Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 1)

Terorisme seringkali ditudingkan kepada umat Islam. Sebagian orang yang cemburu kepada agamanya mengira bahwa tudingan itu hanya sekedar propaganda barat untuk menjatuhkan harga diri kaum muslimin di mata dunia internasional. Sehingga mereka senantiasa menuduh barat (baca: Amerika, khususnya Yahudi) sebagai dalang di balik semua peristiwa semacam ini. Sebagian lagi justru sebaliknya, mengira bahwa terorisme -dengan melakukan pengeboman di tempat-tempat umum- merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan tergolong amal salih yang paling utama. Sehingga mereka beranggapan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah sosok mujahid dan mati syahid. Itulah sekilas dua cara pandang yang bertolak belakang mengenai berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di negeri-negeri Islam atau di negeri kafir yang banyak menelan korban warga sipil.

Terlepas dari apa yang mereka sangka, sebenarnya kita bisa melihat dengan kaca mata yang adil dan objektif bahwa di samping adanya makar musuh-musuh Islam dari luar, sebenarnya kita juga menghadapi musuh-musuh dalam selimut yang berupaya meruntuhkan kekuatan umat dari dalam. Salah satu di antara mereka adalah sekte Khawarij di masa silam dan para penganut pemikiran sekte tersebut di masa kini yang gemar melakukan aksi teror dengan mengatasnamakan jihad. Mereka menampakkan diri sebagai kaum muslimin yang punya komitmen terhadap agama, berpenampilan seperti layaknya orang-orang salih dan taat, dan bersikap seakan-akan membela ajaran Islam, namun sebenarnya mereka sedang melakukan upaya penghancuran Islam dari dalam, sadar ataupun tidak!

Sejarah Hitam Sekte Khawarij

Tidakkah kita ingat sejarah hitam kaum Khawarij yang diabadikan di dalam kitab-kitab hadits? Sebuah sekte yang diperselisihkan status keislamannya oleh para ulama (yang kuat mereka tidak dikafirkan, lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/390 dan 393]). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas pandai membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, suka mengusung slogan keadilan dan pembelaan rakyat yang tertindas guna menghalalkan pemberontakan kepada penguasa muslim. Berawal dari kedangkalan berpikir mereka, akhirnya hal itu menyeret mereka ke jurang kebid’ahan yang mengerikan. Mereka bunuhi umat Islam sementara para pegiat kemusyrikan justru mereka biarkan.

Munculnya sosok pengacau yang bengis namun berpenampilan salih seperti itu pernah terjadi di masa hidup Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma. Ketika itu, ada sebagian penduduk Bashrah yang terseret pemahaman Qadariyah -menolak takdir- yang diusung oleh sekelompok orang yang pandai membaca al-Qur’an dan memiliki banyak wawasan keilmuan dengan tokoh mereka Ma’bad al-Juhani, sebagaimana disebutkan di bagian awal kitab al-Iman dalam Shahih Muslim. Yahya bin Ya’mar -sang periwayat hadits ini- mengadukan problematika umat yang terjadi di masyarakatnya kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,

أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ – وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ – وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الأَمْرَ أُنُفٌ

“Wahai Abu Abdirrahman! Sesungguhnya di tengah-tengah kami muncul sekelompok orang yang suka membaca al-Qur’an dan mengumpulkan berbagai jenis ilmu -lalu dia menceritakan sebagian keadaan mereka lainnya- namun mereka menyangka bahwa takdir itu tidak ada dan segala urusan terjadi dengan sendirinya.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim. Cet. 1427 penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.27)

Nah, berikut ini kami nukilkan sebagian hadits yang mengisahkan tentang kekejian manhaj kaum Khawarij dan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat dalam menghadapi mereka. Agar jelas bagi siapa saja bahwa sikap ulama Ahlus Sunnah as-Salafiyun dalam memerangi Khawarij dan pemikiran mereka bukanlah karena motif menjilat penguasa atau mencari muka di hadapan mereka, namun hal itu mereka lakukan semata-mata demi ‘melanjutkan kehidupan Islam’ sebagaimana yang mereka inginkan, dan tentu saja dengan cara meneladani metode perjuangan generasi terbaik dari umat ini.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,

أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ »

“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus sasaran bidiknya.’” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya di belakang orang ini akan muncul suatu kaum yang rajin membaca al-Qur’an namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka membunuhi umat Islam dan justru meninggalkan para pemuja berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari sasaran bidiknya. Apabila aku menemui mereka, niscaya aku akan membunuh mereka dengan cara sebagaimana terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Di dalam hadits ini terkandung dorongan untuk memerangi mereka -yaitu Khawarij- serta menunjukkan keutamaan Ali radhiyallahu’anhu yang telah memerangi mereka.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/391] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Mereka bukanlah orang yang malas beribadah, bahkan mereka adalah sosok yang menakjubkan dalam ketekunan dan kesungguhan beribadah. Namun di sisi yang lain, mereka telah menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga membuat mereka layak menerima ancaman dan hukuman yang sangat-sangat berat, yaitu hukum bunuh!

