Oleh: Khusnul Hidayah*
Alkisah diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar, suatu hari ia melakukan perjalanan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, “Wahai gembala, juallah kepadaku seekor kambingmu….”
Dengan lantang si gembala menjawab “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya” kata sipegembala
“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala” lanjut Khalifah. Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan “Lalu, di mana Allah?”
Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata,
“Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak”
Kisah di atas banyak menjadi inspirasi ketika bercerita tentang gambaran pribadi yang amanah, jujur menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi. Berkebalikan dengan cerita di atas, pada tanggal 9 Juli yang lalu Transperency Internasional Indonesia merilis Global Corruption Barometer 2103 yang menginformasikan 5 lembaga publik terkorup di Indonesia, yakni Kepolisian, parlemen, peradilan, Partai politik dan Pejabat Publik. Ironis memang, lima lembaga yang disebutkan di atas sejatinya adalah pengemban amanah utama dalam pengelolaan negara, akan tetapi realitasnya tidak menggambarkan citra yang mereka sandang.
Berpuasa, utamanya di Bulan Ramadhan, sejatinya adalah kawah candradimuka melalui disiplin yang kuat selama satu bulan penuh bagi pribadi muslim untuk mengimplementasikan nilai-nilai amanah, dan kejujuran guna meretas sebelas bulan yang lain. Selain menahan dari nafsu makan-minum, biologis juga menahan nafsu tamak dan serakah, Refleksi terpenting dalam ibadah shaum adalah kujujuran diri kepada Allah SWT.
Selama 1 bulan, setiap individu Muslim tidak peduli kaya, miskin, jenis kelamin, pangkat dan kedudukan, dituntut untuk bersikap jujur kepada Tuhan karena ini adalah ibadah yang sangat pribadi antara manusia dengan Rabbnya. Bisa jadi orang tersebut berbohong mengatakan puasa kepada orang lain dan lingkungannya untuk menjaga wibawa padahal sejatinya tidak. Dia bisa berbohong kepada orang lain namun tidak pada Tuhan.
Kejujuran yang diajarkan dalam berpuasa akan melahirkan perilaku Ihsan, perilaku agar manusia ikhlas beramal semata kepada Allah. Sebagaiman Nabi SAW pernah ditanya jibril perihal pengertian ihsan? maka jawab Beliau: “Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekalipun engkau tidak dapat melihatNya, namun Dia tetap melihatMu (HR Bukhari).
Menghadirkan Wajah Tuhan ketika Ramadhan berlalu?
Sudah jamak dilihat ketika ramadhan usai, maka individu pun tak lagi mengenal wajah Tuhannya bahkan menjauh dari perilaku ihsan. Mereka yang terbiasa berperilaku korupsi, suap dan perilaku tidak jujur lainnya akan kembali mengulang kebiasaanya, tak berbekas sedikitpun hikmah kesalehan yang dilakukannya selama berpuasa. Semestinya nilai-nilai kejujuran dapat diimplementasikan dalam pola gerak keseharian kehidupan baik selama ramadhan dan setelah ramadhan usai.
Untuk itu diperlukan penghayatan Ihsan dalam kehidupan yang bisa dicapai dengan menghadirkan wajah Allah dalam melakukan kesalehan individu maupun kesalehan sosial seperti dalam cerita anak gembala di atas. Kesalehan individu dilakukan dengan memelihara ibadah kita kepada Allah, seperti shalat, dzikir, dan ibadah lain yang berhubungan dengan Allah. Sementara kesalehan sosial tercermin dari tanggungjawab sosial terhadap fakir miskin dan anak yatim piatu yang merupakan simbol orang-orang lemah (al mustadz’afin) sebagai konsekuensi dari peribadatan kepada Allah.
Empati kepada kaum lemah ditujukan bukan karena pencitraan diri tapi semata-mata karena ingin mengharap RidhaNya. Disinilah relevansi ibadah puasa dalam Bulan Ramadhan menjadi sangat penting, karena lewat puasalah manusia diajarkan untuk jujur baik kepada diri sendiri, lingkungan dan terutama kepada Allah dalam setiap amalnya. Kehilangan kejujuran akan mendatangkan kepemimpinan diri yang kurang amanah dan cenderung korup. Tipisnya jiwa amanah akan mengakibatkan tipisnya iman dan membuat orang mudah terjermbab dalam jurang korupsi.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UAD
dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ’Aisyiyah (LPPA)
sumber: Universitas Ahamad Dahlan