koalisi partai politik mencolok benar. Partai politik menjadi faktor penting pengunci kemenangan. Diatas tajuk-tajuk besar yang diperkenalkan partai politik itulah, masing-masing calon memainkan peranan menyabet dukungan pemilih.

Sejak awal pengumuman PRU, 20 Oktober tahun lalu, tiga koalisi besar partai politik mendominasi lajunya tajuk-tajuk populer masa kampanye di seluruh Malaysia. Gabungan pertama BN (Barisan Nasional), kedua PN (Perikatan Nasional),  ketiga PH (Pakatan Harapan). Kecuali itu, Negara Bagian Serawak punya corak politiknya sendiri.

Koalisi partai politik BN merupakan koalisi berbasis etnis. Kita bisa lihat itu dari nama-nama partai politik yang menyertai koalisi ini; UMNO singkatan dari United Malays National Organisation, partai MIC singkatan dari Malaysian Indian Congress, partai MCA singkatan dari Malaysian Chinese Association. Koalisi ini telah memerintah Malaysia selama enam dekade sejak merdeka.

Koalisi partai politik PN merupakan koalisi baru yang dibentuk setelah krisis politik di Malaysia pada tahun 2020. Koalisi ini dipimpin oleh dua partai besar; PAS (Partai Islam Se-Malaysia) dan PPBM (Partai Pribumi Bersatu Malaysia). Koalisi ini berhasil mendudukkan Muhyiddin Yassin menjadi Perdana Menteri Malaysia kedelapan selama 18 bulan (Maret 2020 – Agustus 2021). 

Tajuk yang diserakkan oleh simpatisan koalisi itu selama PRU 15 adalah Melayu-Islam. Meskipun di dalam koalisi itu terdapat partai politik yang didominasi etnis China; Partai Gerakan Rakyat Malaysia. Tetapi partai itu terlihat seperti melukut di tepi gantang dalam koalisi tersebut.

Sedangkan koalisi partai politik PH melabeli diri sebagai penggasak politik identitas (populer disebut politik perkauman di Malaysia). Koalisi ini dipelopori tiga partai besar; PKR (Partai Keadilan Rakyat), DAP (Demokratic Action Party), dan PAS (Partai Amanah Negara). Koalisi ini diejek sebagai liberal dalam beberapa rujukan seputar PRU 15.

Politik Identitas dan Golnya

Tajuk kerusuhan 13 Mei 1969, menjadi populer selama PRU 15 di Malaysia. Berdasarkan pantauan media Malaysia AstroAwani.com, tajuk itu sengaja dipromosikan oleh beberapa akun di TikTok. Konten itu berhasil mendulang ratusan ribu pemutaran. 

Kerusuhan 13 Mei 1969 merupakan kerusuhan melibatkan etnis Melayu dan China di Kuala Lumpur, Malaysia. Peristiwa itu menelan ratusan korban. Kerusuhan tersebut berakar pada suatu peristiwa politik setelah PRU di masa lalu.

Apapun niat awal konten itu dinaikkan, pada tahap tertentu telah digunakan untuk memantik api politik identitas. Karena kerusuhan 13 Mei 1969 itu, berawal dari keberhasilan pertama partai politik China menggembosi dominasi partai politik UMNO dan koleganya di Parlemen Malaysia. Sekalipun UMNO tetap keluar sebagai pemenang PRU kala itu.

Sentimen tentang kecemasan kejadian itu berulang, diapikan berbarengan dengan sentimen kecemasan hilangnya kekuasaan politik Melayu-Islam di Malaysia. Tujuannya untuk menggasak partai politik yang bekerja sama dengan partai dominasi etnis China. Meskipun masing-masing gabungan, bekerja sama dengan setidaknya satu partai politik dominasi etnis China.

Sasaran yang diserbu sebenarnya para pemilih belia, yang pertama kali menggunakan hak pilihnya, setelah parlemen Malaysia menurunkan batas minimal umur pemilih dari 21 tahun menjadi 18 tahun, pada tahun 2019. Jumlah mereka tercatat sebanyak 4 juta dari 21,1 juta pemilih. Hampir seluruh mereka menggunakan aplikasi TikTok.

