HARI Asyura, hari yang sangat istimewa. Hingga Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan banyak perhatian pada hari itu untuk berpuasa. Dari Ibnu Abbbas Radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan, “Saya belum pernah melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap puasa di satu hari yang beliau istimewakan, melebihi hari asyura, dan puasa di bulan ini, yaitu Ramadhan.” (HR. Ahmad 3539 & Bukhari 2006)
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga menjanjikan, puasa di hari Asyura, bisa menjadi kaffarah (penebus dosa) setahun yang lalu. Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa di hari Asyura. Jawab beliau, “Bisa menjadi kaffarah setahun yang lalu.” (HR. Ahmad 23200 dan Muslim 2804)
Berdasarkan beberapa hadis di atas, ulama sepakat bahwa puasa pada hari Asyura tidak wajib, dan mayoritas ulama mengatakan hukumnya anjuran. Al-Hafidz Ibn Rajab menyebutkan tahapan perjalanan puasa Asyura. Tahapan pertama, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan puasa Asyura bersama orang musyrikin Mekah.
Aisyah Radhiyallahu anhu menceritakan, “Hari Asyura adalah hari puasanya orang quraisy di masa Jahiliyah. Dan dulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga berpuasa Asyura. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau melakukan puasa itu, dan menyuruh para sahabat untuk melakukan puasa Asyura.” (HR. Bukhari 2002 dan Muslim 2693)
Tahapan kedua, ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang yahudi melakukan puasa Asyura, akhirnya beliaupun berpuasa dan menyuruh para sahabat untuk berpuasa. Dari Ibn Abbas radliallahu anhuma, beliau mengatakan: Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Firaun. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak untuk bangga terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Bukhari 4680).
Dan ketika itu, puasa Asyura menjadi puasa wajib bagi kaum muslimin. Dari Rubayyi binti Muawwidz radliallahu anha, beliau mengatakan: Suatu ketika, di pagi hari Asyura, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Bukhari 1960)
Tahapan ketiga, ketika ramadhan diwajibkan, hukum puasa Asyura menjadi anjuran dan tidak wajib. Aisyah mengatakan, Dulu hari Asyura dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura. Siapa yang ingin puasa Asyura boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura boleh tidak puasa. (HR. Bukhari2002 dan Muslim 2693)
Tahapan Keempat, di akhir hayat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau memerintahkan sahabat untuk melakukan puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharam, untuk membedakan dengan orang yahudi. Dari Ibn Abbas radliallahu anhuma, beliau menceritakan: Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Muslim 2722)
Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]