Puasa tidak terbatas simpanan pahala di akhirat, tetapi berpengaruh bagi perbaikan kehidupan sosial dan kesejahteraan umat
Oleh: Fahmi Salim
UMAT Islam seluruh dunia sebentar lagi akan melaksanakan ibadah shaum (bulan Ramadhan). Allah berfirman ;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS: al-Baqarah: 183).
Shaum dalam arti bahasa adalah menahan dari sesuatu. Menurut Qadhi Al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid Ridha, shaum adalah menahan diri dari dorongan nafsu, bukan semata-mata menahan. Sedangkan menurut syara’, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam.
Puasa bertujuan mencari keridhaan Allah (ihtisaban) dan berfungsi mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehingga mampu meninggalkan semua hal yang haram. (lihat Tafsir Al-Manar, vol.2/114-115).
Dalam perspektif Islam, kebangkitan umat tidak melulu selalu dikaitkan dengan kesuksesan jihad fisik dan capaian pembangunan fisik serta sumber daya umat baik alam maupun manusianya.
Justru setiap tahun, Allah sediakan Ramadhan sebagai madrasah bagi kaum beriman untuk memusatkan dirinya mengisi ulang (recharge) keimanan dan takwa sebagai sarana pembangunan karakter yang menjadi pusat kendali arah bagi pembangunan fisik dan sumber daya manusia muslim.
Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan umat muslim harus benar-benar fokus ke arah pencapaian tujuan ibadah tersebut yaitu “agar kamu bertakwa”.
Kita tak boleh hanya berhenti sebatas menjaga aturan-aturan lahiriah puasa berupa larangan makan, minum dan berhubungan suami-istri dari Subuh hingga waktu Maghrib tiba.
Namun, kita harus berupaya maksimal mewujudkan tujuan-tujuan disyariatkannya (maqasid syariah) ibadah puasa tersebut yang disimpulkan dalam kalimat ‘la’allakum tattaqun’.
Apa saja yang harus kita lakukan untuk mewujudkan tujuan takwa dari ibadah puasa?
Pertama, kita harus memfungsikan tujuan puasa dalam kehidupan keseharian kita. Caranya dengan memaksimalkan fungsi ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah yang melekat).
Jika muslim sanggup mengalahkan syahwat dan hawa nafsunya selama satu bulan penuh karena taat dan tunduk kepada perintah Allah ta’ala, maka kebiasaan positif itu diharapkan akan melahirkan akhlak muraqabah dan rasa malu terhadap Allah.
Ketika di hari biasa ketika kita dihadapkan pada pilihan halal dan haram baik dalam makanan dan minuman, jenis profesi, muamalah ekonomi, sosial masyarakat dan kehidupan bernegara.
Kedua, manfaat puasa tidak terbatas pada simpanan pahala di akhirat saja, tetapi juga berpengaruh positif bagi perbaikan kehidupan sosial dan kesejahteraan umat.
Muslim yang berakhlak ‘puasa’, tak akan berani menipu dan memanipulasi anggaran. Juga tak mempan dibujuk rayuan sogok dan korupsi.
Ia juga tak akan berani berkilah untuk berkelit dari kewajiban membayar zakat sebagai tanggung jawab sosial kepada fakir miskin dan tak akan doyan makan uang riba.
Muslim yang bertakwa, pada saat ia lalai oleh maksiat, maka dia tidak akan terlena terlalu lama dan cepat bertaubat kepada Allah seperti terungkap dalam firman-Nya;
إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya.” (QS: Al-A’raf: 201).
Allah berfirman yang maknanya;
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin…” (QS: Al-Baqarah: 184).
Ayat ini menyatakan bahwa puasa Ramadhan itu hanya dilakukan selama beberapa hari saja (sedikit) jika dibandingkan jumlah hari dalam satu tahun, 8.3% dari total jumlah hari setahun.
Selain itu pula, ayat ini memberikan ruang keringanan (rukhsah) bagi tiga golongan. Dua golongan yaitu orang yang sakit dan dalam perjalanan (musafir) dibolehkan berbuka puasa, dengan ketentuan harus mengganti puasanya itu di hari lain di luar Ramadhan (qadha’).
Golongan orang-orang yang berat menjalankannya karena sudah tua renta, penyakit menahun, termasuk para pekerja buruh berat yang bekerja sepanjang tahun, maka mereka diberikan keringanan tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar ‘fidyah’, yaitu memberi makan satu orang miskin pada setiap harinya.
