عن عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم (لَيْسَ مِنّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعا بِدَعْوى الْجاهِلِيَّةِ
“Bukanlah golongan kami, siapa yang menampar pipi, merobek baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari No. 1294 dan Muslim No. 103)
Hidayatullah.com–Dalam urusan dunia, masyarakat jahiliah jauh dari kesan bodoh. Di antara mereka terdapat sastrawan, ahli bisnis, dan diplomat ulung. Tapi syariat tetap melabelinya dengan jahiliah yang berarti kebodohan. Dimanakah letak kejahiliahan mereka?
Kejahiliahan itu terlihat pada cara beragama dan moral mereka. Jika kita menyelami sisi yang satu ini, setumpuk bukti kejahiliahan bisa kita dapatkan. Dalam menyembah mereka menyekutukan Allah SWT. Dalam moral dan akhlak mereka terlilit oleh tradisi-tradisi yang menyimpang.
Di tengah masyarakat seperti itulah Rasulullah SAW diutus. Tugas beliau adalah mengembalikan mereka pada jalur kemuliaan dengan meninggalkan tradisi-tradisi jahiliah. Di antara tradisi itu adalah menampar pipi, merobek baju sebagai pelampiasan dikala berduka.
Makna Hadits
Kehilangan orang yang dicintai acap kali meletupkan kesedihan yang begitu mendalam. Kondisi inilah yang kadang dimanfaatkan oleh setan. Ia menyusupkan bisikannya saat seorang sedang dirundung duka. Tanpa sadar sikap dan prilaku kita di bawah kendalinya. Alhasil, kesabaran menjauh dan pelampiasan kesedihan ala jahiliah yang menyeruak.
Hadits di atas bekal penting untuk menghindari berduka ala jahiliah. Sebab, melampiaskan kesedihan tidak bisa seenaknya dan sekehendak hawa nafsu. Menangis sambil meraung, menyobek baju dan menampar pipi adalah perbuatan yang dikecam keras oleh Rasulullah SAW.
Kecaman keras itu sangat terasa pada lafadz yang beliau gunakan. Rasulullah SAW mengawali Haditsnya dengan lafadz laisa minna yang artinya tidak berada di atas jalan dan ajaran kami. Galibnya, beliau menggunakan lafadz seperti ini sebagai peringatan keras terhadap suatu maksiat. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Uslub seperti ini digunakan oleh Rasulullah untuk mencegah dengan keras agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. (Fathul Bari 3/163)
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Ia berkata, “Hadits-hadts yang di dalamnya terdapat laisa minna adalah peringatan akan maksiat yang sangat besar bobot dosanya, tapi pelakunya tidak keluar dari Islam selama ia tidak meyakini maksiat itu sebagai sesuatu yang halal. ”Adapun yang dimaksud dengan da’wah al-jahiliah adalah, menangis sambil mengucapkan perkataan yang tidak boleh menurut syariah.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/68)
Peringatan keras dalam Hadits di atas erat kaitannya dengan salah satu rukun iman yaitu beriman kepada takdir. Bersedih dengan menangis sambil berteriak, meraung, menampar pipi adalah perilaku yang bisa mencedrai bahkan merusak pilar keimanan kita kepada takdir.
Cukup di Hati dan Air Mata
Mencermati sejarah, Nabi Muahmmad SAW adalah sosok yang paling dahsyat ujian dan cobaannya. Kondisi dan situasi sulit nyaris tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.
Perhatikanlah sejarah hidup beliau. Sebelum lahir ia telah kehilangan ayahnya. Setelah lahir silih berganti orang-orang yang dicintainya dipanggil Allah SWT. Mulai dari ibu, kakek, paman, dan istri tercintanya khadijah.
Namun apa yang dilakukan oleh Nabi SAW, tak satu pun dari peristiwa-peristiwa tersebut yang dirayakan sebagai hari berkabung. Yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW adalah sabar. Beliau tidak memukul, apalagi sampai melukai diri sebagaimana yang dilakukan kalangan Syiah.
Sebagai manusia tentu beliau bersedih. Bahkan saat putra beliau Ibrahim meninggal beliau menangis. Tapi kesedihan itu hanya sebatas di hati dan air mata. Tidak ada ucapan apalagi aktivitas fisik yang merefleksikan kesedihannya. Inilah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Beliau bersabda:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ
”Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Tuhan kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bersedih karena berpisah denganmu.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Sebatas bersedih dan mengeluarkan air mata tanpa disertai dengan ratapan dan teriakan, maka hal tersebut dibolehkan. Beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلاَ بِحُزْنِ الْقَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا–وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ–أَوْ يَرْحَمُ
“Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (Al-Bukhari).
Adapun tradisi berduka dengan berteriak, menampar pipi, melukai diri adalah tradisi jahiliah yang sangat dilaknat dan dikecam oleh Rasulullah SAW.
Oleh Ahmad Rifa’i*
*Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan