Sesaat setelah Rasulullah SAW wafat dan beritanya pun tersebar, banyak orang Arab yang murtad (keluar dari Islam) dan tidak mau membayar zakat. Gerakan murtad ini merupakan alur pembangkangan dan fitnah tanpa dasar. Target alamiahnya adalah memusnahkan Islam dan menghancurkan kekuatan Islam Arab yang dibentuk oleh Rasulullah SAW yang saat itu kekhalifahannya dijabat oleh Abu Bakar Al-Shiddiq.
Dikisahkan dalam buku yang berjudul “Para Penggenggam Surga” karya Syaikh Muhammad Ahmad Isa, bahwa di Jazirah Arab apinya dipicu oleh banyak kabilah, negara, kekaisaran, agama juga ras yang beragam. Ketika kabar itu sampai kepada Abu Bakar, dia merespons keras, lalu bangkit untuk memerangi mereka. Dia telah memahami hakikat kemurtadan tersebut. Oleh karena itu, sahabat yang terkenal lembut dan penuh toleransi ini memandang penanganannya harus dengan tegas dan keras.
Namun, Umar yang walaupun terkenal keras dan tegas berbeda pandangan. Umar tidak setuju untuk memerangi mereka. Dia menolak pandangan Abu Bakar dan memintanya untuk mengampuni mereka yang menolak membayar zakat asalkan mereka masih mengerjakan kewajiban lain. Umar berkata, “Satukanlah manusia dan berlemah lembutlah kepada orang-orang itu.”
Abu Bakar menjawab seakan dirinya kayu yang terbakar api. “Aku berharap bantuanmu, tetapi engkau mendatangiku dengan pembangkanganmu. Engkau begitu berani pada masa jahiliyah, tetapi menjadi pengecut setelah memeluk Islam. Lalu menurutmu, dengan apa kau harus menyatukan mereka? Dengan syair yang dikarang-karang atau dengan sihir penuh tipu daya? Tidak, tidak Rasulullah SAW sudah wafat dan wahyu terputus. Demi Allah selama pedang di tangan, aku akan memerangi mereka. Walaupun hanya menolak memberikan seutas tali unta yang dulu pernah mereka berikan kepada Rasulullah SAW.”
Mendengar jawaban tersebut Umar berkata, Bagaimana engkau akan memerangi mereka, sedangkan Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang sampai mereka mengucapkan, ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.’ Siapa yang mengatakannya, harta dan darahnya semua perhitungannya adalah milik Allah.”
“Demi Allah,” kata Abu Bakar. “Akan kuperangi siapa pun yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah haknya harta. Karena itu akau berkata, ‘Kecuali karena sesuatu yang benar.’
“Demi Allah,” kata Umar, “ Aku melihat Allah telah mencerahkan dada Abu Bakar untuk berperang. Maka aku mengetahui bahwa dia benar.”
Sebab-sebab kemurtadan
Ada banyak sebab kemurtadan yang terjadi saat itu, salah satunya adalah kurangnya iman dalam hati setiap kabilah Arab. Mereka hanya berlindung dengan keimanan, tetapi belum pernah merasakan kenikmatannya. Allah menggambarkan mereka dalam firman-Nya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman”, Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman,” tetapi katakanlah, “Kamu telah tunduk (Islam),” karena iman belum masuk ke hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat (49): 14).
Mereka menunjukan ketidaksetiaannya terhadap Islam, sebagaimana kaum munafik pada saat Perang Uhud dan Tabuk. Sebenarnya, bibit gerakan pemurtadan itu sudah muncul sebelum Rasulullah SAW wafat. Namun, saat itu, nyalanya dapat diredupkan dengan wibawa kenabian dan kekuatan pengaruh Rasulullah SAW. Dengan wafatnya beliau, dan Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, gerakan tersebut bangkit, aktif, dan menyebar hingga Semenanjung Arab, terkecuali Makkah, Madinah, dan Thaif yang terus berpegang teguh pada Islam serta menjaga keberlangsungannya.