Itu semua diwajibkan karena betapa pentingnya puasa Ramadhan ini bagi setiap muslim. Namun meski begitu, Islam adalah agama realistis yang selalu memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan yang menimpa setiap penganutnya.
Dengan adanya beberapa keringanan tersebut maka terbukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan solusi bagi semua persoalan umatnya. Setelah itu Allah ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS: Al-Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan bahwa beberapa hari tertentu yang diwajibkan berpuasa itu adalah hari-hari bulan Ramadhan. Sekaligus menyiratkan bahwa bulan yang khusus diwajibkan berpuasa itu adalah bulan turunnya Al-Quran.
Mengapa Allah khususkan bulan turunnya Al-Quran (Ramadhan) dengan ibadah puasa yang sangat spesial?
Imam Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menjelaskan bahwa dipilihnya waktu kewajiban berpuasa sebulan penuh di bulan turunnya Al-Quran (Ramadhan) ini adalah dalam rangka Allah ta’ala mengingatkan kepada kita atas nikmat-Nya berupa turunnya Al-Quran yang menjadi petunjuk dan pedoman hidup seluruh umat.
Cara kita mensyukuri nikmat turunnya Al-Quran itu dari Allah ta’ala adalah dengan berpuasa sepanjang bulan tersebut pada saat Allah ta’ala menurunkan Al-Quran.
Salah satu manifestasi rasa syukur kita atas nikmat-Nya itu adalah dengan memaksimalkan pengamalan petunjuk Al-Quran pada momentum turunnya ke dunia di bulan Ramadhan.
Kita pun harus menjadikan puasa sarana meraih ketakwaan yang mewujud dalam akhlak dan amal kita dengan menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya petunjuk bagi kehidupan manusia.
Jika tidak demikian, maka kita belum dapat memfungsikan nikmat-Nya itu dan belum dapat mensyukurinya dengan benar (lihat Al-Manar, vol.2/130)
Sedangkan menurut Syeikh Mahmud Syaltut, mantan Syekhul Azhar Mesir, “Karena Al-Quran berfungsi secara kuat untuk menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruh, maka cara kita mensyukurinya harus dengan ibadah yang sepadan dengan nikmat itu dalam makna dan dampaknya, yaitu puasa yang juga berfungsi menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruh”. (lihat Al-Islam Aqidatan wa Syari’atan, hlm.111)
Oleh sebab itulah, ibadah puasa Ramadhan harus diisi dengan segala aktifitas yang menambah kualitas bacaan, pemahaman dan pengamalan serta penghayatan kita terhadap kandungan Al-Quran.
Komitmen kita terhadap penegakan syariat Islam yang digali dari pandangan hidup Al-Quran dan juga sunnah Rasul, harus terus dipelihara bahkan ditingkatkan selama Ramadhan.
Karena Al-Quran adalah peta jalan (road map) kebangkitan umat Islam di dunia untuk meraih kejayaan (izzah), maka sudah seharusnya proses pembelajaran dan program pemberantasan buta aksara dan buta makna Al-Quran harus semakin digalakkan dan ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
Hanya dengan spirit seperti inilah, kita dapat memaknai Ramadhan dan puasa dengan benar demi tegaknya kejayaan Islam dan umat muslim dalam manifestasi kualitas khairu ummah (umat terbaik) yang dilahirkan oleh ajaran kitab suci untuk memimpin peradaban manusia menuju kebaikan dan keselamatan.
Rangkaian ayat tentang shaum ini ditutup dengan firman Allah;
وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Hal ini ditekankan agar kita senantiasa optimal menunaikan puasa dengan sempurna harinya. Oleh sebab itulah, kita diperintahkan untuk mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yaitu hukum-hukum yang bermanfaat bagi perbaikan kualitas diri setiap hamba Allah.
Di antaranya kewajiban puasa dan kewajiban menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup. Dan karenanya kita wajib mensyukuri Allah atas nikmat petunjuk-Nya tersebut. Wallahu A’lam.
Makan roti jangan berlari;
Kalaulah jatuh kita yang rugi.
Bersihkan hati sucikan diri;
Sambut Ramadhan sebentar lagi.
Penulis Ketua Bidang Tabligh Global dan Kerja Sama PP Muhammadiyah