Dalam kitab Al-Mawa’idz Al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al-‘Ushfuri menyebutkan sebuah kisah bahwa di zaman Nabi Musa, terdapat seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang ahli maksiat. Semasa hidupnya, dia selalu melakukan kemaksiatan dan dan selalu menyakiti serta manzalimi orang-orang di sekitarnya.
Suatu ketika, laki-laki tersebut terkena penyakit dan meninggal dunia. Karena semasa hidupnya dia selalu menyakiti dan menzalimi orang lain, serta selalu berbuat maksiat, maka orang-orang di sekitarnya membiarkan jenazahnya dan menelantarkannya dengan dibuang di tempat sampah di dekat pasar.
Kemudian Allah memberi wahyu kepada Nabi Musa agar dia segera merawat dan mengurus jenazah laki-laki tersebut, dengan dimandikan, dishalati kemudian dikuburkan. Setelah menerima perintah wahyu tersebut, maka Nabi Musa langsung bergegas untuk mencari jenazah laki-laki yang sudah dibuang ke tempat sampah tersebut.
Nabi Musa pun menanyakan kepada kaumnya mengenai jenazah laki-laki yang sudah meninggal tersebut, sebagaimana yang telah diwahyukan Allah kepadanya. Namun ketika Nabi Musa menanyakan jenazah laki-laki tersebut kepada seseorang, ia langsung marah sambil mengatakan bahwa laki-laki tersebut adalah seseorang yang ahli maksiat yang setiap harinya selalu bermaksiat kepada Allah.
Mendengar hal itu, Nabi Musa heran dan berfikir bahwa mungkin orang yang ditanyakannya adalah salah. Sebab mana mungkin Allah menyuruhnya untuk mengurus jenazah laki-laki tersebut jika dia adalah orang yang ahli maksiat dan zalim.
Nabi Musa kemudian mencoba bertanya lagi kepada orang lain mengenai jenazah laki-laki tersebut, sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah. Namun orang yang kedua juga menjawab dengan jawaban yang sama dan mengatakan bahwa laki-laki tersebut adalah seorang ahli maksiat dan senantiasa berbuat kezaliman dan menyakiti orang lain.
Nabi Musa benar-benar heran dan bertanya kepada Allah mengapa Dia memerintahkan dirinya untuk mengurusi jenazah seorang laki-laki yang oleh kaumnya dinilai sebagai ahli maksiat dan zalim.
Kemudian, Allah menjawab dengan berfirman kepada Nabi Musa; ‘Itu dikarenakan sebelum meninggal, dia telah membuka kitab Taurat dan dia menemukan nama Muhammad di dalamnya. Kemudian dia merangkul kitab Taurat itu, dan menciuminya serta dia bershalawat kepada Muhammad. Karena itu, aku pun mengampuninya.
Melalui kisah di atas, maka selayaknya kita senantiasa memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah Saw. Jika seorang ahli maksiat dari umat Nabi Musa saja mendapatkan ampunan Allah sebab bershalawat kepada Rasulullah Saw, maka kita sebagai umat Nabi Muhammad, dengan bershalawat kepada beliau, tentunya lebih pantas lagi untuk mendapatkan ampunan-Nya.