Usaha tersebut bekerja dengan baik, PRU 15 itu dilabeli sebagai “PRU TikTok” sebagaimana direkamkan media Malaysianow.com. Meskipun PRU 15 berakhir dengan tidak ada koalisi partai politik yang mendominasi kursi Parlemen Malaysia. Sehingga harus dibentuk sebuah pemerintahan campuran di Malaysia pada penghujung tahun lalu.

Meskipun PRU telah berakhir, hujatan-hujatan berbau agama dan etnis masih terus marak di berbagai media sosial rakyat Malaysia. Jika ketika PRU sengaja diproduksi oleh oknum politisi untuk meloloskan maksudnya, ujaran kebencian itu setelah PRU diproduksi secara natural.

Saya mengikuti secara virtual dua buah live kajian umum di Malaysia lewat kanal Youtube, pada awal tahun ini. Ketika menyimak kuliah umum itu, saya harus menutup kolom komentar. Kolom komentar yang berisi cacian sentimen agama dan etnis tanpa ujung, sangat mengganggu kekhusyukan. Padahal kajian umum itu disampaikan Syekh Ali Jum’ah bersama Habib Umar, satunya lagi Syekh Yusri Jabr al-Hasani. Ulama-ulama ini tidak ada kaitannya dengan PRU 15 itu.

Akhirnya

Pertama; wilayah Indonesia yang luas dan dihuni oleh lebih dari 622 suku-suku besar, memperlambat laju politik identitas berbau etnis. Nyatanya memang tidak ada partai politik nasional yang memperjuangkan kepentingan etnis tertentu.

Tetapi dengan sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia, isu etnis berpeluang menjadi agenda oknum kader partai. Karena kompetitor dalam sistem pemilu proporsional terbuka tidak hanya kader partai lain, kader partai yang sama dalam satu daerah pemilihan adalah kompetitor juga.

Kedua; politik identitas bertajuk agama berpeluang dijadikan agenda terselubung oleh partai politik tertentu, seperti pemilu 2019 lalu. Jika isu di Malaysia adalah ketertindasan Melayu-Islam, di Indonesia isunya ketertindasan orang Islam. Modalnya bisa jadi sentimen kecemasan terhadap kebangkitan komunis, faktor ekonomi yang didominasi non-muslim keturunan Tionghoa.

Ketiga; sentimen politik identitas itu seperti api dalam sekam, pada waktunya kobarannya bisa tidak terkendali. Tentu kita tidak ingin terulang tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menyasar etnis Tionghoa sebagai korban. Efek dari sentimen anti-China yang ditabur beberapa tahun sebelum itu. 

Keempat; penggunaan media sosial seperti TikTok, Twitter, Youtube dan WhatsApp sebagai alat kampanye telah dimulai. Penyebaran sentimen politik identitas lewat media tersebut, ekonomis dan efisien untuk menjangkau pemilih muda. Kasus PRU 15 di Malaysia harus kita ambil jadi pengajaran di pemilu 2024.

Kelima; yang seharusnya kita dengar dari politisi adalah visi bernegara yang lebih baik, bukan kobaran kecemasan atas nama agama, etnis, ras, atau kelompok. Mengutip Buya Syafii, pragmatisme politik yang tuna moral dan tuna visi adalah lahan subur politik identitas. Ketika pemodal menyerakkan uang pembeli suara rakyat, pada saatnya politisi melarat akan mengapikan sentimen politik identitas.

BINCANG SYARIAH

Islam Tidak Mengajarkan Politik Identitas

NU dan Muhammadiyah telah sepakat. Politik identitas harus dijauhi. Kesepakatan ini disampaikan oleh kedua Ketua Umum. Tepatnya saat pertemuan di Kantor PBNU, 25 Mei 2023. KH. Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa politik identitas hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal-hal yang lebih visioner. Tidak jauh berbeda,  Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa politik identitas identik dengan sentimen atas nama agama, ras, suku, golongan yang akhirnya membawa ke arah polarissi dan perpecahan di kalangan masyarakat.

