SKB 11 Menteri Tentang Penanganan Radikalisme pada ASN Ditinjau dari Perspektif Fikih

SKB 11 Menteri yang ditandatangani pada 12 November 2019 oleh 6 kementerian bersama dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tentang Penanganan Radikalisme Dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Terhadap Aparatur Sipil Negara telah menimbulkan polemik. Hal itu terjadi seiring perbedaan pandangan mengenai perlu tidaknya SKB sebagai salah satu langkah merespon fenomena radikalisme yang menjangkiti sebagian oknum Aparatur Sipil Negara (ASN).

SKB 11 Menteri fokus pada upaya penegakan aturan disiplin nasional terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN), mengingat perannya sebagai alat dan kepajangan tangan negara dalam melayani masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia..

Dalam hemat penulis, dari 11 butir kesepakatan yang tercantum dalam SKB, kurang lebihnya dapat dirangkum menjadi 4 poin utama yang menjadi fokus garapan , yaitu:

  1. Hak menyampaikan pendapat di muka umum secara lisan maupun tulisan tanpa memandang aspek pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat.
  2. Penghinaan terhadap simbol-simbol negara, antara lain terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan pemerintah.
  3. Maraknya ujaran kebencian dan penyebaran konten dan berita hoax yang dapat memprovokasi massa, melecehkan suku, agama dan ras tertentu yang menjadi bagian dari masyarakat dan warga negara Indonesia.
  4. Sikap yang mengarah pada intoleransi, radikalisme, teror dan condong pada kekerasan sehingga membahayakan pada fondasi Bhinneka Tunggal Ika.

Seiring maraknya praktik-praktik yang mengarah pada lahirnya pola pikir radikal yang berkembang di seluruh lini kehidupan masyarakat dewasa ini, dan mengancam pada keutuhan dan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mengancam sendi-sendi negara, maka dibutuhkan langkah konkrit dari pemerintah untuk mengatasinya dan mengambil tindakan yang dianggap perlu guna menanggulangi dampaknya agar tidak berkembang lebih lanjut sehingga berpengaruh luas terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Langkah ini sudah sesuai dengan kaidah:

 تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya mengikut pada mewujudkan kemaslahatan.”

Jika kita tilik lebih lanjut, sebenarnya akar utama dari munculnya radikalisme adalah diawali dengan beredarnya berita-berita hoax di masyarakat pegiat media sosial (Twitter, Instragram, Facebook, dan Whatsapp) dan berujung pada penyebaran ujaran kebencian. ASN yang juga menjadi bagian dari pengguna media sosial, sebenarnya juga bukan akar penyebab utama. Ia dianggap menjadi bahaya seiring keberadaannya selaku instrumen negara.

Bagaimanapun juga, seorang ASN senantiasa berhubungan dengan segala fasilitas yang disediakan oleh negara dan khususnya mereka yang berada pada Ring 1 atau Ring 2. Keberadaan mereka akan berkaitan langsung dengan rahasia negara. Untuk itu, sangat berbahaya bila kedudukannya kemudian tidak memiliki aturan yang bersifat mengikat dan disiplin yang ketata. Karena bisa jadi bocornya rahasia negara dapat membahayakan bagi Kamtibmas (Kemanan dan ketertiban masyarakat). Jika dalam lingkup rumah tangga saja, ada etika penyampaian rahasia rumah tangga ke khalayak ramai, maka bagaimana mungkin dalam rumah tangga negara justru tidak berlaku aturan tentang rahasia negara dan disiplin yang ketat terhadap aparatur negaranya?

Pada aspek ujaran kebencian dan produksi hoax, segala informasi yang disampaikan oleh ASN juga bisa jadi diaggap sebagai kebenaran, mengingat keberadaannya selaku orang yang ditokohkan. Etika penyampaian informasi publik sudah pasti menempati ruang yang diutamakan, karena dalam setiap jajaran lembaga negara selalu ada peran Seksi Hubungan Masyarakat (Humas) yang memiliki wewenang untuk menyampaikan informasi dari setiap departemen di mana ASN itu berada.

Garis besarnya, bahwa ASN, mereka adalah pribadi yang bergerak dan bekerja pada sebuah sistem yang termanajemenkan dan terorganisasikan. Penyampaian informasi tidak melalui mekanisme organisasi dan manajemen, adalah bagian dari sebuah pelanggaran kode etik ASN yang dalam suatu tingkatan tertentu bisa dianggap sebagai pelanggaran disiplin organisasi. Pada tataran pelanggaran disiplin organisasi semacam, dari sudut pandang fiqih, pemerintah memiliki kewenangan untuk memecatnya atau melakukan manajemen ASN, seperti memutasikan dan lain sebagainya.