Golongan kaum murtad
Golongan kaum mutad ini di antaranya ada tiga, yaitu mereka yang murtad, mengaku sebagai nabi, dan membangkang membayar zakat. Kelompok yang murtad adalah mereka yang tidak ingin terikat oleh berbagai kewajiban dalam Islam sebagai usaha untuk memperbarui syahwat dan tingkah kebinatangan mereka. Mereka menampik ajaran Islam dan kembali pada ajaran sebelumnya yakni kehidupan jahiliyah.
Mereka menyembah patung sebagai jawaban terhadap panggilan hasrat ke duniawian seperti yang dilakukan oleh penduduk Bahrain. Sedangkan kelompok yang mengaku sebagai nabi beserta kabilah pengikutnya adalah mereka yang menyakini bahwa sebab langsung kepemimpinan Quraisy atas seluruh Arab dikarenakan kenabian Muhammad Saw.
Oleh karena itu, mereka ingin nabi dari kalangan mereka agar bisa menguasai Arab dan menjadi raja. Hal ini yang tampak pada dakwah Musailamah Al-Kadzab di tengah-tengah sukunya, Bani Hanifah, Thulaihah Al-Asadi dari Bani Asad, Al-Aswad Al-Ansi di Yaman, dan Najah binti Al-Harits dari Bani Tamin. Suku-suku tersebut membela mereka karena primordialisme walaupun tahu kebohongannya.
Adapun kelompok yang membangkang untuk membayar zakat adalah mereka yang pernah membayarnya pada masa Rassulullah Saw. sebagai bentuk kepatuhan terhadap firman Allah: “Ambilah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS Al Taubah).
Mereka berkeyakinan bahwa perintah Allah SWT tersebut diperuntukkan bagi rasul-Nya saja. Ketika Rasulullah SAW wafat, mereka menolak untuk membayar zakat kepada selain Rasul-Nya adalah firman-Nya bagi umat sang rasul. Hal ini ditambah dengan lemahnya keimanan mereka dan menganggap pembayar zakat tersebut sebagi upeti. Dengan demikian, mereka membayar zakat karena terpaksa dan menunggu hari ketika mereka dibebaskan dari kewajiban itu.
Selain itu adanya pengaruh bangsa lain yang menjadi tetangga Arab seperti Persia, Romawi, dan Habasyah. Sebelumnya, mereka memiliki koloni di Jazirah Arab sehingga mengulurkan tangan untuk membantu nyala api pembangkangan terhadap agama baru tersebut.
Fanatisme jahiliyah juga menjadi faktor kemurtadan. Hal ini bisa kita tangkap pada pernyataan Thalhah Al-Namri, “Aku bersaksi bahwa Musailamah itu pembohong dan Muhammad itu jujur. Namun, pembohong dari Arab Rabi’ah lebih kusukai daripada orang yang jujur dari Arab Mudhar.”
Hal senada juga dinyatakan oleh Al-Huthiah dan Uyainah ibn Hishn Al-Fizari dan yang lain. Mereka tidak memandang kenabian sebagai sesuatu yang murni pilihan Allah sebagaimana yang ditegaskan oleh difirman-Nya dalam QS. Al-Anam(6): 124.
Dan apabila datang suatu ayat kepada mereka, mereka berkata, “Kami tidak akan percaya (beriman) sebelum diberikan kepada kami seperti apa yang diberikan kepada rasul-rasul Allah.” Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena tipu daya yang mereka lakukan.
Kondisi ini tampak jelas dari kisah ‘Amr ibn Al-Ash ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Oman setelah Haji Wadda. Dia sampai di negeri Bani Amir dan menginap di rumah Qurrah ibn Hubuirah. Qurrah menjamunya sambil berkata, “Amr, orang Arab tidak senang dengan upeti. Jika engkau dapat menghentikan hal tersebut, mereka akan menyukai dan mematuhi kalian. Jika tidak, dugaanku mereka akan melawan kalian.” Mendengar hal tersebut, Amr berkata, “Qurrah, apakah engkau kafir? Engkau menakut-nakuti dengan Arab? Demi Allah, akan aku injakkan kaki di kepala ibumu.”
