Di Balik Musibah yang Menimpa

Musibah merupakan suatu fenomena yang sering kita dengar, bahkan telah akrab di telinga kita dalam beberapa waktu terakhir ini, khususnya di bumi pertiwi. Musibah tersebut berupa gempa bumi, banjir, dan erupsi. Banyak pihak yang mengklaim bahwa musibah ini terjadi karena adanya ini dan itu. Namun, bagaimanakah Islam memandang musibah, apa penyebab, serta apa hikmahnya?

Sebab datangnya musibah

Hendaklah diketahui oleh setiap orang yang beriman bahwa musibah yang datang merupakan bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepadanya. Ujian tersebut dapat meninggikan derajat seorang muslim di sisi Allah. Bahkan bila ia bersabar, hal itu dapat menggugurkan dosa-dosanya. Ujian yang berat akan dibalas dengan pahala yang besar pula.

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamjuga bersabda,

فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ

“Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398)

Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam. Dengan adanya musibah ini, semoga kita semakin ingat kepada Allah dan kembali bertobat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar Rum: 41)

Semua orang pasti diuji

Ujian itu tak pandang bulu, entah ia kaya atau miskin, tua atau muda, semua pasti sedang atau akan mendapatkan ujiannya masing-masing. Bentuk ujian pun bermacam-macam, dapat berupa kesulitan atau kelapangan. Setiap hamba akan kembali kepada Allah Ta’ala untuk dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, apakah dia bisa bersabar dengan ujian yang diberikan atau dia malah kufur kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Ujian tak hanya berupa musibah, ada yang diuji dengan himpitan finansial, kekerasan dalam rumah tangga, dan berbagai macam ujian. Jadi, kita sebagaimana manusia yang lain, juga ditimpa musibah atau ujian yang beraneka ragam. Bisa jadi ujian yang dialami orang lain lebih berat dan lebih besar.

Musibah yang kita alami sekarang tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan musibah yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para nabi sebelumnya. Dari Mush’ab bin Sa’id (seorang tabi’in) dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

Para Nabi, kemudian yang semisalnya, dan semisalnya lagi …(HR. Tirmidzi no. 2398)

BACA JUGA: Tauhid dan Terangkatnya Musibah

Kamu mampu, ujian ini akan menumbuhkan banyak kebaikan

Terkadang musibah yang melanda bisa mendatangkan banyak kebaikan. Selain dapat meninggikan derajat dan menghapus dosa, ujian yang hadir menyadarkan kita akan lemahnya diri ini dan butuhnya kita terhadap Allah Ta’ala. Ada juga yang tersadarkan bahwa kebanggaan (ujub) terhadap harta dunia yang ia miliki tiba-tiba sirna dalam sekejap mata.

Maka, yakinlah saudaraku, bahwa di balik ujian dan musibah yang menimpamu, ada kebaikan dan hikmahnya. Bahkan, sekiranya ujian tersebut tidak datang, bisa jadi kondisimu akan lebih buruk. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216)

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,

فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Maka mungkin kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa: 19)

Tak ada kegembiraan sempurna, kecuali di akhirat

Dunia adalah tempatnya ujian dan cobaan. Tidak ada manusia yang hidup terlepas dari keduanya. Selama kita masih hidup di dunia, maka kita harus bersiap dengan segala ujian yang menghadang. Maka, bersabarlah saudaraku, tiada istirahat yang paripurna dan tidak ada kegembiraaan yang sempurna, melainkan hanya di akhirat kelak.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81330-di-balik-musibah-yang-menimpa.html

Sikap Seorang Muslim dalam Menghadapi Musibah

Sebagai hamba Allâh Ta’ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.

Allâh Ta’ala berfirman:

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs al-Anbiyâ’/21:35)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.[1]

KEBAHAGIAAN HIDUP DENGAN BERTAKWA KEPADA ALLAH TA’ALA

Allâh Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.

Allâh Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu
yang memberi (kemaslahatan)[2] hidup bagimu
(Qs al-Anfâl/8:24)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:

“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup, sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allâh Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam secara lahir maupun batin”[3].

Allâh Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Hûd/11:3)

Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat. [4]

SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM MENGHADAPI MASALAH

Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.

Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâh Ta’ala dalam firman-Nya:

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs at-Taghâbun/64:11)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]

Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.

Meskipun Allâh Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.

Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).

