Definisi Uang Kartal
Dalam Fiqh az-Zakah (1: 269), menurut Dr. Qardhawi uang kartal (al-waraq an-naqdiyah) didefinisikan sebagai kertas khusus yang dihias dengan relief tertentu dan memuat nomor yang valid. Kertas ini umumnya setara dengan cadangan mineral dalam persentase tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Kertas ini dikeluarkan oleh pemerintah atau badan yang diizinkan oleh pemerintah agar masyarakat mempertukarkannya sebagai mata uang. Di masing-masing negara kertas ini diberi dengan nama khusus seperti Rupiah, Riyal, Junaih, Dinar, Dirham, Yen, Dolar, Euro, dll.
Lebih umum dari definisi Dr. Qardhawi, uang kartal tidak hanya mencakup uang berbahan kertas, tapi juga berbahan logam. Wikipedia mengemukakan bahwa uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan otoritas moneter, dalam hal ini adalah bank sentral (https://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang).
Di negara kita, Indonesia, uang kartal berarti uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. (https://www.bi.go.id/id/Kamus.aspx?id=U).
Status Uang Kartal
Ulama berbeda pandangan dalam memahami dan mengkategorikan uang kartal. Apakah dia komoditi perdagangan atau pengganti emas dan perak? Atau apakah dia adalah surat utang pihak pembuat kepada pembawanya? Ulama kontemporer memiliki sejumlah pandangan berikut dalam menyikapi uang kartal.
Pandangan Pertama
Uang kartal adalah surat utang yang harus dibayar oleh pihak pembuatnya kepada orang yang membawa uang tersebut. Ilustrasinya, uang kartal sebesar Rp100.000,- yang dikeluarkan oleh Bank Sentral atau lembaga keuangan, maka orang yang membawa uang ini berhak atas piutang sejumlah angka yang tertulis di atas uang tersebut dari pihak yang mengeluarkannya [Bahjah al-Musytaq fii Bayaan Hukm Zakaat Amwaal al-Awraaq hlm. 22; Adhwaa’ al-Bayaan 1: 225].
Pandangan Kedua
Uang kartal adalah komoditi perdagangan dan tidak memiliki ciri-ciri sebagai alat pembayaran. Dia hanya berfungsi sebagai barang atau perkakas [al-Fataawaa as-Sa’diyah hlm. 315; al-Awraaq an-Naqdiyah fii al-Iqtishaad al-Islamiy Qiimatuha wa Ahkaamuha hlm. 173; al-Waraq an-Naqdiy hlm. 55].
Pandangan Ketiga
Uang kartal seperti fulus yaitu bahan tambang selain emas dan perak yang dicetak untuk digunakan sebagai mata uang dan alat pembayaran [al-Waraq an-Naqdiy hlm. 65; Syarh al-Qawaa’id al-Fiqihiyah hlm.173; Zakaat an-Nuquud al-Waraqiyah al-Mu’aashirah hlm. 90].
Pandangan Keempat
Uang kartal merupakan pengganti emas dan perak, karena itu statusnya sama dengan emas dan perak [al-Awraaq an-Naqdiyah fii al-Iqtishaad al-Islamiy Qiimatuha wa Ahkaamuha hlm. 204]
Pandangan Kelima
Uang kartal adalah mata uang tersendiri yang berdiri secara independen dan memiliki implikasi hukum yang sama dengan emas dan perak [Majallah al-Buhuuts al-Islaamiy no. 31 hlm. 376, ketetapan no. 10; Majallah Mujamma’ al-Fiqh al-Islaamiy no. 3 jilid ketiga].
Pandangan terakhir ini merupakan pandangan mayoritas ulama. Hal ini difatwakan oleh Hai-ah Kibar Ulama di Arab Saudi dan Mujamma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy di Mekkah. Pandangan inilah yang paling tepat dalam mengategorikan status uang kartal.
Implikasi dari pandangan terakhir ini adalah uang kartal wajib dizakati sebagaimana emas dan perak meskipun tidak digunakan dalam jual-beli. Seperti seseorang yang memiliki uang Rp85.000.000,- atau seribu batang emas, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Berbeda dengan pandangan yang menyatakan uang kartal adalah komoditi perdagangan semisal buku dan pakaian yang tidak wajib dizakati dan baru jadi obyek zakat ketika diperjual-belikan [Fiqh an-Nawaazil fii al-Ibaadaat, al-Qism ats-Tsaaniy, hlm. 11].
