HADIS, “Akan masuk surga, orang-orang yang hatinya seperti hati burung.” (HR. Muslim)
Di antara penjelasan ulama tentang ‘hati burung’ yang dimaksud dalam hadis di atas adalah hati yang sangat halus dan lembut serta penuh kasih sayang, jauh dari sifat keras dan zalim. Hati, adalah keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia. Hati pula yang sangat menentukan baik buruknya nilai diri kita, sebagaimana telah dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antara perkara yang sangat penting untuk kita pelihara dari hati adalah kelembutan dan kepekaannya terhadap perkara yang terjadi di sekeliling kita. Di sini kita tidak berbicara tentang kaedah hukum, hak dan kewajiban, dalil dan argumentasi, atau apalah namanya. Kita berbicara tentang perasaan yang secara fitrah dimiliki semua orang. Namun dalam batasan tertentu, dapat bereaksi lebih cepat dan efektif, ketimbang faktor lainnya.
Kelembutan hati dan rasa kasih sayang seorang ibu membuatnya tidak akan dapat tidur nyenyak meski kantuk berat menggelayuti matanya, manakala dia mendengar rengekan bayinya di malam buta, maka dia bangun dan memeriksa kebutuhan sang bayi. Boleh jadi ketika itu dia tidak berpikir tentang keutamaan atau janji pahala orang tua yang mengasihi anaknya.
Umar bin Khattab yang dikenal berkepribadian tegas, ternyata hatinya begitu lembut ketika melihat seorang nenek memasak batu hanya untuk menenangkan rengekan tangis cucunya yang lapar sementara tidak ada lagi makanan yang dapat dimasaknya, maka tanpa mengindahkan posisinya sebagai kepala Negara, dia mendatangi baitul mal kaum muslimin dan memanggul sendiri bahan makanan yang akan diberikannya kepada sang nenek.
Boleh jadi ketersentuhan hati Umar kala itu mendahului kesadaran akan besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di hadapan Allah Ta’ala. Demikianlah besarnya potensi kelembutan hati menggerakkan seseorang. Kelembutan hati semakin dibutuhkan bagi mereka yang Allah berikan posisi lebih tinggi di dunia ini. Seperti suami kepada istri dan anaknya, pemimpin atau pejabat kepada rakyatnya atau orang kaya terhadap orang miskin. Sebab, betapa indahnya jika kelembutan hati berpadu dengan kewenangan dan kemampuan yang dimiliki.
Karena memiliki kewenangan dan kemampuan, suami berhati lembut misalnya- akan sangat mudah mengekspresikannya kepada istri dan anaknya, bukan hanya terkait dengan kebutuhan materi, tetapi juga bagaimana agar suasana kejiwaan mereka tenang dan bahagia, tidak tersakiti, apalagi terhinakan. Begitu pula halnya bagi pemimpin, pejabat atau orang kaya. Akan tetapi, jika kelembutan itu telah sirna berganti dengan hati yang beku, sungguh yang terjadi adalah pemandangan yang sangat miris dan sulit diterima akal.
Bagaimana dapat seorang suami menelantarkan atau menyakiti istri dan anaknya padahal mereka adalah belahan dan buah hatinya, bagaimana pula ada pemimpin atau pejabat yang berlomba-lomba mereguk kesenangan dan kemewahan dunia di atas penderitaan rakyatnya, padahal mereka dipilih rakyatnya, lalu bagaimana si kaya bisa tega mempertontonkan kekayaannya di hadapan si miskin yang papa tanpa sedikitpun keinginan berbagi, padahal tidak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin.
Sungguh mengerikan! Di zaman ketika materi dan tampilan lahiriah semakin dipuja-puja, sungguh kita semakin banyak membutuhkan manusia berhati burung! [Ustaz Abdullah Haidir Lc.]