Kesepakatan dua Ormas Keagaman yang menopang lahir dan berdirinya Republik Indonesia ini tentu bukan pepesan kosong. Tetapi berdasarkan keprihatinan yang mendalam. Merasakan imbas buruk hajatan politik yang menggunakan simbol-simbol identitas, salah satunya identitas agama. Simbol agamanya hanya digunakan sebagai strategi meraup kemenangan. Meraih kekuasaan sementara. Padahal, di akar rumput, dampat polarisasinya tidak mudah disembuhkan.  Tentu, Islam tidak mengajarkan perpecahan. Apalagi permusuhan.

Sebagai contoh sederhana, hasil penelitian Merit PPIM UIN Jakarta, 2020, merilis bahwa di tahun-tahun politik, narasi politis yang menggunakan simbol-simbol agama di kanal Twitter mengalami peningkatan signifikan. Identitas agama digunakan untuk saling menjatuhkan dan mendelegitimasi lawan.

Lebih dari itu, menguatkan solidaritas kelompok pendukungnya semata. Data yang dikumpulkan sepanjang tahun 2009-2019 menunjukan bahwa penggunaan simbol dan diksi keagamaan dan politik naik berlipat ganda di tahun 2014 dan 2019.  Data ini seakan mengiyakan keprihatinan NU dan Muhammadiyah di atas. Jika ini dibiarkan, tentu masyarakat akan terbelah, terpecah belah, dan terkotak-kotak dalam sekat sempit perebutan kekuasaan yang tidak sehat.

Islam Tidak Mengajarkan Perpecahan

Karena itu, penting kiranya kita menengok kembali ajaran-ajaran mulia Islam yang mengedapankan cinta persatuan. Agama telah memberikan panduan hidup untuk mengelola perbedaan di muka bumi ini. Bahkan jelas ditegaskan bahwa perbedaan itu merupakan sunnatullah. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku, dan agama adalah ketentuan Allah ta’ala.

Dalam surat al-Rum ayat 22, Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم: 22)

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S: al-Rum: 22)

Dalam kitab Tafsir al-Wajiz, Syaikh Wahbah al-Zuhaili (1932-2015) menjelaskan bahwa orang yang berakal dan berilmu akan dapat memahami bahwa keragaman bahasa dan warna kulit adalah niscaya. Keragaman ini merupakan tanda kemahakuasaan Allah. Beragam sistem bahasa dengan kerumitan dan kekhasannya masing-masing tidak mungkin ada tanpa adanya kekuasaan Allah ta’ala.

Demikian halnya, penciptaan langit dan bumi. Tanpa kekuasaan Allah, langit tidak mungkin dapat berdiri kokoh, meskipun tanpa tiang penyangga. Semua ini tidak lain sudah dikehendaki oleh-Nya. Perbedaan tidak dapat dimungkiri. Serta tidak mungkin diseragamkan.

Di dalam ayat lain, dijelaskan bahwa seandainya Allah swt menjadikan manusia seisi bumi ini beriman, tentunya mudah saja. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kehendak-Nya. Terbukti, hingga kini, peradaban manusia memiliki keragaman bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan. Karena itu, tidak perlu kiranya dalam kehidupan sehari-hari kita menjadikan perbedaan warna kulit dan kepercayaan sebagai bahan untuk saling mengejek dan merendahkan. Sebaliknya, kita berupaya menemukan hikmah dan pelajaran di balik  keragaman tersebut.

Terkait hal ini, Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (يونس: 99)

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S. Yunus: 99)

Imam Ibnu Katsir (700-774 H) dalam kitab Tafsir Ibni Katsir menjelaskan bahwa ketentuan ini tidak lepas dari adanya hikmah dan keadilan Allah ta’ala. Manusia di muka bumi ada yang beriman, ada pula yang tidak. Para Rasul hanya diperintahkan untuk mengajak, sedangkan hidayah adalah milik Allah ta’ala. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk memaksakan dan menyeragamkan kepercayaan. Demikian halnya, perbedaan dan keragaman Indonesia tidak semestinya dijadikan sebagai benih perpecahan dan saling memaksakan.

