SUATU ketika, Abdullah bin Mas’ud Ra berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Dengan spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dikatakan kepada beliau, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan kalimat itu?” Beliau menjawab, “Ini musibah.”
Lepasnya tali sandal memang bukan persoalan besar yang layak disebut musibah. Tetapi Ibnu Mas’ud, menunjukkan kepada kita bahwa sekecil apapun peristiwa hidup yang dialami, jangan menganggap tidak ada keterlibatan Allah Subhanahu Wata’ala di dalamnya. Musibah bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk menimpa orang-orang yang shaleh dan mulia.
Hidup ini, hakikatnya keniscayaan adanya cobaan dan musibah. “Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (QS: al-Baqarah: 155-156).
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Atha bahwa orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para sahabat Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi Wassalam. Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat seseorang di sisi Allah tidak menjadi penghalang turunnya musibah dunia kepadanya. Kita sering melihat, seseorang yang tekun menjalankan ibadah dan tekun berikhtiar, hidupnya seringkali didera musibah. Padahal di sisi lain, orang yang bergelimang dosa dan maksiat justru nampak lebih makmur, sejahtera, dan jarang mendapat musibah. Ketika tertimpa musibah, sebagian kita merasa sangat terbebani, marah dan tidak sabar. Lalu, kita pun protes, dan menggugat Allah; “Tuhan tidak adil kepada kita”
Kemampuan akal dan pemahaman kita cenderung memahami keumuman sebab dan akibat. Itulah kelemahan sisi manusiawi kita. Akan tetapi, sebenarnya, Allah menanamkan kepada kita akal yang mampu memikirkan apa yang tersembunyi dari musibah itu sehingga ia mampu memetik hikmah yang samar dan sebab yang tersembunyi. Semakin banyak merenungkan hikmah ilahiah, ia akan mampu memahami perkara yang tidak mampu dipahami oleh yang lainnya tentang agungnya kelembutan Allah.
Sebenarnya, ujian dan musibah yang diberikan Allah itu “sedikit”. Kadarnya sedikit jika dibandingkan dengan potensi yang telah Allah anugerahkan kepada kita sebagai manusia.
Ujian Allah itu sedikit, sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Hal ini tidak ubahnya seperti imtihan (ujian) yang dilakukan anak-anak didik kita. Soal-soal ujian disesuaikan dengan tingkat pendidikan masing-masing. Semakin tinggi kelas dan jenjang pendidikan, semakin berat soal ujian. Maka, setiap yang diuji akan lulus jika ia mempersiapkan diri dengan baik serta mengikuti tuntunan yang diajarkan.
Apa yang telah Allah ajarkan kepada kita? Ternyata Allah sudah mengajarkan kita shalat dan sabar. Kedua hal inilah yang harus diamalkan sebelum dan saat datangnya ujian Allah. Karena itu, Hudzaifah Ibn al-Yaman mengatakan “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dihadapkan pada satu kesulitan dan ujian, beliau melaksanakan shalat”. Allah juga telah berpesan; “sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Bagi orang yang sabar, musibah yang diterimanya memiliki dampak yang lebih besar daripada orang yang marah dan berkeluh kesah, meskipun musibahnya sama. Pada sebagian manusia, musibah menjadi rahmat baginya sehingga ia dapat “kembali” kepada Allah. Namun, tidak sedikit diantara manusia yang gagal dalam menyikapi musibah. Musibah itu ada yang tampak dan ada yang tersembunyi. Demikian pula dari sisi jenis dan kadarnya. Sebagian manusia diuji dengan musibah yang tidak tampak, namun sejatinya lebih besar jika dibandingkan dengan musibah yang tampak pada orang lain. Allah mengkhususkan dengan musibah yang demikian, karena hal itu lebih sesuai untuk menjadi penghapus dosanya.
Manusia harus terus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara kebenaran dan kebatilan, persaingan antara kebaikan dan keburukan. Tentu saja dalam pergulatan dan pertarungan itu pasti ada korban; pihak yang benar atau yang salah. Korban itu bisa harta, jiwa, kedudukan dan lain-lain. Tetapi korban itu hakikatnya sedikit, bahkan itulah yang menjadi bahan bakar memperlancar jalannya kehidupan serta mempercepat pencapaian tujuan.
Maka, apapun ujiannya, itu baik. Yang buruk adalah kegagalan menghadapinya. Takut menghadapi ujian adalah pintu gerbang kegagalan, demikian juga ujian-ujian Ilahi. Muslim yang baik akan merespons setiap sesuatu yang ditakuti dengan membentengi diri dari gangguannya. Biarkan dia datang kapan saja, tetapi ketika itu kita telah siap menjawab dan menghadapinya. Orang yang siap menghadapi ujian inilah yang layak mendapat keberkahan.
Keberkahan itu sempurna, banyak dan beraneka ragam. Ia bisa berupa limpahan pengampunan, pujian, dan ketenteraman hati. Semua keberkahan itu bersumber dari Tuhan Yang Memelihara dan Mendidik. Keberkahan itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya kepada kita.*
Oleh: Shaifurrokhman Mahfudz, Penulis adalah Sekjen Andalusia Islamic Center