Sungguh Allâh Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:

”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan” (Qs an-Nisâ/4:104).

Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta’ala.”[6]

HIKMAH COBAAN

Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta’ala.

Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.

Dengan sikap ini, Allâh Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allâh Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang artinya:

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.[7]

Maknanya: Allâh Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta’ala.[8]

Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:

1.Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala[9].
2.Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10]Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”[11]
3.Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.[12]Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”[13]

PENUTUP

Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah wal jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta’ala takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:

“Dan Allâh Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya.

Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).

Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[14]

[1]Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).
[2]Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
[3]Kitab Al-Fawâ-id (hal 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’)
[4]Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi).
[5]Tafsîr Ibnu Katsîr (8/137)
[6]Ighâtsatul Lahfân (hal 421-422 – Mawâridul Amân)
[7]HR al-Bukhâri (no 7066- cet. Dâru Ibni Katsîr) dan Muslim (no 2675)
[8]Lihat kitab Faidhul Qadîr (2/312) dan Tuhfatul Ahwadzi (7/53)
[9]Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 422 – Mawâridul Amân)
[10]Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 424 – Mawâridul Amân)
[11]HR Muslim (no 2999)
[12]Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul lahfân (hal 423 – Mawâridul amân), dan imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (hal 461- cet. Dâr Ibni Hazm).
[13]HR al-Bukhâri (no. 6053)
[14]Kitab Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi)

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/5026-sikap-seorang-muslim-dalam-menghadapi-musibah.html

Istighfar Menolak Bala’ dan Bencana

ALANGKAH banyaknya bencana yang menimpa negara kita, dari banjir tsunami, gempa bumi, tanah longsor, semburan lumpur, jatuhnya pesawat, tenggelamnya kapal dan lain-lainnya.

Bencana-bencana tersebut membuat kehidupan sebagian besar dari rakyat Indonesia menjadi tidak tenang. Banyak para ahli memberikan sumbangan pemikiran, tenaga dan ilmu mereka untuk mengatasi bencana-bencana tersebut.

Akan tetapi yang sangat disayangkan, mereka lupa bahwa Allah-lah yang menetapkan bencana-bencana tersebut kepada bangsa Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia, karena bangsa ini telah melupakan Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Makanya, semestinya para pemegang tampuk kekuasaan di Indonesia ini melakukan intropeksi ke dalam dan bersama-sama rakyat untuk kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beristighfar memohon ampun atas segala dosa-dosa, niscaya Allah akan mengabulkan istighfar mereka dan menghentikan bala’ dan bencana tersebut.

Hal ini sesuai dengan firman Allah :

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS: Al Anfal: 33)

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas :
كان فيهم أمانان النبي صلى الله عليه وسلم والاستغفار فذهب النبي صلى الله عليه وسلم وبقي الاستغفار

“Dulu para sahabat mempunyai dua penolak bala’, yaitu keberadaan nabi Muhammad ﷺ dan istighfar, maka ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, penolak bala’ itu tinggal satu, yaitu istihgfar.”

Maka sangat dianjurkan siapa saja yang mendapatkan bencana atau cobaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti sakit, atau tersesat di jalan atau terjebak dalam gua, atau diculik orang atau terkena semburan lumpur, atau tergenang banjir, atau tertimpa bangunan karena gempa dan lain-lainnya, agar segera ber-istighfar kepada Allah mengakui dosa-dosanya dan memohon ampun Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Nabi Yunus ‘alaihi as-salam, telah memberikan contoh kepada kita, ketika beliau terjebak dalam perut ikan Paus, segera beristighfar dan memohon ampun atas dosa-dosanya, bahkan sebelumnya didahului dengan memperharui tauhid dan keimanan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS: Al Anbiya’: 87).

Nabi Yunus ‘alaihi as-salam telah melakukan kesalahan yaitu meninggalkan tugas dakwah, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperingatkan-nya dengan dimasukkan dalam perut ikan paus, dari situ nabi Yunus ‘alaihi as-salam sadar, bahwa bencana dan cobaan yang menimpanya, karena dia meninggalkan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam berdakwah kepada kaumnya, segeralah beliau memperbaharui keimanan dan mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya, akhirnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkannya dan berhasil keluar dari perut ikan Paus.

Tanpa istighfar, tidak mungkin Nabi Yunus ‘alaihi as-salam bisa keluar dari perut ikan Paus hingga hari kiamat, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِين َلَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS: As Shoffat: 143-144).

