Status zakat profesi masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Zakat dalam Islam memang beragam macamnya, namun istilah zakat profesi belum ada dalil yang secara spesifik mengatur, baik di dalam Alquran maupun hadist. Lantas, apakah zakat profesi tidak wajib ditunaikan?
Istilah zakat profesi merupakan produk pemikiran ulama kontemporer, yakni Syeikh Yusuf al-Qardhowi. Beliau memperkenalkan istilah zakat profesi dalam disertasi gelar doktornya di Universitas Al-Azhar yang berjudul Fikih Zakat. Sedangkan berdasarkan para pelopornya, zakat profesi memang tidak dikenal dalam khazanah keilmuan Islam.
Untuk itu, hasil profesi yang berupa harta dikategorikan berdasarkan qiyas (analogi) maupun syabah (kemiripan) dengan karakteristik harta zakat yang telah ada. Harta itu baik diperoleh dari hasil produksi pertanian yang diukur berdasarkan nishab 653 kilogram (kg) gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 552 kg, maupun harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang.
Menurut KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, hasil profesi apabila sudah memenuhi ketentuan wajib zakat, maka wajib hukumnya bagi yang bersangkutan menunaikan zakatnya. Apabila zakat profesinya berbentuk uang, maka yang perlu dikeluarkan adalah sebesar 2,5 persen per bulan.
Kendati demikian, beliau berpendapat, status zakat profesi masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Bagi yang berpendapat adanya zakat profesi dengan mengkiaskan hasil pertanian, maka setiap profesi diperoleh hasil profesi dan mencapai nishab maka setiap itu harus dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan apabila zakat profesi itu dikiaskan dengan uang, maka hal ini disyaratkan mencapai nishab dan haul serta dikeluarkan sebesar 2,5 persen. Adapun orang yang mengeluarkan zakat profesi setiap bulan harus juga memperhitungkan zakat pada perkiraan haul (tahunan)-nya.