Dengan demikian, tampaklah mereka yang murtad dan mengaku nabi palsu serta membangkang membayar zakat. Interpretasi mereka ini jelas salah dan tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu Abu Bakar Al-Shiddiq mempersiapkan pasukan untuk memeranginya.
Jalannya peperangan Riddah
Abu Bakar Al-Shidiq tidak mau terburu-buru memerangi kaum murtad sampai pasukan Usamah kembali dari medan perang. Hal tersebut karena sebagian besar kekuatan kaum Muslim berada dalam pasukan itu. Sayangnya, kaum murtad tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan berusaha memanfaatkannya. Hal yang kerap terulang dalam sejarah kaum Muslim ketika musuh-musuh Islam memanfaatkan setiap kesempatan yanga ada.
Kesempatan itu terwujud ketika Thulaihah Al-Asadi memprovokasi para pengikutnya dari kabilah Abs Dzubyan, Ghathfan, Fazarah, dan Thai untuk menyerang Madinah. Gerombolan tersebut kemudian bergerak sampai pekuburan Madinah dan memecah diri menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di Dzil Qishah, daerah paling dekat dengan Madinah, hanya berjarak 35 km dari arah Najd. Sedangkan, kelompok kedua di Abraq Rabadzah berjarak sekitar 120 km dari Madinah.
Gerombolan tersebut mengirimkan utusannya ke Madinah dan meminta agar Abu Bakar membiarkan mereka melaksanakan shalat, tetapi tidak membayar zakat. Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, andai mereka menolak memberikan tali kekang unta sebagaimana yang mereka lakukan pada masa Rasulullah, maka akan kuperangi mereka.” Utusan itu kembali ke kelompoknya dan mereka pun mengetahui kelemahan Madinah yang sedang terbuka tanpa ada yang dapat menghalanginya.
Abu Bakar menyadari hal tersebut, kemudian dia mengumpulkan orang-orang, lalu berkata, “Negeri ini sedang berada dalam kegelapan. Utusan mereka telah melihat sedikitmya jumlah kalian dan kalian tidak akan mengetahui apakah mereka menyerang pada malam atau siang hari. Kelompok mereka yang paling dekat sudah ada di depan pintu. Mereka berharap kita mau menerima kedatangan mereka. Namun, kita sudah menolak mereka dan menolak tuntutan mereka. Maka bersiaplah untuk berperang.”
Setelah itu, Abu Bakar memanggil Ali, Zubair, Thalhah, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lainnya untuk memposisikan mereka di gerbang Madinah. Sebagai tindakan preventif dari penyerangan pihak musuh, Abu Bakar memerintahkan penduduk Madinah untuk terus-menerus mengunjungi masjid saat masa perang. Dan pada malam ketiga, musuh mulai menyergap Madinah. Sebagian dari mereka bersembunyi di Dzil Hissi.
Ketika sampai di gerbang Madinah, Ali dan yang lainnya berhasil memukul mundur mereka. Kabar ini sampai kepada Abu Bakar sehingga yang berjaga di masjid tidak terlalu kesulitan menghadapinya. Kemudian, Abu Bakar mengikuti pasukan tersebut hingga Dzil Hissi. Di tempat itu, kaum murtad keluar dengan kantong kulit berbentuk balon. Benda tersebut terikat tali dan digelindingkan dengan kaki mereka sehingga menakuti unta kaum Muslim. Akhirnya pasukan kaum muslimin terpaksa kembali ke Madinah.
Kemudian Abu Bakar mengumpulkan kaum Muslim dan memerintahkan untuk menyusuri jejak kaki pihak musuh. Ketika fajar tiba, pasukan kaum Muslim berada dalam posisi koordinat yang sama dengan pasukan kaum murtad tanpa sedikit pun diketahui mereka. Pasukan kaum Muslim memerangi mereka hingga mereka lari tunggang langgang. Kaum Muslim mendapatkan unta kaum murtad sebagai rampasan perang.