Para ulama menjelaskan bahwa do’a Nabi Yunus ‘alaihi as-salam ini boleh dibaca di saat kita tertimpa musibah dan bencana, mudah-mudahan dengan doa tersebut Allah akan menolongnya sebagaimana sebelumnya telah menolong nabi Yunus ‘alaihi as-salam.*/Dr. Ahmad Zain An-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Kala Musibah Datang, Sabar dan Hadapi

Dengan sabar Allah SWT akan menurunkan pertolongannya.

Musibah memang sesuatu yang menyesakkan dada dan membuat seseorang terluka. Namun, jika seseorang telah mendapat petunjuk dengan hidayah Islam, maka luka tersebut pun akan mudah terobati. 

Pimpinan Majelis Taklim dan Dzikir Baitul Muhibbin, Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi mengatakan, obat dalam permasalahan ini sangat jelas dalam tuntunan Islam. Akan tetapi taufik tetap di tangan Allah Jalla wa ‘Ala.

“Seseorang tidak akan mampu berpegang teguh dengannya kecuali atas izin Allah Ta’ala,” katanya melalui dakwah virtualnya, Ahad sore (23/8).

Menurut Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi, Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan, orang-orang beriman ketika tertimpa musibah dan bencana, ia menghadapinya, bukan lari darinya. Ia tidak juga berburuk sangka, apalagi berputus asa.

“Ia akan menyadari sepenuhnya dunia ini adalah memang tempatnya ujian dan musibah. Tempat kenikmatan hanyalah di surga kelak,” katanya.

Sebagaimana firman Allah dalam Alquran, Surah At-Taghabun ayat 11,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 

اَللَّهُمَ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيَبِتِيْ وَاخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِّنْهَا

“Ya Allah berilah pahala atas musibah yang menimpaku ini, dan berilah ganti yang lebih baik daripadanya.” (H.R Muslim).

Maka dari itu umat Islam yang mendapat musibah atau ujian agar bersabar. Dengan sabar Allah SWT akan menurunkan pertolongannya.

“Bersabarlah, dan yakinlah selalu ada ganti yang terbaik dari-Nya. Barakallah fiikum,” katanya menutup kajiannya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Sikap Muslim Memaknai Musibah

SUATU ketika, Abdullah bin Mas’ud Ra berjalan, tiba-tiba terputus tali sandalnya. Dengan spontan beliau berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dikatakan kepada beliau, “Hanya karena seperti ini engkau mengucapkan kalimat itu?” Beliau menjawab, “Ini musibah.”
Lepasnya tali sandal memang bukan persoalan besar yang layak disebut musibah. Tetapi Ibnu Mas’ud, menunjukkan kepada kita bahwa sekecil apapun peristiwa hidup yang dialami, jangan menganggap tidak ada keterlibatan Allah Subhanahu Wata’ala di dalamnya. Musibah bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk menimpa orang-orang yang shaleh dan mulia.

Hidup ini, hakikatnya keniscayaan adanya cobaan dan musibah. “Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (QS: al-Baqarah: 155-156).

‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Atha bahwa orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para sahabat Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi Wassalam. Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat seseorang di sisi Allah tidak menjadi penghalang turunnya musibah dunia kepadanya. Kita sering melihat, seseorang yang tekun menjalankan ibadah dan tekun berikhtiar, hidupnya seringkali didera musibah. Padahal di sisi lain, orang yang bergelimang dosa dan maksiat justru nampak lebih makmur, sejahtera, dan jarang mendapat musibah. Ketika tertimpa musibah, sebagian kita merasa sangat terbebani, marah dan tidak sabar. Lalu, kita pun protes, dan menggugat Allah; “Tuhan tidak adil kepada kita”

Kemampuan akal dan pemahaman kita cenderung memahami keumuman sebab dan akibat. Itulah kelemahan sisi manusiawi kita. Akan tetapi, sebenarnya, Allah menanamkan kepada kita akal yang mampu memikirkan apa yang tersembunyi dari musibah itu sehingga ia mampu memetik hikmah yang samar dan sebab yang tersembunyi. Semakin banyak merenungkan hikmah ilahiah, ia akan mampu memahami perkara yang tidak mampu dipahami oleh yang lainnya tentang agungnya kelembutan Allah.

Sebenarnya, ujian dan musibah yang diberikan Allah itu “sedikit”. Kadarnya sedikit jika dibandingkan dengan potensi yang telah Allah anugerahkan kepada kita sebagai manusia.

Ujian Allah itu sedikit, sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Hal ini tidak ubahnya seperti imtihan (ujian) yang dilakukan anak-anak didik kita. Soal-soal ujian disesuaikan dengan tingkat pendidikan masing-masing. Semakin tinggi kelas dan jenjang pendidikan, semakin berat soal ujian. Maka, setiap yang diuji akan lulus jika ia mempersiapkan diri dengan baik serta mengikuti tuntunan yang diajarkan.

Apa yang telah Allah ajarkan kepada kita? Ternyata Allah sudah mengajarkan kita shalat dan sabar. Kedua hal inilah yang harus diamalkan sebelum dan saat datangnya ujian Allah. Karena itu, Hudzaifah Ibn al-Yaman mengatakan “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dihadapkan pada satu kesulitan dan ujian, beliau melaksanakan shalat”. Allah juga telah berpesan; “sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Bagi orang yang sabar, musibah yang diterimanya memiliki dampak yang lebih besar daripada orang yang marah dan berkeluh kesah, meskipun musibahnya sama. Pada sebagian manusia, musibah menjadi rahmat baginya sehingga ia dapat “kembali” kepada Allah. Namun, tidak sedikit diantara manusia yang gagal dalam menyikapi musibah. Musibah itu ada yang tampak dan ada yang tersembunyi. Demikian pula dari sisi jenis dan kadarnya. Sebagian manusia diuji dengan musibah yang tidak tampak, namun sejatinya lebih besar jika dibandingkan dengan musibah yang tampak pada orang lain. Allah mengkhususkan dengan musibah yang demikian, karena hal itu lebih sesuai untuk menjadi penghapus dosanya.

Manusia harus terus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara kebenaran dan kebatilan, persaingan antara kebaikan dan keburukan. Tentu saja dalam pergulatan dan pertarungan itu pasti ada korban; pihak yang benar atau yang salah. Korban itu bisa harta, jiwa, kedudukan dan lain-lain. Tetapi korban itu hakikatnya sedikit, bahkan itulah yang menjadi bahan bakar memperlancar jalannya kehidupan serta mempercepat pencapaian tujuan.

Maka, apapun ujiannya, itu baik. Yang buruk adalah kegagalan menghadapinya. Takut menghadapi ujian adalah pintu gerbang kegagalan, demikian juga ujian-ujian Ilahi. Muslim yang baik akan merespons setiap sesuatu yang ditakuti dengan membentengi diri dari gangguannya. Biarkan dia datang kapan saja, tetapi ketika itu kita telah siap menjawab dan menghadapinya. Orang yang siap menghadapi ujian inilah yang layak mendapat keberkahan.

Keberkahan itu sempurna, banyak dan beraneka ragam. Ia bisa berupa limpahan pengampunan, pujian, dan ketenteraman hati. Semua keberkahan itu bersumber dari Tuhan Yang Memelihara dan Mendidik. Keberkahan itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya kepada kita.*

Oleh: Shaifurrokhman Mahfudz, Penulis adalah Sekjen Andalusia Islamic Center

HIDAYATULLAH

Khutbah Jumat: Menyikapi Musibah Januari 2021

Pertengahan Januari 2021, banjir melanda sejumlah wilayah di Indonesia, terutama Kalimantan Selatan. Gempa melanda Sulawesi Barat. Ada pesawat jatuh. Ada jembatan kereta api runtuh. Pandemi corona juga belum sirna. Karenanya Khutbah Jumat Januari 2021 ini mengambil tema Menyikapi Musibah Januari 2021.

Bagaimana sikap seorang muslim menghadapi musibah? Berikut ini kami persembahkan dalam bentuk teks khutbah Jumat:

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memanjangkan usia kita hingga bisa memasuki tahun 2021 ini. Di tengah banyaknya musibah dan kematian, sungguh merupakan nikmat besar saat kita hidup dalam keimanan. Semoga kelak Allah mematikan kita dalam kondisi beriman pula. Maka marilah kita terus berusaha meningkatkan taqwa kepada-Nya.