Hukum Zakat Uang Kartal
Uang kartal wajib dizakati. Demikianlah yang difatwakan oleh Majma’ al-Fiqhiy yang berada di bawah ar-Rabithah al-Aalam al-Islaamiy dan al-Lajnah ad-Daaimah [Majallah Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy no. 3, jilid 3 hlm. 952; Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah, vol. 1, 13/444]. Itu pula yang menjadi pendapat dari Syaikh Abdul Aziz ibn Baaz dan Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahumullah [Majmu’ Fataawaa Ibn Baaz 14: 333; asy-Syarh al-Mumti’ 6: 95].
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
القولُ الرَّاجِحُ في هذه العملاتِ: أنَّ الزَّكاةَ فيها واجبةٌ مطلقًا، سواءٌ قُصِدَ بها التِّجارة أو لا
“Pendapat terpilih terkait mata uang (kartal) ini adalah wajib dizakati secara mutlak, baik uang itu diniatkan untuk diperdagangkan atau tidak.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 95]
Kewajiban zakat atas uang kartal ditunjukkan oleh sejumlah alasan berikut:
Pertama, firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” [QS. at-Taubah: 34]
Frasa “tidak menafkahkannya …” pada ayat di atas merupakan isyarat bahwa ciri utama dari emas dan perak adalah fungsinya sebagai nuqud, yaitu alat yang digunakan masyarakat untuk bertransaksi, yang keduanya memang dipergunakan untuk memenuhi nafkah [Fiqh az-Zakaah 1: 241].
Kedua, firman Allah Ta’ala,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka …” [QS. at-Taubah: 103]
Ayat di atas secara umum menunjukkan kewajiban zakat pada setiap harta dan salah satu harta yang menjadi patokan saat ini adalah uang kartal [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93]
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan zakat pada uang perak di antara jenis perak dan tidak menyebutkan jenis selain itu (misal perhiasan perak -pen). Beliau tidak mengatakan apabila perak mencapai berat sekian, maka besaran zakatnya adalah sekian. Akan tetapi, beliau mempersyaratkan statusnya sebagai uang perak (ar-riqqah). Istilah ini dipahami oleh bangsa Arab sebagai uang perak dengan nilai dan relief tertentu yang beredar di masyarakat. Karena alasan itu, uang kartal saat ini memiliki hukum yang sama [al-Amwaal, hlm. 542-543].
Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menginformasikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman,
وأعْلِمْهم أنَّ اللهَ افترَضَ عليهم صدقةً في أموالِهم
“ … beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (Zakat) dari harta mereka … ” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19]
Pada saat ini, uang kartal tercakup dalam keumuman harta [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93].
Kelima, uang kartal telah beredar secara luas dan diterima masyarakat. Ia memiliki karakteristik harga karena statusnya sebagai standar nilai dan penyimpan kekayaan [Abhaats Haiah Kibaar al-Ulamaa, 1: 91].
Keenam, pada saat ini nilai uang kartal sebagai harga sudah sangat mengakar. Bahkan uang kartal itu justru menjadi harga/nilai bagi emas dan perak itu sendiri. Dengan demikian, uang kartal harus dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri sebagaimana status emas dan perak karena adanya kesamaan [Majallah al-Buhuuts al-Islaamiyah 39: 314, 320; Abhaats Haiah Kibaar al-Ulamaa 1: 92]
Ketujuh, apabila uang kartal tidak dikategorikan sebagai mata uang, maka hal itu melazimkan tidak ada riba lagi yang terjadi di masyarakat karena mayoritas transaksi yang dilakukan saat ini menggunakan uang kartal. Demikian pula akibat dari pandangan tersebut adalah tidak ada kewajiban zakat yang harus ditunaikan oleh orang yang memiliki uang kartal selama tidak diperjual-belikan. Konsekuensi tersebut tentu saja tidak tepat [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93]
Nishab Uang Kartal
Ahli fikih kontemporer berbeda pandangan dalam menilai kewajiban zakat pada uang kartal di awal kemunculannya. Hal itu dikarenakan perbedaan pandangan dalam memahami status uang kartal. Namun perbedaan itu berangsur-angsur mereda seiring dengan berkembangnya transaksi yang menggunakan uang kartal dan fungsinya yang bisa berperan sebagai mata uang, hingga hampir-hampir tidak ada seorang ahli fikih yang menyatakan bahwa uang kartal tidak wajib dizakati [Fiqh az-Zakaah 1: 2294, Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy 3/3/1965; al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 23: 267]
Atas hal itu, menjadi penting untuk mengenali nishab uang kartal, terlebih tidak ada dalil khusus yang menyatakan besaran nishab untuk uang kartal karena ia muncul setelah masa pensyariatan usai. Akan tetapi, ketika tujuan adanya uang kartal ini adalah statusnya sebagai harta dan nilai pertukarannya, maka yang menjadi tolok ukur dalam nishab uang kartal adalah nilainya yang diketahui dengan taksiran terhadap emas dan perak.
