Jangan jadi Hamba Fir’aun

KALAP dan frustasi. Dua kata itu mungkin bisa menggambarkan sosok Firaun, sang diktator Mesir, kala itu.

Seketika Firaun murka menyaksikan peristiwa itu terjadi di depan matanya.

Tak ada yang menyangka, tongkat Nabi MusaAlaihi as-salam (As) sanggup berubah ular besar yang menelan puluhan hingga ratusan ular-ular ciptaan tukang sihir Fir’aun.

Belum reda kegalauan Fira’aun, tiba-tiba para tukang sihir yang selama ini menjadi orang kepercayaannya, mendadak sujud di tengah lapangan.

“Sesungguhnya kami menyatakan beriman kepada Rabb semesta alam.  Tuhan yang disembah Musa dan Harun,” aku mereka tegas.

Sontak darah Fir’aun langsung mendidih. “Tak ada yang bisa berbuat apapun kecuali atas seizinku,” Seru Fir’aun dengan suara menggelegak.

“Sungguh kalian harus bersiap menanggung semua akibat perbuatanmu,” Ancam Fir’aun marah.

Mewaspadai Karakter “Firaun” dalam Diri

Suasana yang tadinya ramai dengan sorak sorai penonton kini menjadi senyap tak bersuara.

Fir’aun benar-benar kalap dan murka. Ia bahkan mengancam akan membunuh siapa saja yang tak sepaham dengannya.

Bukan cuma itu, Fir’aun juga berjanji memotong tangan dan kaki mereka.

“Bahkan aku akan salib kalian di pohon-pohon kurma,” teror Fir’aun brutal

Apa Setelah Iman?

Kisah mukjizat di atas direkam secara jelas dalam al-Qur’an.

Tentu saja kisah tersebut bukan sekadar sejarah masa lalu atau cerita indah tanpa memiliki ibrah.

Sebab sejarah bukan cuma bercerita tentang peristiwa, nama, tempat, atau tanggal kejadian.

Tapi di sana ada telaga jernih, tempat setiap insan beriman berkaca akan perjalanan keimanannya.

Menilik kisah para tukang sihir Fir’aun, sejatinya kehidupan mereka sudah dilimpahi materi dunia.

Mereka adalah kaki tangan yang dipercaya sepenuhnya oleh Fir’aun. Kepadanya, penguasa Mesir itu merasa wajib meminta nasihat atau pandangan sebelum ia bertindak. Belum lagi jaminan harta yang terbilang meruah.

Namun itulah hakikat kehidupan manusia. Segala sesuatu yang tak bersangkut paut dengan keimanan menjadi nihil dan tak bermanfaat.

Orang itu boleh merasa senang atau bahagia. Tapi sesungguhnya seluruh yang dianggap megah dan mewah itu justru menjadi semua.

Ibarat fatamorgana, semua hanya ilusi yang menipu.

Selanjutnya, lalu apa yang membedakan antara orang beriman dan yang tidak beriman?

Tak lain, yang utama adalah orientasi hidup yang seketika berubah dan harus berubah.

Bahwa orang beriman punya Allah sebagai sandaran hidupnya. Bukan yang lain sebagaimana biasa dipertuhankan oleh manusia-manusia yang lalai.

Mumifikasi di Mesir Sudah ada Sebelum Zaman Firaun

Dengan Allah sebagai sandaran dan Akhirat sebagai orientasi hidup, maka worldview orang tersebut menjadi tidak sama dengan orang-orang yang bekerja hanya untuk kepentingan materi dunia.

Bagi orang beriman, nikmat hidup dan karunia materi yang diberikan menjadi sarana untuk memperjuangkan nikmat iman dan hidayah.

Sebab diyakini, nikmat iman itulah yang paling mahal dan paling berharga dalam kehidupan manusia.

Sebaliknya, orang-orang yang terbuai hawa nafsu dan serakah akan materi dunia, mereka tak segan mengorbankan nikmat iman sekadar untuk mendapatkan nikmat materi dan nikmat hidup.

Padahal kedua nikmat tersebut lebih rendah daripada nikmat hidayah di sisi Allah, kelak.

Lihat saja para tukang sihir Fir’aun tersebut. Usai jiwa mereka tercelup oleh nikmat hidayah, seketika iman itu menjadi motor yang menggerakkan mereka.

Dengan gagah berani mereka mendeklarasikan keimanannya di hadapan Fir’aun. Bahkan secara heroik mereka menyatakan tidak masalah dengan ancaman teror Fir’aun.

Padahal mereka tahu betul seperti apa Fir’aun, sang tukang jagal itu ketika marah.

قَالُواْ لَا ضَيۡرَ‌ۖ إِنَّآ إِلَىٰ رَبِّنَا مُنقَلِبُونَ (٥٠) إِنَّا نَطۡمَعُ أَن يَغۡفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَـٰيَـٰنَآ أَن كُنَّآ أَوَّلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (٥١)

“Tidak masalah. Sesungguhnya kepada Tuhan kamilah, kami akan kembali. Sesungguhnya kami sudah sangat berharap Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami, dan kami betul-betul berharap menjadi orang-orang awal beriman.” (QS. Asy-Syuara [26]: 50-51).*

 

 

sumber: Hidayatullah