SAUDARAKU, menjadi pribadi yang shalih adalah dambaan kita semua. Pribadi yang memiliki hati bersih, jernih, terpaut kuat kepada Allah SWT.
Pribadi yang selalu merasa tidak nyaman saat berdekatan sedikit saja dengan kemaksiatan kepada Allah. Pribadi yang hatinya segera bereaksi merasa tidak enak, manakala sedikit saja lalai dari kewajiban beribadah kepada-Nya. Pribadi yang berada dalam posisi merasakan kenikmatan tiada tara, manakala duduk terpekur bermunajat kepada Allah di sepertiga malam ketika orang lain sedang tertidur lelap.
Merasakan kenikmatan saat beribadah kepada Allah adalah anugerah besar yang tidak ternilai. Sehingga saat kemampuan untuk merasakan nikmat saat ibadah ini hilang, maka sesungguhnya ini adalah kehilangan yang sangat besar, namun seringkali luput dari perhatian seorang insan.
Orangtua senantiasa mendambakan putra-putrinya tumbuh menjadi orang-orang shalih, berjodoh dengan orang shalih, dan melahirkan keturunan yang shalih pula. Nabi Ibrahim pernah berdoa kepada Allah SWT, “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. ash-Shaffaat [37]: 100)
Banyak keberkahan dari seorang anak yang shalih. Seperti hadis Rasulullah saw, “Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakan orang tuanya” (HR. Muslim).
Seorang pemilik perusahaan mendambakan karyawan-karyawannya adalah orang-orang shalih, sehingga mendatangkan berkah untuk perusahaannya. Para guru dan pengajar mendambakan murid-muridnya menjadi orang-orang shalih, sehingga mereka berupaya sebaik mungkin mendidiknya.
Selain menjadi pribadi yang shalih, kita juga amat mendambakan bisa menjadi pribadi yang mushlih. Apa itu pribadi mushlih? Yaitu pribadi yang shalih secara personal, sekaligus juga mengajak orang lain dan lingkungannya untuk menjadi lebih baik. Orang yang shalih hampir bisa dipastikan akan disukai semua orang. Namun, tidak demikian dengan orang yang mushlih. Mengapa bisa begitu?
Menjadi orang yang mushlih adalah suatu kemuliaan. Namun, sejalan dengan resikonya yang juga besar. Tetapi, disinilah ladang ibadah bagi orang yang ingin menjadi mushlih. Mari kita tafakuri bagaimana pribadi Rasulullah saw.
Rasulullah semenjak kanak-kanak sudah dikenal sebagai pribadi yang shalih, banyak orang kagum dan menyayanginya. Namun, manakala beliau tumbuh semakin dewasa dan telah datang tugas dakwah kepadanya, untuk mengajak orang-orang meninggalkan kemusyrikan dan memasuki jalan tauhid, maka disinilah berbagai ujian dimulai. Orang yang asalnya kagum, berubah menjadi benci. Orang yang asalnya menyayangi, berbalik jadi memusuhi. Orang yang awalnya mencintai, berubah jadi menyakiti.
Orang-orang kafir Quraisy yang berubah menjadi benci kepada Rasulullah, bukan karena tidak tahu kemuliaan akhlak beliau, bahkan mereka sudah sangat mengenal akhlak mulianya sejak lama. Mereka membenci Rasulullah karena mereka tidak suka dengan ajaran yang dibawa oleh beliau. Mereka tidak suka diajak kepada tauhid. Mereka tidak suka diajak berhenti menyembah Manat, Lata dan Uzza, dan kemudian berhijrah menyembah Allah SWT.
Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Ashr [103]: 1-3)
Jadi, orang yang beruntung itu, pertama adalah orang yang beriman. Artinya dia harus belajar agar memiliki pemahaman tentang kebenaran, sehingga setelah paham dia menjadi yakin atau iman. Kedua, adalah orang yang mengamalkan pemahamannya dengan cara beramal shalih. Dan yang ketiga, yaitu nasihat-menasihati kebenaran dalam kesabaran.
Mengamalkan kebenaran itu ujiannya lebih berat dari sekadar memahami atau meyakini. Dan akan lebih besar lagi ujiannya manakala mendakwahkan kebenaran. Oleh karena itulah, mendakwahkan kebenaran disandingkan dengan kesabaran karena memang memerlukan kesabaran ekstra dalam menjalaninya. Mengapa? Karena akan ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kegiatan kita mendakwahkan kebenaran. Dakwah inilah ciri dari orang mushlih.
Rasulullah saw adalah sosok yang shalih sekaligus mushlih. Mulia akhlaknya sekaligus mengajak orang lain pada kemuliaan akhlak. Bersih dan lurus tauhidnya sekaligus mengajak orang lain kepada tauhiid yang kokoh. Berat ujian yang dihadapi oleh Rasulullah, namun sangat tinggi derajat beliau di sisi Allah SWT.
Dan, kita sangat mendambakan derajat yang tinggi pula di hadapan Allah. Semoga kita bisa menjadi keduanya, pribadi yang shalih dan mushlih. Insya Allah! [*]
Oleh : KH Abdullah Gymnastiar