Pada awal April 2018, saya meluncurkan buku berjudul “Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang, menuju Negara Adidaya 2045” (Depok: YPI at-Taqwa, 2018). Alhamdulillah, dalam waktu kurang sebulan, buku itu telah dicetak ulang. Seorang pembaca di Jawa Tengah menyarankan agar buku ini dibaca oleh para pejabat di bidang pendidikan.
Gagasan pokok buku ini telah saya sampaikan dalam acara Roundtable Discussion (Diskusi Satu Meja) di Lembaga Pengkajian MPR-RI pada tanggal 24 Oktober 2017. Melalui buku ini saya menegaskan lagi, bahwa Islam memiliki model pendidikan yang sudah baku, yaitu pendidikan berbasis adab. Jika pendidikan ini diterapkan, maka insyaAllah akan terwujud generasi gemilang yang akan membawa Indonesia menjadi negara adidaya.
Model pendidikan ini telah disampaikan oleh Umar bin Khathab r.a.: “Taaddabuu tsumma ta’allamuu!” (Beradablah kalian, kemudian berilmulah). Ini pula yang ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dalam menjelaskan makna QS at-Tahrim ayat 6. (Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”). Agar diri kita dan keluarga kita tidak masuk neraka, kata Ali bin Abi Thalib, maka “Jadikanlah keluargamu beradab dan berilmu.” (Lihat, Tafsir Ibn Katsir).
Model pendidikan berpola “beradab dan berilmu” itu kemudian diterapkan sepanjang sejarah umat Islam. Guru utamanya adalah Nabi Muhammad saw. Sang Nabi-lah yang mendidik langsung para sahabat dengan model pendidikan berbasis adab ini. Adab utama adalah sikap dan tindakan yang betul kepada Allah SWT, yakni dengan men-Tauhid-kan Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Adab berikutnya adalah kecintaan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam meneladani seluruh aspek kehidupan Nabi saw.
Dengan model pendidikan ini, para sahabat nabi kemudian menjelma menjadi satu generasi gemilang; generasi terbaik yang pernah dilahirkan di muka bumi. Satu generasi yang terdiri dari orang-orang baik, dalam jumlah banyak dan hidup bersama di satu waktu dan satu tempat. Pada tahun 636 M — hanya lima tahun sepeninggal Rasulullah saw — generasi ini telah menaklukkan Romawi dan membangun peradaban unggul di Jerusalem. Dalam Perang Yarmuk, pasukan Islam yang jumlahnya sekitar 20.000-40.000, mampu mengalahkan kekuatan Romawi yang jumlahnya 10 kali lipatnya.
Kesuksesan dan kegemilangan generasi sahabat Nabi ini kemudian diikuti oleh generasi-generasi muslim berikutnya. Diantara yang terkenal adalah generasi Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil menaklukkan pasukan Salib dari Eropa dan merebut kembali kota Jerusalem. Generasi ini lahir dari proses pendidikan dengan model yang sama.
Contoh generasi unggul lain adalah generasi Muhammad al-Fatih, yang Berjaya menaklukkan kekuatan Romawi Timur dan membebaskan Konstantinopel tahun 1453. Generasi ini pun lahir dari proses pendidikan ideal.
Dan juga jangan dilupakan bangkitnya generasi santri 1945 di Indonesia. Generasi inilah yang taat kepada fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari dan berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Meski sudah disokong oleh Tentara Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II, Belanda pun gagal menjajah kembali di Indonesia. Bahkan dalam Perang Dahsyat di Surabaya tahun 1945, seorang jenderal Sekutu mati di tangan santri.
Generasi sahabat Nabi adalah generasi yang haus ilmu, cinta pengorbanan, dan bersemangat menjadi umat terbaik. Di mana pun juga, generasi semacam ini akan tampil sebagai pemimpin. Model pendidikan berbasis adab ini sudah ditegaskan oleh para ulama besar. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!