Sholawat Nabi dan salam kemuliaan atas Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memberikan keteladanan kepada kita semua. Bagaimana menghadapi segala hal dalam hidup ini. Baik yang kita sukai sehingga harus banyak bersyukur. Atau apa yang tidak kita sukai sehingga harus bersabar.

Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Awal tahun 2021 ini kita dikejutkan dengan banyak musibah. Banjir melanda banyak wilayah di Indonesia, terutama Kalimantan Selatan. Diberitakan ketinggian air hingga 2 meter dan ribuan rumah terendam. Gempa melanda Sulawesi Barat hingga kantor Gubernur ambruk. Sebelumnya, pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jatuh. Jembatan kereta api di Brebes runtuh. Pandemi corona juga belum sirna, bahkan masih naik angkanya.

Bagaimana sikap kita sebagai muslim menghadapi musibah-musibah ini?

1. Sabar

Sikap pertama sebagai seorang muslim ketika menghadapi musibah atau hal-hal yang tidak ia suka adalah bersabar. Sabar bukan berarti menyerah dan berdiam diri tanpa ikhtiar. Sabar dalam menghadapi musibah adalah meneguhkan diri untuk tidak menyalahkan takdir Allah dan bertahan dalam mentaati-Nya serta menahan diri dari bermaksiat kepada-Nya.

Maka ketika menghadapi musibah, seorang muslim yang sabar tidak akan marah kepada Allah. Tidak akan menyalahkan Allah. Kalimat pertama yang ia ucapkan adalah istirja’, kalimat thayyibah yang berangkat dari kesadaran iman.

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

..Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami kembali). (QS. Al Baqarah: 156)

Kesadaran bahwa semua milik Allah dan semua akan kembali kepada-Nya membuat kita lebih ringan saat menghadapi musibah. Sebab kita menyadari semua adalah milik-Nya. Kita pun menjadi tak terlalu kecewa dan depresi menghadapi musibah seperti ini.

Dan yang lebih menggembirakan, orang-orang yang bersabar dengan mengucapkan kalimat istirja’ ini, Allah akan memberinya keberkahan, rahmat dan petunjuk. Sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya. Yakni Surat Al Baqarah ayat 157.

Bahkan hadits shahih dijelaskan, orang yang bersabar dan mengucapkan istirja’ saat menghadapi musibah, ia akan mendapat pahala dan ganti yang lebih baik.

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

Tidaklah seorang muslim mengalami musibah, lalu dia mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’  (dan berdoa) ‘ya Allah berikanlah pahala untuk musibahku, dan gantikan untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya’. Melainkan Allah akan memberikan pahala dalam musibahnya dan memberinya ganti dengan yang lebih baik. (HR. Muslim)

2. Membantu korban musibah

Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah,
Orang-orang mukmin itu bagaikan satu tubuh. Saat yang satu terkena musibah, selayaknya yang lain membantu. Jangan justru mem-bully orang yang terkena musibah.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan kalaupun kita juga terkena musibah, namun saudara kita lebih membutuhkan, Islam mengajarkan untuk membantunya. Semampu kita. Meskipun hanya dengan ucapan yang baik dan untaian doa. Tentu lebih baik lagi jika mampu membantu evakuasi, membantu konsumsi dan bantuan-bantuan lain yang diperlukannya. Terutama dana, jika kita jauh dari lokasi banjir dan gempa yang memang mayoritasnya di luar Jawa.

Pertolongan ini bukan hanya dibatasi untuk saudara seiman. Saudara sebangsa dan sesama manusia pun perlu ditolong. Dan menolong orang yang membutuhkan seperti inilah yang akan mendatangkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga musibah bisa berubah menjadi berkah.

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

3. Muhasabah dan introspeksi

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Datangnya musibah di awal 2021 dan belum berakhirnya pandemi corona ini seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi kita. Muhasabah. Sebab pada umumnya musibah datang kepada kaum muslimin dalam dua jenis. Pertama, sebagai ujian. Kedua, peringatan.

Sebagai ujian, kita kuatkan kesabaran. Namun yang tak kalah penting, dengan berbagai fakta lapangan kita perlu introspeksi bahwa ada peringatan dalam berbagai musibah ini.

Peringatan seperti apa? Peringatan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Rum: 41)

Sering kali bencana terjadi karena kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Misalnya dalam banjir.

