Rasa Cemburu Seorang Kepala Keluarga

Rasa Cemburu Seorang Kepala Keluarga

Kita mungkin pernah menjumpai seorang kepala rumah tangga yang tidak mempunyai rasa cemburu dan tidak marah meskipun istri dan anaknya melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Dia hanya mendiamkan semua perbuatan maksiat tersebut. Inilah laki-laki dayyuts yang dicela oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

”Tiga jenis manusia yang tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat: 1) orang yang durhaka kepada kedua orang tua, 2) wanita yang menyerupai lelaki, dan 3) dayyuts.” (HR. An-Nasa’i no. 2562, Ahmad 2: 134. Hadis ini disahihkan oleh Adz-Dzahabi rahimahullah)

Dayyuts adalah seorang lelaki (suami atau kepala rumah tangga) yang membiarkan dan mendiamkan istrinya ketika melakukan perbuatan maksiat. Dirinya tidak memiliki rasa cemburu dan juga tidak memiliki rasa marah sama sekali ketika melihat dan mengetahui perbuatan jelek tersebut.

Seorang suami bisa saja membiarkan sang istri berbuat maksiat karena berbagai sebab dan alasan. Bisa jadi karena rasa cinta dan rasa sayang kepada istri yang sangat dalam. Atau karena suami mempunyai utang kepada istrinya dan dirinya belum bisa membayarnya. Atau karena suami menggantungkan hidup dari harta istri. Atau karena sebab-sebab lainnya sehingga dia tidak lagi memiliki kewibawaan di hadapan istrinya. Pada hakikatnya, status suami tersebut berada di bawah kendali sang istri. Suami model seperti inilah yang disebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai lelaki dayyuts.

Sungguh tidak tepat sikap sebagian suami yang hanya fokus dalam mencari harta (nafkah). Mereka menyibukkan diri dengan berbagai macam aktivitas pekerjaan dari pagi hingga petang, sehingga mereka pun lalai dengan anak, istri, dan keluarganya. Padahal hendaknya dia menyisihkan sebagian pikiran dan tenaga untuk mendidik anak dan istri, agar mereka senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Menjaga diri dan istri dari neraka tidaklah mungkin direalisasikan, kecuali dengan mendidik mereka di atas ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan ayat ini, Allah Ta’ala telah memberikan tanggung jawab yang berkaitan dengan mendidik anggota keluarga kepada para suami (kepala keluarga). Allah tidak memerintahkan suami untuk menjaga dirinya sendiri saja. Akan tetapi, juga menjaga diri sendiri dan juga anggota keluarga mereka.

Sungguh mengherankan, seandainya ketika ada api di dunia yang hampir mengenai sedikit saja anggota badan anak dan istrinya, niscaya dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah hal tersebut. Lalu, mengapa mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak dan istrinya dari api neraka yang panasnya berkali lipat dari api dunia?

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap kepala rumah tangga untuk mengawasi gerak-gerik dirinya sendiri, anak, serta istrinya. Sang suami hendaknya mengawasi ke mana mereka pergi, dengan siapa saja mereka pergi, untuk keperluan apa mereka pergi, siapa sahabat (teman dekat) anaknya, dan seterusnya. Sehingga seorang kepala rumah tangga mengetahui dengan persis bagaimanakah kondisi dan keadaan anak dan istrinya. Jika mereka berbuat baik, maka kita puji dan apresiasi mereka. Sehingga mereka senantiasa termotivasi untuk terus berbuat kebaikan. Sebaliknya, jika mereka hendak melakukan perbuatan yang tidak baik atau perbuatan maksiat, kita ingkari dan cegah mereka. Kita pun nasihati mereka agar kembali kepada jalan yang benar.

Jika seseorang suami tidak melaksanakan tugasnya tersebut, lalu siapa lagi yang akan mengurusi mereka? Apakah mereka membiarkan anak-anaknya seperti dedaunan, yang dibiarkan saja sehingga mereka bisa tertiup angin pemikiran yang menyesatkan, memiliki tujuan hidup yang menyimpang, dan akhlak yang menghancurkan?

Akibatnya, akan muncul dari laki-laki dayyuts, sebuah generasi rusak yang tidak mempunyai perhatian terhadap hak Allah dan hak manusia yang lain. Mereka tidak mengetahui perbuatan mana yang termasuk dalam perbuatan yang baik (makruf) dan perbuatan mana yang termasuk dalam perbuatan mungkar. Generasi seperti ini adalah generasi yang terbebas dari segala belenggu, kecuali dari belenggu syahwat saja. Keadaan seperti inilah yang merupakan akibat yang akan terjadi jika para suami tidak melakukan kewajiban mereka untuk mendidik anak dan keluarganya.

Agar anak-anak senantiasa patuh dan taat kepada kita (kepala keluarga), hendaklah suami tidak meremehkan perintah Allah Ta’ala berkaitan dengan mereka ketika mereka masih kecil. Jangan biarkan anak-anak tersebut berbuat bebas semaunya seperti yang mereka inginkan sejak mereka masih kecil. Kita luangkan waktu untuk duduk berkumpul dengan anak-anak, meskipun untuk makan siang atau makan malam. Kita ajak mereka untuk beribadah ke masjid atau menghadiri pengajian. Hendaknya kita bertanya kepada anak, untuk apa uang saku yang telah diberikan? Dengan perhatian semacam itu, semoga anak-anak kita mau tunduk, taat, dan mau menerima nasihat-nasihat kita. Tentunya, hidayah hanyalah milik Allah Ta’ala semata.

Ketika suami bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan melakukan perintah-Nya untuk mendidik anak-anak pada saat mereka masih kecil, semoga urusan dunia dan akhirat kita akan menjadi semakin baik. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)

***

@Rumah Kasongan, 12 Dzulhijjah 1444/ 1 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari penjelasan Ustaz Dr. Aris Munandar, SS., MPI., ketika membaca kitab Al-Kabair, karya Adz-Dzahabi rahimahullah (dosa kedua puluh tujuh).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85937-rasa-cemburu-seorang-kepala-keluarga.html