Abdullah ibn Wahab, murid Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Mā ta’allamnā min adabi Malikin aktsaru min-mā ta’allamnā min ‘ilmihī.” (Apa yang kami pelajari tentang adab dari Imam Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari tentang ilmunya). Seorang ulama besar, Ibnul Mubarak, menyatakan, bahwa ia belajar adab selama 30 tahun; dan 20 tahun kemudian ia belajar ilmu. Bahkan, kata beliau, porsi adab dalam agama Islam adalah sekitar 2/3-nya.
Ungkapan para ulama besar itu sudah cukup membuktikan betapa pentingnya masalah adab dalam agama Islam. Karena itu, para ulama menulis ribuan kitab tentang adab. Di wilayah Nusantara, misalnya, KH Hasyim Asy’ari menulis kitab Adabul Alim wal-Muta’allim. Ada kitab Gurindam 12 karya Raja Ali Haji. Juga ada kitab Adabul Insan karya Habib Sayyid Utsman. Pendiri Persis A. Hassan menulis buku berjudul Kesopanan Tinggi secara Islam. Dan masih banyak kitab-kitab adab lainnya.
Jika disimak riwayat hidup dan perjuangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, maka tampak jelas, bagaimana beliau sangat menekankan masalah adab ini dalam pendidikan. Bahkan, Kyai Ahmad Dahlan memberikan teladan yang luar biasa dalam perjuangan menegakkan Islam di Indonesia. Beliau bukan hanya konseptor, tetapi juga menjadi contoh dalam perjuangan di bidang pendidikan.
Masalah adab inilah yang diangkat dan dikonseptualisasikan oleh Prof. Syed Naquib al-Attas, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama tahun 1977 di Kota Mekkah. Al-Attas menegaskan, bahwa akar krisis yang menimpa umat Islam saat ini adalah “loss of adab”. Tahun 2014, selama tiga bulan, saya mengadakan penelitian di Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM), tentang masalah “adab” menurut Prof. Naquib al-Attas ini.
Dari hasil penelitian itu, saya terbitkan sebuah buku berjudul “Menuju Indonesia Adil dan Beradab” (Jakarta: INSISTS, 2015). Buku itu menjabarkan aplikasi konsep adab menurut Prof. al-Attas dalam kehidupan kenegaraan dan politik di Indonesia. Ada sesuatu yang menarik dalam konsep adab Prof. Naquib al-Attas, yang menyatakan, bahwa adab bersumber dari hikmah. Jika adab ditegakkan, maka terciptalah kondisi “al-‘adalah”, dimana segala sesuatu ada pada tempatnya yang betul sesuai dengan harkat martabat yang ditentukan Allah SWT. Menariknya, kata ‘hikmah’, ‘adab’, dan ‘keadilan’, tercantum dalam Pancasila yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945.
Mulai tahun 2014 itu pula, bersama beberapa ilmuwan dan praktisi pendidikan, saya mendirikan Pesantren at-Taqwa, sebagai proyek rintisan pendidikan berbasis adab pada tingkat SMP, yang kami beri nama ‘Pesantren Shoul-Lin al-Islami’. Alhamdulillah, setelah tiga tahun berjalan, Pesantren at-Taqwa Depok terus berkembang, hingga memasuki jenjang SMA, yang diberi nama Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC).
Perpaduan konsep pendidikan berbasis adab dengan pengalaman lapangan membina Pesantren at-Taqwa Depok itulah yang saya tuangkan dalam buku “Pendidikan Islam, Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045”. Kami bertekad mewujudkan satu lembaga pendidikan ideal yang insyaAllah akan menjadi salah satu model pendidikan ideal, membentuk manusia adil, beradab, dan bermanfaat bagi masyarakat.*>>>>
Pendidikan Ramadhan
Menurut al-Attas, “Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. (S.M. Naquib al-Attas, the Concept of Education in Islam.” (1980).