Dari titik ini, dapat kita pahami bahwa keragaman dan perbedaan warna kulit, suku, dan agama tidak lain adalah sunnatullah. Tinggal bagaimana kita dapat mengelola keragaman ini menjadi titik tolak untuk saling berlomba dalam kebaikan. Perbedaan menjadi media untuk saling mengenal dan bekerja sama. Bukan untuk saling mencela dan merendahkan. Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju jika tanpa didasari dengan semangat persatuan. Maka dari itu, sesama anak bangsa harus mengedepankan rasa saling menghormati dan menghargai. Termasuk menghargai pilihan dan sikap politik.

3 Ukhuwah yang Harus Dijaga

Islam melalui keteladanan Rasulullah saw menekankan urgensi hubungan kasih sayang dengan sesama manusia. Karena itu, ukhuwah merupakan salah satu ajaran sentral dalam Islam. Secara garis besar, persaudaraan terbagi ke dalam tiga cakupan. Ketiganya ialah ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariah.

Istilah ukhuwah islamiyah menunjukkan makna persaudaraan antar sesama Muslim, tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan kewarganegaraan. Pengikat persaudaraan ini adalah kesamaan keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Setiap Muslim wajib menjaga dan mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan pendapat, organisasi, bahkan pilihan politik antar sesama Muslim tidak sewajarnya jika harus mengorbankan tali silaturahmi. Atau bahkan saling bermusuhan dan merendahkan.

Dalam surat al-Hujurat ayat 11 dan 12 dijelaskan enam sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Larangan ini erat kaitannya dengan hakikat makna ukhuwah islamiyah. Mulai dari larangan memperolok-olok orang lain, mencaci orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan dan menghina, memanggil orang lain dengan sebutan yang tidak disukai, berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan saling menggunjing.

Sedangkan ukhuwah wathaniyah dapat terlihat dari cara atau upaya yang dilakukan Rasulullah ketika menyatukan karakteristik masyarakat Madinah yang heterogen. Rasulullah saw membuat konstitusi berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Rasulullah saw itu dikenal dengan Piagam Madinah. Yakni undang-undang dasar yang mengikat anggota masyarakat Madinah. Perbedaan suku, golongan, agama dan kepercayaan tidak menjadi penghalang untuk bekerja sama menjaga keamanan bersama.

Mengenai ukhuwah basyariah, al-Qur’an menyatakan bahwa semua manusia berasal dari satu keturunan, yaitu Adam dan Hawa. Dengan demikian, semua manusia adalah bersaudara, karena mereka memiliki asal-usul yang sama. Hingga kini, meskipun manusia mendiami lima benua yang berbeda, tetapi hakikatnya mereka adalah saudara. Sama-sama sebagai keturunan Adam dan Hawa. Karena faktor lingkungan hidup yang berbeda, mereka memiliki warna kulit, bahasa, dan budaya yang berbeda.

Dalam surat al-Nisa ayat 1, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  (النساء: 1)

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari pandanya, Allah menciptakan istrinya. Dan dari keduanya, Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan jagalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. al-Nisa’: 1)

Dari titik ini, dapat kita garis bawahi bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan persatuan dan persaudaraan. Perbedaan identitas bukanlah alat untuk berebut kekuasaan. Di balik keragaman yang menjadi sunnatullah, semangat persatuan dan persaudaraan harus senantiasa dikedepankan.

Jika hal ini dapat disadari dan dipraktikkan dengan baik oleh umat Islam, niscaya Islam akan mengejawantah menjadi rahmat bagi alam semesta. Demikian halnya, dengan semangat persatuan dan persaudaran ini, bangsa Indonesia akan semakin maju dan bermartabat. Termasuk dalam ranah membangun tata kelola politik dan demokrasi. Semoga.

Demikian penjelasan terkait Islam tidak mengajarkan politik identitas. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Waspada! Politik Identitas Jelang Pemilu 2024

Politik identitas jelang Pemilu 2024 termasuk sesuatu yang berbahaya dalam alam demokrasi. Aura kehangatan pesta rakyat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang kian terasa kuat. Akhir-akhir ini masyarakat telah disodorkan sejumlah fenomena politik masa kini. 

Bahkan nama-nama sejumlah calon bakal pemimpin sudah tersebar luas di kalangan media maupun rakyat, mulai dari kampanye, pemasangan pamflet, dan lain sebagainya menjadi penanda akan berlangsungnya Pemilu. 

