Rasulullah Menjawab Suatu Permasalahan dengan Mengajarkan Logika

Rasulullah Menjawab Suatu Permasalahan dengan Mengajarkan Logika

Penggunaan akal untuk memutuskan suatu hukum, bukanlah hal yang baru. Cara pandang dalam hal ini, sudah ada jauh disaat Nabi Muhammad Saw menyampaikan dakwahnya. 

Dalam Musnad Ahmad diceritakan kisah Sahabat Umar Bin Khattab sedang berpuasa dan mencium istrinya. Kemudian Umar Bin Khattab menceritakan prihal tersebut kepada Nabi Muhammad Saw.  

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sunanul kubra lil Baihaki [juz 4, halaman 218] berikut;

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنِي بُكَيْرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ

Umar Bin Khattab mengatakan, “Pada suatu hari hasratku (syahwatku) bergejolak, kemudian mencium (istri) padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang menemui Rasulullah Saw. Aku mengatakan hari ini aku melakukan suatu perbuatan (kesalahan) yang besar, aku mencium (istri) padahal sedang berpuasa.” 

Rasulullah Saw menjawab, “Apa pendapatmu apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal kamu sedang berpuasa?” Umar Bin Khattab menjawab, “Hal itu tidak mengapa (tidak membatalkan puasa).” Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Lalu di mana masalahnya?” 

Dalam hadis diatas, Rasulullah Saw menjawab dengan sekaligus mengajarkan logika. Mencium dianalogikan dengan kumur-kumur. Artinya, ketika berkumur-kumur tidak sampai meminum air, begitu pula dengan mencium tidak sama dengan menggauli istri. 

Nabi bisa saja menjawab dengan mengatakan, “Tidak apa-apa” secara tegas. Tapi, Rasulullah Saw dalam riwayat diatas, bukan hanya mengajarkan kita memahami persoalan secara logis tapi juga secara konteksual. 

Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami secara bersamaan dan tidak bisa ditinggalkan. (Baca: Biografi Imam Muslim Serta Kitabnya yang Monumental)

Namun demikian, penggunaan akal untuk memutuskan suatu hukum tidak berlaku secara mutlak. Ada rambu-rambu yang harus senantiasa diperhatikan. 

Syekh Yusuf al-Qardhawi, pemikir islam kontemporer berkebangsaan Mesir, dalam kitabnya Al-khasais al-Ammah lil Islam halaman 220-221 menyatakan bahwa sekitar sepuluh persen teks ajaran wahyu merupakan aturan baku yang bersifat qath’i tanpa memberikan peluang adanya penafsiran lain. 

Sementara itu, segmen yang sembilan puluh persen merupakan jenis ajaran yang bisa beradaptasi dan dapat disentuh oleh perubahan sesuai konteks ruang dan waktu. 

Segmen yang sepuluh persen ini, dapat terlihat dalam pokok-pokok akidah seperti Iman kepada Allah Swt, rukun Islam yang lima, perbuatan-perbuatan yang jelas dilarang oleh syariat seperti pembunuhan, berbuat zina, mencuri, dan ajaran-ajaran lain yang sifatnya dogmatis dan tidak menerima perubahan. 

Dengan demikian, dalam persoalan ibadah misalnya, kita tidak perlu melakukan kreativitas dan inovasi dalam bentuk amalan baru dengan memodivikasi ajaran yang sudah ditetapkan oleh teks-teks wahyu. 

Dalam sholat misalnya kita tidak perlu mengembangkan jumlah sholat wajib sehari semalam, jumlah rakaatnya, jumlah sujudnya, dan seterusnya. Begitu pula dalam soal amalan ritual lain lain seperti puasa, haji dan lain sebagainya. 

Sementara itu, segmen yang sembilan puluh persen, menyangkut persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan sehari-hari, Islam membuka lebar-lebar ruang nalar untuk mengembangkannya ke arah yang lebih dinamis. 

Oleh karena itu, dalam persoalan muamalah atau interaksi sosial sehari-hari kita bebas mengembangkannya sejauh tidak bertentangan dengan teks-teks umum yang telah menggariskan acuan dasar prinsip-prinsipnya. 

Selagi tidak terdapat teks yang yang mengharamkan, maka kita diberi kebebasan untuk berkreasi dan mengembangkannya sesuai konteks kemaslahatan. Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH