SESEORANG bertanya kepada Syaqiq ibn Ibrahim, “Manusia menyebutku orang saleh. Tetapi, bagaimana caranya saya tahu bahwa saya ini orang yang saleh atau bukan?”
Syaqiq menjawab, “Pertama, tampakkanlah amalan yang kamu rahasiakan di hadapan orang-orang saleh. Jika mereka meridainya, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika mereka tidak meridainya, kamu belum tergolong orang saleh. Kedua, palingkan dunia dari hatimu. Jika kamu sanggup berpaling dari kehidupan dunia, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu tidak sanggup, kamu belum termasuk orang saleh. Ketika, palingkanlah kematian dari jiwamu. Jika kamu berani mengharapkan kematian, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu belum berani menghadapi kematian, kamu belum termasuk orang saleh. Jika tiga hal ini telah berkumpul dalam dirimu, rendahkanlah dirimu kepada Allah agar amalanmu tidak ternodai oleh sifat ria dan tetaplah istiqamah dengan amalanmu.”
Hamid al-Laffaf berkata, “Jika Allah menghendaki seseorang celaka, maka Allah akan menyiksanya dengan tiga tanda. Pertama, Allah memberikan ilmu kepadanya, tetapi Allah tidak
menganugerahkan kemampuan untuk mengamalkan ilmu itu. Kedua, orang itu senang berkumpul dengan orang-orang saleh, tetapi ia sendiri enggan mengetahui kewajiban-kewajiban orang saleh. Ketiga, Allah membukakan pintu ketaatan baginya, tetapi ia tidak dapat ikhlas beramal.”
Berkaitan dengan perkataan itu, seorang fakih berkata, “Itu terjadi karena orang itu menyimpan niat dan tujuan yang buruk. Seandainya niatnya baik, maka Allah akan menganugerahinya manfaat ilmu dan keikhlasan beramal.”
Ingatlah kalimat dalam satu syair yang menyebutkan..
Riya dapat mengikis pahala amal yang seseorang lakukan..
Jika kamu beramal dengan ria, tak aka nada pahala yang kamu dapatkan.
Jadi kembali lagi ke pribadi kita masing-masing, apakah kita ingin dirahmati Allah semua amalan yang telah kita perbuat, atau malah Allah menghendaki kita celaka karena sifat ria yang terselip dalam hati kita? [Chairunnisa Dhiee]
Sumber buku “Ikhlas Tanpa Batas”