Perayaan Idul Fitri kaum muslim di Indonesia disempurnakan dengan tradisi saling memaafkan antarsanak kerabat, saudara, dan kolega (halal bihalal). Ruang batin kaum muslim terasa syahdu dan penuh pesona.
Kasyahduan semakin mengharukan tatkala satu sama lain dengan sikap rendah hati saling menyampaikan rasa bersalah dan memohon maaf. Barang kali bagi orang yang belum mengenal budaya muslim Indonesia merasa aneh.
Pertemuan dua orang atau lebih yang setiap hari bertemu tapi masih perlu waktu khusus saling bermaafan. Keanehan berikutnya adalah begitu bertemu antara dua orang yang lama berpisah ucapan pertama langsung mengaku dan merasa bersalah lalu minta maaf dan memberi maaf.
Bagi masyarakat Indonesia, mengaku dan merasa bersalah bukanlah aib, akan tetapi sebagai ungkapan sikap rendah hati dan kehati-hatian dalam pergaulan. Siapa tahu kelakuannya selama ini merugikan dan membuat orang lain tidak nyaman. Kesalahan bisa terjadi karena disengaja atau direncanakan bisa juga tidak disengaja.
Sedangkan memaafkan merupakan sikap kebesaran hati kita menghapus kesalahan, baik sengaja maupun tidak disengaja, yang dilakukan orang lain terhadap diri kita. Sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak yang mulia, yang harus menyertai setiap muslim di manapun.
Dalam praktiknya, memaafkan memang bukan kebiasaan yang mudah, lebih-lebih bagi orang terzalimi. Alquran mengkonfirmasi tindakan memaafkan itu sebagai satu indikator dan ciri capaian derajat ketakwaan seseorang dan menjadi gerbang utama untuk masuk kedalam golongan muhsinin.
“(Orang yang bertakwa) adalah orang yang menahan amarahnya dan memaafkan di antara manusia. Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron/3: 134). Ada beberapa alasan mengapa menjadi pemaaf menempati posisi penting dalam relasi keilahian dan solidaritas kemanusiaan.
Pertama, memaafkan berarti pengkondisian hati sehingga nihil dari kotoran dan penyakit seperti dengki, angkuh, iri, dendam dan sejenisnya. Ketika seseorang telah sungguh-sungguh memaafkan sejatinya telah terjadi proses peruntuhan ego, peleburan dengki, dan penghancuran nafsu dendam yang menggumpal.
Kedua, kesediaan memaafkan menjadi fondasi terbentuknya solidaritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Solidaritas sosial mustahil terbangun tanpa dilandasi sikap kerelaan untuk saling menghapus dendam dan menatap masa depan yang lebih positif.
Inilah solidaritas organik, yakni suatu anyaman hidup bermasyarakat dimana hubungan antarindividu saling kenal, saling terkait, dan saling menyapa, serta penuh empati. Sikapsaling memaafkan merupakan media yang harus dilalui agar manusia mendapatkan ampunan dari Tuhannya.
Dalam sebuah firman-Nya dinyatakan, “dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada (menghapus kesalahan). Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur/24: 22).
Alquran memang menetapkan seseorang yang dizalimi diizinkan untuk membela diri dan membalasnya, tapi bukan balas dendam. Pembalasan harus dilakukan secara simpatik dan sekadar membela diri. Akhlak yang utama adalah menunjukkan keluhuran perangai, bersabar, dan member maaf.
Allah akan memberi ampunan kepada manusia bila mereka terlebih dahulu menuntaskan kenistaan dengan saling memaafkan, menghapus kesalahan, dan berlapang dada antarsesama. Dalam tradisi masyarakat Indonesia, sikap saling memberi maaf dapat memompa gairah baru dalam kebersamaan dan memupuk empati untuk pergaulan hidup yang harmonis.
Dr Mutohharun Jinan MAg, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta