Di antara pelajaran terbesar yang kita peroleh dari Ramadhan adalah Muraqabatullah ( adanya perasaan diawasi Allah SWT ). Sebenarnya, saat berpuasa, baik ketika kita berada di rumah, di kantor, maupun di suatu tempat ketika sendirian, bisa saja kita membatalkan puasa dengan makan dan minum. Namun, hal itu tidak dilakukan, karena adanya keyakinan bahwa Allah SWT mengetahui dan mengawasi seluruh apa yang kita lakukan.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullahu, muraqabah merupakan pengetahuan seorang hamba secara terus-menerus dan berkeyakinan bahwa Allah mengetahui zhahir dan bathin-nya. Dengan kata lain, kita menyakini bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui perbuatannya, di setiap waktu dan di manapun tempat, mengetahui setiap hembusan napasnya, dan tidak sedetik pun ia lolos dari pengetahuan-Nya.
Muraqabah merupakan ‘ubudiyah dengan Asma’-Nya (nama-nama Allah): Ar-Raqib, Al-Hafidz, Al-‘Alim, As-Sami’, dan Al-Bashir (Maha Mengawasi, Menjaga, Mengetahui, Mendengar, dan Maha Melihat). Barang siapa memahami asma’ ini dan beribadah menurut ketentuan-Nya, berarti dia telah sampai ke tingkat muraqabah.
Dalam hadits tentang pertanyaan Malaikat Jibril ‘Alaihissalam tentang Islam, iman dan ihsan, ihsan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan menyatakan bahwa ihsan berarti kita beribadah seakan-akan melihat Allah. Jikalau tidak mampu, maka yakinlah bahwa Allah pasti melihat kita. Penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang ihsan ini merupakan isyarat atas sikap muraqabah.
Semestinya, setelah Ramadhan berlalu, sikap Muraqabatullah ini tetap ada pada diri kita, sehingga Ramadhan benar-benar memberikan hasil yang optimal dalam mengantarkan kita menjadi manusia baru, manusia pada tingkatan ihsan.
Kalau sikap Muraqabatullah ini tertanam pada umat Islam di Indonesia, tentu akan membawa perbaikan dalam hal pemberantasan korupsi yang sudah menjadi penyakt akut di negeri ini.
Dikutip dari Darussalam Online