Intinya, adab adalah pemahaman dan kemauan seseorang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabat yang ditentukan Allah. (Lihat, al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (2001). Manusia beradab akan ikhlas taat kepada Tuhannya, cinta dan taat kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, hormat guru dan orang tua, cinta sesama, dan gigih belajar dan berjuang untuk mengembangkan potensi dirinya, sehingga menjadi manusia bermanfaat. Sebab, kata Nabi saw, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.
Prof. Naquib al-Attas merumuskan konsep pendidikan sebagai proses mencari ilmu (thalabul ilmi) yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan atau keadilan dalam diri seorang manusia, sebagai manusia (inculcation of goodness or justice in man as man). Dan elemen paling fundamental dalam pendidikan adalah penanaman adab (inculcation of adab).
Tujuan pendidikan dalam Islam itu sejalan dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat c, UU Pendidikan Nasional, No 20/2003 dan UU Pendidikan Tinggi, No 12/2012. Disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Al-Quran menegaskan, bahwa tujuan ibadah Ramadhan adalah menjadi orang yang bertaqwa. “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. Mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (QS al-Baqarah:183).
Inilah sebenarnya inti pendidikan yang sepatutnya dijalankan di Indonesia. Ramadhan adalah bulan mulia, bulan penuh berkah dan ampunan Allah, bulan yang tepat untuk mengoptimalkan proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Jadi, jika pendidikan dimaknai dengan benar – bukan sekedar dimaknai sebagai “sekolah” – maka Ramadhan bukanlah bulan libur pendidikan. Sekolah bisa libur, tetapi proses pendidikan – untuk membentuk manusia taqwa — harus terus berjalan.
Dalam proses pendidikan, pensucian jiwa (tazkiyyatun nafs) menjadi inti kurikulum pendidikan. Jiwa manusia harus dibangun, dengan cara disucikan dari sifat-sifat tercela, seperti kemunafikan, kemalasan, ketidakberdayaan, kedengkian, penakut, riya’, cinta dunia, dan sebagainya. Ibadah puasa Ramadhan adalah metode yang jitu untuk proses pensucian jiwa itu. Maka, sungguh bijak, seandainya pemerintah menetapkan Ramadhan sebagai bulan pendidikan nasional.
Inilah hakekat pendidikan. Pendidikan berbasis adab. Pendidikan untuk membentuk manusia taqwa. Dengan pendidikan yang hakiki inilah, Indonesia insyaAllah akan menjadi negara maju, kuat, adil, makmur dan beradab (negara taqwa), sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, bahwa: “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf: 96)
Jika bangsa Indonesia ingin meraih berkah dari Allah, maka beradablah kepada Allah! Berlaku sopanlah kepada Utusan-Nya! Jangan sampai berani menentang Allah dan Rasul-Nya, baik sadar atau tidak. Jangan sampai ada muatan kurikulum yang menyalahi wahyu Allah SWT. Jangan membuat ‘teori’ bahwa manusia Indonesia merupakan kelanjutan kehidupan monyet. Padahal, al-Quran jelas-jelas menyebutkan kita semua merupakan keturunan dari Nabi Adam a.s. bukan keturunan monyet.
Jangan membuat konsep ‘kemajuan’ yang sama sekali tidak mencantumkan kriteria ‘taqwa’, baik secara pribadi, lembaga pendidikan, atau pun kenegaraan. Jangan pula membuat teori tentang kebutuhan primer manusia, yang sama sekali tidak menyebut ibadah dan zikir sebagai kebutuhan primer manusia.
Kita berharap, para orang tua, guru, pengelola lembaga pendidikan, dan juga para pejabat pemerintah memahami benar akan hakikat pendidikan ini. Dan bulan Ramadhan adalah bulan terbaik untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, atau bulan pensucian jiwa. Semoga Allah berkahi hidup kita di bulan Rajab dan Sya’ban, dan kita semua dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan 1439 H. Kita tekadkan Ramadhan tahun ini sebagai bulan pendidikan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. (Depok, 10 Mei 2014).*
Oleh: Dr. Adian Husaini