Kerusakan ini ada dua macam. Pertama, kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana. Dan ini merupakan bagian dari sunnatullah. Ketika hutan digunduli, air yang melaluinya langsung lewat tanpa terserap sehingga mudah terjadi banjir dan tanah longsor. Ketika sampah dibuang sembarangan termasuk ke sungai, ia akan menutup saluran air dan menjadi salah satu faktor banjir. Ketika gedung-gedung dibangun tanpa memperhatikan keseimbangan alam dan aliran air, juga menjadi salah satu faktor banjir.

Kedua, kerusakan jiwa manusia. Yakni dengan semakin banyaknya dosa dan kemaksiatan, Allah pun menegur manusia untuk kembali kepada-Nya. Kerusakan semacam ini sangat dikhawatirkan para sahabat sehingga ketika terjadi gempa di Madinah, Khalifah Umar meminta seluruh penduduknya untuk bertaubat.

Kita bisa membuang sampah pada tempatnya. Kita bisa menanam kembali hutan dan pepohonan. Namun kita tak bisa mengendalikan curah hujan. Kita bisa membuat bangunan yang lebih kokoh, tapi kita tak tahu kapan datangnya gempa. Kita bisa berusaha menjaga kesehatan, tapi kita tidak tahu ketika pandemi tiba-tiba terjadi. Di sinilah pentingnya taubat nasuha serta menjauhi segala kemaksiatan dan dosa.

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Taubat Nasuha

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Betapa pentingnya taubat nasuha agar Allah mengampuni dosa-dosa kita dan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan kita. Tanpa keberkahan, hujan menjadi banjir dan kemarau membawa kekeringan. Dengan keberkahan dari Allah, hujan maupun kemarau akan mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf: 96)

Di akhir khutbah kedua ini marilah kita berdoa kepada Allah semoga Allah mengampuni kita atas segala dosa dan kesalahan. Juga memberkahi bangsa kita, menolong seluruh kaum muslimin. Dan menjadikan kita sebagai ahli surga.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ . رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

NERSAMA DAKWAH

Untuk Saudaraku Yang Sedang Tertimpa Musibah

Banyak orang yang menghadapi musibah dengan cara-cara yang justru menimbulkan musibah baru! Sebagian lagi ada yang stress berat, sehingga bermata gelap! Alih-alih menyelesaikan masalah, kenyataannya malah justru menambah masalah, dengan melakukan berbagai kemungkaran dan kezaliman, karena menuruti kemarahannya. Misalnya, ia melampiaskan kesedihannya dengan membunuh, mencuri dan merusak barang orang lain tanpa alasan yang hak! Padahal itu bukan jalan keluar, camkanlah!

Sebagian lagi ada yang putus asa, memilih bunuh diri sebagai ‘jalan keluarnya’, padahal sesampai di alam kubur, bukan malah selesai masalahnya. Justru dia terancam mendapatkan musibah yang lebih besar, yaitu siksa!

Ada pula yang memprovokasi manusia untuk melakukan makar dan pengrusakan. Yang lainnya, terus menggerutu dan berkeluh kesah, semua ditumpahkan di berbagai media sosial, apakah itu solusi?? Tentu tidak! Malah memperluas masalah, orang yang gak tahu jadi tahu aib orang lain, akhirnya ghibah rame-rame!

Daripada sibuk menggerutu karena lampu mati, ambillah kursi, lalu gantilah lampu tersebut! Toh dengan menggerutu lampu tetap padam!”

Namun, masih ada orang yang dengan taufik Allah, tegar di tengah-tengah gelombang musibah yang silih berganti,sembari mengatakan :

إِنِّي لَأُصَابُ بِالْمُصِيبَةِ فَأَحْمَدُ اللهَ عَلَيْهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ

Sesungguhnya saya memuji Allah atas musibah yang menimpaku dengan empat pujian,

أَحْمَدُهُ إِذْ لَمْ تَكُنْ أَعْظَمَ مِمَّا هِيَ

(Pertama) saya memuji-Nya, karena musibah yang menimpaku tidak lebih besar dari kenyataannya sekarang yang sedang saya rasakan,

وَأَحْمَدُهُ إِذْ رَزَقَنِيَ الصَّبْرَ عَلَيْهَا

(Kedua) dan sayapun memuji-Nya, karena Dia telah menganugerahkan kesabaran kepadaku dalam menghadapinya,

وَأَحْمَدُهُ إِذْ وَفَّقَنِي لِلِاسْتِرْجَاعِ لِمَا أَرْجُو فِيهِ مِنَ الثَّوَابِ

(Ketiga) demikian pula saya memuji-Nya, karena Dia telah menganugerahkan kepadaku taufik untuk bisa mengatakan : ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’, dengan maksud mengharap pahala

وَأَحْمَدُهُ إِذْ لَمْ يَجْعَلْهَا فِي دِينِي

(Keempat) dan saya memuji-Nya, karena tidak menjadikan musibah itu mengenai agamaku!

