Di antara bentuk maksiat dan dosa lisan adalah perkataan dusta, yaitu mengatakan sesuatu berbeda dengan kondisi senyatanya. Namun terkadang ada beberapa kondisi yang jika kita berkata jujur, akan menimbulkan dampak buruk (mudharat) kepada diri kita. Dalam kondisi semacam ini, boleh berbohong, atau jika tidak, dia bisa mencari jalan keluar dengan mengucapkan kalimat-kalimat tauriyah. Tauriyah inilah yang akan kami bahas dalam tulisan ini.
Pengertian tauriyah (ma’aaridh)
Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengucapkan suatu kalimat atau perkataan, dan dia maksudkan dengan kalimat tersebut maksud yang benar dan tidak bohong, meskipun ketika kalimat itu ditangkap oleh orang lain, mereka akan memahami makna lain yang berbeda dengan maksud si pembicara.
Untuk memperjelas definisi di atas, berikut ini kami sampaikan satu contoh tauriyah:
Ada orang dzalim (si A) yang mengejar dan bermaksud untuk mendzalimi si B. Lalu si B lari dan bersembunyi di rumah kita. Dan ketika si B masuk ke rumah kita, kita sedang duduk di kursi teras rumah. Lalu datanglah si A dan menanyakan apakah melihat si B?
Karena kita mengetahui bahwa si A akan berbuat dzalim kepada si B, maka kita menjawab, “Sejak aku berdiri di sini, aku tidak melihat seorang pun.” Yang dipahami oleh si A dari kalimat ini adalah bahwa kita memang tidak melihat siapa pun, termasuk si B. Inilah makna yang ditangkap oleh si A.
Padahal makna yang kita maksud, dan ini juga makna yang benar, adalah bahwa kita tidak melihat siapapun itu sejak kita berdiri. Karena tadi si B masuk ke rumah kita, ketika kita sedang duduk. Jadi apa yang kita sampaikan itu sebetulnya bukan kebohongan. Akan tetapi, makna yang ditangkap oleh orang lain itu seolah-olah adalah bohong karena mereka menangkap maksud lain dari kalimat kita.
Contoh lain dari tauriyah adalah tauriyah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, sebagaimana dalam riwayat dalam Shahih Bukhari.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa pada suatu hari, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam sedang bersama dengan Sarah, istrinya. Beliau datang kepada seorang raja yang zhalim, lalu raja tersebut diberi informasi bahwa akan ada seorang laki-laki bersama seorang wanita yang paling cantik. Sehingga diutuslah seseorang menemui Ibrahim, lalu utusan itu bertanya kepadanya.
Utusan itu bertanya, “Siapakah wanita ini?”
Ibrahim menjawab, “Dia saudaraku.” Lalu Sarah datang, maka Ibrahim pun berkata,
يَا سَارَةُ: لَيْسَ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مُؤْمِنٌ غَيْرِي وَغَيْرَكِ، وَإِنَّ هَذَا سَأَلَنِي فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّكِ أُخْتِي، فَلاَ تُكَذِّبِينِي
“Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan Engkau anggap bahwa aku berbohong.” (HR. Bukhari no. 3358)
Kata “saudara” bisa dimaksudkan dengan “saudara seiman atau seagama”; dan bisa juga dimaksudkan dengan “saudara kandung”. Nabi Ibrahim memaksudkan jawaban beliau sebagai “saudara seiman” (dan ini makna benar, tidak bohong). Meskipun yang dipahami oleh utusan raja adalah “saudara kandung” (dan ini makna yang tidak benar). Dengan kalimat tersebut, Nabi Ibrahim sedang berusaha menghindarkan istrinya, Sarah, dari kezaliman yang akan dilakukan oleh sang raja.
Tauriyah adalah jalan keluar daripada melakukan kebohongan secara terang-terangan
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat dari ulama salaf yang menunjukkan bahwa tauriyah ini adalah jalan keluar daripada harus berkata yang murni bohong dan dusta.
‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إن في معاريض الكلام ما يغني الرجل عن الكذب
“Sesunggguhnya dalam bahasa-bahasa tauriyah itu sudah mencukupi seseorang sehingga dia tidak perlu berdusta secara terang-terangan.” (Ighatsatul Lahafaan, 1: 381)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
ما يسرني بمعاريض الكلام حمر النعم
“Tidaklah membahagiakanku ketika bahasa-bahasa tauriyah itu diganti dengan unta merah (harta yang paling mahal ketika itu, pent.)” (Ighatsatul Lahafaan, 1: 381)
Jadi, menemukan kalimat-kalimat tauriyah yang bisa menyelamatkan seseorang dari dusta itu jauh lebih berharga dari unta merah yang merupakan harta yang paling mahal ketika itu.
Seorang ulama masa tabi’in, Hammad rahimahullahu Ta’ala, jika seorang tamu datang ke rumah beliau namun beliau tidak mau menemui dan berbicara dengannya, maka beliau meletakkan tangan atau jarinya ke giginya, sambil mengatakan,
ضرسي، ضرسي
“Gigiku, gigiku … “ (Afaatul Lisaan, hal. 50)
Orang mengira bahwa beliau sedang sakit gigi, sehingga mereka pun pulang karena merasa tidak enak. Padahal yang dimaksud Hammad adalah sekedar ingin menunjukkan bahwa ini gigi, dan ini tentu benar karena yang ditunjuk adalah gigi, bukan bagian tubuh yang lain.
[Bersambung]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47559-rincian-hukum-tauriyah-bag-1.html