Pendapat terpilih dalam hal ini adalah nishab uang kartal terpenuhi ketika mencapai nishab terendah antara emas dan perak. Dalil-dalil yang shahih telah menetapkan nishab bagi emas dan perak dan ketika terjadi perbedaan wajib memilih nishab terendah dari keduanya karena lebih bermanfaat bagi fakir miskin dan lebih utama dalam membebaskan tanggung jawab wajib zakat (muzakkiy).
Berdasarkan hal di atas, untuk mengetahui nishab uang kartal kita bisa menghitung nilai/harga nishab emas dan nishab perak, kemudian memilih nishab terendah dan mengeluarkan zakat dalam bentuk uang kartal yang setara dengan nilai nishab tersebut [Nawaazil az-Zakaah hlm. 160]
Ilustrasinya sebagai berikut:
Jika diasumsikan harga emas murni saat ini adalah Rp800.000,- per gram, maka nishab emas adalah sebesar 85 gram x Rp800.000,- = Rp68.000.000,-.
Adapun jika diasumsikan harga perak murni saat ini adalah Rp14.000,- per gram, maka nishab perak adalah 595 gram xRp14.000,- = Rp8.330.000,-
Maka dalam hal ini, nishab bagi uang kartal adalah nishab terendah, yaitu nishab perak. Sehingga seorang yang memiliki uang kartal sebesar Rp8.330.000,- telah mencapai nishab. Dan apabila telah memenuhi haul, wajib menunaikan zakat sebesar 2,5%.
Menyatukan Uang Kartal dengan Emas atau Perak untuk Menyempurnakan Nishab
Telah disampaikan pada artikel sebelumnya bahwa berat emas dan perak tidak dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab.
Berdasarkan hal itu, untuk menyempurnakan nishab, uang kartal hanya dapat digabungkan dengan emas atau perak saja. Apabila seseorang memiliki uang kartal, namun nilainya belum mencapai nishab, tapi dia memiliki emas atau perak yang jika dikonversikan nilainya bisa mencapai nishab, maka wajib menyatukan uang kartal ini dengan nilai emas atau perak yang dimiliki sehingga bisa menyempurnakan nishab uang kartal (https://islamqa.info/amp/ar/answers/201807).
Menyatukan Uang Kartal yang Berbeda dengan Nilai Komoditi Perdagangan untuk Menyempurnakan Nishab
Sebagaimana nilai komoditi perdagangan dapat disatukan pada nishab emas atau nishab perak, demikian pula dengan uang kartal, ia dapat disatukan dengan nilai komoditi perdagangan untuk menyempurnakan nishab. Demikian pula uang kartal yang satu bisa disatukan dengan uang kartal yang lain untuk menyempurnakan nishab sehingga mata uang rupiah bisa disatukan dengan mata uang dollar, riyal, atau mata uang lain agar nishab tercapai [Zakaat al-Awraaq an-Naqdiyah wa Hukm Dham an-Nuquud Ba’dhuha ilaa Ba’dh hlm. 42-43]
Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy menyatakan,
وجوبُ زكاةِ الأوراق النقديَّة إذا بلغت قيمَتُها أدنى النِّصَابينِ من ذهب أو فضَّة، أو كانت تُكَمِّلُ النِّصَاب مع غيرها من الأثمانِ والعروض المعدَّة للتِّجارة
“Uang kartal wajib dizakati apabila: (a) nilainya mencapai nishab terendah antara emas dan perak; atau (b) nilainya menyempurnakan nishab apabila disatukan dengan mata uang yang lain dan komoditi perdagangan.” [Majallah Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy no. 3, jilid 3 hlm, 952]
Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.
Artikel: www.muslim.or.id