Membelanjakan harta adalah suatu hal yang tidak terpisah dalam kehidupan setiap orang. Pasalnya masing-masing dari individu pasti memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut mencakup kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan, atau kebutuhan sekunder dan tertier seperti memiliki kendaraan dan rumah yang indah.
Ketiga kebutuhan tersebut pasti akan terus berusaha dipenuhi agar mereka dapat bertahan hidup dan atau memiliki taraf kehidupan yang layak, dengan cara membelanjakan harta yang mereka miliki.
Meski tujuan utama harta adalah untuk memenuhi hajat hidup manusia, namun faktanya seringkali manusia luput dalam membelanjakan harta yang ia miliki, sehingga menyebabkan malapetaka dalam kehidupannya sendiri, seperti membelanjakan harta untuk membeli barang terlarang yang dapat menjebloskan pada kasus pemidanaan. Lalu bagaimanakah sebenarnya cara yang bijak dan tepat dalam membelanjakan harta sesuai tuntuan al-Qur’an?
Cara Membelanjakan Harta dalam Al-Qur’an
Sebagai agama yang sempurna, Allah telah menjelaskan tuntunan pada seluruh lini kehidupan dalam syariat yang Ia turunkan, tak terkecuali tentang bagaimana cara membelanjakan harta yang telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 29 Allah menegaskan
وَ لَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً اِلَى عُنُقِكَ فَتَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَذَرُواهَا كَالْمُعَلَّقَة
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya, maka kemudian engkau akan menjadi tercela dan menyesal
Dalam ayat di atas Allah mengibaratkan pembelanjaan harta dengan dua buah tangan, di mana jika tangan tersebut terbelenggu pada leher seseorang, maka ia akan tercekek kesakitan, begitupun sebaliknya, jika ia mengulurkan tangannya secara berlebihan maka ia akan kehilangan semua yang ada dalam genggamannya.
Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa syariat memerintahkan seluruh penganutnya agar selalu menjaga keseimbangan dalam pembelanjaan harta yang ia miliki, agar harta tersebut dapat menjadi salah satu jalan baginya untuk meraih kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat kelak.
Selain ayat di atas Syari’ (Allah) menjelaskan secara eksplisit cara ideal membelanjakan harta dalam surat Al-Furqan ayat 67 yang berbunyi:
وَالَّذِينَ اِذَا اَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَ كَانَ بَيْنَ ذَالِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang (hamba Allah) apabila membelanjakan (harta) tidak berlebihan dan tidak pula kikir, dan (pebelanjaan tersebut) di tengah-tengah antara yang demikian
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa hamba-hamba Allah yang baik adalah mereka yang tidak israf (berlebih-lebihan), dan tidak taqtir (kikir) dalam membelanjakan hartnya. Dalam memaknai kata israf dan taqtir para ahli tafsir memiliki beberapa pandangan, salah satunya dikemukakan oleh Syaikh Abdurrahman Al-Jaili bahwa berlebih-lebihan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah setiap pembelanjaan harta pada selain jalan Allah, sedangkan kikir yang dimaksud adalah mencegah pembelanjaan harta di jalan Allah (dengan tidak menjalankan kewajiban). (Muhammad Yusuf Abu Hayyan Al-Andalusy, Al-Bharul Muhith, vol.6, h.436, Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah).
Tafsiran yang berbeda datang dari Imam Ibn Katsir yang menyampaikan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan israf dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang jika membelanjakan harta dengan cara menghambur-hamburkan dan melebihi dari kadar yang dibutuhkan, sedangkan orang yang taqtir menurut beliau adalah orang-orang yang memangkas pembelanjaan harta sehingga kebutuhannya sendiri saja tidak tercukupi.) Imam Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, vol.5, h.608, Dar Ibn Jauzy)
Lebih lanjut pandangan kedua ahli tafsir di atas tentang orang yang berlebih-lebihan dapat dikompromikan dalam satu definisi yang disebut dengan tabdzir/mubaddzzir, yankni orang yang membelanjakan hartanya secara berlebihan, membelanjakan dalam keburukan, dan atau membelanjakan harta tidak dengan cara yang hak dan benar.
Tiga Kelompok Umat dalam Membelanjakan Harta
Dari cara pembelanjaan harta di atas, setidaknya umat muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni
- Muqtir adalah orang yang sangat pelit baik terhadap kewajiban yang telah Allah fardukan, atau pelit terhadap diri sendiri sehingga tidak mencukupi kebutuhannya atau orang yang wajib dinafkahi.
- Mubadzir/musrif adalah orang yang berlebih-lebihan atau berfoya-foya di luar kadar kebutuhannya.
- Mutawassit adalah orang yang tengah-tengah, yang menjalankan kewajiban penunaian kewajiban harta yang telah difardukan, mencukupi kebutuhan diri dan orang yang wajib dinafkahi, serta tidak berlebih-lebihan dan berfoya-foya.
Dari tiga golongan yang telah disebutkan tentu golongan yang ketigalah yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam, sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firmannya dengan ungkapan “qawamun” atau tengah-tengah antara sifat boros, dan kikir.
Sehingga hemat penulis sangat tepatlah jika seseorang hanya membelanjakan hartanya untuk sekedar menutupi rasa lapar, atau membeli pakaian untuk sekedar menutup aurotnya, tanpa harus disertai sikap berfoya-foya sebab sebaik-baiknya sebuah perkara adalah pertengahannya.