Suatu ketika Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili didatangi oleh beberapa fuqaha yang berasal dari Kota Iskandariah untuk mengetahui kealiman beliau. Beliau tatap mereka semua lalu bertanya: “Wahai para fuqaha, apakah kalian sudah shalat?” Dengan tegas, mereka menjawab, “Apakah ada di antara kami yang tidak shalat?” Al-Syadzili membaca firman Allah: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan, apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat” (QS al-Ma’arji [70]: 19-22).
“Apakah kalian demikian? Yakni, jika ditimpa musibah kalian gelisah dan jika mendapat kebaikan kalian kikir.” Mereka pun diam. Akhirnya beliau meneruskan, “Kalau begitu kalian masih belum shalat.”
Shalat yang sesungguhnya dilakukan dengan lahir dan batin, raga dan jiwa secara konsisten dan terus menurus (daimun). Mereka yang shalat secara fisik, tetapi hatinya tidak hadir mengingat Allah berarti jiwanya tidak shalat. Mereka akan gagal memahami pesan dan esensi shalat. Begitu juga shalat karena riya dan bermalas-malasan menunjukkan mental munafik (QS an-Nisa’/4: 142). Akibatnya shalat tidak memberi efek positif terhadap perilaku dan kinerjanya.
Sayyidina Ali, seperti dikutip Imam al-Birgawi (929-981 H) dalam kitab Vasiyyetname (Terj. Buku Saku Iman dan Islam) menyatakan , ada empat jenis ibadah. Pertama, mendirikan shalat hanya sebagai gerakan tubuh tanpa makna. Inilah yang disebut Nabi SAW: “Berapa banyak orang yang shalat, tetapi tidak merasakan apa-apa selain lelah.”
Kedua, ibadah yang dilakukan dengan harapan bahwa Allah memberinya bagian dari dunia, seperti uang, kemasyhuran, dan lainnya. Ini bukan ibadah, melainkan dagang karena orang yang beribadah seperti itu mengharapkan bayaran berupa bagian dunia maupun nikmat akhirat.
Ketiga, ibadah yang dilakukan untuk bersyukur. Sayyidina Ali menyebutnya sebagai ibadah yang berorientasi pada kepentingan diri. Keempat, ibadah yang tertinggi adalah pengagungan si pencinta kepada Yang Dicintai, yang didorong oleh kecintaan murni kepada Allah. Kelompok ini disebut sebagai “Orang yang Dia cintai dan yang mencintai-Nya” (Qs al-Maidah [5]: 54).
Maka, dirikanlah shalat dengan raga dan jiwa hanya mengharap keridhaan Allah semata. Dengan begitu, shalat akan meneguhkan seseorang terhindar dari perbuatan fahsya’ dan mungkar, mudah bersyukur, senantiasa bersabar, tidak kikir, tak mudah mengeluh dan berputus asa. Shalat juga menuntun manusia menuju puncak spiritual tertinggi sebab shalat adalah mi’rajnya setiap mukmin.
Kesucian rohani yang dimiliki akan mendorongnya berbuat untuk keselamatan umat, seperti pesan dari bacaan dan gerakan terakhir dalam shalatnya: membaca salam ke kanan dan kiri. Wallahu a’lam. n
Oleh:Â Muhammad Kosim