Dalam teks riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka,

فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ

“Sesungguhnya orang ini -Dzul Khuwaishirah, gembong Khawarij, pent- akan memiliki pengikut-pengikut yang membuat salah seorang di antara kalian meremehkan sholatnya apabila dibandingkan dengan sholat mereka, dan meremehkan puasanya apabila dibandingkan dengan puasa mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya. Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya. Apabila kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu -salah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan bahwa ketika terjadi pemberontakan kaum Haruriyah (Khawarij) sedangkan saat itu dia bersama pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, mereka -kaum Khawarij- mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali bin Abi Thalib pun menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan, “Itu adalah ucapan yang benar namun dipakai dengan maksud yang batil…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan tentang betapa buruknya mereka,

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ

“Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu)

Keamanan Adalah Nikmat yang Harus Disyukuri

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah membimbing kita berjalan di atas jalan yang lurus- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membuat keonaran dan kekacauan di masyarakat. Nabi memerintahkan untuk taat kepada penguasa muslim selama bukan dalam hal maksiat dan melarang rakyat memberontak kepada mereka sezalim apapun mereka -selama mereka masih sholat dan tidak melakukan kekafiran yang nyata yang kita memiliki bukti yang sangat jelas atasnya- serta melarang dari tindakan mengobral aib-aib pemerintah di muka umum. Itu semua disyari’atkan demi terpeliharanya sebuah nikmat yang agung yaitu stabilitas keamanan negara dan ketentraman umum.

Keamanan adalah nikmat yang agung dan harus dipelihara, tidakkah kita ingat doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Rabbnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini aman tentram, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung…’” (Qs. Ibrahim: 35)

Yang dimaksud ‘negeri’ dalam ayat di atas adalah tanah suci Mekah (lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Aayil Qur’an [17/ 17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Doa meminta keamanan ini pun dikisahkan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa; ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini aman tentram dan curahkanlah rezeki kepada penduduknya dari berbagai jenis buah-buahan, yaitu kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka…’” (Qs. al-Baqarah: 126)

Maka Allah pun kabulkan doa beliau, sebagaimana dalam firman-Nya,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ

“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.” (Qs. al-Ankabut: 67)

Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid tentang tafsiran surat Ibrahim ayat 35 di atas bahwa beliau mengatakan, “…Allah mengabulkan doa beliau, yaitu dengan menjadikan negeri tersebut (Mekah) aman, mencurahkan rezeki kepada penduduknya dengan berbagai jenis buah-buahan, menjadikan beliau sebagai sosok imam/pemimpin teladan, menjadikan keturunanannya sebagai orang yang mendirikan sholat, dan Allah pun mengabulkan permintaannya…” (Jami’ al-Bayan [17/17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Allah juga memerintahkan untuk mensyukuri nikmat keamanan dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

“Maka hendaknya mereka beribadah kepada Rabb pemilik rumah/Ka’bah ini, yaitu yang telah memberikan makanan kepada mereka sehingga terbebas dari kelaparan, dan memberikan keamanan kepada mereka sehingga terlepas dari cekaman ketakutan.” (Qs. Quraisy: 3-4)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengaruniakan kepada mereka keamanan dan murahnya segala sesuatu diperoleh di sana, maka semestinya mereka mengesakan-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah dan tidak justru menyembah kepada selain-Nya, entah itu berujud patung, sesembahan tandingan, ataupun berhala dalam bentuk apa saja.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/593] cet. 1417 Penerbit Dar al-Fikr)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Rezeki yang melimpah ruah dan rasa aman dari cekaman ketakutan termasuk nikmat keduniaan yang paling besar, yang sudah semestinya melahirkan sikap dan perilaku bersyukur kepada Allah ta’ala.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1305] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

Maka ayat yang mulia di atas mengajarkan kepada kita untuk mensyukuri nikmat keamanan, sedangkan bentuk syukur yang paling agung -bahkan yang menjadi pokoknya- adalah dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah. Termasuk dalam realisasi rasa syukur ini adalah dengan memelihara keamanan dan tidak merusaknya dengan berbagai bentuk teror dan kekacauan.