Terlepas dari serentetan peristiwa tersebut ada isu menarik yang sering kali dijadikan perdebatan masyarakat kita, yakni terkait politik identitas. Menariknya lagi ceramah-ceramah bermuatan politik identitas justru sering dijadikan sarana kampanye di Indonesia, ini bahaya loh sahabat muslim!

Apa Itu Politik Identitas?

Pembahasan politik identitas memang selalu asik diperbincangkan di Indonesia. Politik identitas memiliki makna sebagai alat politik dari suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. 

Melihat dari tafsiran tersebut sebenarnya aspek-aspek politik identitas ini sudah ada sejak lama, konsekuensinya pun dapat kita rasakan bersama. Apalagi ketika bentuk politik identitas dijadikan sebagai titik kumpul salah satu kelompok, yang terselubung dalam kepentingan pribadi pihak partai. 

Realitanya sering kali dalam hal ini elit politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Fakta Kerancuan Politik Identitas

Fenomena politik identitas dengan populisme agama menjadi ladang ranjau demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak kompeten. Politik identitas mengarah pada kepercayaan umum bahwa orang yang tidak memiliki identitas yang sama dengan Anda tidak pantas menjadi pemimpin. 

Hal ini tentu saja berimplikasi pada hilangnya persamaan hak bagi minoritas dalam pemerintahan negara, khususnya di bidang pemilu dan pilkada. Dan dikhawatirkan lambat laun akan merusak demokrasi.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa pengaruh politik identitas begitu besar. Tentu saja, berdampak langsung bagi kita. Seperti banyak isu politik yang dikaitkan dengan SARA di sejumlah media sosial. Hal tersebut tentu saja berbahaya karena bisa menimbulkan opini publik yang memicu perpecahan antar umat beragama. 

Dari pengalaman tersebut, tidak menutup kemungkinan isu seputar politik identitas ini akan muncul kembali pada Pilkada 2024 mendatang. Peristiwa masa lalu menawarkan peluang yang sangat baik untuk terus bergema dengan kelompok radikal demi keuntungan pribadi. 

Begitu pula dengan kelompok yang pada prinsipnya ingin memisahkan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus melek isu politik dan menjauhi segala macam bentuk dari politik identitas.

Dampak Negatif dari Politik Identitas

Lantas apa dampak dari politik identitas itu sendiri? Kemunculan tema populisme mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Memanfaatkan isu agama untuk mendapatkan dukungan politik merupakan celah besar yang dapat ditimbulkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tujuannya tak lain adalah ingin memecah belah Indonesia. 

Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkannya akan sebabkan turunnya semangat persatuan dan kesatuan, bahkan meningkatkan kemungkinan terjadinya polarisasi masyarakat hingga elit politik. 

Politik identitas juga dapat menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia mengingat pluralitas masyarakatnya.

Jika populisme dalam politik identitas semakin kuat, tidak akan ada lagi keadilan sosial, tidak akan ada persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan tidak akan ada kebebasan bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.

Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga menimbulkan perpecahan antar kelompok agama di Indonesia. Kuatnya tekanan kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung memiliki dampak negatif bagi pemeluk agama lain. Penganut agama minoritas merasa terdiskriminasi, sehingga menimbulkan perpecahan antar umat beragama.

Islam dalam Memandang Politik Identitas

Sejak jaman Rasulullah SAW dan para sahabat antara politik dan agama memang sangat erat kaitannya. Karna dasarnya syariat agama dijadikan sebagai kontroling dalam menjalankan politik ketata negaraan. Berikut diantaranya antara ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan politik identitas :

Al-Qur’an mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. Ali ‘Imran/3:159).

Selain itu dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah (5:8) dijelaskan di dalamnya Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sungguhpun umat Islam terlibat sebagai subyek atau objek dalam persoalan tersebut. Rasa keadilan tidak boleh dikorbankan oleh keinginan subyektif.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah/5:8).

Al-Qur’an juga samasekali tidak menolerir pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan, sesuci apapun tujuan itu. Tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya.

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Baqarah/2:195).

Seyogianya kedepannya kita harus lebih berhati-hati dalam memilah informasi, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH