Syekh Nawawi bin Umar merupakan salah satu ulama asal Indonesia yang memiliki gelar “Sayyid al-Ulama al-Hijaz”. Sebutan Syekh Nawawi al Bantani cukup populer dikalangan para penggiat ilmu keislaman. Namanya banyak tertera di berbagai kitab kuning dalam beberapa fan ilmu agama. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arbi al-Jawi al-Bantani.
Al-Jawi adalah nisbat dari tanah kelahirannya yang mana ketika itu daerah Jawa lebih dikenal sebagai nama sebuah negara daripada negara Indonesia sendiri. Hal ini, karena dikala itu Indonesia masih belum terbentuk sebagai suatu negara. Sedangkan Al-Bantany adalah nisbatnya pada kota Banten, kota kelahiran beliau.
Di samping juga untuk membedakan beliau dengan ulama lain yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Nawawi, seperti Syekh Abi Zakariyya Muhyiddin Ibn Sharaf al Nawawi yang berasal dari Nawa, Damaskus.
Syekh Nawawi Al Bantani lahir di Tanara, Serang, Karasidenan Banten tahun 1230 H/1813 M. Beliau adalah anak seorang penghulu, pemimpin masjid dan pesantren di Serang, Banten. Apabila ditelisik dari garis keturunannya, beliau termasuk keturunan ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, sunan Gunung jati, Cirebon. Sebagai anak seorang tokoh agama, beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang agamis.
Sejak usia lima tahun, beliau sudah berangkat ke pesantren di beberapa Pondok pesantren di Jawa. Hanya sekitar 5-7 tahun beliau belajar di pesantren, muncul berita duka yang mengabarkan bahwa ayahandanya telah meninggal dunia. Hal ini yang membuatnya menjadi pemimpin pesantren untuk menggantikan posisi ayahnya di usia 13 tahun. Usia yang relatif sangat muda untuk bisa memimpin pesantren.
Sebab kecerdasannya, beliau semakin dikenal dan masyhur dikalangan masyarakat Banten. Sehingga, para santri datang berbondong-bondong untuk belajar kepadanya. Sulitnya hidup di masa ketika kolonial Belanda menguasai kesultanan Banten tidak membuatnya menjadi patah semangat.
Kesulitan ini beliau jadikan sebagai salah satu latar belakang berkobarnya semangat beliau untuk memperjuangkan perkembangan Islam di Indonesia dengan melahirkan para ulama yang hampir keseluruhan adalah generasi cendekiawan yang memunculkan gerakan Islam pada awal abad ke 20.
Seperti KH. Kholil (Bangkalan, Madura), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa timur), KH. ‘Asy’ari (Bawean, Gersik, Jawa timur), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan para tokoh-tokoh gerakan Islam mancanegara.
Setelah 2 tahun memimpin pesantren, beliau akhirnya melakukan perjalanan ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji sekaligus untuk memperdalam ilmunya sebagai salah satu bentuk usahanya memperjuangkan kemajuan Islam di nusantara. Beliau memutuskan untuk pergi meninggalkan tanah airnya karena melihat kondisi saat itu mulai terjadi campur tangan kekuasaan pemerintahan oleh kolonial Belanda yang sangat membatasi ruang gerak umat Islam.
Syekh Nawawi Al Bantani sempat kembali ke Indonesia sebelum memutuskan kembali ke Makkah lagi untuk mengembangkan pesantren peninggalan ayahnya bersama adiknya. Namun, pemerintah sudah diambil alih oleh mereka kolonial Belanda yang semakin mengusik gerak gerik umat Islam.
Beliau lebih memperdalam ilmunya lagi di Mekkah dengan tujuan agar bisa melawan Belanda dan terus memajukan perkembangan Islam sebelum mereka menjajah terang-terangan dengan kekerasan. Di sanalah beliau belajar hingga menjadi guru besar di Masjidil Haram dan melahirkan murid-murid anti penjajah yang banyak menjadi cendikiawan gerakan Islam.
Selama di Mekkah beliau juga mulai melahirkan karya-karyanya tentang berbagai fan ilmu agama. Diantaranya : Kasyifatus saja ( 1292 H) dalam bidang ilmu kalam dan akhlak, Nihayah az Zain dan Uqud Al Alujain (1297 H) dalam bidang fikih, Tafsir Al Munir Li Mu’allim Al Tanzil (1305 H) dan masih banyak yang lain dalam berbagai bidang ilmunya. Beliau mengarang hingga akhir hayatnya. Beliau pun wafat tatkala menyelesaikan kitabnya yaitu Syarah Minhaj at Thalibin karya Yahya bin Syaraf.
Bertepatan pada tanggal 25 Syawal 1314 H/ 1897 M, Syekh Nawawi al Bantani wafat di kampung Syi’ib Ali, Makkah al-Mukarromah. Beliau dimakamkan di Ma’la, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Ash- Shiddiq. Tercatat dalam sejarah oleh Azyumardi Azra seorang pakar sejarah, bahwa Syekh Nawawi termasuk diantara ulama guru besar asal Indonesia paling populer di Makkah.
Memang, beliau dan juga teman-teman ulama sejawatnya di Makkah tidak secara fisik melawan Belanda. Namun secara spiritual mereka menjunjung tinggi semangat juangnya untuk memajukan perkembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya dengan cara mendidik murid-muridnya menjadi kader-kader anti penjajah dan membangkitkan semangat untuk melawan penjajah.