Selain mengulas kisah Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, Surat ini juga menjelaskan bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai yang sudah mati, menyusun kembali tulang-tulang yang telah berserakan, dan membalutnya dengan daging, urat saraf dan kulit
Sambungan artikelPERTAMA
AYAT di atas menunjukkan bolehnya melakukan dialog dan perdebatan dalam masalah agama dan keyakinan. Jika tujuan perdebatan menjelaskan kebenaran dan di prediksi membawa maslahat dakwah diantara dalilnya adalah sebagai berikut,
a) Firman-Nya,
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
“dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: :125 ).
b) Firman-Nya,
وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (QS. Al-Ankabut [ 29 ] : 46)
c) Firman-Nya,
وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 111).
d) Firman Allah tentang perdebatan Nabi Nuh dengan kaumnya;
قَالُوْا يٰنُوْحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَاَ كْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ
“Mereka berkata, “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan, jika kamu termasuk orang yang benar.” (QS. Hud [ 11 ] : 32 )
Kisah Uzair bin Syarkhiya
اَوْ كَالَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ قَالَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 259 )
Ayat di atas menjelaskan tentang kisah Uzair bin Syarkhiya, salah satu ulama Bani Israil yang melewati sebuah kota yang hancur, tembok-tembok yang telah runtuh di atas atap-atapnya.
وَّهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۚ
“yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya.”
Khawiyah artinya: kosong, sedangkan “urusy adalah atap-atap sehingga diartikan, “kosong karena runtuh atap-atapnya.”
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan kota yang dimaksud. Yang paling masyhur di kalangan ahli tafsir bahwa kota tersebut adalah Baitul Maqdis yang dihancurkan oleh Bukhtanasar.
Kemudian Uzair berkata,
اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا
“Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”
Pertanyaan ini mengandung dua hal;
a) Bagaimana Allah menghidupkan kembali kota yang sudah hancur ini ?
b) Bagaimana Allah menghidukan orang-orang yang sudah mati?
Allah berfirman;
فَاَمَاتَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَه
“Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali.”
Imam Al-Qurthubi berkata, “Makna lahiriyah dari ayat ini adalah kematian yang sebenarnya (keluarnya ruh dari jasad). ”Jadi bukan pingsan dan bukan pula koma atau mati suri. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir.
Kemudian setelah 100 tahun, Allah menghidupkannya kembali. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa setelah berlalu 70 tahun dari kematiannya.
Allah mengirim seorang Raja Persia yang agung bernama “Kusyka” ke tempat tersebut dan membangun kembali kota tersebut selama 30 tahun.
Dalam Al-Quran disebutkan;
قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ
“Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.”
Diriwayatkan bahwa Allah mematikannya pada pagi hari, kemudian menghidupkan setelah 100 tahun ppada sore harinya. Oleh karenanya ia mengira baru tidur sehari satu setengah hari.
Hal ini mirip dengan jawaban ashabul kahfi ketika ditanya, berapa lama kalian tinggal di dalam gua ini?
قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍۗ
“Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (QS. Al-Kahfi [ 18 ] : 19 )
Allah berfirman;
قَالَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ اِلٰى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَانْظُرْ اِلٰى حِمَارِكَ
“Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang).”
Makanan di sini maksudnya buah (tin) yang ia kumpulkan dari pohon-pohon sekitar kota tersebut. Dahulu kota Baitul Maqdis dan sekitarnya banyak tumbuh pohon tin dan zaitun. Ini sesuai dengan firman Allah,
وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (QS. At-Tin [ 95 ] : 1)
Maksudnya yang tumbuh di kota Baitul Maqdis, mengisyaratkan tentang Nabi Isa Alaihi Salaam.
Adapun minuman di sini adalah minuman hasil perasan buah. Makanan dan minuman tersebut tidak berubah (لَمْ يَتَسَنَّهْ) makna aslinya tidak berubah dengan perubahan tahun.
Tetapi ketika melihat keledainya ternyata dia telah mati tidak tersisa darinya kecuali tulang belulangnya saja. Terkait ini Allah berfirman;
وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّاسِ وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا
“Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”
Uzair dijadikan Allah sebagai salah satu bukti kekuasaan-Nya hal itu karena dia diperintahkan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai yang sudah mati tersebut, setahap demi setahap, mulai dari menyusun kembali tulang-tulang keledai tersebut yang telah berserakan, kemudian dibalutnya dengan daging, urat saraf dan kulit. Seperti terbalutnya tubuh oleh pakaian. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam jasad keledai tersebut, lalu keledai itu pun hidup kembali.
Kata (نُنْشِزُهَا) artinya kami tinggikan. Dikatakan wanita Nasyizah yaitu wanita yang meninggi dan melawan suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz.” (QS. An-Nisa [4]: 34 )
Berarti makna ayat 259 dari Surat al-Baqarah di atas adalah “Kami mengangkat tulang-tuang keledai tersebut dari muka bumi dan menggabungkan satu dengan yang lainnya, kemudian kami tiup dengan daging.”/Dr Ahmad Zain An-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI) (BERSAMBUNG)