(Ucapan Syuraih Al-Qodhi dalam Syu’abul Iman lil Baihaqi 9507).

Itulah sikap baik seorang Mukmin ketika tertimpa musibah!

Barangsiapa yang mendapatkan taufik Allah saat mendapatkan musibah,dengan cara merealisasikan empat pedoman hidup di atas ,sembari memuji Allah, maka musibah yang menimpanya menjadi kebaikan dan keberkahan baginya, dan sesungguhnya dalam kamus hidup seorang Mukmin, semua urusannya adalah kebaikan baginya.

Bagi seorang Mukmin, tertimpa musibah dan mendapatkan kesenangan adalah sama-sama baik akibatnya, karena keduanya merupakan ujian. Sebagaimana suatu musibah, jika dihadapi dengan sabar, itu adalah kebaikan dan sebab pahala. Maka demikian pula kesenangan, jika dihadapi dengan syukur, itu juga kebaikan yang diiringi pahala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR.Muslim, shahih).

(Diolah dari artikel Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr di http://al-badr.net/muqolat/3116)

Penulis: Ust. Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Inilah 4 Perbedaan Manusia Menyikapi Musibah

KETIKA ditimpa musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkat: Tingkat pertama: Bersikap marah. Sikap marah ini terbagi menjadi beberapa macam:

Pertama: Hatinya marah kepada Tuhannya dan mencela takdir Allah yang ditetapkan kepadanya. Tindakan semacam ini haram hukumnya dan kadang dapat menyebabkan kepada kekafiran. Allah subhanahu wa taala berfirman:

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Qs. Al-Hajj: 11)

Kedua: Lisannya marah kepada Allah, sehingga dia mengumpat dan berkata cela tatkala berdoa dan sebagainya. Tindakan semacam ini juga haram hukumnya. Ketiga: Marah dengan anggota badannya, seperti memukul pipi, merobek pakaian, terlalu bersedih, dan sebagainya. Semua ini juga haram hukumnya karena bertentangan dengan kesabaran yang diwajibkan.

Tingkat kedua: Bersabar. Seperti yang dikatakan penyair:
Sabar seperti namanya, pahit rasanya
Tetapi akibatnya lebih manis daripada madu

Kelihatannya, tindakan semacm ini berat dilaksanakan, tetapi akan menjadikannya tabah dan kelihatannya susah dilaksanakan tetapi keimanannnya akan menjaganya dari kemarahan. Bagi orang seperti ini, musibah terjadi atau tidak sama saja, karena menurutnya, semua itu telah ditakdirkan dan pasti akan terjadi. Maka dari itu Allah memerintahkan agar bersabar sehingga berfirman:

“Dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Anfaal: 46)

Tingkat ketiga: Ridha.

Orang semacam ini ridha terhadap musibah yang menimpanya. Menurutnya, ada dan tidaknya musibah itu sama saja. Keberadaannya tidak menyebabkannya susah dan tidak memikulnya dengan berat. Tindakan semacam ini hukumnya sunnah bukan wajib menurut pendapat yang rajih. Perbedaan antar tingkat ini dengan tingkat sebelumnya jelas; karena adanya musibah dan tidak adanya sama-sama ridha menurut tingkat ini, sedangkan pada tingkat sebelumnya, musibah itu sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya.

Tingkat keempat: Bersyukur.

Bersyukur merupakan tingkat yang paling tinggi yaitu bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya, karena dia tahu bahwa musibah itu menjadi sebab penghapusan dosa dan sebab penambahan kebaikannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada musibah yang menimpa seorang Muslim kecuali dengan-Nya Allah menghapus dosanya, walaupun hanya tertusuk duri.” (MuttafaqAlaih)

[Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

INILAH MOZAIK

Mereguk Hikmah dari Musibah

Musibah meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan manusia.

