SIAPA yang tak kenal Bani Israil? Sekumpulan manusia yang paling banyak disebut namanya dalam al-Qur’an.
Bangsa yang kepadanya Allah seringkali mengirim utusan-utusan-Nya, sebagai Nabi dan Rasul.
Serta orang-orang yang berulang menerima kitab-kitab penjelas dari para utusan Allah tersebut.
Secara tersurat Allah menyebut keutamaan tersebut dan menjadikan mereka lebih (dalam urusan nikmat dunia) daripada umat lainnya.
Allah berfirman: “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 47).
Sayangnya, apa yang menjadi keungggulan tersebut tak berdampak apa-apa dalam kehidupan mereka.
Hal itu terbukti dengan keangkuhan Bani Israil yang kian mengakar turun temurun hingga sekarang.
Keangkuhan itu juga terlihat dari sikap abai atas peringatan Nabi-nabi dan keengganan menerima kebenaran yang disampaikan.
Dalam timbangan iman, jika nikmat yang dipunyai mengantarnya makin giat beribadah dan beramal shaleh, maka orang itu disebut pandai bersyukur.
Sebaliknya, karunia yang melimpah dan nikmat yang tak terkira, tapi membuatnya ujub (bangga diri) dan thaga (sombong), maka demikian itu disebut orang yang kufur nikmat.
Sederhananya, syukur adalah memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya.
Ia bersyukur sebab menyadari diri sebagai makhluk yang sangat lemah yang bergantung kepada Zat Yang Mahakuat.
Sedang kufur nikmat terjadi jika orang itu mengingkari kewajiban yang semestinya dikerjakan.
Bahwa manusia bukanlah apa-apa hingga diciptakan terlahir ke dunia dan dilengkapi dengan segala kebutuhan yang diperlukan.
Kembali ke kisah Bani Israil di atas. Lalu apa yang Bani Israil perbuat dengan segala keutamaan yang diberikan?
Berikut ini beberapa rekaman al-Qur’an tentang sepak terjang mereka yang kufur nikmat tersebut.
Firman Allah:
وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِىٓ إِسۡرَٲٓءِيلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡاْ عَلَىٰ قَوۡمٍ۬ يَعۡكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصۡنَامٍ۬ لَّهُمۡۚ قَالُواْ يَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَـٰهً۬ا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ۬ۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ۬ تَجۡهَلُونَ (١٣٨)
“… Bani lsrail berkata: Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab: Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (QS. Al-A’raf [7]: 138).
Kisah di atas terjadi hanya beberapa saat usai nyawa Bani Israil diselamatkan Allah dari kejaran tentara bengis Fir’aun yang ingin membunuh mereka.
Saat itu, Bani Israil baru saja menyaksikan mukjizat Nabi Musa membelah Laut Merah menjadi jembatan raksasa.
Bersyukur Pangkal Selamat
Mereka diselamatkan Allah tapi justru mereka menginginkan tuhan-tuhan selain Allah untuk disembah.
Firman Allah:
وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ۬ وَٲحِدٍ۬ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّآٮِٕهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِہَا وَبَصَلِهَاۖ قَالَ أَتَسۡتَبۡدِلُونَ ٱلَّذِى هُوَ أَدۡنَىٰ بِٱلَّذِى هُوَ خَيۡرٌۚ ٱهۡبِطُواْ مِصۡرً۬ا فَإِنَّ لَڪُم مَّا سَأَلۡتُمۡۗ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡڪَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۗ ذَٲلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّڪَانُواْ يَعۡتَدُونَ (٦١)
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah…” (QS. Al-Baqarah [2]: 61).
Apa yang dipapar di atas dari ayat-ayat al-Qur’an hanyalah secuil dari karunia nikmat yang dicurahkan kepada Bani Israil.
Sekarang tengoklah yang terjadi. Mereka rupanya hanya ingin enaknya saja tanpa sedikitpun mau berkorban untuk satu kebaikan.
Mereka mungkin disebut pandai, tapi kecerdasan itu hanya digunakan untuk mengakali syariat yang ada.
Alhasil, keutamaan dan kelebihan materi bukanlah jaminan keberkahan dan kedekatan kepada Allah, Sang Khaliq.
Syeikh Iyad Abu Rabi’: Umat Islam Harus Banyak Bersyukur
Sayangnya, sebagian manusia justru terbuai dengan nikmat dunia yang meruah.
Hari ini, jelang akhir tahun, sebagian manusia sibuk menyiapkan pesta tahun baru.
Alih-alih bersyukur dan evaluasi diri atas ditambahnya umur dan kesempatan hidup, perayaan itu justru sarat dengan hura-hura, buang uang, dan sajian maksiat lainnya.
Padahal kata Allah, jika kalian pandai bersyukur, akan Aku tambah nikmat tersebut. Jika kalian kufur, maka azab-Ku sangatlah pedih.*