Syeikh Bujairamy di dalam Bujairamy ‘ala al-minhaj, menjelaskan bahwa:

“Pemerintah boleh menerapkan ta’zir untuk menjaga kemaslahatan terhadap pelanggaran yang bukan kelompok pidana dan bukan kelompok yang dapat ditarik kafarat pada umumnya. Mushannifmemberikan isyarat dengan diksi “pada umumnya” untuk menunjuk pengertian bahwasannya sebenarnya ta’zir merupakan perbuatan yang disyariatkan, dan bukan merupakan perbuatan durhaka, seperti layaknya orang yang melakukan perbuatan hura-hura akan tetapi tidak masuk kategori maksiat, sementara di dalam teks tidak dijumpai adanya had baginya, atau bahkan sekedar kafarat, khususnya pada dosa-dosa kecil yang kadang dijumpai pada walinya Allah Ta’ala, dan lagi seperti adanya orang yang memotong bagian ujung-ujung jari tubuhnya sendiri.” (Bujairamy ‘ala al-minhaj, Juz IV, halaman 237)

Ketidak disiplinan ASN dalam penyampaian Informasi yang parsial dari ASN, bukan menjadi penerang bagi masyarakat, melainkan justru menjadi kesimpangsiuran berita sehiingga mempertajam gesekan pada masyarakat akar rumput. Lebih lanjut, keberadaan informasi parsial yang berasal dari pribadi ASN, acapkali bersifat subyektif.  Subyektifitas informasi seringkali melahirkan kebohongan di satu sisi, meskipun juga tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran di sisi yang lain.  Itulah penyebab dari timbulnya kesimpangsiuran. Syariat menggariskan bahwa selayaknya pribadi yang bersangkutan untuk menahan diri.

Ibn Rusyd di dalam Bidayatul Mujtaid, Juz I, halaman 16, menyatakan:

وأما اليدان: فاحفظهما عن أن تضرب بهما مسلما، أو تتناول بهما مالا حراما، أو تؤدي بهما أحدا من الخلق، أو تخون بهما في أمانة أو وديعة، أو تكتب بهما ما لا يجوز النطق به، فإن القلم أحد اللسانين، فاحفظ القلم عما يجب حفظ اللسان عنه.

Artinya:

“Adapun berkaitan dengan kedua tangan, maka jagalah anda akan keduanya dari memukul seorang muslim, menggunakannya untuk mengambil harta secara haram, atau menzhalimi seorang individu makhluk, mengkhianati amanah dan harta titipan, atau menulis hal-hal yang sebenarny tidak diperbolehkan disampaikan dengan ucapan, karena bagaimanapun pena adalah salah satu dari wujud lisan. Maka dari itu jagalah pena dari menulis hal-hal yang sebagimana lisan diperintahkan untuk menjaganya.” (Bidayatul Mujtahid, Juz 1, halaman 16).

Imam al-Ghazhali di dalam Kitab Ihya Ulumuddin Juz 2, halaman 332 menjelaskan:

الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعاً فالكذب فيه حرام

Artinya:

“Kalimat, merupakan instrumen untuk mencapai tujuan, dan setiap tujuan yang terpuji memungkinkan untuk dicapai dengan cara jujur dan juga dengan cara dusta. Dari keduanya, tujuan yang dicapai dengan cara dusta itu adalah yang haram.” (Ihya’ Ulumuddin, Jilid II, halaman 332)

Memang, baik Ibnu Rusyd maupun al-Ghazali tidak secara langsung menyampaikan tentang etika penyampaian informasi. Keduanya mempersoalkan tentang dusta. Bagaimanapun juga, kebencian seringkali lahir didahului oleh ungkapan-ungkapan dusta. Sudah selayaknya hal dusta informasi ini dicegah sejak dini oleh pemerintah melalui perangkatnya. Bahkan pemerintah diperkenankan untuk menerapkan ta’zir bagi pelaku untuk menarik efek jera baginya dan menarik kemaslahatan umum.

Alhasil, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri ini memang merupakan sebuah kebutuhan dan dianggap perlu, seiring ASN yang menjadi obyek dari garapan SKB ini, adalah seorang perangkat negara. Bersihnya ASN dari unsur-unsur radikalisme merupakan langkah penting untuk menciptakan ketertiban masyarakat.

ISLAMIco