Allah telah berjanji bahwa setiap kesulitan ataupun musibah yang diberikan kepada seorang hamba, tak akan melebihi kapasitas kemampuan dari hamba yang bersangkutan tersebut. Bahkan ada kalanya, dari musibah muncul hikmah dan faedah yang dapat dipetik oleh setiap pribadi.

Syaikh Aidh Al-Qarni dalam kitabnya La Tahzan jilid 1 menjabarkan, sejatinya sebuah musibah mampu mengeluarkan nilai-nilai ubudiyah doa yang selama ini terpendam. Beliau menyebut, sesungguhnya Allah menurunkan ujian kepada seorang hamba yang saleh dari hamba-hambaNya. Dan kepada Malaikat, Allah berkata bahwa diturunkannya musibah serta ujian tersebut agar Allah mendengar suara doa dan permintaan dari manusia.

Di sisi lain, menurut beliau, diturunkannya musibah serta ujian dari Allah kepada manusia agar kesombongan dan keangkuhan yang kerap terpatri di jiwa manusia itu runtuh. Sebab, musibah dapat menggugah empati sesama manusia untuk saling merekatkan rasa cinta terhadap sesama. Tak hanya itu, manusia juga kerap kali saling mendoakan kepada yang sedang tertimpa musibah.

Sejatinya, musibah dapat membukakan mata mereka kepada hal yang lebih besar. Selama ini, menurut beliau, manusia hanya melihat hal-hal kecil jika dibandingkan dengan musibah lain yang lebih besar. Umumnya manusia menerima bahwa itu semua merupakan penebusan dosa dan kesalahan, sekaligus pahala dan ganjaran di sisi Allah.

Maka, beliau berpendapat, apabila setiap manusia menyadari bahwa semua musibah dan ujian adalah buat yang dapat dipetik dan dinikmati, maka sudah pasti manusia akan menghadapi musibah tersebut dengan senang dan tenang. Bukankah ketenangan merupakan representasi dari keimanan? Maka, mereguk hikmah dari musibah merupakan hal yang patut menjadi sikap yang perlu dilakukan setiap Muslim.

KHAZANAH REPUBLIKA


Apa yang Harus Diucapkan Muslim Saat Tertimpa Musibah?

Saat tertimpa musibah seorang Muslim harus mengucapkan kalimat thayyibah.

Banjir yang melanda ibu kota Jakarta dan sekitarnya merupakan sebuah musibah dan bukan sebuah azab.

“Ini musibah, bukan azab, kalau azab itu khusus orang kafir dan jahat tapi kalau musibah itu mengenai semua, tidak membedakan,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Said Aqil Siroj, dalam konferensi Pers di kantor PBNU pada Kamis (2/1).   

Lalu apa yang harus dilakukan seorang Muslim ketika mendapati dirinya atau orang-orang terdekatnya tertimpa musibah seperti bencana banjir yang mengakibatkan belasan orang meninggal dan membuat rumah dan bangunan mengalami kerusakan.

Hendaknya ketika seorang Muslim tertimpa musibah untuk bersegera mengingat Allah SWT. Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya memberikan petunjuk bagi umatnya untuk segera melafazkan sebuah kalimat ketika tertimpa musibah.   

“Tidaklah seorang Muslim yang tertimpa musibah kemudian bersegera kepada apa yang di perintahkan Allah berupa ucapan : 

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ عِنْدَكَ احْتَسَبْتُ مُصِيبَتِي فَأْجُرْنِي فِيهَا وَعَوِّضْنِي مِنْهَا إِلَّا آجَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهَا وَعَاضَهُ خَيْرًا مِنْهَا

 “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, Allahumma ‘indaka ihtasabtu mushibati, fa’jurni fiha wa ‘awwidhni minha. (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya. Ya Allah, di sisi-Mu aku rela dengan musibah yang menimpaku, maka berilah aku pahala dan gantilah dengan yang lebih baik.)” 

Inilah kalimat dalam kutipan keterangan hadis Nabi SAW yang dapat ditemukan di yang diriwayatkan Ibnu Majah di mana jalur hadisnya dari Abdullah bin Muhammad hingga Abdullah bin Abdul Asad. 

KHAZANAH REPUBLIKA