Selanjutnya, Abu Bakar mengikuti pasukan kaum Muslim sampai ke Dzil Qishah. Di sana, dia mengetahui kabar kemenangan pasukannya. Sebelum kembali ke Madinah dia menempatkan Al-Nu’man ibn Muqarrin bersama sejumlah orang Muslim lainnya di Dzil Qishah.
Kemenangan kaum Muslim dalam peperangan kali ini punya pengaruh baik. Penduduk Madinah dengan Abu Bakar sebagai pemimpinnya dan jumlah Muslim yang tidak seberapa dapat berdiri tegak di hadapan gerombolan berjumlah besar yang terdiri atas suku Abs, Dzubyan, Ghathfan, Fazarah, dan Thai. Pertempuran saat itu telah membuktikan kepada orang Arab bahwa kaum Muslim mampu menghalau semua musuh bahkan dalam kondisi tidak adanya pasukan Usamah.
Setelah pertempuran berakhir banyak kabilah yang kembali kepada Islam. Banyak pula utusan kabilah yang membayarkan zakat kepada khalifah Rasulullah tersebut. Di antara mereka yang pertama menunaikan kewajiban zakat adalah Shafwan ibn Shafwan, Zabarqan ibn Badr dari Bani Tamim, dan Adi ibn Hathim Al-Thai yang merupakan salah seorang ketua Bani Thai.
Pada Rajab 11 H (September 632 M) pasukan Usamah kembali dengan kemenangan dan membawa rampasan perang. Setelah pasukan Usamah beristirahat selama dua minggu, Abu Bakar memobilisasi mereka semua untuk memerangi kaum murtad. Dia ke Dzil Qishah dan kaum Muslim dari berbagai penjuru berkumpul di sekelilingnya. Abu Bakar ingin menghancurkan kaum murtad dengan telak. Oleh karena itu dia membagi sebelas panji dan menunjuk panglima untuk setiap panji serta arah yang harus dituju. Abu Bakar memperhatikan rasio kekuatan dan kepemimpinan pasukan dengan kabilah yang menjadi target serangan.
Sebelum semua pasukan tersebut diberangkatkan untuk melakukan penyerangan, Abu Bakar sudah mengirim surat kepada kaum murtad sebagai peringatan. Dalam isi suratnya, Abu Bakar mengajak mereka untuk kembali kepada Islam dan jalan kebenaran juga menerangkan kesalahan dan kesesatan mereka. Sebagian mereka merespons dengan positif, sedangkan yang lain tetap dalam kesesatannya. Maka, pasukan kaum Muslim memerangi mereka dengan sengit selama setahun penuh dan kemenangan berpihak kepada kaum Muslim.
Sepanjang peperangan itu, Abu Bakar mengawasi setiap pergerakan pasukan dari berbagai medan perang juga menerima laporan dari para panglima serta membalasnya. Dia pun mengarahkan sebagaian pasukannya untuk membantu pasukan lain, jika memang hal tersebut dibutuhkan.
Ada beberapa faktor kemenangan kaum Muslim dalam Perang Riddah, antara lain : Kekuatan akidah Islam dalam diri para penganutnya. Mereka memegang kukuh keislaman dan berjihad karena Allah. Keteguhan tekad Abu Bakar r.a dan perhatiannya yang besar serta manajemen krisis yang bagus. Militansi para pejuang Muslim ditambah dengan strategi bantuan, yaitu berperang di berbagai lini dalam satu waktu dengan ketersediaan bantuan dari berbagai arena peperangan. Bobroknya fondasi yang dibangun oleh kaum murtad membuat sebagian mereka kembali memeluk Islam. Mereka tidak memiliki tujuan yang pantas untuk dibela.
Peperangan ini menyajikan hikmah yang bermanfaat. Kalaupun ada yang murtad di antara umat, Allah akan memudahkan untuk mengembalikan mereka kepada jalan-Nya asalkan pemimpinnya tetap istiqamah. Namun, hal sebaliknya terjadi bila pemimpinnya kafir dan murtad.