Oleh karena itulah, dakwah tauhid yang diserukan oleh para ulama Ahlus Sunnah di sepanjang jaman senantiasa memperhatikan hal ini yaitu terjaganya keamanan dan ketentraman umum serta keselamatan umat dari kekacauan politik dan sosial serta menyingkirkan ambisi-ambisi pribadi atau golongan yang ingin meraih tampuk kekuasaan -walaupun dengan tujuan memberantas kemungkaran-. Sebab dengan stabilitas keamanan itulah akan muncul manfaat yang meluas bagi masyarakat secara umum dan umat Islam pada khususnya, dan Ahlus Sunnah terlebih khusus lagi.

Tidakkah anda ingat kisah kesabaran Imam Ahmad bin Hanbal -salah seorang imam Ahlus Sunnah- semoga Allah merahmatinya? Beliau rela disiksa dan menahan kejamnya hukuman penguasa yang zalim. Beliau tidak mengajak ribuan pengikutnya untuk berdemonstrasi serta memberontak kepada penguasa tatkala itu, padahal beliau berada di pihak yang benar. Karena tekanan itu pula, beliau terpaksa mendekam di dalam penjara selama tiga masa pemerintahan. Ingatlah juga, kesabaran para sahabat ketika menghadapi kekejaman al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kenapa penderitaan yang sedemikian berat itu rela mereka tanggung? Hal itu tidak lain dikarenakan mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa maslahat yang didapatkan dengan tidak memberontak dan tetap berada di bawah satu kepimpinan yang sah dan diakui merupakan salah satu sebab utama keamanan dan stabilitas negara.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang fajir dan siapa pun yang menduduki tampuk khilafah, yang umat manusia telah bersatu di bawah kekuasaannya dan ridha kepadanya. Demikian juga terhadap orang yang berhasil menggulingkan kekuasaan mereka dengan pedang/senjata sehingga merebut posisi khalifah dan dijuluki sebagai Amirul Mukminin.” (Ushul as-Sunnah yang dicetak bersama Syarah Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafzihahullah, hal. 51 Penerbit Dar al-Minhaj cet. 1428 H)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah! Bagaimana pendapat anda jika ada pemimpin-pemimpin yang menguasai kami yang meminta agar hak-hak mereka dipenuhi namun mereka menghalangi kami dari mendapatkan hak-hak kami, maka apakah yang anda perintahkan kepada kami di saat seperti itu?” Maka beliau pun berpaling darinya. Lalu dia pun bertanya kembali kepada beliau dan beliau pun berpaling darinya. Lalu dia bertanya untuk kedua atau ketiga kalinya maka al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu’anhu pun menariknya seraya mengatakan (ketika itu Nabi hadir dan tidak mengingkari ucapannya, pent),

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Tetaplah kamu mendengar dan taat. Sesungguhnya dosa yang mereka lakukan itu adalah tanggungan mereka, dan wajib bagi kalian menunaikan apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bahwa akan muncul sesudah beliau wafat para pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah beliau. Di antara mereka terdapat orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan yang menjelma di dalam tubuh manusia. Mendengar hal itu Huzdaifah pun bertanya, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah, jika saya menemui hal itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Tetaplah kamu mendengar dan patuh kepada pemimpin, meskipun punggungmu harus dipukuli dan hartamu diambil. Kamu harus bersikap mendengar dan patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi bersabda,

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ». أَىْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ

“Sesungguhnya akan menguasai kalian pemimpin-pemimpin yang kalian kenali kekeliruan mereka dan kalian pun mengingkarinya. Barang siapa yang membenci hal itu sungguh dia telah berlepas diri darinya. Dan barang siapa yang mengingkari sungguh telah selamat. Akan tetapi yang salah ialah apabila orang justru meridhai dan setia mengikuti kekeliruannya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kami perangi saja mereka itu?” Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih melaksanakan sholat.” Arti ungkapan di atas adalah, “Barang siapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari dengan hatinya.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran maka dia tidak berdosa semata-mata karena dia bersikap diam. Akan tetapi dia menjadi berdosa apabila dia meridhainya, tidak mau membencinya dengan hati, atau justru dengan setia mengikutinya.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [6/485] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Camkanlah hadits-hadits di atas baik-baik, wahai para pemuda!
Pikirkanlah masak-masak dampak yang akan muncul di esok hari sebagai akibat dari tindakan kita…

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id