Pelajaran Membutakan dari Abdullah

Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku “Mufakat Firasat”, dan “Nuun, Berjibaku Mencandu Buku”.

Namanya hadir diingat karena kecintaan untuk berjihad walau kedua matanya tak dapat melihat. Tersebab “protes” atas dasar cinta sebab tak tergolong mereka yang siaga berjihad dan bukan pula yang duduk-duduk malas, hadir tiga kata: ghayru ulidh-dharar, orang-orang yang memiliki uzur (berjihad).

An-Nisa ayat 95 seperti yang kita baca dalam mushaf Utsmani, sebagai rekam jejak Abdullah Ibnu Ummi Maktum tersebut. Toh kendati sudah ada ayat rukhsah, ia bergeming dari berjihad. Demikian termaktub, antara lain, dalam karya Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar juz V (2984), hlm. 276-280, ihwal asbab turunnya ayat ini.

Arkian, ia pun langkahkan kaki bersama pasukan muslimin di medan Badar. Apa yang bisa diperbuat oleh prajurit tanpa belah mata? Pedang dan tombak, apalagi panah, hanya sia-sia. Tapi Abdullah pemegang suara syahdu kala azan ini punya rencana.

“Letakkan aku di antara dua shaf pasukan muslimin, dan berikan aku panji Liwa, bendera Rasulullah!” Tandasnya penuh tekad.

Pemegang panji pasukan itu sebuah pertahanan diri yang tangguh. Tapi ini rasional mengingat kondisi Abdullah. Betapa pula sebuah panji-panji itu simbol eksistensi dalam pertempuran.

“Mataku tak dapat melihat, aku akan berdiri di sini bersama kalian. Dan aku tak akan pernah melarikan diri!” Ungkapnya.

Seorang tunanetra bakal melarikan diri? Takkan! Ia beda dengan sesiapa yang bisa menatap aras pergerakan lawan yang terjangannya mengerikan. Atau bilamana pasukan lawan berlipat jumlah dan kualitas persenjataan sebagaimana berlangsung di Badar. Semua itu tak dianggap oleh sosok yang tak dapat menilai lawan di hadapannya.

Inilah yang ditempuh Abdullah ibn Ummi Maktum kala Badar. Posisi yang sama ditempuhnya, dan ia memang terpilih oleh sang Khalifah Rasulullah Umar ibn Khathab, kala menaklukkan Persia dalam pertempuran Qadisiyyah. Sebuah laga jihad yang menyisakan banyak luka di tubuh Abdullah hingga nyawanya terbang ke jannah. Ia gapit panji-panji muslimin dengan setia lewat lehernya, sebelum akhirnya syahid.

Kalkulasi kalah dan menang memang terkait erat ikhtiar insani. Harus ada persiapan matang berikut strategi dan perbekalan menghadapi lawan. Tapi ikhtiar belum tuntas bilamana makna tawakal dihempaskan. Seolah semua hanya bergantung pada soal usaha yang diperbuat. Pun begitu, tak memadai bila perjuangan hanya menguatkan sisi tawakal sementara ikhtiar insani diabaikan.

Prediksi, jajak pendapat, opini pakar di media, semua ini adalah aspek ikhtiar yang berperan menjadi penanda dan pengingat. Yakni seberapa jauh posisi kita dibandingkan lawan. Ada kalanya semua perkiraan itu setali dengan hasil. Lain waktu malah meleset.

Kemelesetan ini bukan untuk menyandarkan keengganan untuk melipatkan energi keberanian yang lebih mirip di mata orang awam seperti kenekatan. Sebagaimana Abdullah ibn Ummi Maktum tadi. Ia hanya ingin penuhi seruan Rabbani. Tak terbayangkan soal hasil akhirnya bagaimana. Kenekatan Abdullah adalah soal bagaimana memberikan andil terbaik dan tertinggi; gagasan sampai sukma satu-satunya.

Bilalah amatan ikhtiar sesiapa saja masih tempatkan sosok yang kita usung sebagai pemimpin itu di bawah lawan, tak perlu risau. Elektabilitas hanya soal kesiapan kita dan mereka. Kekuatan memang pada mereka. Nah, tinggal bagaimana menjadi sosok serupa Abdullah ibn Ummi Maktum. Bukan mereka yang frustrasi karena elektabilitas usungan hanya statis di angka merah, sementara lawan terus moncer saban hari.

“Butakan” mata kita! Kosongkan pikiran dari konsentrasi pada kalkulasi insani. Bukan itu tak penting bagi sebuah pertempuran politik bernama demokrasi dan pilihan raya. Tapi ini soal bagaimana kita melaju memberikan hak terbaik dan tertinggi di tengah lautan optimisme kemenangan lawan.

Bukankah betapa banyak kader dakwah memilih bersikap “realistis” karena lawan PASTI unggul? Sementara ia enggan buat mempertahankan panji-panji kehormatan bahkan dengan hanya gigitan gigi terakhirnya, sebagai umpama.

Hari-hari ke depan pertempuran itu bakal hadir di depan mata. Tak perlu risau dengan angka-angka. Karena, sekali lagi, ia hanya tolok ukur kita harus bagaimana. Bila diunggulkan, jangan jumawa.

Medan Hunain pernah menguji muslimin hingga seperti kehabisan napas terakhirnya. Bila diremehkan, lakukan “pembutaan” mata, alias pikiran dan fokus kita, pada narasi kehebatan lawan. Andaikan kita ditakdirkan kalah, masih ada medan-medan lain untuk merebutnya dengan jalan elegan dan memuliakan.

 

Oleh: Yusuf Maulana,

REPUBLIKA